Bila kita membolak-balik majalah dan koran-koran lama di Leiden University Library, sering ditemukan foto-foto yang unik yang jarang, bahkan tidak pernah terlihat sebelumnya. Kali ini kami turunkan lagi satu foto yang mungkin belum pernah dilihat oleh pembaca setia rubrik ‘Minang saisuak’: Bung Hatta dan bundanya, Salecha binti Hadji Iljas gelar Bagindo Marah.
Kiranya tidak salah komentar sumber yang memuat foto ini: “Sungguhpun gambar W.P. [Wakil Presiden] Hatta telah lebih dari sekali dimuat pada halaman depan madjallah ini, beliau bergambar bersama Ibunja tidak sering dilihat orang. Dalam lima hari Drs. Moh. Hatta berada dikota Djakarta dari pengasingan di Bangka, Ibunja sengadja didatangkan dari Sumedang supaja dapat bersama dengan anaknja” (Madjallah Merdeka, No. 9, Th. II, 7 Mei 1949:2).
Rupanya foto ini diambil ketika Hatta berada di Jakarta dari pengasingan di Pulau Bangka. Yang menarik, informasi di atas menyebutkan bahwa Salecha binti Hadji Iljas gelar Bagindo Marah datang dari Sumedang untuk bertemu dengan anaknya di Jakarta. Mengapa sang ibunda Bung Hatta berada di Sumedang, Jawa Barat, pada saat itu? Apakah beliau punya keluarga di sana? Kiranya perlu penelusuran lebih jauh, sebab dalam Memoar-nya sendiri (1979), Bung Hatta tidak banyak bicara tentang (kehidupan) ibundanya.
Barangkali Salecha berada di Sumedang karena dibawa oleh suaminya yang baru, ayah tiri Bung Hatta, yang berprofesi sebagai pedagang. Madjallah Merdeka (ibid.:4) menyebutkan bahwa Hatta “berasal dari Minangkabau dan ajahnja adalah Kijai Besar Djamil bin Abd. Rachman, seorang guru agama. Ibunya Salecha binti Hadji Iljas gelar Bagindo Marah baru tudjuh bulan melahirkan Moh. Hatta ketika suaminya meninggal. Drs. Moh. Hatta tidak pernah mengenal ajahnja, dan ketika Ibunja kawin lagi dengan seorang saudagar bernama Mas Agus Hadji Ning (dari Palembang), anak ketjil Hatta terlalu muda untuk mengerti apa2. Dari satu Ibu dan satu Bapak hanja ada dua orang anak dan dari satu Ibu, Bung Hatta bersaudara 5 orang. Semuanja perempuan.”
Seorang anak lelaki Minangkabau dengan ibunya mungkin lain sikapnya dengan anak-anak lelaki dari suku lain. Demikianlah umapamanya, jarang kita melihat anak lelaki Minangkabau sungkem kepada ibu(-bapaknya). Tapi itu bukan berarti mereka tidak menghormati orang tua mereka. Kita juga ingin tahu apakah Bung Hatta berbahasa Minang dengan ibu dan saudara-saudaranya? Apakah beliau juga berbahasa Minang jika berbicara dengan para politisi atau orang biasa yang berasal dari Minangkabau, yang seetnis dengan beliau? Tapi rekaman audio(-visual) tentang Bung Hatta amat sulit didapati sekarang.
Foto yang unik dan langka ini telah memberi kesempatan kepada kita yang hidup sekarang melihat wajah ibunda Bung Hatta. Agaknya kita sepakat dengan komentar Moh. Udrus dari Batang, Jawa Tengah, dalam rubrik ‘Surat Pembaca’ MadjallahMerdeka, No. 21, Th. II, 21 Mei 1949:19 yang berkata: “…kami bergirang amat membatja M. M. [Madjallah Merdeka] jang berkulit gambar Bung Hatta bersama Ibundanja. [G]ambar jang demikian itu baru ini kali kami melihat, maka timbul keinginan untuk membeli gambar2 sematjam itu dalam bentuk prentbriefkaart.”
Belum kami temukan bukti apakah keinginan Moh. Udrus itu dipenuhi oleh Redaksi Madjallah Merdeka. Kalau begitu, Anda para pembaca rubrik ‘Minang saisuak’ saja yang memperbesar dan mencetak kalenderkan foto ini untuk dipajang di rumah Anda masing-masing. Mungkin itu salah satu cara yang baik untuk mengenang Bung Hatta sekaligus mengingatkan Anda pada jasa besar ibu Anda sendiri.(Sumber foto: Madjallah Merdeka, No. 9, Th. II, 7 Mei 1949:2).
Dr. Suryadi, MA – Leiden University, Belanda / Singgalang, Minggu 14 Januari 2018
_________________________
Tulisan ini disalin dari Blog Engku Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com