*Benteng Laut Melayu (Malay Barrier) di Selat Karimata*
Kerajaan Melayu yang dimulai pada periode Kandis/Kantoli pada abad ke 4 yang berkembang di sekitaran Selat Malaka. Mencapai puncaknya antara abad ke 7-11 di masa Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan Melayu kuno yang bercorak Buddha. Kejatuhan Sriwijaya akibat serbuan Rajendra Chola pada 1025-1030 Keemudian digantikan oleh Dharmasraya.
Antara 1377-1409 Majapahit menggelar Ekspedisi Pamalayu II terhadap Dharmasraya secara tidak langsung mengakhiri era Kerajaan Melayu Kuno yang bercorak Buddha. Hal ini meninggalkan warisan mandala-mandala yang ingin berdaulat. Pada abad ke-15 hingga 16 di era Kesultanan Malaka Islam berkembang dengan pesat. Memasuki periode Melayu-Riau pada masa Kesultanan Johor-Riau abad 16-17, dan berakhir pada masa Kesultanan Riau-Lingga abad 19-20.
Di awal Abad ke 18 terjadi perang perebutan tahta yang mengakibatkan pecahnya Kesultanan Johor-Riau. Dalam Hikayat Siak, Raja Kecil disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespondensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.
Raja Sulaiman yang didukung Bugis kemudian berhasil mengkudeta tahta Johor, dan mengukuhkan dirinya menjadi penguasa Johor di Semenanjung Malaya. Sementara Sultan Abdul Jalil, pada 1723 pindah dari Bintan dan membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura. Kesultanan Siak Sri Indrapura juga menjangkau hingga daerah Sambas di Kalimantan Barat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peninggalan sejarah berupa makam dan rumah adat kerajaan Siak di Sambas, Kalimantan Barat.
Di Kepulauan Bangka Belitung, Proses Masuknya Islam tidak terlepas dari peran Kesultanan Johor, Kerajaan Minangkabau, dan Kesultanan Banten. Kaum saudagar yang berlayar dari dan ke selat Malaka singgah dan memenuhi stok air bersih di Pulau Bangka. Penyebaran Islam di Bangka Belitung teridentifikasi pada abad 17 yang dibuktikan dengan kedatangan Sultan Johor dan Panglima Perang Tuan Sarah serta Raja Alam Harimau Garang dari Minangkabau yang mengemban misi untuk menumpas bajak laut (lanon[lanun]). Atas nama Sultan Johor, berkedudukan di Bangka kota dengan mengangkat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di Pulau Bangka.
Terjadi kompleksitas hubungan antara Johor-Banten dan Palembang di Kepulauan Bangka Belitung. Selama abad ke 17 Kepulauan Bangka-Belitung berkali-kali berpindah kepemilikan. Periode itu berakhir sejak wafatnya Bupati Nusantara pada tahun 1671. Selanjutnya Pulau Bangka berada dibawah pengaruh Kesultanan Palembang yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Abdurrahman, menantu Bupati Nusantara. Di Bangka-Belitung Ditemukan cadangan bijih timah dalam jumlah cukup besar, seluruh sultan Palembang lebih terfokus. Eksploitasi bijih timah pengelolaan intensif Pulau Bangka menjadi komoditas utama Kesultanan Palembang.
Saat ini Suku-Bangsa Melayu identik dengan Islam. Di Tanah Melay Islam sangat melekat dengan kehidupan sehari-hari rakyatnya. Ada ungkapan meskipun seseorang berasal dari suku lain namun beragama Islam, maka tetap dianggap sebagai Melayu, maka populerlah istilah Melayu-Jawa, Melayu-Sunda, Melayu-Minang. Istilah tersebut hanya berlaku di kawasan ini saja, namun tidak berlaku ditempat dimana orang orang tersebut berasal.
Disalin dari kiriman FB: Riff ben Dahl