Disalin dari blog Dr. Suryadi; niadilova.wordpress.com
Kilas balik: “Anecdotes” K.M.B.
Oleh: Johnny Senduk
Politik pecah-belah Belanda di Indonesia telah mengakibatkan beberapa pertentangan pendirian di antara penduduk Indonesia. Sebahagian ingin mencapai kemerdekaan Indonesia dengan jalan evolusi, sebaliknya ada pula yang menghendakinya dengan memasang “R” di muka evolusi, sebab kata mereka, lebih cepat mendapat kemajuan – buat apa menunggang pedati jikalau mobil (biarpun pakai dorong-dorongan) telah sedia dan siap.
Akibatnya evolusi dan revolusi di Indonesia menjalar sampai ke luar negeri. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Pro dan tidak pro terlihat waktu anggota-anggota Indonesia berangkat ke negeri Belanda untuk sidang K.M.B. Rupa-rupanya lebih banyak orang menaruh penghargaan kepada mereka yang memilih jalan yang susah dan payah untuk mencapai tujuannya daripada mereka yang hanya mau goyang kaki di Hotel Indes.
Bagaimana bedanya penghargaan orang asing terhadap kaum Republik dan B.F.O. terlihat waktu wakil-wakil dari 2 golongan pendirian ini melawat ke luar negeri dalam perjalanan mereka ke K.M.B. Penghargaan pemerintah serta penduduk-penduduk negara asing ternyata lebih besar terhadap wakil-wakil Republik daripada collegas mereka dari B.F.O. Karena gara-gara politik kolonial Belanda dimana-mana “courtesy” terhadap Republik lebih besar daripada B.F.O.
Misalnya di Bangkok. Di ibu kota Siam ini barang-barang dari wakil-wakil Republik tidak diperiksa, akan tetapi baggage penganut-penganut B.F.O. diperiksa dengan teliti {222}
Dalam perjalanan dari ke Negeri Belanda, rombongan Wakil Presiden, Bung Hatta, tengah malam tiba di lapangan udara Basra. Karena sudah jauh malam waktu turun dari kapal terbang, Bung Hatta agak tidak kompleet pakaiannya, tidak pakai dasi. Dugaan wakil-wakil Republik bahwa di Basra tidak ada orang yang akan menjemput mereka, pertama, karena di kota ini tidak ada perwakilan Republik, dan kedua, waktu sudah lewat tengah malam, meleset. Agak tidak enak perasaan wakil-wakil Republik waktu dilihatnya beberapa banyak wakil-wakil tinggi pemerintah Irak yang datang menjemput mereka. Bung Hatta minta maaf karena beliau serta rombongannya tidak begitu “dress up”, akan tetapi hal ini tidak menjadi halangan bagi wakil-wakil Irak untuk mengundang makan dan minun kepada orang-orang Yogya [itu]. Collegas dari B.F.O. tidak mendapat undangan.
Di Roma, Italy, Republik Indonesia juga tidak mempunyai perwakilan. Oleh sebab itu Bung Hatta dan rombongannya dijemput oleh Ambassador Belanda. Berkata tuan ini kepada Wakil Presiden: “Wilt U en Uw gezleschap ons de eer aandoen om de lunch met ons te gebruiken?” Bung Hatta menerima undangan ini. Meja telah diatur serta makanan telah siap. Wakil-wakil B.F.O., katanya, berkeleleran entah dimana di dalam ruangan makan.
Di Negeri Belanda sendiri perbedaan penerimaan antara wakil-wakil Republik dan B.F.O. tidak terlihat. Kedua-duanya diterima dan dihormati. Walaupun demikian beberapa “incident” terjadi.
Sopir mobil yang disediakan spesial untuk Bung Hatta adalah seorang Belanda totok yang betul-betul mengetahui vaknya. Rupa-rupanya sopir ini agak sombong karena passagiernya [penumpangnya] orang-orang tinggi. Sering ia ditahan oleh polisi Belanda karena tidak mengindahkan aturan-aturan lalu-lintas. Makanya kerap kali ia diberhentikan di tengah jalan untuk ditegur. Dengan sombong dijawab oleh sopir Belanda [itu] kepada polisi: “Tidakkah engkau tahu Excellency siapa yang aku bawa? Lihat sendiri.” Pengawal polisi lalu berdiri tegap dan memberi hormat. Mobil jalan terus.
Di dekat tapal batas Negeri Belanda dan Belgia, seorang dokter Tionghoa bekerja pada suatu rumah sakit di salah satu desa. Beliau mengundang wakil-wakil Republik. Dr. Sim Ki Ay dan Dr. Darmasetiawan serta juga anggota B.F.O. Dr. Endon untuk “week end”. Esok harinya, hari Minggu, Dokter Tionghoa ini mengajak para tamunya supaya melancong ke Belgia. Tamu-tamu berkeberatan karena tidak mempunyai visum, tetapi tuan rumah, dokter Tionghoa ini, mengatakan bahwa mungkin mereka dapat memasuki Belgia dengan tidak memakai visum, karena pegawai-pegawai imigrasi dan douane dikenalnya. Setiba di tapal batas mereka menanya[kan] maksud-maksud pembesar-pembesar Indonesia ke Belgia. “Hanya melancong beberapa jam saja,” jawab tabib Tionghoa [itu] sambil menerangkan siapa tamu-tamunya. Dengan penuh hormat pembesar-pembesar douane dan imigrasi Belgia membolehkan touristen Indonesia [itu] mengunjungi negerinya. Surat-surat keterangan diperiksa. Dengan melihat paspor Republik Indonesia dari Dr. Sim Ki Ay dan Dr. Darmasetiawan, tas-tas mereka tidak usah dibuka lagi. Lain hal dengan Dr. Endon. Serta ia diperiksa hanya surat keterangan berupa paspor Belanda dapat diperlihatkannya. Pegawai-pegawai imigrasi Belgia berkeberatan mengizinkan Dr. Endon masuk, tetapi atas permintaan dokter Tionghoa dan pula oleh anggota-anggota delegasi Republik, akhirnya Dr. Endon diperbolehkan meneruskan perjalanannya. Sopir Belanda yang mengemudi[kan] mobil tamu-tamu digeledah dengan teliti.
Nama Republik Indonesia di luar negeri harum, paspor Republik Indonesia diakui, ibaratnya, kunci yang dapat membuka semua pintu. “Sesame, open the doors”. Apalagi nanti dengan paspor REPUBLIK INDONESIA SERIKAT. Apakah nanti menjadi “Sesame, open the doors in heaven, atau, open the doors of heel[?]”. {223}
***
Sumber: Majalah IPPHOS Report, No, 5/6, Desember 1949: 222-223. Ejaan disesuaikan, taoi judul ditulis sebagaimana aslinya. Angka dalam tanda ‘{ }’ merujuk pada halaman asli majalahnya. Kata-kata dalam tanda “[ ]” merupakan tambahan dari penyalin.
Penyalin: Dr. Suryadi, MA., Leiden University, Belanda