[caption id="attachment_9726" align="alignright" width="294"] Gambar: https://niadilova.wordpress.com[/caption]
Salmyah Madjid Usman dan Hasril Chaniago (Eds.), Memoar Siti Aminah Madjid Usman – Hiroko Osada: Kisah Hidup dan Perjuangan Seorang Putri Bangsawan Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017, xxiv + 382 hlm, ISBN 978-979-461-904-9
Buku ini adalah sebuah dokumen yang berharga tentang sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Hiroko Osada alias Siti Aminah Madjid Usman, pengisah dan salah satu tokoh sentral dalam buku ini adalah seorang saksi mata penjajahan Jepang di Indonesia yang masih hidup. Beliau selamat dari keganasan Perang Dunia II dan kini tinggal di Jepang dalam usia 104 tahun. Bersama suaminya, Abdoel Madjid Usman, yang sudah lebih dulu meninggal, Hiroko telah menjadi salah seorang pengeritik keras aksi kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia.
Zaman pendudukan Jepang yang cukup singkat di Indonesia (Januari 1942-Agustus 1945) sering dimaknai orang Indonesia secara ambivalen. Satu pihak berpendapat bahwa Jepang adalah ‘penyelamat’ Indonesia karena berkat serbuan tentara ‘Saudara Tua’ itu ke Indonesia, masa penjajahan Belanda yang sudah berlangsung ratusan tahun di negeri ini berhasil dihentikan, untuk kemudian berakhir dengan merdekanya (atau dimerdekakannya) Indonesia menyusul penyerahan Jepang secara tak bersyarat kepada Sekutu pada bulan Agustus 1945. Pihak lain berpandangan bahwa Jepang justru berperilaku sebagai penjajah yang berperangai lebih buruk daripada kolonialis Belanda sebagaimana terefeksi dalam gerutuan yang sudah begitu sering kita dengar: “Lebih menderita dijajah Jepang selama 3,5 tahun daripada dijajah Belanda selama 3,5 abad.”
Penderitaan besar bangsa Indonesia di bawah ekploitasi Jepang yang (untungnya) singkat itu adalah lantaran negeri Tenno Heika tersebut ingin mengubah kehidupan sosial bangsa Indonesia secara radikal dalam waktu yang sesingkat mungkin dengan membuang dan terus menghembuskan citra negatif terhadap apapun warisan, fisik dan non fisik, yang telah dibangun Belanda di Indonesia selama ratusan tahun. Rupanya masyarakat Indonesia yang sudah begitu lama tertata dalam sistem administrasi dan budaya kolonial Belanda itu tidak siap menerima perubahan yang cepat, radikal dan dipaksakan itu. Jepang tampak terlalu bernafsu, sehingga dalam rentang waktu kurang dari 2 tahun sejak menduduki Indonesia, sudah tampak karakter yang sebenarnya dari bangsa yang mengaku ingin menyelamatkan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa kulit putih itu: menjadikan bangsa Indonesia budak dan menguras hasil alamnya untuk memuaskan nafsu mereka sendiri.
Putri keluarga Samurai
Hiroko Osada, yang lahir pada 4 Oktober 1914, adalah anak perempuan dari keluarga bangsawan Samurai Kai-Genji yang memiliki tanah luas di kota Kofu, Frefektur Yamanashi, sekitar 100 km di barat Tokyo. Ayahnya, Akira Osada (1876-1957) yang menikah dengan ibunya, Fujiimi, termasuk Togaku NÅzeisha (keluarga Samurai pembayar pajak terbesar yang dihormati) yang sangat terpelajar dan bersahabat dengan para petinggi militer Jepang seperti Admiral Togo, pahlawan kemenangan Peran Jepang-Rusia 1904-1905.
Hiroko berjumpa dengan Abdoel Madjid Usman, seorang pemuda Minangkabau yang pertama belajar ke Jepang. Madjid mulai kuliah di Universitas Meiji Tokyo pada awal Januari 1933 dan Hiroko belajar di Nihon Yoshidaigaku (Japan Womens University) di kota yang sama. Perjumpaan yang sering terjadi dan kesamaan pandangan hidup untuk mengabdikan diri menjadi pekerja sosial menumbuhkan rasa saling cinta di hati keduanya yang kemudian membawa mereka ke pelaminan. Perkawinan itu membawa Hiroko ke Indonesia dan pasangan itu hidup dalam suasana yang cukup memprihatinkan di tengah kecamuk Perang Dunia II. Hiroko yang kemudian mendapat nama Minangkabau ‘Siti Aminah’ di depan nama suaminya dikaruniai 4 orang anak: Harun El Rasyid Madjid Usman, Salmyah Madjid Usman, Phirman Madjid Usman dan Dahlia Madjid Usman.
Pasangan Madjid-Hiroko mungkin cukup langka dalam sejarah perkawinan antarbangsa di kalangan masyarakat Indonesia. Tak banyak laki-laki Indonesia yang menikah dengan wanita Jepang, apalagi keturunan samurai seperti Hiroko, sebelum Perang Dunia II. Di dalam buku ini Hiroko sendiri mengakui bahwa keputusanya untuk menikah dengan Madjid dianggap radikal sekaligus tabu oleh keluarga dan masyarakatnya, lantaran dalam pandangan umum di Jepang pada masa itu orang Indonesia masih dianggap dojin: “pribumi kulit berwarna dari negeri terjajah di Asia yang dianggap rendah” (h.59).
Memoar ini begitu rinci mencatat perjalanan hidup Madjid-Hiroko. Refleksi yang didapat setelah membaca buku ini adalah: kiranya benar kata pepatah bahwa sebelum ajal berpantang mati. Beragam penderitaan dialami oleh pasangan ini. Madjid dan Hiroko diinternir di Garut oleh Belanda menjelang Jepang menduduki Indonesia, ketika kembali ke Jepang pada bulan November 1943 untuk melakukan protes terhadap Pemerintah Jepang, kapal yang mereka tumpangi bersama anak-anak mereka, Hakone Maru, tenggelam dibom oleh pesawat tempur Sekutu di dekat perairan Taiwan tapi mereka selamat, berlindung dalam hujan bom tentara Sekutu yang meluluhlantakkan Tokyo dan kota-kota utama Jepang lainnya menjelang Jepang menyerah dan banyak lagi peristiwa lainnya di masa perang yang kejam itu yang nyaris merenggut nyawa mereka. Pasangan ini sendiri berpindah-pindah hidup antara Jepang dan Indonesia dan karena peperangan mereka tercerai-berai dengan anak-anak mereka.
Dua insan dari dua negeri dengan budaya yang berbeda itu terpuruk dalam pusaran perang yang kejam. Bagi Hiroko sendiri sudah jelas apa yang diakukan oleh bangsanya terhadap bangsa suaminya: penjajahan yang keji yang harus dilawan karena bertentangan dengan hati nuraninya. Protes mereka berdua terhadap Pemerintah Jepang menyebabkan Madjid ‘dikurung’ selama 6 bulan di Hotel Imperial Tokyo pada Desember 1943 sampai April 1944 dan tidak diizinkan kembali ke Indonesia. Karena aksi tentara Jepang yang makin bengis terhadap bangsa Indonesia itu pulalah kehadiran Hiroko dalam keluarga Madjid tidak pernah diterima sepenuhnya. Perbenturan budaya yang bersilang siur dengan sentimen politik yang muncul dalam suasana perang mungkin membuat orang Indonesia meragukan niat tulus Hiroko.
Mengungkap fakta sejarah yang selama tak diketahui
Banyak fakta sejarah yang selama ini belum pernah terungkap dalam kajian-kajian sejarah tentang penjajahan Jepang di Indonesia dipaparkan dalam buku ini. Demikianlah umpamanya, rupanya Jepang pernah punya rencana rahasia untuk menjadikan Pulau Sumatra sebagai “wilayah kekuasaan Jepang untuk selamanya dan Kota Bukittinggi akan dijadikan sebagai tempat tinggal Tenno (Kaisar Jepang)” (h.219). Dugaan ini diperkuat dengan kenyataan yang “dapat dilihat dengan dibangunnya terowongan perlindungan yang dikenal dengan Lobang Jepang di Bukittinggi, pusat kedudukan tentara Jepang di Sumatra”, sebab “hanya di Bukittinggi militer Jepang membuat lobang perlindungan yang demikian, tidak ada di tempat lain di Sumatra. Kalau ada yang mengatakan bahwa Lobang Jepang dibangun adalah untuk tempat penyiksaan, itu adalah tidak benar. Lobang itu dilengkapi dengan segala kebutuhan hidup dan pertahanan diri seperti dapur, tempat menyimpan logistik dan senjata. Jadi patut diduga tujuannya adalah untuk tempat tinggal di masa depan” (h.223).
Hiroko memberikan bukti-bukti lain yang masuk akal, seperti kunjungan representatif Tenno Marquis Yoshicika Tokugawa yang sampai dua kali ke pedalaman Minangkabau yang tampaknya ditujukan untuk “mencari lokasi ‘kediaman’ yang pantas buat keluarga Tenno apabila nanti perang berakhir” (h.220).
Bukti lain adalah: pertukaran Abdoel Madjid Oesman dengan Soekarno (Madjid dipulangkan ke Padang dan Soekarno dipulangkan dari Sumatra ke Jawa) sebagai deal antara Pemerintah Pusat Militer Jepang Gun 25 yang berkedudukan di Singapura dengan rekan mereka Gun 15 yang berpusat di Jawa. Menurut Hiroko, “pertukaran antara Madjid dan Soekarno dianggap penting karena mereka diharapkan dapat memimpin masyarakat di daerah masing-masing untuk bekerjasama bagi kepentingan Jepang” (h.220).
Gun 25 juga melarang pembentukan pasukan sukarela (seperti PETA di Jawa) di Sumatra karena mereka “takut bila dibentuk pasukan sukarela seperti di Jawa, mereka akan bisa memberontak kepada Jepang bila mengetahui adanya rencana rahasia itu” (h.221). Dipilihnya istilah GiyÅ«gun dalam Bahasa Jepang, yang merupakan usulan dari Hiroko sendiri kepada Gubernur Kenzo Yano, adalah atas desakan Gubernur Yano sendiri dan ini terkait dengan rencana rahasia Jepang yang “tidak pernah akan melepaskan Sumatra, dan tetap berada di bawah pengawasan Militer Jepang” (h.197). Tetapi rupanya keputusan Gubernur Yano untuk membentuk GiyÅ«gun di Sumatra itu dianggap Tokyo sebagai keteledoran sehingga akhirnya ia dipecat dan dipanggil pulang ke Jepang untuk menerima hukuman.
Orang di Sumatra juga dilarang mengucapkan kata “dokuritsu” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “merdeka” (h.222).
Terungkap juga rencana Tokyo membentuk “pemerintah ‘boneka’ Jepang di Sumatra dimana Madjid ditawari untuk ikut terlibat dalam rencana itu (h.222-23)
Abdoel Madjid Usman kembali ke Indonesia pada 1950 dan menjadi anggota parlemen dan pengusaha. Ia meninggal secara mendadak di rumahnya di Jakarta pada 25 Mei 1955. Hiroko diberiNya usia panjang untuk mencatat lika-liku perjalanan hidup suaminya dan perjuangannya untuk memerdekakan negerinya dari penjajahan bangsa asing.
Banyak orang sudah terlibat dalam penyusunan memoar ini dan anak-anak dan kenalan ikut menyumbang esai kenangan. Memoear ini sendiri menunggu waktu hampir 30 tahun sebelum versi yang betul-betul ‘sempurna’ menurut Hiroko diterbitkan oleh Yayasan Obor pada akhir 2017. Hasilnya: sebuah kisah kehidupan sebuah keluarga yang heroik yang pekat dengan informasi sejarah. Membaca buku ini akan melengkapi pengetahuan Anda tentang penjajahan Jepang di Indonesia.
(Dr. Suryadi, Leiden University, Belanda)
* Resensi ini diterbitkan di harian Padang Ekspres, Minggu 25 Februari 2018, rubrik ‘Literasi’.
___________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com