*Berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam.*
Kesultanan Palembang Darussalam adalah sebuah kerajaan Melayu yang bercorak Islam di Sumatera bagian selatan. Sejarah berdirinya tidak terlepas dari kemelut politik pada Kesultanan Demak. Perang perbutan tahta yang terjadi antara 1549 -1586 pada akhirnya dimenangkan oleh Mataram. Hal ini menyebabkan runtuhnya Kerajaan Islam yang didirikan pada 1478 oleh Raden Patah. Pada 1586, Palembang sebagai satu satunya wilayah yang masih setia, jadi tempat pelarian para bangsawan Kesultanan Demak. Terdapat 15 Keluarga para pembesar Demak dari berbagai kota di pesisir utara Jawa yang mengungsi ke Palembang.
Sultan terakhir Demak, Aria Pangiri (1582-1586) yang terusir mangkat di Banten Pada 1588. Cikal bakal Kesultanan Pelembang didirikan oleh Kiyai Gede ing Suro. Ia bertindak seolah-olah adalah 'Pemerintahan Demak dalam pengasingan' dengan gelar Pangeran Madi ing Angsoko (1588-1623). Pusat pemerintahan didirikan pada 1588 di sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang.
Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Muhammad (1585-1596), menganggap Kesultanan Demak sudah runtuh berusaha menyerang Palembang. Namun ia meninggal dunia di Palembang sewaktu mencoba menundukkan kawasan tersebut. Dengan memanfaatkan kemunduran Banten pada 1619, VOC menduduki Jayakarta dan merebutnya dari Banten. Akibat berbagai tekanan dari VOC, Sultan Abdul Mufakkir (1596-1651) yang masih dalam perwalian mengizinkan VOC membuat benteng di Sunda Kelapa. Pada 1622, VOC memindahkan pusat kegiatanmya dari sebelumnya di Fort Amsterdam, Ambon Kepulauan Maluku ke Jayakarta. Kota Benteng ini kemudian diberi nama Batavia. Posisi VOC di Batavia bagi Banten cukup strategis, sebagai penghalang antara Negerinya dengan Mataram yang agresif.
Pada 1636 atas diplomasi Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Palembang dibawah Pangeran Seda ing Kenayan (1630-1642) setuju menjadikan wilayahnya sebagai 'vassal' dari Mataram. Keduanya merasa sama sama penerus Kesultanan Demak dan Palembang membutuhkan sekutu sebagai sebagai pelindungnya dari ancaman dari Banten dan VOC. Pada perkembangan selanjutnya di dibawah Sunan Amangkurat I (1645-1677) , Mataram malah bermesraan dengan VOC, sebaliknya Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) justru bermusuhan dengan Batavia.
Antara 1647-1659 terjadi perselisihan antara Palembang dengan VOC terkait hak monopoli perdagangan lada di Sungai Musi. Palembang harus menghadapinya sendiri ketika Negerinya diserang beberapa kali. Mataram yang seharusnya menjadi pelindung Palembang tidak membantu, malah membenarkan apa yg dilakukan VOC. Pada 1659 Keraton Kuto Gawang menjadi lautan api dan rata dengan tanah oleh serangan VOC. Pangeran Sido Ing Rejek (1652-1659) meloloskan diri. Ia mangkat di dusun Indralaya Saka Tiga. Setelah diperoleh kesepakatan, pilihan jatuh pada Kimas Hindi atau Pangeran Candiwalang adik dari Pangeran Sedo Ing Rejek sebagai penguasa Negeri Palembang selanjutnya.
Sang Pangeran mengukuhkan dirinya sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Khalifatul Mukmin Sayidul Iman. Namanya pun diubah menjadi Abdurrahman, sebuah nama yang paling disukai Rasulullah SAW. Melalui perubahan gelar ini, Pangeran Kimas Hindi tercatat sebagai pendiri Kesultanan Palembang Darussalam. Setelahnya tradisi dalam penggunaan nama raja-raja Negeri Palembang berubah dari Pangeran menjadi Sultan, sejajar dengan Sultan Mataram di Pulau Jawa. Keraton Palembang yang baru didirikan di Kuto Cerancangan, menggantikan Kuto Gawang yang terbakar pada perang tahun 1659. Di area Keraton ini didirikan juga dalem Beringin janggut berikut masjid yang saat ini tinggalan nama sejarahnya disebut Masjid Lamo.
Kimas Hindi berusaha untuk tetap memelihara Hubungan baik dengan Kesultanan Mataram di Pulau Jawa Namun hubungan tersebut mulai memburuk ketika Kimas Hindi merasakan sikap Mataram yang mulai berubah. Puncak keretakan dari hubungan Palembang dan Mataram ini bermula pada saat utusan Palembang yang dikirim menghadap Mataram tidak diterima secara layak. Sikap resmi Mataram ini menurut para ahli sejarah ada hubungannya dengan peristiwa di masa Pangeran Sido Ing Rejek. Kala itu setelah mengantar sang pangeran terjadi insiden terbantainya pasukan Mataram oleh Belanda . Saat kejadian itu penguasa Palembang dianggap tidak membantu, bahkan dituduh berpihak pada Batavia (VOC).
Pada 1668, penguasa Palembang kembali mengirim utusan ke Jawa dengan membawa seekor gajah, beserta seperangkat kain mahal dan barang persembahan lain. Utusan resmi ini pun tidak pula diterima raja Mataram. Kimas Hindi menyimpulkan bahwa Mataram tidak perlu dihormati lagi. Walau hubungan atasan-bawahan dianggap sudah selesai, Palembang masih mengirimkan 10 buah kapal untuk membantu Mataram menghadapi Trunojoyo yang memberontak di tahun 1677.
Memperhatikan sikap politik Mataram, Kimas Hindi memutuskan tidak melihat manfaat keuntungan timbal balik dengan Mataram. Ki Mas Hindi mengambil keputusan, bahwa hubungan Ideologis-kultural sudah waktunya dihentikan. Palembang merupakan suatu kerajaan yang mandiri, dengan identitas sendiri. Seluruh tata cara dan kebiasaan berubah, keris, pakaian Jawa menjadi pakaian Melayu. Aksara Jawa diganti menjadi Aksara melayu (Pegon). Bahasa keraton yang masih menggunakan bahasa Jawa, namun untuk rakyatnya sendiri sudah menggunakan bahasa Melayu Palembang.
Sejak masa itu Palembang tidak pernah lagi mengirim undangan berikut Hadiah-Hadiah ke Jawa. Di sisi lain, hubungan dengan VOC di Batavia secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan. Kesultanan Palembang pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman itu juga cukup diperhitungkan di antara negreri negeri Melayu. Negeri-negeri tetangga beberapa kali meminta bantuan Palembang dalam menghadapi peperangan di wilayahnya. Mengingat Kesultanan yang baru didirikan ini masih dalam masa penataan, tidak semua permohonan tersebut dapat dikabulkan.