Catatan oleh Agam van Minangkabau;
Penggambaran yang sangat baik dalam tulisan ini, terutama dengan menggunakan sumber-sumber kolonial yang cukup banyak disertai bukti dimana sumber itu berasal. Namun perlu diperhatikan terdapat beberapa kesalahan dalam tanggal suatu peristiwa serta hipotesis yang terlalu bebas oleh penulis. Sekali lagi kami sarankan agar sumber pribumi Minangkabau dijadikan sebagai bahan pembanding. Karena nuansa Belandasentris sangat terasa semenjak bagian pertama dari rangkaian tulisan ini.
___________________
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
__________________
Hampir
setiap kota ada pecinan (China Town),[1] termasuk di Kota Padang dan Kota Padang
Sidempuan. Eksistensi orang-orang Cina di Kota Padang yang menjadi cikal
bakal pecinan sudah ada sejak dari doeloe. Sebagaimana di kota-kota lain,
orang-orang Cina di Padang awalnya berdatangan karena tujuan berdagang. Orang-orang Cina di Kota Padang bahkan lebih dahulu hadir jika dibandingkan di Kota
Medan. Mereka awalnya melakukan aktivitas berdagang keliling lalu kemudian
terbentuk homebase dan lalu menetap yang kemudian terbentuk perkampungan
orang-orang Cina. Perkampungan orang-orang Cina ini kini disebut
pecinan.
Winkelstraat di Padang 1890 (Jalan Niaga) |
Kedatangan Orang Cina di Padang
Pada
tahun 1819 di Kota Padang sudah terdapat orang-orang Cina. Jumlahnya
sebanyak 200 orang. Mereka menjadi bagian dari warga kota: Eropa/Belanda, Nias,
Melayu, Bengalen dan lainnya. Jumlah orang-orang Cina terus bertambah dan
sudah memiliki pemimpin pada tahun 1864 yang diangkat pemerintah sebagai Kapitein
dan Letnan Chinezen [Kapten & Letnan Cina]. Pada tahun 1869 populasi orang-orang Cina di Kota
Padang sekitar 300 orang. Orang-orang Nias juga telah meningkat pesat dari 1.500
orang pada tahun 1819 menjadi 2.500 jiwa pada tahun 1869. Pada tahun 1889 di Pulau Tello yang didominasi
orang-orang Nias bahkan terdapat sebanyak 410 Chineezen.
Komunitas-komunitas
orang Cina diduga awalnya berdiam di perkampungan-perkampungan di pinggir
pantai baik di Pulau Sumatra maupun pulau-pulau kecil lainnya, seperti di Baros
(Tapanoeli), di Laboehan (Deli), di Moeara (Padang) dan Bengcoelen. Mereka ini
tersebar dan terhubung oleh pedagang besar dari kapal-kapal dagang orang-orang Cina yang memiliki homebase di Penang, di Malaka, Singapoera, Pulau Onrust
(teluk Jakarta) dan Batavia (Jakarta).
Menurut laporan
Netscher (Resident Riaou) yang melakukan ekspedisi di Deli tahun 1863, di
Laboehan ditemukan Maleijers, Atjeh, Batak. Selain itu terdapat sekitar dua
puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran.
Klenteng Cina di Padang, 1880 |
Sumber pertama
keberadaan orang Cina di pedalaman Pantai Barat Sumatra dicatat oleh Dagh
Register di Batavia. Orang Cina yang melaporkan itu telah berdagang selama
10 tahun di Angkola sejak 1690. Selama dia berada di Angkola, juga
mondar-mandir antara Angkola dengan Malaka/Singapoera. Pada tahun 1701 ia dan
keluarganya hijrah ke Batavia (menikah dengan putri Angkola dan dikaruniai
seorang putri berumur empat tahun). Untuk menuju Batavia, mereka berangkat dari
Angkola ke Baros selama 11 hari perjalanan. Di Baros mereka menumpang kapal
orang Cina dan singgah di Padang lalu melanjutkan pelayaran ke Batavia. Orang Cina dan keluarganya yang baru tiba dua hari di Batavia melaporkan pada
tanggal 27 Maret 1701 di Casteel Batavia yang dicatat di dalam Dagh Register.
Untuk
meningkatkan kinerja ekonomi penduduk, pemerintah mendorong pengusaha-pengusaha Cina untuk melakukan aktivitas perdagangan ke pedalaman. Penyebaran
orang-orang Cina ini dari kota-kota pantai, seperti Padang, Painan,
Pariaman, Sibolga dan Singkel ke pedalaman seperti Fort de Kock, Solok dan
Padang Sidempuan diduga kuat sejak tahun 1860an ketika terjadi booming kopi.[4]
Pecinan di Kota
Padang
Chinese Kamp te Padang 1890 |
Ke utara: sepanjang
jalan Cantioe hingga Poeloekaram dan batas-batas utara persi no. 1531, 1530 dan
166, ke timur dan perbatasan utara-timur kiri persil no. 1561, batas antara
Poeloe Ayer dan Kampong Palinggam; selatan, sungai besar Batang Arau; ke barat
Kali Ketjil, pipa waterleiding garis yang ke arah barat sejauh seratus meter
dari sisi barat dari jalan P'oeloe Karam dan melalui Pondok ke tempat itu garis
jalan melalui Kampong Sablah dan lebih lanjut.
Oleh
karena populasi Cina terus meningkat dan demikian dengan orang asing
lainnya, peraturan tahun 1884 tersebut kemudian diperbarui berdasarkan Beslit No.
34 tangga 3 Februari 1891 yang mengatur batas-batas baru.
Peta Kota Padang (1867) |
Untuk
lingkungan orang-orang Arab, Kling [Keling/ Kaliang], Hindu dan India lainnya baru diatur kembali
berdasarkan beslit tanggal 20 Maret 1902, yaitu: Batang Arau Rivier mulai dari
jembatan dekat Java Bank hingga jembatan besar, jalan yang menuju Emmahaven; jalan
ini ke arah barat sampai Gantingweg, Ranah, Alang-Lawas, Koeboeran-Dagang,
Old-Kantineweg, Pasar Ambatjang, Goeroen-Ketjil ke jembatan batu di Gereja
Katolik Roma dan dari sana sepanjang Kolangleiding hingga jembatan belakang Java Bank.
Sisa daerah ini, ditutup sebagaimana dalam keputusan terdahulu No, 758 tanggal
30 Oktober 1884 yang akan ditunjuk sebagai lingkungan bagi Chineezen untuk selanjutnya.
Selain itu, bagian dari lingkungan Poeroes, ke utara dari jalan utama ke
Oedjoeng Karang persil 628 dan persil 297 hingga ke tepi laut; ke timur: jalan
besar Oedjoeng-Kaiang; ke selatan: jalan besar persil 1495 dan 1565; ke barat
adalah laut.
Pecinan Lainnya
di Sumatra’s Westkust
Pecinan
tidak hanya di Kota Padang. Pengaturan lingkungan orang-orang Cina diatur
hingga kota-kota kecil seperti Painan, Batang Kapas, Air Bangies, Poelau Tello,
Pariaman, Fort de Kock, Padang Pandjang, Fort van der (Japellen, Pajakumbu dan Solok.
Selanjutnya pengaturan juga dilakukan di Sibolga, Batang Toru, Singkel,
Goenoeng Sitoli, Natal, Padang Sidempuan dan Panjaboengan.
Besluit van den
Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktobcr 1884 juga mengatur
tentang wilayah pecinan seperti di Padang Sidempuan dan Fort de Kock.
Pengaturan ini di Padang Sidempuan meliputi ke utara yakni sisi barat dan sisi
timur sejauh 100 meter jalan besar dari Padang Sidempuan menuju Sibolga. Ke
timur sepanjang sisi jalan sebelah utara sejauh 200 meter hingga ke benteng. Ke
selatan sebelah sisi Aek Sibontar hingga jembatan Aek Rukare. Sementara di Fort
de Kock adalah sebagi berikut: ten Noorden en ten Westen de weg loopende van af
den weg van Pajakombo tot aan den tembok; ten Oosten de pasar en de weg, die
vandaar loopt tot aan den weg naar Pajakombo; ten Zuiden de lijn getrokken van
de tembok tot aan het telegraafkantoor en vandaar tot op de pasar.
Pengaturan
pecinan ini tidak terlalu jelas, kecuali pengaturan lingkungan untuk
orang-orang Eropa/Belanda. Lingkungan komunitas sesungguhnya terbentuk secara
alamiah baik bagi penduduk pribumi maupun penduduk Cina, Arab, Kling dan
lainnya.Yang jelas lingkungan orang-orang Eropa/Belanda yang terus berkembang
justru penggusuran yang terjadi. Penetapan zona untuk Cina malahan lebih
bermotif pembatasan orang-orang Cina yang di satu sisi agar lebih mudah
diawasi dan di sisi lain tidak berbaur dengan penduduk pribumi yang jumlahnya
jauh lebih besar. Boleh jadi pengawasan ini dilakukan karena khawatir
terjadinya kerusuhan seperti yang pernah terjadi di Batavia dan Crawang di era
sebelumnya.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
__________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Dalam berbagai literatur sejarah baik Barat maupun Pribumi sama-sama menggunakan akar kata yang sama. Inggris; Chinese, Belanda; Chinezen, Miniangkabau; Cino. Kawasan tempat tinggal mereka dinamakan dengan; Inggris: China Town, Belanda; Chinezen Kamp, Minangkabau; Kampuang Cino. Namun dalam perkembangan perpolitikan semenjak Indonesia merdeka (di bawah Pengaruh Soekarno) ditukar dengan nama Tionghoa, dimasa Orde Baru dikembalikan menjadi Cina, dan beberapa tahun setelah Reformasi digunakan kembali Tionghoa (dengan paksaan halus). Hingga kini kata Cina seperti 'barang haram'. Dikalangan media (terutama media pemerintah dan arus utama) tidak lagi menggunakan kata Cina.
[2] Kehadiran Orang Cina di Nusantara dapat kita bagi kepada 2 (dua) periode; Periode Pertama sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Mereka datang dengan sukarela dengan tujuan berdagang atau melakukan perjalanan suci ke India guna menuntut agama Budha. Dimasa agama Islam mulai berkembang, Cinapun mendapat pengaruh dari keislaman dan banyak diantara mereka yang memeluk Islam. Dan Indonesia menjadi salah satu tujuan dari mubalig-mubalig dari Cina selain sebelumnya sudah datang berdakwah saudara seiman mereka dari Tanah Arab, Persia, & India.
Periode Kedua, setelah kedatangan bangsa Eropa. Orang Cina didatangkan sebagai tenaga kerja murah ke nusantara (Indonesia & Malaysia). Sebagian dari mereka ada yang memperpanjang kontrak sebagai kuli, ada yang tidak melanjutkan dan kembali ke Daratan Cina, dan ada pula yang memutuskan untuk menetap dan beralih profesi sebagai pedagang. Ciri khas orang Cina masa ini ialah selalu 'menempel' pada Belanda, menjadi kaki tangan penjajah seperti pedagang perantara antara penduduk pribumi dangan Belanda atau menjadi tukang pungut cukai pasar seperti yang terjadi di Bukit Tinggi. Sehingga muncul semacam 'pameo' di kalangan pribumi "Dimana ada Belanda, di situ pasti ada Cina".
[3] Ada beberapa catatan kami terkait narasi yang satu ini;
[i] Penulis tidak konsisten dalam menyebut Perang Paderi atau Perang Bonjol. Hal tersebut sangat berbeda. Perang Paderi mengacu ke perang di seluruh Alam Minangkabau sedang Perang Bonjol mengacu kepada Nagari Bonjol yang terletak di Darek. Tuanku Imam Bonjol ialah gelar yang mengacu kepada seorang Imam bernama Muhammad Shahab gelar Peto Syarif yang menjadi Imam di Nagari Bonjol sehingga bergelar Tuanku Imam Bonjol.
[ii] Tidak ada Cina di pedalaman Minangkabau sebelum berakhirnya Perang Paderi. Cina baru masuk ke pedalaman Minangkabau seiring dengan penetrasi kekuasaan kolonial di pedalaman setelah Paderi dikalahkan.
[iii] Perang Paderi terjadi dalam rentang 1803 s/d 1838, apa maksud narasi 'sebelum terjadinya Perang Bonjol (Padri) tahun 1837'?
[4] Penyerbuan orang Cina ke pedalaman Minangkabau merupakan strategi Belanda. Sama dengan pennggunaan Birokrasi Tradisional yang berada di bawah Birokrasi Kolonial, gunanya sebagai penyangga antara pemerintaha gubernumen (Kolonial) dengan rakyat jajahan untuk mengurangi gesekan yang berujung pada pemberontakan. Dan pemimpin feodal pribumi yang dipilih untuk berkuasa ialah orang-orang yang pro atau patuh atau memihak kepada kebijakan kolonial. Orang Cina digunakan sebagai penyangga di bidang ekonomi, sama dengan birokrasi tradisional guna melanggenggkan penjajahan ekonomi yang sedang dijalankan oleh Belanda. Oleh karena itulah Orang Cina selalu ada dimanapun Belanda berada, karena mereka ialah perpanjangan tangan Penjajah dalam mengeksploitasi ekonomi daerah jajahan.