Sejarah Kota Padang (12): Sejarah Pecinan di Padang; Cina di Pedalaman Kali Pertama Dilaporkan di Angkola (1701)

 Catatan oleh Agam van Minangkabau;
Penggambaran yang sangat baik dalam tulisan ini, terutama dengan menggunakan sumber-sumber kolonial yang cukup banyak disertai bukti dimana sumber itu berasal. Namun perlu diperhatikan terdapat beberapa kesalahan dalam tanggal suatu peristiwa serta hipotesis yang terlalu bebas oleh penulis. Sekali lagi kami sarankan agar sumber pribumi Minangkabau dijadikan sebagai bahan pembanding. Karena nuansa Belandasentris sangat terasa semenjak bagian pertama dari rangkaian tulisan ini.
___________________
 __________________

Hampir setiap kota ada pecinan (China Town),[1] termasuk di Kota Padang dan Kota Padang Sidempuan. Eksistensi orang-orang Cina di Kota Padang yang menjadi cikal bakal pecinan sudah ada sejak dari doeloe. Sebagaimana di kota-kota lain, orang-orang Cina di Padang awalnya berdatangan karena tujuan berdagang. Orang-orang Cina di Kota Padang bahkan lebih dahulu hadir jika dibandingkan di Kota Medan. Mereka awalnya melakukan aktivitas berdagang keliling lalu kemudian terbentuk homebase dan lalu menetap yang kemudian terbentuk perkampungan orang-orang Cina. Perkampungan orang-orang Cina ini kini disebut pecinan.
Winkelstraat di Padang 1890 (Jalan Niaga)
Pecinan di Kota Padang terdapat di Pondok. Jauh sebelumnya sudah ada pecinan di tempat lain. Di Batavia terdapat di Bidara Tjina (sekitar Meester Cornelis) dan Tangerang. Dua pecinan pertama ini terbentuk karena eksodus dari Batavia pasca peristiwa pembantaian orang Cina oleh Belanda di sekitar Benteng Batavia (casteel Batavia) tahun 1740. Setelah Bidara Tjina, Tangerang dan Pondok Tjina muncul pecinan baru di Buitenzorg (Soekasari) dan kemudian muncul di Tjiandjoer dan terakhir di Bandoeng. Perkampungan Tjina di Buitenzorg menjadi lebih besar karena para koeli Tjina yang didatangkan dari Cina Daratan oleh para planter VOC sebagian tidak kembali dan bergabung dengan orang-orang Cina yang sudah ada. Tipikal pecinan Buitenzorg ini kurang lebih sama yang kemudian terjadi di Medan (Kesawan). Pecinan tipikal pasar.
Kedatangan Orang Cina di Padang
Pada tahun 1819 di Kota Padang sudah terdapat orang-orang Cina. Jumlahnya sebanyak 200 orang. Mereka menjadi bagian dari warga kota: Eropa/Belanda, Nias, Melayu, Bengalen dan lainnya. Jumlah orang-orang Cina terus bertambah dan sudah memiliki pemimpin pada tahun 1864 yang diangkat pemerintah sebagai Kapitein dan Letnan Chinezen [Kapten & Letnan Cina]. Pada tahun 1869 populasi orang-orang Cina di Kota Padang sekitar 300 orang. Orang-orang Nias juga telah meningkat pesat dari 1.500 orang pada tahun 1819 menjadi 2.500 jiwa pada tahun 1869. Pada tahun 1889 di Pulau Tello yang didominasi orang-orang Nias bahkan terdapat sebanyak 410 Chineezen.

Komunitas-komunitas orang Cina diduga awalnya berdiam di perkampungan-perkampungan di pinggir pantai baik di Pulau Sumatra maupun pulau-pulau kecil lainnya, seperti di Baros (Tapanoeli), di Laboehan (Deli), di Moeara (Padang) dan Bengcoelen. Mereka ini tersebar dan terhubung oleh pedagang besar dari kapal-kapal dagang orang-orang Cina yang memiliki homebase di Penang, di Malaka, Singapoera, Pulau Onrust (teluk Jakarta) dan Batavia (Jakarta).
Menurut laporan Netscher (Resident Riaou) yang melakukan ekspedisi di Deli tahun 1863, di Laboehan ditemukan Maleijers, Atjeh, Batak. Selain itu terdapat sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran.   
Klenteng Cina di Padang, 1880
Kapan orang-orang Cina di Kota Padang muncul tidak diketahui persis. Orang-orang Cina yang memasuki pedalaman Sumatra tidak pernah terlaporkan.[2] Meski demikian, orang-orang Cina di kota-kota pantai sudah ada yang yang memiliki skala dagang besar. Di Kota Padang pada tahun 1862 dilaporkan keberadaan pedagang besar Cina, namanya Li Thong (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 14-06-1862). Bahkan pedagang-pedagang besar Cina di Padang ini sudah mendapat kontrak-kontrak dari pemerintah untuk distribusi ke pedalaman sebelum terjadinya Perang Bonjol (Padri) tahun 1837.[3] Namun untuk urusan ke pedalaman tetap di tangan orang-orang setempat baik di Padangsche Boevenlanden maupun Mandailing dan Angkola.
Sumber pertama keberadaan orang Cina di pedalaman Pantai Barat Sumatra dicatat oleh Dagh Register di Batavia. Orang Cina yang melaporkan itu telah berdagang selama 10 tahun di Angkola sejak 1690. Selama dia berada di Angkola, juga mondar-mandir antara Angkola dengan Malaka/Singapoera. Pada tahun 1701 ia dan keluarganya hijrah ke Batavia (menikah dengan putri Angkola dan dikaruniai seorang putri berumur empat tahun). Untuk menuju Batavia, mereka berangkat dari Angkola ke Baros selama 11 hari perjalanan. Di Baros mereka menumpang kapal orang Cina dan singgah di Padang lalu melanjutkan pelayaran ke Batavia. Orang Cina dan keluarganya yang baru tiba dua hari di Batavia melaporkan pada tanggal 27 Maret 1701 di Casteel Batavia yang dicatat di dalam Dagh Register.
Untuk meningkatkan kinerja ekonomi penduduk, pemerintah mendorong pengusaha-pengusaha Cina untuk melakukan aktivitas perdagangan ke pedalaman. Penyebaran orang-orang Cina ini dari kota-kota pantai, seperti Padang, Painan, Pariaman, Sibolga dan Singkel ke pedalaman seperti Fort de Kock, Solok dan Padang Sidempuan diduga kuat sejak tahun 1860an ketika terjadi booming kopi.[4]
Pecinan di Kota Padang
Chinese Kamp te Padang 1890
Dengan semakin meningkatnya jumlah orang Cina di Kota Padang, pemerintah mulai menata pemukiman berdasarkan kluster. Penataan ini didasarkan atas dikeluarkannya Besluit van den Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktobcr 1884 tentang Penetapan Wilayah untuk Orang Cina di Kota Padang.
Ke utara: sepanjang jalan Cantioe hingga Poeloekaram dan batas-batas utara persi no. 1531, 1530 dan 166, ke timur dan perbatasan utara-timur kiri persil no. 1561, batas antara Poeloe Ayer dan Kampong Palinggam; selatan, sungai besar Batang Arau; ke barat Kali Ketjil, pipa waterleiding garis yang ke arah barat sejauh seratus meter dari sisi barat dari jalan P'oeloe Karam dan melalui Pondok ke tempat itu garis jalan melalui Kampong Sablah dan lebih lanjut.
Oleh karena populasi Cina terus meningkat dan demikian dengan orang asing lainnya, peraturan tahun 1884 tersebut kemudian diperbarui berdasarkan Beslit No. 34 tangga 3 Februari 1891 yang mengatur batas-batas baru.
Peta Kota Padang (1867)
Dalam beslit ini perkampungan orang-orang Cina di Wijk-2 adalah sebagai berikut: Ke utara: jalan Kamping Djawa Dalam; Ke timur: jalan Kampong Jawa, mulai dari persimpangan jalan melalui Kampong Jawa Dalam dengan jalan memotong di sekitar Blakang Tangsi; Ke selatan, dari persimpangan jalan dari Kampong Djawa di sekitar Blakang Tangsi hingga ke sebelah jembatan di atas pipa waterleiding Blakang Tangsi; Ke barat: Sepanjang pipa waterleiding belakang kuburan orang Eropa dari jembatan hingga Blakang Tangsi ke persimpangan dengan jalan dari Kampong Jawa Dalam.
Untuk lingkungan orang-orang Arab, Kling [Keling/ Kaliang], Hindu dan India lainnya baru diatur kembali berdasarkan beslit tanggal 20 Maret 1902, yaitu: Batang Arau Rivier mulai dari jembatan dekat Java Bank hingga jembatan besar, jalan yang menuju Emmahaven; jalan ini ke arah barat sampai Gantingweg, Ranah, Alang-Lawas, Koeboeran-Dagang, Old-Kantineweg, Pasar Ambatjang, Goeroen-Ketjil ke jembatan batu di Gereja Katolik Roma dan dari sana sepanjang Kolangleiding hingga jembatan belakang Java Bank. Sisa daerah ini, ditutup sebagaimana dalam keputusan terdahulu No, 758 tanggal 30 Oktober 1884 yang akan ditunjuk sebagai lingkungan bagi Chineezen untuk selanjutnya. Selain itu, bagian dari lingkungan Poeroes, ke utara dari jalan utama ke Oedjoeng Karang persil 628 dan persil 297 hingga ke tepi laut; ke timur: jalan besar Oedjoeng-Kaiang; ke selatan: jalan besar persil 1495 dan 1565; ke barat adalah laut.
Pecinan Lainnya di Sumatra’s Westkust
Pecinan tidak hanya di Kota Padang. Pengaturan lingkungan orang-orang Cina diatur hingga kota-kota kecil seperti Painan, Batang Kapas, Air Bangies, Poelau Tello, Pariaman, Fort de Kock, Padang Pandjang, Fort van der (Japellen, Pajakumbu dan Solok. Selanjutnya pengaturan juga dilakukan di Sibolga, Batang Toru, Singkel, Goenoeng Sitoli, Natal, Padang Sidempuan dan Panjaboengan.
Besluit van den Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktobcr 1884 juga mengatur tentang wilayah pecinan seperti di Padang Sidempuan dan Fort de Kock. Pengaturan ini di Padang Sidempuan meliputi ke utara yakni sisi barat dan sisi timur sejauh 100 meter jalan besar dari Padang Sidempuan menuju Sibolga. Ke timur sepanjang sisi jalan sebelah utara sejauh 200 meter hingga ke benteng. Ke selatan sebelah sisi Aek Sibontar hingga jembatan Aek Rukare. Sementara di Fort de Kock adalah sebagi berikut: ten Noorden en ten Westen de weg loopende van af den weg van Pajakombo tot aan den tembok; ten Oosten de pasar en de weg, die vandaar loopt tot aan den weg naar Pajakombo; ten Zuiden de lijn getrokken van de tembok tot aan het telegraafkantoor en vandaar tot op de pasar.
Pengaturan pecinan ini tidak terlalu jelas, kecuali pengaturan lingkungan untuk orang-orang Eropa/Belanda. Lingkungan komunitas sesungguhnya terbentuk secara alamiah baik bagi penduduk pribumi maupun penduduk Cina, Arab, Kling dan lainnya.Yang jelas lingkungan orang-orang Eropa/Belanda yang terus berkembang justru penggusuran yang terjadi. Penetapan zona untuk Cina malahan lebih bermotif pembatasan orang-orang Cina yang di satu sisi agar lebih mudah diawasi dan di sisi lain tidak berbaur dengan penduduk pribumi yang jumlahnya jauh lebih besar. Boleh jadi pengawasan ini dilakukan karena khawatir terjadinya kerusuhan seperti yang pernah terjadi di Batavia dan Crawang di era sebelumnya.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

__________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)

[1]  Dalam berbagai literatur sejarah baik Barat maupun Pribumi sama-sama menggunakan akar kata yang sama. Inggris; Chinese, Belanda; Chinezen, Miniangkabau; Cino. Kawasan tempat tinggal mereka dinamakan dengan; Inggris: China Town, Belanda; Chinezen Kamp, Minangkabau; Kampuang Cino. Namun dalam perkembangan perpolitikan semenjak Indonesia merdeka (di bawah Pengaruh Soekarno) ditukar dengan nama Tionghoa, dimasa Orde Baru dikembalikan menjadi Cina, dan beberapa tahun setelah Reformasi digunakan kembali Tionghoa (dengan paksaan halus). Hingga kini kata Cina seperti 'barang haram'. Dikalangan media (terutama media pemerintah dan arus utama) tidak lagi menggunakan kata Cina.

[2]  Kehadiran Orang Cina di Nusantara dapat kita bagi kepada 2 (dua) periode; Periode Pertama sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Mereka datang dengan sukarela dengan tujuan berdagang atau melakukan perjalanan suci ke India guna menuntut agama Budha. Dimasa agama Islam mulai berkembang, Cinapun mendapat pengaruh dari keislaman dan banyak diantara mereka yang memeluk Islam. Dan Indonesia menjadi salah satu tujuan dari mubalig-mubalig dari Cina selain sebelumnya sudah datang berdakwah saudara seiman mereka dari Tanah Arab, Persia, & India.

Periode Kedua, setelah kedatangan bangsa Eropa. Orang Cina didatangkan sebagai tenaga kerja murah ke nusantara (Indonesia & Malaysia). Sebagian dari mereka ada yang memperpanjang kontrak sebagai kuli, ada yang tidak melanjutkan dan kembali ke Daratan Cina, dan ada pula yang memutuskan untuk menetap dan beralih profesi sebagai pedagang. Ciri khas orang Cina masa ini ialah selalu 'menempel' pada Belanda, menjadi kaki tangan penjajah seperti pedagang perantara antara penduduk pribumi dangan Belanda atau menjadi tukang pungut cukai pasar seperti yang terjadi di Bukit Tinggi. Sehingga muncul semacam 'pameo' di kalangan pribumi "Dimana ada Belanda, di situ pasti ada Cina".
[3] Ada beberapa catatan kami terkait narasi yang satu ini;
[i] Penulis tidak konsisten dalam menyebut Perang Paderi atau Perang Bonjol. Hal tersebut sangat berbeda. Perang Paderi mengacu ke perang di seluruh Alam Minangkabau sedang Perang Bonjol mengacu kepada Nagari Bonjol yang terletak di Darek. Tuanku Imam Bonjol ialah gelar yang mengacu kepada seorang Imam bernama Muhammad Shahab gelar Peto Syarif yang menjadi Imam di Nagari Bonjol sehingga bergelar Tuanku Imam Bonjol.
[ii]  Tidak ada Cina di pedalaman Minangkabau sebelum berakhirnya Perang Paderi. Cina baru masuk ke pedalaman Minangkabau seiring dengan penetrasi kekuasaan kolonial di pedalaman setelah Paderi dikalahkan. 
[iii] Perang Paderi terjadi dalam rentang 1803 s/d 1838, apa maksud narasi 'sebelum terjadinya Perang Bonjol (Padri) tahun 1837'? 

[4] Penyerbuan orang Cina ke pedalaman Minangkabau merupakan strategi Belanda. Sama dengan pennggunaan Birokrasi Tradisional yang berada di bawah Birokrasi Kolonial, gunanya sebagai penyangga antara pemerintaha gubernumen (Kolonial) dengan rakyat jajahan untuk mengurangi gesekan yang berujung pada pemberontakan. Dan pemimpin feodal pribumi yang dipilih untuk berkuasa ialah orang-orang yang pro atau patuh atau memihak kepada kebijakan kolonial. Orang Cina digunakan sebagai penyangga di bidang ekonomi, sama dengan birokrasi tradisional guna melanggenggkan penjajahan ekonomi yang sedang dijalankan oleh Belanda. Oleh karena itulah Orang Cina selalu ada dimanapun Belanda berada, karena mereka ialah perpanjangan tangan Penjajah dalam mengeksploitasi ekonomi daerah jajahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar