*Narasi tunggal sejarah Indonesia versi Yamin*
Sejarah Indonesia versi Yamin ditulis dengan terburu sebelum Indonesia merdeka. Indonesia butuh identitas, Majapahit dianggap tepat karena menurut Yamin mewakili identitas baik Jawa, Melayu ataupun yang lainya. Sebelumnya tidak ada penelitian mendalam tentang Majapahit sebatas dari cerita tutur, mencampurkan antara sejarah dengan mitos. Cocokologi dipakai dalam menentukan batasan wilayah Indonesia adalah sama dengan wilayah Majapahit tanpa terlebih dahulu diverifikasi kebenarannya.
Ambisi Yamin sebagai narator tunggal Sejarah Indonesia semakin jelas ketika ia menerbitkan Sapta Parwa. Buku tentang sejarah Ketatanegaraan Majapahit berjumlah tujuh jilid. Buku ini ia kerjakan saat masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada pertengahan tahun 1950an. Dalam buku ia memaparkan jalannya sistem pemerintahan Majapahit beserta hukum-hukumnya semenjak berdiri hingga keruntuhannya. Setelahnya distempel sebagai sejarah resmi Indonesia.
Runtuhnya dinasti Song di Cina oleh Mongol diduga menjadi penyebab disintegrasi Kerajaan Dharmasraya pada pertengahan abad ke 13. Hal ini membuatnya kehilangan hampir seluruh pengaruhnya di luar pulau Sumatera. Pada 1281. Kublai Khan (1260-1294) mengirim marsekal Sogatu untuk melanjutkan ekspedisi Mongol di negeri-negeri di selatan.
Dalam Prasasti Po Sah (1306) di Phanrang, Champa, Vetnam menyebutkan seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Adik Kertanegara itu menikah dengan Raja Champa, Jaya Simhawarman III (1287-1307). Bersamaan dengan itu Kerajaan Singhasari juga menjalin persekutuan dengan Kerajaan Dhamasraya dibawah Srimat Tribhuwanaraja Maulibhusana Warmadewa (1275-1316). Pemberian Arca Amoghapasa, disertai keterangan dalam Prasasti Padang Roco (1286), dimana Kertanegara juga menikahkan adiknya, Adwayabrahma dengan Dara Jingga, Putri Mahkota Dharmasraya. Seorang putri raja Dharmasraya, Dara Petak bahkan akan dinikahkan dengan Kertanegara sendiri.
Menurut kronik Yuan Shih, utusan Cina datang 3x [tiga kali] ke Jawa, 1280, 1281 dan terakhir 1286. Pada kesempatan yang terakhir, Kertanegara (1268-1292), raja Singhasari berani menghina utusan Cina sebab dirinya merasa sudah siap untuk menantang Kubilai Khan, orang paling berkuasa di Dunia kala itu.
Ekespedisi Pamalayu I yang dikirim setelah itu (1286-1295) sebuah aliansi Singhasari bersama sekutu sekutunya untuk bersama sama menghadapi Dinasti Yuan. Tidak ada jejak peperangan di kawasan perairan 'Benteng Laut Melayu' ataupun Kota bandar di daratan Sumatera antara Singhasari dengan Dharmasraya pada periode itu. Menjadi tidak logis apabila Singhasari sedang bersiap menghadapi negara terkuat di dunia pada saat itu, juga sekaligus berperang dengan tetangganya. Dengan demikian dapat disimpulkan misi Pamalayu I bukan penaklukan atas nama persatuan sebagaimana yang digembar-gemborkan.
Perhitungan Kertanegara yang sudah pas itu menjadi meleset akibat kudeta dari Jayakatwang menyebabkan ia terbunuh. Singhasari kehilangan kontrol atas Armadanya. Pada 1292 Kubilai Khan memerintahkan Jenderal Shi Pi melanjutkan ekspedisi ke Jawa. Belitung dan Karimun Jawa direbut tanpa perlawanan. Armada Cina mendarat di Hujung Galuh pada 1293 walau dihalang halangi oleh 100 kapal kecil di mulut Sungai Berantas.
Wijaya membangun aliansi dengan Shi Pi untuk menggulingkan Jayakatwang, namun 7 bulan kemudian, Wijaya dibantu pasukan Madura berhasil memukul mundur pasukan Cina hingga ke Hujung Galuh. Merasa misinya untuk menghukum Raja Jawa sudah tuntas, Armada Cina memutuskan untuk angkat kaki dari Jawa. Dalam perjalanan pulang, Armada Pamalayu melakukan pengejaran terhadap Armada Cina. Pada saat mendarat di Pelabuhan Kanton, Shi Pi kehilangan 60% kekuatannya atau sekitar 18.000 total 30.000 jumlah pasukannya dinyatakan hilang atau tewas.
Dengan kemenangan, Adwayabrahma bersama Armada Pamalayu mendarat di Hujung Galuh pada 1295. Andai saja pilihan Jawa adalah Adwayabrahma untuk raja berikutnya, mungkin saja antara Dharmasraya dan Singhasari betul betul terjadi penyatuan dinasti seutuhnya. Ketika itu Politik di Jawa era Singhasari sendiri rumit. Singhasari punya raja kembar, semenjak Ranggawuni (1250-1268) dan Mahisa Campaka (1250-1269) memerintah bersama kemudian dilanjutkan Kertanegara (1268-1292) dan Dyah Lembu Tal (1269-1292). Sistem ini tidak lagi dipakai di era Majapahit. Wijaya (1295-1309) mendirikan Majapahit, sebuah Kerajaan baru sebagai penerus Singhasari adalah hasil kompromi dengan fihak-fihak lainnya. Mengingat Wijaya faham posisinya belum tentu sebagai Putra Mahkota Singhasari.