Konteks foto klasik yang kami turunkan kali ini adalah Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta (1931). Dalam foto ini kelihatan Buya Hamka (duduk, kedua dari kiri) yang memakai pakaian Jawa, lengkap dengan blangkon-nya, bersama beberapa rekannya dari Minangkabau. Jarang-jarang, bahkan mungkin belum pernah orang Minang melihat Buya Hamka tampil dalam pakaian Jawa.
Dalam sumber rujukan ini Hamka menulis bahwa dalam Kongres Muhammadiyah ke-20 itu, utusan Sumatera Barat datang ke Yogyakarta dengan beberapa orang muballigh mudanya yang penuh semangat. Mereka adalah Hamka (waktu itu masih berusia 23 tahun), M. Zain Djambek, Radjab Ghani, H.M. Chatib dan Kari Maradjo. Utusan Surakarta diwakili oleh muballigh-muballigh mudanya juga: Muljadi Djojomartono, Sjamsul Hadiwijoto, Siswosudarmo, Asnawi Hadisiswojo, dll. Dalam kongres itu utusan dari berbagai daerah memakai pakaian etnis masing-masing. “Begitu tradisi Muhammadiyah di-tahun2 tersebut.” Dari situ tergambar sifat heterogen sekaligus nasionalisme organisasi Muhammadiyah yang anggotanya berbilang suku bangsa dari seluruh Indonesia.
Pada suatu malam di pondokan, muncul kesepakatan antara para muballigh muda dari Minang dan Jawa itu untuk “mendjadi muballigh Muhammadiyah buat seluruh tanah air Indonesia. Kalau perlu jang di Djawa harus sanggup ke Sumatra dan keseluruh tanah seberang, dan jang di Sumatra mari berdjuang menegakkan agama ditanah Djawa dan kepulauan lain.”
Rupanya semua setuju dan menyambut ikrar itu dengan gembira. Sebagai tanda persetujuan itu, maka mereka bertukar pakaian dan “bergambar ber-sama2, akan mendjadi tanda ‘kenang-kenangan’. Maka mainlah tangan tukang foto dan ter-‘abadi[kan]’lah pertemuan [dari] hati ke hati” itu.
Mengikut keterangan Hamka, utusan Minang dan Surakarta yang terlihat dalam gambar di atas adalah: “Berdiri dipinggir kiri sekali, Radjab Ghani berpakaian ala Mataram. Jang duduk dibawah berpakaian parewa tjara Minang, sebagai sikap orang hendak bermain pe[n]tjak, jang sebelah kiri adalah Siswosudarmo dan sebelah kanan adalah Saudara Asnwi Hadisiswojo. Jang duduk dari kirin ke kanan, pertama adalah Sjamsu Hadiwojoto berpakaian tjara Bugis, jang kedua Hamka berpakaian tjara ‘Raden Mas’dari Solo, ditengahnja Djojomartono berpakaian ‘ninik-mamak’dari Batipuh dan disampingnya adalah M. Zain Djambek berpakaian ‘anak muda’ dari Minang, dan seorang teman lagi dari Solo.
Jang berdiri berbadju putih setjara ‘prijaji2’ dari Solo dengan keris tersisip dibelakang adalah H.[M.] Chatib, ditengah Kari Maradjo dan seorang teman dari Bukittinggi, dipinggir sekali seorang teman dari Solo djuga.
Dibatu tulis tertulis ‘Peringatan Kongres Muhammadiyah XX’, dipinggir[nja] tertulis 31 [tahun kongres:1931]. Jang karena njaris lupa, lekas ditambahkan oleh S. Siswosudarmo.”
Apa yang diikrarkan oleh Hamka dkk. di Solo pada tahun 1931 itu betul-betul mereka laksanakan. Hamka, misalnya, kemudian pergi merantau ke Indonesia Timur (Makassar, Menado, dan Ambon) sampai pertengahan 1934 untuk menjayakan syiar Islam di sana. Dari situlah beliau memulai karirnya sebagai ulama besar yang bercahaya terang benderang hingga akhir hayatnya.
Mungkin inilah sifat [para muballigh dan ulama] Muhammadiyah yang memang terkesan sangat terbuka dan tak terkurung pada jiwa primordialisme etnisitas seperti yang tampak kentara pada Nahdatul Ulama. (Sumber: Hamka, “Kenang2an beberapa Muballigh Muhammadiyah”, Majalah Gema Islam, No.41, Th. II, 1 Oktober 1963/12 Djumadilawal 1383:11-13, foto di hlm. 12).
Dr. Suryadi – Leiden University, Belanda / Harian Singgalang, Minggu 3 Desember
_______________________________
Tulisan ini disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri https://niadilova.wordpress.com