Sumber: https://id.wikipedia.org |
BUKITTINGGI,
2008. Pagi baru saja menyeruak, ketika Sutan Iskandar berdiri mematung
tepat di bawah Jam Gadang. Matanya seolah menyapu pemandangan
sekeliling. Angin bulan Desember berdesir lembut, mengarahkan hawa sejuk
pegunungan ke pori-pori tubuh. Dalam wajah sendu dan bibir agak
gemetar, mulut Iskandar nampak komat-kamit membaca sebait doa.
“Semoga ninik mamak kita yang sudah berpulang dan menjadi korban perang saudara di masa lalu diterima di haribaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amiiinnn…” ujarnya, nyaris tak terdengar.
Sutan
Iskandar masih berusia 12 tahun ketika kejadian itu berlangsung. Dengan
mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan tentara-tentara pusat (sebutan
orang-orang Minang saat itu kepada tentara pemerintahan Sukarno)
menggiring ratusan orang dalam kelompok-kelompok kecil ke sekitar
monumen Jam Gadang. Mereka mayoritas adalah laki-laki.
“Selanjutnya
saya tidak menyaksikan lagi mereka diapakan, tapi memang saya mendengar
tembakan berkali-kali dari arah Jam Gadang,” kenang lelaki kelahiran
Bukittinggi pada 1947 itu. Apa yang terjadi di ranah Minang saat itu?
Tersebutlah
PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang dicetuskan oleh
Letnan Kolonel Ahmad Husein (tokoh pejuang kemredekaan Sumatera Barat)
pada 10 Februari 1958 di Padang. Gerakan ini sejatinya menurut sejarawan
R.Z. Leirissa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis adalah koreksi politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap berat ke sebelah kiri.
Alih-alih
menerima dengan lapang dada, kritik dan tawaran untuk membubarkan
kabinet Djuanda, Presiden Sukarno malah memerintahkan tentara untuk
menyerang Sumatera Barat. Maka diadakanlah Operasi 17 Agustus 1958 yang
dipimpin oleh Kolonel Achmad Yani dengan mengirimkan pasukan ke
wilayah-wilayah Sumatera Barat. Sejak itulah ranah Minang dibekap perang
saudara yang memilukan.
Saya
sendiri baru menulis kembali kisah sedih itu hari ini. Ketika kali
pertama saya mendengarnya dari mulut Iskandar 11 tahun yang lalu, saya
hanya menyimpan data sejarah tersebut dan belum sempat mengkonfirmasinya
ke dokumen-dokumen atau buku-buku tentang gerakan PRRI. Hingga beberapa
hari lalu saya menemukan sebuah buku berjudul PRRI: Pemberontakan atau Bukan? hasil riset seorang guru jebolan fakultas sejarah Universitas Negeri Padang bernama Syamdani.
Dalam buku itu putra kelahiran Minang tersebut, menukil sebuah artikel yang pernah dimuat surat kabar Singgalang pada
20 Januari 2000 berjudul "Tragedi di Bawah Jam Gadang, Pasukan A. Yani
Bunuh 187 Orang". Di artikel itu disebutkan dari jumlah 187 orang yang
dibunuh hanya 17 orang yang teridentifikasi sebagai gerilyawan PRRI,
sedangkan 170 lainnya adalah rakyat sipil yang belum tentu terlibat
dalam gerakan itu. Rupanya apa yang diceritakan oleh Sutan Iskandar
kepada saya 11 tahun lalu bukanlah isapan jempol semata.
Selain
Insiden Jam Gadang, pembunuhan, penyiksaan dan teror pun banyak dialami
oleh rakyat Sumatera Barat kala itu. Betti Yusfa dalam sebuah makalah
yang dikeluarkan oleh IKIP Padang pada 1998, "Kekerasan dalam Zaman PRRI
di Tlatang Kamang 1958-1961", menuliskan kisah pilu keluarga seorang
ulama asal Kamang bernama Kari Mangkudung. Dari hasil wawancara Betti
dengan seorang tokoh masyarakat di Kamang, Z. Sutan Kabasaran,
dituturkan bagaimana keluarga Kari Mangkudung musnah dibantai tentara
pusat.
“Mereka
hanya menyisakan seorang bayi berusia tiga bulan yang kemudian dibawa
seorang tentara pusat dan sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana
rimbanya,” ungkap Sutan Kabasaran seperti dikutip oleh Betti dalam
makalahnya.
Betti
juga mengungkap insiden di Desa Bansa pada 1959. Dari saksi sejarah
bernama M. Datuk Manindieh dikisahkan tentang kisah sedih tiga pemuka
masyarakat Desa Bansa bernama Datuk Kabasaran, Datuk Beco dan Datuk
Alam. Tanpa sebab musabab, ketiga orang tua yang tak berdaya itu
diperintahkan jalan ke Desa Pauh (berjarak 4 km dari Bansa) sambil
diiringi oleh sekelompok tentara pusat.
Begitu
sampai di Desa Pauh, para tentara itu menyuruh ketiga orang tua
tersebut mendaki sebuah bukit. Sambil terseok-seok, ketiganya menuruti
apa yang diperintahkan oleh para prajurit tersebut. Alih-alih
dibebaskan, ternyata ketiganya hanya menjadi sasaran latihan tembak.
“Dari
jarak yang cukup jauh, tentara pusat menembaki mereka satu persatu
hingga mayat-mayat ketiganya bergulingan ke kaki bukit,” ungkap Datuk
Manindieh.
Teror
juga dilakukan oleh tentara pusat terhadap orang-orang Kuala Tangkar.
Kesaksian seorang penduduk bernama Sanur dalam surat kabar Singgalang,
2 Februari 2000, menyebutkan bahwa pernah karena orang-orang Kuala
Tangkar dianggap pro-PRRI, mereka menyerang desa itu dengan mengerahkan
empat tank baja.
“Tank-tank itu menghujani rumah-rumah penduduk dengan peluru-peluru secara membabi buta hingga musnah terbakar,” ungkap Sanur.
Pembantaian
massal juga pernah dilakukan tentara pusat pada November 1959 di
Kamang. Pada hari Senin saat diadakan hari pakan/pasar, sejak pukul 7
pagi, tak hentinya tentara pusat mengirimkan peluru-peluru mortir dari
Bukittingi. Tak cukup dengan menggunakan mortir, artileri berat dari
Angkatan Darat pun ikut berbunyi disusul dengan serangan udara dari
sebuah pesawat tempur. Akibatnya banyak rakyat bersimbah darah.
Teror
pun dilakukan dengan mengumpulkan anak-anak dan perempuan. Mereka
kemudian diinterogasi satu persatu dan disuruh mengaku bahwa suami-suami
mereka terlibat dalam gerakan PRRI. Kemudian aksi-aksi identifikasi
dilkukan oleh tentara pusat dengan memberi tanda silang besar pada
rumah-rumah yang dicurigai salah satu anggota keluarganya terlibat dalam
gerakan PRRI.
“Zaman
itu adalah zaman yang penuh kesedihan, tak ada orang Minang yang hidup
saat itu segera bisa melupakannya,” kata Sutan Iskandar, masih
terngiang begitu jelas di telinga saya.
_________________________________
Disalin dari: Historia.Id
Tanggal Dimuat: 2019