Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
______________________________
Sepakbola
bermula dari orang-orang Eropa. Itu yang ditemukan di berbagai kota seperti di
Medan (1891), Batavia (1894), Soerabaja (1889), Semarang dan Bandoeng (1903).
Ini berarti sepakbola kali pertama ditemukan di Medan. Meski demikian adanya,
namun kompetisi sepakbola kali pertama dilaksanakan di Batavia (1904). Lapangan yang
digunakan untuk sepakbola di Medan adalah Esplanade (aloon-aloon), di Batavia
adalah Koningsplein (kini lapangan Monas) dan di Bandoeng adalah Pieters Park
(kini taman Balai Kota). Sementara di Kota Padang adalah Plein van Rome (kini
Lapangan Imam Bonjol).
Plein van Rome, Alang Lawas Padang (1930) |
Sepakbola di
Padang
Sepakbola
sendiri di Kota Padang tentu saja sudah dikenal. Siapa yang memperkenalkan
sepakbola sudah barang tentu orang-orang Eropa sebagaimana di kota-kota lain.
Pada tahun 1908 di Padang dilaporkan terdapat sebanyak 17 klub sepakbola
(Soerabaijasch handelsblad, 04-01-1908). Jumlah ini bukan sedikit. Klub-klub
tersebut terdiri dari klub orang-orang Eropa/Belanda (sipil dan militer) dan
klub-klub orang Melayu,[1] Kling, Arab dan Cina. Klub-klub itu menggunakan
lapangan Plein van Rome (Gereja Katolik Roma) yang memiliki empat lapangan
sepakbola yang berdampingan yang kualitasnya terbilang baik. Lapangan sepakbola
ini berada di Alang Lawas.
Peta Kota Padang, 1915 |
Di
Kota Padang pertandingan sepakbola dilaporkan pada tahun 1912. Pertandingan
tersebut mempertemukan klub Thor melawan Quick. Pertandingan yang dilangsungkan
di Padang pada tanggal 3 Juni 1912 berakhir dengan kedudukan 2-2 (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-06-1912). Pertemuan kedua klub ini
tidak dijelaskan.
Pada tanggal 1
Desember 1913 di Padang dilangsungkan pertandingan final antara Thor dan Vios
untuk menandai seabad kemerdekaan Padang dimana panitia menyediakan medali bagi
pemenang. Thor memenangkan pertandingan dengan 4-1. Mr. Verkade memberikan
pidato dan memberikan medali kepada klub pemenang (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 01-12-1913).
Turnamen
Sepakbola dan Padang Voetbal Bond
Klub
sepakbola di Padang masih terbilang baru. Pada bulan Februari 1921 di Padang
diadakan turnamen sepakbola yang diikuti oleh empat kesebelasan, yakni: Sparta
Padang, Ajax Padang, Sinar Sumatra dan Dunlop Rubber & Co, Dalam turnamen
ini, juara adalah Sparta dengan medali emas dan medali perak diraih oleh Ajax
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-02-1921). Setahun
berikutnya di Padang dilaporkan pertandingan antara Sparta vs Yong Fellows yang
dimenangkan oleh Sparta dalam tajuk wisslebker yang diselenggarakan Sumatra
Bode (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1922).[3]
Sudut jalan Plein van Rome, Alang Lawas Padang (1930). |
Pada
tahun 1922 di Padang dibentuk perserikatan sepakbola yang diberi nama Padang
Voetbal Bond. Para anggota bond ini terdiri dari klub orang-orang Eropa/Belanda
dan pribumi. Setelah menilai klub pribumi hanya klub De Broeder’s yang layak.
Klub-klub pribumi lainnya tidak diadopsi sebagai anggota karena permainannya
kasar (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-07-1922).[4]
Selain di
Padang, sepakbola juga dipertandingkan di Padang Pandjang dan Fort de Kock. Di
Padang Pandjang sepakbola dilangsungkan di lapangan pacuan kuda Padang Panjang (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1922).
Tokoh penting di dalam pengembangan sepakbola di Padang dan sekitarnya adalah Dr. Abdoel Hakim. Dalam suatu pertandingan terjadi tawuran antara pemain tim polisi militer (yang sebagian besar orang Ambon) melawan tim pribumi, lima polisi militer menyerang seorang pemain lawan. Dr. Abdoel Hakim yang hadir dalam pertandingan itu terpaksa harus turun tangan sebelum datang polisi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-06-1927). Dr. Abdoel Hakim saat itu menjabat sebagai Presiden SVM (Sport Vereniging Menangkabau).
Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902 |
.
Pada tahun 1928 De Sumatra post, 08-12-1928 MSV (dari Medan) akan melawat ke Sibolga.
Selama libur Natal MSV di Sibolga untuk bermain dua pertandingan, hari pertama
dengan kombinasi Tapanoelie dan hari berikutnya melawan IPE (Inlandsch Padang Elftal) dari Padang. Tim yang terakhir
ini adalah tim dibawah promotor Dr. Hakim, yang saat ini merupakan tim terkuat
dari Padang, dimana menurut laporan tim ini akan diperkuat dengan beste.spelers
dari seluruh West Sumatra. Turnamen ini diselenggarakan oleh Sibolga
Voetbal Bond, yang kabarnya, Mr. Statius Muller, Coutroleur Kota Sibolga bertindak
sebagai ketua.
Dalam perkembangannya, sepakbola di Padang sudah terlihat sangat bergairah. Paling tidak tim-tim dari Sumatra Timur mulai melirik Padang dan West Jawa dan akan melawat untuk suatu pertandingan dan turnamen antar kota (interstedelijke wedstrijden). Tim yang berpartisipasi adalah tim dari Sawah Loento, Padang Pandjang, Sibolga, Medan dan Padang. Hasil sementara penyelenggaraan turnamen ini dilaporkan De Sumatra post, 03-09-1931sebagai berikut: IPE (Padang) vs REMZ (Sawah Loento) dengan skor 3-2; REMZ (Sawah Loento) vs UMS (Sibolga) dengan skor 3-2, IPE vs UMS (4-l). Sementara itu terjadi pertandingan antara pemaian gabungan Kota Padang vs pemain gabungan Kota Medan yang dipertandingan kemarin dengan hasil imbang (0-0). Sore ini Medan bermain melawan Goenoeng Sejati, sebelas kombinasi Padang Panjang. Pertandingan Medan berikutnya melawan lPE (Padang) yang awalnya 5 September digeser menjadi tanggal 6 September. Official Medan menganggap klub IPE (Inlandsch Padang Elftal) adalah klub kuat yang sulit dikalahkan tim lain selama ini. Susunan Tim Medan (lihat De Sumatra post, 03-09-1931).
Susunan Tim Medan (De Sumatra post, 03-09-1931) |
Dalam perkembangannya beberapa klub keluar dari SVM dan membentuk sarikat baru yang disebut PSV (Padangsch Sport Vereeniging). Tindakan itu dilakukan karena klub-klub pribumi kerap dirugikan baik dalam pertandingan maupun di luar pertandingan. Sarikat baru ini, PSV hanya terdiri dari klub-klub orang pribumi. Sementara orang-orang Eropa dan Tionghoa tetap di dalam SVM.
Kompetisi Sepakbola
Kompetisi
sepakbola dalam bentuk liga di Kota Padang sesungguhnya belum pernah terbentuk.
Namun kompetisi yang ada masih setingkat turnamen. Kompetisi liga biasanya
ditandai dengan penyelenggaraan yang regular dan dibuat berjenjang (divisi).
Umumnya divisi dua level seperti di Batavia dan Bandoeng. Di Medan pada tahun
1909 pernah terjadi sampai tiga level. Satu klub (vereeniging) dapat membentuk
dua atau tiga level.
Satu turnamen
pernah dilakukan di Padang pada tahun 1932 dengan memperebutkan piala yang
disebut Goenoeng Padang Beker (Bataviaasch nieuwsblad, 30-03-1932). Hasil
turnamen ini adalah sebagai berikut: Padang Sport vs Goenoeng Sejati (1-00,
Padang Sport vs REMZ (0-2); REMZ vs Goenoeng Sejati (1-2). Sementara di
turnamen setengah kompetisi untuk memperebutkan De Roode Kruisbeker (Palang
Merah Cup) di Pajacombo. Turnamen ini dimenangkan oleh TMC dari Fort de Kock.
NIVU dan Voetbal Bond Minangkabau
NIVU
adalah federasi sepakbola di Hindia Belanda yang sudah diakui oleh FIFA. Dalam
rangka menyongsong Piala Dunia di Perancis tahun 1938, NIVU berusaha
mengoptimalkan potensi sepakbola di Hindia Belanda dengan memperluas
keanggotaannya terutama di luar Jawa. Salah satu potensi sepakbola tersebut di
Padang dan sekitarnya (West Sumatra). NIVU lalu mengirim konsul ke Padang, JB. Robinson (De Sumatra post, 15-05-1935).
De Sumatra post, 15-05-1935 |
Dalam pembicaraan yang dilakukan JB. Robinson dengan
berbagai stakeholder sepakbola di Padang terjadi sejumlah kesepakatan dan
terbilang sukses. Salah satu poin penting adalah membentuk sarikat baru yang
diberi nama Voetbal Bond Minangkabau" (VBM). Dewan (pengurus) yang terbentuk
adalah sebagai berikut: Presiden, Dr. A. Hakim, Wakil Letnan HA van Renese, Sekretaris (…),
Bendahara, Sharif Gani. Tujuan liga adalah untuk meningkatkan sepakbola di
Pantai Barat, pada umumnya, dan di Padang khususnya agar posisinya lebih
kompetitif. Yayasan ini sekarang telah dibentuk dan tidak diragukan lagi
berkomitmen untuk melaksanakannnya. Para pemain sendiri sekarang telah
dilakukan finishing proses pendataan.
Pada
tahun 1936 NIVU kembali menunjuk konsul di Padang untuk mempersiapkan pendirian bond di
Padang dan sekitarnya (Padang en omstreken). Konsul yang ditunjuk adalah Mr.
Th. van der Lee, mantan sekretaris SBB di Padang (De Sumatra post, 17-02-1936).
Dari perkembangan terakhir, menurut konsul NIVU di Padang terdapat 12 sarikat
(vereeniging) yang sudah siap bergabung (Bataviaasch nieuwsblad, 06-10-1936).
Klub dari Jawa
Bertandang ke Padang
Usai
kompetisi dan sebelum kompetisi berikutnya dilakukan, biasanya sejumlah klub
melakukan pertandingan persahabatan di kota-kota lain. Salah satu klub kuat di
Bandoengsch Voetbal Bond, UNI melakukan lawatan ke Padang (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 08-10-1937). Ini bermula dari undangan dari Padang
Voetbal Bond. Pada tanggal 13 Oktober tim Bandoeng berangkat dengan kapal ke
Padang dibawah pimpinan Mr. PA. Kessler, ketua UNI dengan memawa pemain
full-team dengan lima pemain cadangan. Tim UNI selain akan bertanding di Padang
juga di Fort de Kock. Tanggal 23 UNI akan kembali pulang. Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 16-10-1937 melaporkan UNI mengalahkan SIOD
(Padang) dengan sekor 6-1.
NIVU telah
berhasil membentuk ‘tim nasional’ yang akan berpartisipasi ke Pialai Dunia di
Perancis tahun 1938. Pada saat itu ada dua federasi NIVU dan PSSI. Ketua NIVU
coba mengajak PSSI bergabung tetapi tidak direspon. Akhirnya ‘tim nasional’
hanya diwakili oleh NIVU ke Perancis. Seleksi dilakukan dengan melakukan
pertandingan antar kota di Jawa. Tim nasional yang terbentuk di bawah pelatih
Mastenbrok yang komposisinya orang Eropa/Belanda dan pribumi melakukan uji coba
terakhir di Medan (sebelum menlanjutkan perjalanan ke Rhein di Perancis. Dalam
pertandingan uji kekuatan tim nasional ini Tim Nasional NIVU dikalahkan tim
gabungan dari Medan dengan skor 4-1. Tim nasioanl NIVU hanya berdasarkan pemain
yang ada di Jawa (tidak ada yang dari Sumatra). Alasannya dalam pembentukan tim
nasional karena jarak yang jauh, pemain sulit dipantau.
Dalam
perkembangan lebih lanjut di Padang diselenggarakan SWK-stedentournooi
(Bataviaasch nieuwsblad, 26-03-1940). Dalam turnamen ini diikuti tiga
kesebelasan dengan hasil sebagai berikut: Padang vs Sawahloento (4-2),
Sawahloento vs Pajacoembo (1-3), Pajacoembo vs Padang (3-6).
Minangkabauschen
Voetbalbond
Pada
tahun 1941 terjadi perkembangan baru dan melakukan langkah maju dengan
bergabungnya seluruh bond yang ada di West Sumatra yang telah melakukan
pertandingan kejuaraan yang disebut Kampioenswedstrijden van den
Minangkabauschen Voetbalbond yang dilaksanakan tanggal 11, 13 dan 14 April di
Padang (Soerabaijasch handelsblad, 21-04-1941).
Hasil akhir dari
kejuaraan antar perserikatan di West Sumatra itu adalah sebagai berikut: Fort
de Kock vs Pajacombo (0-1), Sawahloento vs Fort de Kock (4-0) dan Pajacombo vs
Sawahloento (1-1). Dengan demikian yang menjadi juara adalah Sawahloento.
Menariknya,
Minangkabauschen Voetbalbond ini benar-benat gabungan seluruh potensi sepakbola
di West Sumatra tanpa ada sekat antara orang-orang Eropa/Belanda (NIVU) dengan
orang-orang pribumi (PSSI) sebagaimana di Jawa. Dengan kata lain tidak ada
perbedaan ras dalam sepakbola sebagaimana esensi sepakbola itu sendiri di
Eropa. Ini berarti ketika NIVU dan PSSI di Jawa
semakin menganga, sebaliknya di West Sumatra, PSSI dan NIVU justru diakomodir
keduanya dalam dalam nama Minangkabauschen Voetbalbond. Ini juga menandai
sepakbola di Padang kembali lagi ke khittah (era SVM sebelum 1930) bahwa
sepakbola itu bersifat universal tanpa membedakan ras dan etnik.
Soerabaijasch handelsblad, 21-04-1941 |
Para
pengurus Minangkabauschen Voetbalbond juga terlihat mencerminkan beragam asal
usul: Eropa/Belanda, Batak, Maluku, Tionghoa, Melayu, Jawa dan tentu saja
Minangkabau. Saat ini pengurus terdiri dari Dr. Brouwer, Siregar, Fredricks,
Oost, Soeleiman, Pattinama, Bahar, Suleiman, Datoek Madjo Indo, Dr. Rahim
Oesman, Zainoeddin dan Sjarif St. Bandaro.
Boleh jadi ide
penyatuan sepakbola ini di dalam satu wadah tunggal (pembauran) karena
sebelumnya sepakboal di Padang kerap terjadi perbedaan-perbedaan persepsi antar
pemain. Seperti pernah dilaporkan Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 28-02-1935 terjadi tawuran antar tentara dan polisi. Ini
bermula dari suatu pertandingan antara kesebelasan militer dan walikota
berhadapan dengan tim gabungan pribumi. Para pemain militernya terkesan bermain
kasar yang kemudian memicu keributan lalu datang polisi melerai. Akan tetapi
justru akhirnya yang berkelahi antara tentara dan polisi. Jika mundur ke
belakang, hal serupa ini juga pernah terjadi pada tahun 1931 antara kesebelasan
militer dari Agam dengan kesebelasan Tionghoa (De Indische courant, 15-06-1931).
Di dalam lapangan terjadi benturan keras antara pemain militer dengan kipper
Tionghoa yang kemudian muncul keributan. Melihat ini kemudian polisi datang
untuk mengamankan namun yang terjadi tentara malah berbalik melawan polisi.
Beberapa orang luka ringan dan kasus tersebut akan diselidiki.
Era Kemerdekaan
Sebagaimana
diketahui rezim kolonial Belanda berakhir tahun 1941 dengan terjadinya
pendudukan Jepang. Namun pendudukan Jepang ini tidak lama berlangsung dan
kemudian Indonesia merdeka. Akan tetapi kembali Belanda datang yang munculnya
perang kemerdekaan dan berakhir dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda
pada akhir tahun 1949.
Pada era
pendudukan Jepang dinamika sepakbola di Padang dan sekitarnya tidak
terinformasikan dengan cukup. Sumber-sumber pemberitaan yang ada juga sangat
terbatas. Informasi sepakbola di Padang dan sekitarnya selama perang
kemerdekaan juga tidak terinformasikan dengan baik.
Sepakbola
di Padang dan sekitarnya bergairah kembali setelah tahun 1950 di bawah payung
PSSI.
PSSI sendiri
terbentuk pada tahun 1930 di Solo sebagai suatu reaksi terhadap (yang dianggap
adanya dominasi) NIVU. PSSI selama era Belanda hanya terbatas melakukan
kompetisi di Jawa (boleh jadi karena alasan jarak dan biaya). Klub-klub
pribumi sendiri jauh sebelumnya sudah terdeteksi seperti di Medan dan Batavia.
Di Medan Tapanoeli VC awalnya berkompetisi dengan bond DVB (dominasi orang
Eropa/Belanda) namun pada tahun 1909 keluar karena mulai ada
perbedaan-perbedaan diantara ras (Eropa vs pribumi). Kompetisi sepakbola
pribumi sendiri kali pertama dilaporkan di Batavia tahun 1905 sebagaimana
dilaporkan Bataviaasch nieuwsblad edisi 20-04-1905: ‘Liga sepakbola Pribumi:
Kemarin di Waterloepleln dan Place Royale dilakukan pertandingan antara lain
sebagai berikut: Pedjambon vs Kampong Norbek, Petjenongen vs Gang Abu, Gang
Tiemboel vs Kwitang, Pada pertandingan berikutnya antara antara koridor
Solitude dan Kebon Manggis di Meester Cornelis serta Gang Tiemboel vs Pedjambon
di Place Royale serta Norbek vs Kwitang di Waterlooplein’. Ketua kompetisi
sepakbola pribumi ini adalah Dr. Abdoel Rivai.
Abdoel Hakim Nasoetion
Dr.
Abdoel Hakim adalah dokter terkenal di Padang, alumni ELS di Kota Padang
Sidempoean (1899) dan alumni docter djawa school di Batavia (1905). Abdoel
Hakim yang ‘gibol’ ini tidak hanya mampu menyatukan semua klub yang ada di
Padang di dalam satu wadah (SVM) tetapi juga berhasil memupuk prestasi
sepakbola (klub) pribumi. Setelah tidak menjabat lagi di kepengurusan
sepakbola, Dr. Abdoel Hakim yang menjadi anggota dewan kota (gemeeteraad) Kota
Padang pada tahun 1931 diangkat menjadi wakil walikota (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-12-1931). Boleh jadi Dr.
Abdoel Hakim Nasoetion adalah satu-satunya pribumi yang menjadi
(wakil) walikota di Era Belanda.
Satu lagi alumni
ELS di Kota Padang Sidempoean (1903) dan alumni docter djawa school/STOVIA di
Batavia (1912) bernama Radjamin Nasoetion. Setelah menjadi dokter malah
merangkap sebagai pejabat pabean (bea dan cukai) yang berpindah dari satu kota
pelabuhan ke keota pelabuhan yang lain, seperti Batavia, Medan, Djambi,
Pangkalan Boen, Semarag dan Soerabaja. Ketika berada di Medan, Radjamin
Nasoetion mendirikan sarikat sepakbola Deli Voetbal Bond tahun 1924. Di Soerabaja,
Radjamin Nasoetion yang kemudian merangkap anggota dewan kota membina sepakbola
pribumi dan mendirikan sarikat sepakbola Soerabaja. Pada era Jepang, Radjamin
Nasoetion diangkat menjadi wakil walikota Soerabaja dan pada era kemerdekaan RI
diangkat menjadi walikota (pertama) Kota Soerabaja.
Pada
masa pendudukan Jepang, Dr. Abdoel Hakim Nasoetion pension dari segala
aktivitas dan hanya bekerja secara pribadi dengan membuka klinik (dokter
praktek) di Padang. Dr. Abdoel Hakim Nasoetion yang sudah tidak muda lagi di
era agresi militer Belanda, ketika terjadi kekosongan walikota, pihak Belanda
memintanya untuk menjadi walikota. Dr. Abdoel Hakim Nasoetion (yang
pernah menjadi wakil walikota Kota Padang sekitar 1931) tampaknya tidak
keberatan meski teman-temannya (yang masih muda) pergi mengungsi untuk
melakukan perlawanan. Sebagaimana umumnya di kota-kota generasi tua lebih
memilih berdiam di kota. Saat situasi dan kondisi inilah Dr. Abdoel Hakim
Nasoetion diminta untuk menjadi walikota. Boleh jadi Dr. Abdoel Hakim Nasoetion
berpendapat, tidak ada salahnya menjadi walikota karena penduduk di Kota Padang
juga adalah warga pribumi yang juga memerlukan seorang pimpinan.
Kota Padang
berbeda situasinya dengan Kota Medan dan Kota Soerabaja. Di Kota Medan banyak warga
yang pro Belanda daripada republik sehingga pada akhirnya muncul negara boneka
Negara Sumatra Timur. Demikian juga di Kota Surabaya muncul Negara Jawa Timur.
Adik-adik kelasnya yang lebih muda di Medan dan di Surabaya yang menjadi
pimpinan mengungsi dan melakukan perlawanan seperti Dr. Radjamin Nasoetion mengungsi
ke luar kota (walikota Surabaja di pengungsian), Dr. Gindo Siregar mengungsi ke
luar kota (menjadi gubernur militer RI). Satu hal yang terjadi di Medan, dua
adik kelas Dr. Abdoel Hakim Nasoetion di Docter Djawa School/STOVIA, yakni Dr,
Mansoer dan Dr, Djabangoen Harahap yang terus berkiprah di bidang kesehatan.
Kedua dokter ini sama-sama sekelas di STOVIA. Ketika Belanda meminta Dr.
Mansoer menjadi Wali (presiden) Negara Sumatra Timur, Dr. Djabangoen Harahap
bereaksi dan bersedia menjadi Ketua Front Nasional (RI). Dua dokter berteman
baik ini sejak di STOVIA kini (di era agresi militer Belanda) berseberangan
karena perbedaan haluan politik. Di Soerabaja Ketua Front Nasional adalah Doel
Arnowo. Namun anehnya, ketika terjadi pengakuan kedaulatan RI (oleh Belanda)
setelah KMB di Den Haag, Doel Arnowo ‘merampas’ jabatan walikota dari tangan
Dr. Radjamin Nasoetion. Sementara di Medan, Dr. Djabangoen kembali berkiprah
sebagai dokter biasa. Uniknya ketika terjadi terjadi proses rekonsiliasi
(Negara Sumatra Timur kembali ke NKRI) Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Mansoer
sama-sama tidak hadir (menghilang) dan ‘diwakili’ oleh tokoh Medan yang lain.
Dari Republik diwakili oleh Mr. GB Josua Batubara (wakil Ketua Front Nasional
Medan) dan dari Negara Sumatra Timur diwakili oleh Dr. Mohamad Ildrem Siregar
(alumni kedokteran di Belanda). Setelah NKRI terajut kembali, tokoh-tokoh Medan
ini tidak tergoda menjadi pejabat: Dr. Djabangoen Harahap kembali buka praktek
dokter, Mr. GB Josua Batubara, Ketua Sahata Voetbalclub Medan kembali menjadi
guru (pemilik Joshua Instituut), Dr. Mansoer dan Dr. M. Ildrem Siregar dalam
perkembangannya diminta Gubernur Sumatra Utara, Abdoel Hakim Harahap untuk
bersama-sama membidani lahirnya USU (lalu keduanya menjadi dosen kedokteran di
awal pendirian USU). Sedangkan, senior mereka Dr. Abdoel Hakim Nasoetion
kembali menjadi warga biasa Kota Padang membuka praktek dokter kembali. Catatan
tambahan: Dr, Mansoer adalah ketua pertama Sumatranen Bond di Batavia sejak
November 1917 (wakilnya Abdoel Moenir Nasoetion), sementara ketua pertama
Sumatranen Bond di Padang (1920) adalah Dr, Abdoel Hakim Nasoetion. Sedangkan
ketua pertama Sumantranen Bond di Belanda bulan Januari 1917 (pionir) adalah
Mr. Sorip Tagor Harahap (sekretaris Dahlan Abdoellah, bendahara Todoeng Harahap
gelar Soetan Goenoeng Moelia, salah satu anggota yang kelak sangat terkenal,
Tan Malaka). Itulah roman sejarah
Indonesia: ada yang pro dan ada yang kontra, ada yang tulus dan ada yang fulus.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
_____________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Pada tulisan ini orang Minangkabau dikelompokkan ke dalam Suku Melayu, dan memang demikian seharusnya karena Minangkabau itu Melayu. Pada masa dahulu, orang Minangkabau menyebut diri mereka dengan sebutan 'Orang Melayu' berbeda dengan orang Minangkabau masa kini yang merasa terpisah dari Melayu karena Anggapan Umum di Indonesia, Melayu itu ialah Riau. Untuk melihat perubahan pola tersebut baiknya baja tulisan Bagian.14
[2] Apabila dibandingkan dengan masa sekarang maka terjadi kemunduran dalam Dunia Sepakbola Minangkabau. Saat ini hanya ada satu klup sepak bola yang dimiliki salah satu BUMN di Kota Padang.
[3] Yong Fellows ialah Klub Sepakbola dimana Bung Hatta pernah bergabung semasa bersekolah di Padang.
[4] Dalam kenangan orang tua-tua masa dahulu, bermain sepakbola harus memiliki fisik yang kuat dan tahan banting. Karena tidak jarang ada yang patah kaki dalam permainan. Hal ini karena orang dahulu sangat kasar dalam bermain bola.