Catatan dari Agam van Minangkabau:
Sama dengan seri sebelumnya, tulisan yang satu ini juga tidak berhubungan langsung dengan Kota Padang atau Minangkabau. Beberapa kesimpulan terlalu cepat diambil terutama pada bagian akhir mengenai kemungkinan pengaruh dua sastrawan asal Tapanuli yang agaknya merupakan kampung asal si penulis. Sebaiknya diteliti lebih lanjut dari berbagai sumber, sebagai pembanding kami tautkan salah satu rujukan yakni mengenai berita dari Minangkabau pada tahun 1932 yakni mengenai penolakan guru-guru terhadap kebijakan Belanda yang membuat buku pelajaran berbahasa Minangkabau. silahkan di klik disini.
Sebagai tambahan informasi bagi penulis; dunia sastra juga merupakan dunia orang Minangkabau dan tidak hanya Minang namun Melayupun demikian. Sastra sudah menjadi nafas kehidupan karena tiap hari akan selalu ada sahaja pepatah-petitih yang keluar dari lisan orang Minangkabau (pada masa dahulu).
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
_______________________
Kesusasteraan
Indonesia sesungguhnya adalah terdiri dari kesusateraan berbahasa daerah
seperti berbahasa Melayu, berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, berbahasa
Minangkabau, berbahasa Batak dan lain sebagainya. Namun karena para pemuda
sudah menetapkan Bahasa Indonesia pada Kongres 1928, maka Kesusasteraan
Indonesia seharusnya kesusasteraan berbahasa Indonesia. Kesusasteraan Indonesia
berbahasa daerah dengan sendirinya tamat.
Dja Endar Moeda, Sastrawan |
Akibat
dari periodisasi ala HB Jassin tersebut, menempatkan roman berjudul Sitti Nurbaya
karya Marah Roesli keluaran Balai Poestaka, secara psikologi sebagai roman
pertama Indonesia (modern). Walau mungkin bukan yang pertama, tetapi dalam
periode Angkatan Balai Pustaka tersebut, roman Sitti Nurbaya yang paling
terkenal.
Novel Pertama Indonesia
Beberapa
tahun terakhir, peneliti Indonesia mengungkapkan novel pertama Indonesia terbit
tahun 1886 karya Lie Kim Hok berjudul Thjit Liap Seng (Bintang Toedjoeh). Novel
ini berkisah di negeri Tjina. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu-Tionghoa.
Jika merujuk pada tahun penerbitan maka sekitar 30 tahun lebih awal dari novel
Sitti Nurbaya karya Marah Roesli. Karya Lie Kim Hok berdasarkan periodisasi ala
HB Jassin dimasukkan pada kelompok ‘sastra Melayu lama’.
Di
Kota Padang pada tahun 1895 terbit novel berjudul Hikajat Tinta Kasih Sajang
karya Dja Endar Moeda yang diterbitkan oleh Otto BƤumer. Pada tahun 1897 Dja
Endar Moeda juga menghasilkan novel baru berjudul Hikajat Dendam Ta' Soedah: Kalau
Soedah Merewan Hati. Karya terbaru ini ditawarkan Dja Endar Moeda kepada
penerbit Winkel Maatschappij Drukkerij.
Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897: ‘Winkel Maatschappij Drukkerij
(sebelumnya Paul Baiimer & Co) menerima sebuah buku kecil yang ditulis
tangan terampil dari Dja Endar Moeda. Oleh editor Pertja Barat, Penerbit
Winkeltmaatschappij menganggap buku itu layak. Buku (novel) itu berjudul
‘Hikayat Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’. Namun demikian, tentang
konten, kami belum bisa menilai-itu nanti. Tapi kami tidak ragu bahwa isi dan
ruang lingkup cerita juga akan memenuhi tuntutan layak terbit. Oleh karena itu
kami akan mengembangkan buku itu bersama penulis agar memiliki karakter yang
solid’.
Satu
lagi novel karya Dja Endar Moeda yang sudah teridentifikasi terbit tahun 1902
di Kota Padang berjudul Hikajat Sajang Taq Sajang: Riwajat Nona Geneveuva.
Karya Dja Endar Moeda boleh jadi masih ada lagi tetapi sejauh ini belum
terungkap.
Karya-karya Dja
Endar Moeda tampaknya lebih orisinil jika dibandingkan dengan Thjit Liap Seng
(Bintang Toedjoeh) karya Lie Kim Hok yang berkisah di negeri Tjina. Sementara,
karya-karya Dja Endar Moeda lebih pada kisah local yang kemungkinan kisah di
seputar Kota Padang. Dengan demikian, dari sudut orisinalitas sumber cerita,
novel karya-karya Dja Endar Moeda boleh dikata adalah novel Indonesia tertua di
Indonesia.
Sastra Daerah di
Indonesia
Pada
tahun 1872 terbit di Batavia sebuah buku sastra daerah berjudul
Siboeloer-boeloes, Siroemboek-roembok. Buku sastra ini berisi sejumlah puisi
dan prosa. Seluruh isi buku ini merupakan hasil karya Willem Iskander.[1] Buku ini
diterbitkan oleh ‘s Landsdrukkerij (percetakan pemerintah) yang kelak menjadi
cikal bakal Balai Poestaka. Jumlah eksemplar yang diterbitkan sebanyak 3.000
lebih. Buku ini dicetak ulang di Batavia pada tahun 1903, 1906, dan 1915.
Kemudian sesudah merdeka diterbitkan kembali oleh beberapa penerbit, antara
lain oleh Penerbit dan Percetakan Saksama di Jakarta tahun 1954 atas anjuran
Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan
Kebudajaan (lihat Basyral Hamidy Harahap, 2008)
Buku sastra
karya Willem Iskander ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
dapat diakses di internet. Satu hal yang mungkin kita kaget pada masa kini, di
dalam satu bait puisi Willem Iskander menyuarakan suara rakyat yang tertindas.
Bait tersebut adalah sebagai berikut:
Ada orang asing
Bertempat
tinggal di daerah kami di Panyabungan
Mereka
seharusnya lekas pergi
Karena perutnya
sudah penuh dan buncit
Sati Nasoetion alias Willem Iskander, seorang
guru juga penyadur buku yang baik. Buku saduran yang pertama berjudul Hendrik
Nadenggan Roa: Boekoe Basaon ni Dakdanak. Buku ini dicetak di Kota Padang pada
tahun 1865 (beberapa tahun setelah munculnya surat kabar pertama di Kota
Padang). Buku Hendrik Nadenggan Roa berkisah tentang seorang anak bernama
Hendrik yang berbudi pekerti baik dan penuh tanggungjawab. Buku sadurannya
Willem Iskander yang lain adalah Barita Na Marragam diterbitkan di Batavia
tahun 1868. Kemudian buku berjudul Taringot di Ragam-ragam ni Parbinotoan dohot
Sinaloan ni Alak Eropa (buku bacaan tentang ilmu pengetahuan seperti kapal
laut, kereta api, percetakan, pembuatan buku, pembuatan surat kabar, perpustakaan,
pabrik pengolahan, pengolahan air minum, perbankan dan lain sebagainya). Selain
buku-buku tersebut, masih terdapat sejumlah buku karya Willem Iskander.
Buku Siboeloer-boeloes, Siroemboek-roembok dan buku
Barita Na Marragam karya Willem Iskander termasuk di dalam daftar buku yang
disusun PAM Boele van Hensbroel berjudul De Beoefening der Oosterische Talen in
Nederlanda en Zijne Overzeesche Bezittingen 1800-1874, Bibliographische
Overzicht. Buku ini mendaftar semua buku yang berkaitan dengan negara jajahan
Belanda yang terbit di Belanda dan di Hindia Belanda dari tahun 1800 hingga
1875. Pembagian bibliografi sub seksi Maleisch (Talen van den Indischen
Archipel.) yang dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: Algemeene werken.
Monographien, Woord en boeken, Grammatikale werken dan Teksten en vertalingen.
Buku-buku yang didaftar ini selain termasuk penuli-penulis hebat seperti Veth
juga termasuk buku-buku penulis anonym. Dari kategori Sumatra hanya terdapat
tiga nama: selain Willem Iskander adalah Si Saridin dan Dja Sian. Kedua orang
yang disebut terakhir adalah dua mantan murid Willem Iskander di Kweekschool
Tanobato yang menjadi guru sekolah. Buku Si Saridin berjudul: Sada Barita Ambaen
Parsipodaan. Batavia, Landsdrukkerij. 1872; buku Dja Sian berjudul: Boekoe Etongan
Mandailing Etongon ni Dakdanak Dimedja, Batavia, Landsdrukkerij. 1868. Ketiga
nama orang tersebut juga terdapat dalam catalog bibliografi yang disusun oleh
JA van der Chijs (mantan Inspektur Jenderal Pendidikan Hindia Belanda).
Bibliografi ini sangat komptehensif yang juga meliputi berbagai surat kabar dan
majalah. Buku bibliografi JA van der Chijs berjudul Proeve eener Ned. Indische
bibliographie (1659-1870) yang dikeluarkan Bataviasche Genootshap van Kunsten
en Wetenschappe diterbitkan di Batavia Percetakan Bruining & Wijt tahun
1975.
Punahnya Sastra Daerah
Sastra-sastra daerah di Indonesia tentu saja
sangat banyak, namun karena tidak terlaporkan dengan baik maka karya anak
bangsa tersebut akan hilang dengan sendirinya. Padahal sastra-sastra lama (yang
dikategorikan HB Jassin sebagai sastra Melayu Lama) tersebut banyak mengandung
ajaran yang baik bagi lintas generasi seperti karya Willem Iskander.
Periodisasi HB Jassin telah dengan sendirinya menghambat pelestarian warisan
sejarah Indonesia, dan hanya karya-karya yang masuk periode Balai Pestaka dan
seterusnya yang mendapat perhatian pelestarian. Bukan lagi soal Publish or
Perish, tetapi Publish and Perish.
Sastrawan-sastrawan daerah yang terbilang awal yang juga sangat
terkenal sebelum lahirnya pengarang-pengarang Balai Poestaka di daerah
masing-masing seperti Soetan Martoewa Radja, Soetan Hasoendoetan dan Soetan
Pangoerabaan Pane. Novel terkenal karya Soetan Martoewa Radja berjudul Doea
Sadjoli (terbit 1919). Novel terkenal karya Soetan Hasoendoeta dalam dua jilid berjudul
Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe. Novel ini awalnya diterbitkan sebagai
‘cerbung’ di surat kabar Poestaha yang terbit di Padang Sidempoan (yang
didirikan Soetan Casajangan tahun 1914). Soetan Hasoendoetan pernah menjadi
editor surat kabar Tapian Na Oeli di Sibolga (milik Dja Endar Moeda). Novel Soetan
Hasoendoetan ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Rodger dengan
judul Sitti Djaoerah: a novel of colonial Indonesia diterbitkan oleh University
of Wisconsin tahun 1997. Last but not least: Novel karya Soetan Pangoerabaan
Pane yang terkenal berjudul Tolbok Haleon, novel berjudul Lilian Lolosan dan novel Nasotardago.
Untuk sekadar diketahui Soetan Pangoerabaan Pane adalah ayah dari Armijn Pane
dan Sanusi Pane.
Nama-Nama Sastrawan Asal Minangkabau
Kita tidak tahu apakah karya-karya Dja Endar
Moeda di Padang telah mengilhami munculnya sastrawan-sastrawan hebat dari
Minangkabau dan karya-karya Willem Iskander dari Mandailing en Angkola. Namun
yang jelas, sastrawan dari dua daerah ini telah menghiasi daftar sastrawan
terkenal sesuai periodisasi HB Jassin. Nama-nama sastrawan tersebut adalah
sebagai berikut: (lihat tabel).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
____________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Willem Iskandar bernama asli Sati Nasution gelar Sutan Iskandar berasal dari Panyabuangan (Kab. Mandahiling Natal sekarang). Nama Willem merupakan nama babtisnya yang didapatnya pada tahun 1858 di Arnhem Belanda.