Sumber Gambar: https://www.nahimunkar.org |
Oleh : Muhammad Daviq Said
Sudah tiga bulan perang berlangsung. Perang antara tentara APRI yang datang dari ibu kota melawan tentara PRRI. Perang yang ganjil. Perang yang brutal dari pihak yang datang menyerang. Tentara PRRI banyak menghindar. Menghindar ke hutan, ke kampung-kampung yang jauh di pegunungan terpencil. Tentara APRI yang dijuluki rakyat dengan tentara Pusat atau tentara Soekarno adalah tentara yang bengis dan tega. Mereka menembaki orang-orang yang dicurigai sebagai tentara pemberontak.
Kalau terjadi pertempuran di dekat suatu kampung lalu ada tentara APRI yang jadi korban, maka beberapa rumah di kampung itu dibakar.Itulah sebabnya tentara PRRI menghindar.
Mereka tidak mau mencelakai dan merugikan rakyat di kampungnya sendiri. Ketika PRRI menghindar, tentara APRI dengan mudah menguasai kampung dan nagari, lalu membuat pos di kota-kota kecamatan. Syamsu batal ikut bergabung dengan tentara PRRI. Ada sebuah telegram dari kakaknya di Padang memberi tahu bahwa maknya yang sejak perang pecah tinggal di Padang, saat ini sedang sakit dan masuk rumah sakit.
Dia diminta segera datang. Padahal teman-temannya sudah pada pergi semua. Ikut memanggul senjata. Ada delapan orang anak-anak muda yang masih sekolah di SMA, di STM dan SMEA dari kampung itu yang ikut bergabung dengan kompi Udin Pitok. Syamsupun sudah ikut mendaftar. Tapi tepat sehari sebelum dia seharusnya melapor di markas tentara itu di Lasi Tuo, telegram dari kakaknya itu datang.
Tidak mudah untuk bepergian ke Padang, walaupun jarak antara Bukit Tinggi – Padang tidak lebih dari 91 kilometer. Oto bus NPM dapat menempuh jarak itu antara dua sampai tiga jam. Yang lebih sulit bagi Syamsu adalah untuk mendapatkan surat jalan. Tanpa surat jalan yang ditandatangani komandan tentara APRI, jangan dicoba-coba untuk bepergian antar kota.
Apalagi bagi seorang anak bujang mentah seusia Syamsu. Tanpa surat jalan, kalau ada razia di perjalanan, dia akan dituduh tentara PRRI. Akan dituduh tentara pemberontak. Kalau sudah dapat cap seperti itu dia bisa ditembak mati.
Tentara APRI sangat alergi dengan anak-anak muda seusia Syamsu. Di kampungnya sudah tiga orang yang mati ditembak tentara APRI. Anak-anak muda malang yang lari ketakutan ketika tentara APRI secara diam-diam datang masuk kampung. Dan anak-anak muda itu ditembak dari belakang di bagian kepala.
Ada yang terkapar di batang air, ada yang tertelungkup di sawah bancah, ada yang tersandar di rumpun betung. Pada hal mereka tidak bersenjata dan lari benar-benar karena takut. Itu pulalah sebabnya kebanyakan anak-anak muda jadi benci kepada tentara Pusat. Mereka beramai-ramai mendaftar untuk ikut berperang.
Syamsu harus pergi ke Padang menengok emaknya. Dia bergegas mengurus surat jalan. Yang pertama sekali adalah meminta surat pengantar di kantor wali nagari. Tidak sulit mendapatkan surat ini. Wali nagari menyatakan dalam surat keterangannya bahwa Syamsu akan meneruskan sekolah di Padang. Sekarang surat itu harus dibawa untuk mendapatkan pengesahan dari komandan tentara APRI di kecamatan.
Syamsu diantarkan wali jorong, yang masih terhitung mamaknya, ke kantor Buter. Buter adalah penguasa militer di tingkat kecamatan. Kantor itu menempati sebuah rumah yang ditinggal pemiliknya. Di depan rumah ada gardu jaga dimana selalu ada seorang tentara bersiaga mengawal. Di teras luar rumah itu ada meja dan dua buah kursi.
Dua orang tentara duduk disitu. Mereka adalah petugas piket. Siapapun yang ingin berurusan ke kantor itu harus melapor terlebih dahulu kepada tentara petugas piket ini. Agak terjarak ke samping ada dua buah bangku panjang tempat menunggu bagi orang yang ingin bertemu dengan komandan tentara. Ketika Syamsu sampai di kantor itu ada tiga orang wanita separuh baya duduk di bangku panjang.
Mereka sedang menunggu untuk diwawancara. Mereka juga ingin mendapatkan surat jalan. Begitu ketentuannya kalau ingin mendapatkan surat jalan yang ditandatangani komandan Buter. Wali jorong yang menemani Syamsu mendaftar melalui tentara piket itu, yang rupanya seorang OPR.
OPR adalah tentara bantuan yang dibuat oleh APRI, berasal dari penduduk lokal. Sebagian besar mereka adalah simpatisan PKI dari kampung-kampung dan tak mahir berbahasa Indonesia yang benar.
"Siapa yang hendak berurusan?" tanya tentara OPR itu dalam bahasa Indonesia.
"Kamanakan wak ko ha," jawab wali jorong (Kamanakan saya ini..)
"Di sika harus cara Indonesia!" kata tentara OPR itu garang. (Sebanarnya 'di siko'; Disini haru cara Indonesia)
Mendengar kata-kata disika satu di antara ibu-ibu yang sedang menunggu itu menahan tawa sambil menutup mulut.[1]
"Jangan gelak-gelak. Apa yang digelakkan?"[2] bentak tentara OPR ke arah ibu-ibu itu. Si ibu itu menekur dan terdiam.
Ibu yang satunya masih tersenyum. "Jangan cimees-cimees disika! Kesika mau mintak surat atau mau mencimees? Kalau cimees-cimees nanti kamu tidak diagis surat"[3]
Perut Syamsu juga memilin mendengar kata-kata tentara yang gagah ini. Dia berusaha menekur menahan rasa geli. "Hang yang hendak berurusan?"[4] bentaknya pula ke arah Syamsu.
"Iya, pak,.." jawab Syamsu.
"Ada surat wali nagari?" tanyanya pula.
"Ada pak.... ini.." Syamsu menyerahkan sebuah amplop.
Tentara itu membuka amplop dan mengeluarkan surat pengantar dari wali nagari. Diperhatikannya surat itu dengan bola matanya menari ke kiri dan ke kanan. Syamsu tambah sakit perut melihat tingkah tentara itu. Surat yang ditangan tentara itu terbalik.
"Catat nama hang disika!" katanya menunjuk ke sebuah buku tulis besar di atas meja di hadapannya. Syamsu mengisi buku itu.
"Catat apo keperluan hang!" perintahnya lagi.
"Sudah pak. ....Sudah awak tulis,.." jawab Syamsu.
"Apa keperluan hang?"
"Sudah awak tulis di dalam buku ini"
"Apa yang hang tulis? Mau mintak surat apa hang?"
"Surat jalan, pak..."
"Suratkan disika..bahasa hang mintak surat jalan.."
"Ini sudah awak tulis pak.."
"Kalau sudah nantikan di sinan!"[5] perintahnya pula sambil menunjuk ke bangku panjang. Kedua lelaki itu pergi duduk ke bangku yang ditunjukkan. Lamat-lamat Syamsu mendengar kedua tentara itu berbicara setengah berbisik.
"Indak ba hang doh, ba kau"[6] kata kawannya.
"Maa lo jaleh di Ang, Kau tu untuak padusi,"[7] jawab tentara itu.
Dua orang tentara lain datang. Kedua tentara OPR itu berdiri dan memberi hormat. Rupanya yang datang itu komandan di kantor ini. Dia itulah yang biasa di sebut orang pak Buter. Satu persatu ibu-ibu yang menunggu itu disuruh masuk menghadap komandan tentara tadi di dalam ruangannya. Masing-masing berada di ruangan itu sekitar sepuluh menit. Akhirnya sampai pula giliran Syamsu disuruh masuk.
"Inya saja yang masuk, Engku indak berurusan jadi indak boleh masuk,"[8] tentara OPR tadi mengingatkan ketika dilihatnya wali jorong ikut pula berdiri.
Syamsu masuk sendirian. Dia mengangguk ke arah komandan itu.
"Ada perlu apa kau?" bentak komandan tentara itu.
"Awak mau minta surat jalan, pak," jawab Syamsu tenang.
"Surat jalan apa? Kau ndak ikut berontak?"
"Tidak, pak," jawab Syamsu.
"Mana surat pengantar?"
Syamsu menyerahkan surat dari wali nagari. Tentara itu membacanya. "Dimana kau sekolah?"
"Di SMA, pak"
"Dulu di SMA mana? Kenapa sekarang mau pergi ke Padang melanjutkan sekolah?"
"Dulu di Bukit Tinggi, pak, sekarang orang tua ada di Padang."
"Ada saudara kau yang ikut memberontak?"
"Tidak, pak."
"Teman-teman kau?"
"Tidak ada pak.."
"Bohong kau! Banyak anak-anak muda seumur kau ikut-ikut pergi ke hutan. ....Masak di kampung kau tidak ada yang ikut?"
"Awak tidak tahu pak," jawab Syamsu.
"Untung kau masih punya otak, mau bersekolah. Kalau kau ikut-ikut memberontak, suatu saat kau akan terbunuh. Paham kau?"
"Iya, pak."
"Kapan kau mau berangkat ke Padang?"
"Segera, pak."
"Kalau bisa hari ini juga."
"Ya, sudah."
"Jangan sampai hilang surat ini. Kalau ada razia di jalan, kau tidak punya surat, habis kau." Tentara itu menyerahkan surat jalan itu kepada Syamsu. Dia mengangguk kepada komandan tentara itu sebelum keluar.
"Sudah selesai urusan hang?" tanya tentara OPR lagi, begitu Syamsu keluar.
"Sudah pak," jawab Syamsu.
"Ndak pandai hang berterima kasih agak sedikit?"
"Terima kasih banyak, pak," ujar Syamsu seramah mungkin.
"Indak itu do."
"Tinggalkan tanda terima kasih agak sedikit," tambah tentara itu pula.
"Maksudnya bagaimana, pak?" Syamsu pura-pura tidak mengerti.
Tentara OPR itu menggesek-gesekkan tiga buah jari tangannya memberi isyarat. Bertepatan dengan itu komandannya keluar. "Kok belum pergi kau? Apa lagi?" tanya komandan itu membentak Syamsu dengan mata melotot.
"Sudah mau pergi pak," jawab Syamsu.
"Kau siapa? Ada urusan apa?" bentak komandan itu ke wali jorong.
"Ambo wali jorong, mengawani dia saja," jawab wali jorong dengan wajah pucat.
Kedua orang itu segera berlalu dari kantor Buter. Tentara OPR menggerutu dalam hati karena tidak jadi dapat tanda terima kasih.
________________________________
Catatan kaki: http://prri.nagari.or.id/surat.php
_______________________________
Catatan kaki oleh Agam van Minangkabau:
[1] Penerjemahan "di siko" menjadi " di sika" ke dalam Bahasa Indonesia tidak benar. Biasanya orang Minang dungu atau yang "sok" moderen. Sehingga dalam perkembangan budaya Minangkabau kemudia. Penerjemahan Bahasa Minang ke Bahasa Indonesia dengan mengubah huruf vokal tertentu (yang rata-rata huruf 'o' menjadi 'a') merupakan suatu cemoohan.
[2] Gelak = tertawa,
[3] Cimiees, benarnya Cimooh padanannya dalam Indonesia Raya : Cemooh.
Diagis benarnya 'diagiah' padanannya dalam Indonesia Raya: diberi
[4] Hang benarnya 'Ang' yang berarti engkau laki-laki. Sedangkan engkau perempuan ialah 'kau'
[5] Disinen atau disinan berarti di sana
[6] Tidak ber-"hang" tapi ber 'kau"
[7] Mana tahu engkau, 'kau' itu untuk perempuan.
[8] Sebenarnya 'inyo' yang berarti 'dia".