Dalam satu interview dengan wartawan “Vrij Nederland”, Bob Vuyk, Menteri Luar Negeri kita Haji Agus Salim telah menyatakan buah pikirannya tentang keadaan di Indonesia. Tentu saja dengan tak lupa berkelakar.
Sewaktu itu anaknya yang berumur 8 tahun sedang berdiri dekat beliau.
“Anak inilah”, kata beliau sambil memulai pembicaraaannya, “[yang] menjadi sebab saya tetap terus campur [dalam] politik. Sebenarnya saya telah muak dengan politik, akan tetapi setelah Mansur [anak Haji Agus Salim itu] lahir di tahun 1939 saya mengerti bahasa [bahwa] Tuhan telah memberikan tanda kepada saya bahwa saya tidak boleh tinggal diam di dunia ini. Dan ketika di bulan Mei 1940 pemerintah Hindia Belanda meminta kepada saya untuk turut bekerja sama supaya merapatkan pihak-pihak yang ada di negeri ini, maka saya pun masuklah bekerja pada Dinas Penerangan Pemerintah.
Perjalanan saya sekali ini telah membikin saya merasa lebih muda, dan merasa lebih lega. Di mana-mana saya menjumpai good will terhadap negeri saya. Dan saya tidak populer di antara beberapa banyak mereka yang sebangsa dengan saya.
Atas pertanyaan apakah mereka itu tidak hidup di sudut yang kecil di atas dunia ini, beliau mengangguk.
“Saya memandang Islam sebagai atap dari segala agama dan oleh sebab itu saya mengecam mereka yang hendak memisahkan dirinya dari negeri-negeri lain dan bangsa-bangsa lain dengan berdasarkan agama Islam. Saya telah memperoleh banyak kawan-kawan baru; dan saya telah melihat banyak [hal] yang buruk. Oleh sebab itu perasaan saya terhadap bangsa saya sendiri lebih baik dan lebih luas!”
Beliau memperlihatkan sebuah gambar ketika [ber]santap dengan salah seorang raja-raja Arab dan beliau berkata dengan bangganya: “Raja ini telah menuliskan tanda tangannya di dalam buku notes saya. Belum pernah diperbuatnya demikian. Dan raja itu menegaskan kepada saya, bahwa dia tidak akan melakukan [hal] semacam itu. Tanda tangan itu sangat berharga, karena sesudah itu dimasukkannya penanya ke dalam sakunya.”
Kami ketawa, demikian wartawan tadi yang bertanya lagi:
“Di berbagai surat kabar saya baca ucapan-ucapan Tuan tentang soal Indonesia, yang menurut dugaan saya sangat optimis. Apa Tuan begitu optimis?”
“Kalau dilihat lama-lama, ya. Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. Akan tetapi bila dan berapa kerugian jiwa dan bahan yang akan kami mesti alami, itu saya tidak tahu. Tentang ini saya tidak optimis. Orang-orang Belanda adalah bangsa yang telah menjadi tak tahu undur. Dengan ini bukanlah maksud saya mengatakan di antaranya tidak ada lagi orang-orang Belanda yang pandai dan bisa dipercaya, akan tetapi yang paling sedihnya ialah, mereka jika sudah duduk dalam pemerintahan, tidak tahu mengangsur-angsur. Oleh sebab itu percayalah [kepada] saya, kemungkinan-kemungkinan dari pemerintah Belanda sudah lewat. Kami hanya dapat mengharapkan dari campurnya orang ketiga. Dan ini sudah saya kemukakan di Amerika: Berdiri di belakang kami, maka kami akan menjadi bangsa yang merdeka.”
“Akan Tuan alami lagi kemerdekaan itu?”
Beliau menjawab: “Siapa yang berjuang untuk kemerdekaan, tidak boleh bertanya apakah dia akan mengalaminya, dia harus memperhatikan soal yang diperjuangkan.”
Sesudah itu beliau menceritakan tentang keadaan di Amerika dan istimewa di antara partai-partai buruh Amerika. Dengan agak mengejek sedikit beliau mengucapkan sebuah kalimat di dalam sebuah tulisan di surat kabar Amerika: “Democracy is the right of every man to get rich” (demokrasi adalah hak tiap orang untuk menjadi kaya).
Beliau adalah seorang yang banyak sekali membaca dan seorang yang pandai pula bercerita. Ceritanya itu dicampurinya dengan lelucon dan kejadian-kejadian tersendiri. Beliau menceritakan tentang {17} kejadian di bawah patung kemerdekaan di muka pelabuhan New York. Ketika itu beliau bersama beberapa orang pelancong Amerika sedang membaca perkataan-perkataan yang tertulis di patung tersebut. Bunyinya bahasa [bahwa] patung ini menggenggam tinggi obor kemerdekaan bagi segala orang yang ditindis [ditindas] dan miskin dari segala negeri.
“There is something wrong”, kata beliau ketika itu. Ada yang tak benar dalam perkataan ini.
“Apa yang tak benar?” tanya mereka di sekitarnya.
“Ya, ini dan itu”, dan dia menunjuk ke pulau Ellis di mana dihimpunkan segala orang yang hendak masuk ke Amerika tapi tidak dibolehkan.
Dan dengan tertawa orang-orang Amerika itu membenarkan perkataannya bahwa sebenarnya [memang] “ada yang tak benar”. {18}
***
Sumber: Waktoe. Madjallah Berita Minggoean Bergambar (Medan), No. 8, TAHOEN II, 14 FEBRUARI 1948: 17-18. Ejaan disesuaikan. Angka dalam tanda ‘{ }’ merujuk pada halaman asli majalahnya. Kata-kata dalam tanda “[ ]” ditambahkan oleh penyalin. Ilustrasi (foto) Haji Agus Salim berasal dari: Waktoe. Madjallah Berita Minggoean Bergambar, No. 7, TAHOEN II, 7 FEBRUARI 1948: 12.
Penyalin: Dr. Suryadi, MA., Leiden University, Belanda
Disalin dari blog: niadilova.wordpress.com