[caption id="" align="alignnone" width="512"] Pict: story[/caption]
Jika kita amat-amati, banyak kesamaan tema dalam beberapa hikayat atau cerita rakyat yang berasal dari negeri dan adat resam yang berbeda. Salah satunya ialah kisah Malin Deman, yang tema serupa seperti Malim Leman di Tapanuli, di Jawa ada dengan kisah Jaka Tarub. Kisah dengan tema serupa juga terdapat dalam Kitab Seribu Satu Malam. Dan yang terakhir kami temui ialah dalam Hikayat Negeri Negeri Utara (Nordik), seperti yang kami sajikan dibawah ini.
FB Authority | Foto ini diunggah beberapa hari yang lalu pada salah satu akun. Banyak yang penasaran dan ingin tahu cerita di balik patung tersebut, jadi mari kita baca bersama:
Kópakonan: Patung Wanita Anjing Laut berada di Mikladagur, di pulau Kalsoy [Denmark]. Patung ini terbuat dari perunggu dan baja tahan karat. Dirancang untuk menahan gelombang setinggi 13 meter. Pada awal tahun 2015, gelombang setinggi 11,5 meter menerjang patung tersebut. Patung ini berdiri kokoh dan tidak mengalami kerusakan.
Legenda Kópakonan (Wanita Anjing Laut) merupakan salah satu cerita rakyat paling terkenal di Kepulauan Faroe. Anjing laut diyakini sebagai mantan manusia yang secara sukarela mencari kematian di lautan. Sekali setahun, pada malam ketiga belas, mereka diizinkan untuk datang ke daratan, menanggalkan kulit mereka, dan menghibur diri sebagai manusia, mereka menari, dan bersenang-senang.
Seorang petani muda dari desa Mikladalur di pulau utara Kalsoy, bertanya-tanya apakah cerita ini benar, pada suatu malam tanggal tiga belas ia pergi dan menunggu di pantai. Sang petani muda mengamati dan akhirnya melihat anjing laut berdatangan dalam jumlah besar, mereka berenang menuju pantai. Gerombolan anjing laut tersebut memanjat ke pantai, melepaskan kulit mereka dan meletakkannya dengan hati-hati di atas batu.
Setelah melepaskan kulit mereka, mereka tampak seperti manusia normal. Pandangan pemuda itu tertuju pada seorang gadis 'anjing laut' yang meletakkan kulitnya di dekat tempat persembunyiannya, seorang gadis yang cantik. Ketika tarian dimulai, ia menyelinap dan mencuri pakaian si gadis.
Tarian dan permainan berlangsung sepanjang malam, tetapi begitu matahari mulai muncul di atas cakrawala, semua anjing laut kembali ke tempat mereka meletakkan pakaian kulit anjiang laut mereka untuk kembali ke laut. Gadis anjing laut itu sangat kesal ketika ia tidak dapat menemukan kulitnya, meskipun baunya masih tercium di udara.
Kemudian pemuda dari Mikladalur muncul sambil memegangi sang gadis. Si gadis menduga pemuda inilah yang telah menyembunyikan pakaian anjing laut miliknya. Ia meminta agar pakaian itu dikembalikan namun si pemuda tidak hendak mengembalikannya, meskipun gadis itu memohon dengan putus asa. Akhirnya sang gadis terpaksa menuruti kemauan sang pemuda, menjadi isterinya dan hidup di pertaniannya.
Sang pemuda menjaga sang gadis selama bertahun-tahun sebagai istrinya. Dari pernikahan beda alam itu, mereka dikaruniai beberapa anak. Akan tetapi sang suami selalu memastikan bahwa sang isteri tidak dapat menyentuh pakaian kulit anjing lautnya. Pakaian tersebut disimpan terkunci di dalam peti yang hanya sang suami yang memiliki kuncinya. Kunci yang selalu disimpan pada rantai yang diikatkan pada ikat pinggangnya.
Suatu hari, ketika sang suami sedang memancing di laut bersama kawan-kawannya, dia menyadari bahwa dia telah meninggalkan kunci peti di rumah. Dia mengungkapkan kepada kawan-kawannya, 'Hari ini aku akan kehilangan istriku!'
Kemudia dia mengisahkan tentang asal muasal isterinya, pertemuan mereka, serta kehidupan yang mereka jalani semenjak hari itu. Para nelayan itu menarik jaring dan tali mereka dan mendayung sampan mereka untuk kembali ke pantai secepat yang mereka bisa. Tetapi ketika mereka tiba di pertanian sang Suami, mereka mendapati anak-anak ditinggal sendirian dan ibu mereka telah pergi.
Sang suami tahu bahwa isterinya tidak akan kembali, karena sebelum berangkat ia telah memadamkan api dan menyimpan semua pisau, sehingga kanak-kanak yang masih kecil itu tidak dapat melukai diri mereka sendiri setelah dia pergi.
Demikianlah yang berlaku, dia menemukan kunci peti dan membuka peti tempat pakaian bertuahnya disimpan. Betapa girang hatinya karena dengan ini ia akan kembali berjumpa dengan keluarga dan orang terkasih. Dengan segera ia berkemas, memastikan keamanan anak-anaknya karena mereka akan ia tinggalkan tanpa pengawasan orang dewasa, lalu pergi dari rumah menuju pantai.
Begitu mencapai pantai, dia mengenakan pakaian kulit anjing lautnya, dan kemudian berenang, disana sudah menunggu seekor anjing laut jantan. Anjing laut jantan itu berenang disampingnya, anjing laut jantan yang telah mencintainya selama bertahun-tahun sebelumnya dan masih menunggunya hingga kini.
Ketika anak-anak anjing laut betina itu dengan pria Mikladalur datang dan menuju ke arah pantai, seekor anjing laut akan muncul dan memandang ke arah daratan; masyarakat Mikladalur secara arif percaya bahwa anjing laut itu adalah ibu anak-anak itu. Dan tahun-tahun pun berlalu.
Kemudian suatu hari, pria Mikladalur tersebut berencana untuk pergi jauh ke dalam salah satu gua di sepanjang pantai terjauh untuk memburu anjing laut yang tinggal di sana. Malam sebelum mereka berangkat, istri anjing lautnya mendatanginya dalam mimpi, dan berkata bahwa jika dia pergi berburu anjing laut di gua itu, dia harus memastikan bahwa dia tidak membunuh anjing laut jantan besar yang akan berbaring di pintu masuk, karena itu adalah suami isterinya. Dia juga tidak boleh menyakiti dua anak anjing laut yang berada jauh di dalam gua, karena mereka adalah dua putranya yang masih kecil. Sang isteri kemudian menggambarkan kulit mereka sehingga dia akan mengenali mereka.
Namun petani itu tidak menghiraukan pesan mimpi itu. Ia bergabung dengan yang lain dalam perburuan, dan mereka membunuh semua anjing laut yang bisa mereka tangkap. Ketika mereka kembali ke rumah, hasil tangkapan dibagi, dan sebagai bagiannya, petani itu menerima anjing laut jantan besar dan sirip depan dan belakang dari dua anak anjing laut.
Pada malam hari, ketika kepala anjing laut besar dan anggota badan anjing laut kecil telah dimasak untuk makan malam, terjadilah keributan besar di ruang pengasapan, dan wanita anjing laut itu muncul dalam bentuk troll (raksasa buas) yang menakutkan; ia mengendus makanan di palung dan meneriakkan kutukan:
"Di sini terbaring kepala suamiku dengan lubang hidungnya yang lebar, tangan Hárek dan kaki Fredrik! Sekarang akan terjadi pembalasan dendam, pembalasan dendam terhadap orang-orang Mikladalur, dan beberapa dari kalian akan mati di laut dan yang lainnya jatuh dari puncak gunung, sampai ada banyak orang mati yang dapat bergandengan tangan di seluruh pantai pulau Kalsoy!"
Setelah mengucapkan kutukan tersebut, dia menghilang dengan gemuruh guntur yang hebat dan tidak pernah terlihat lagi. Namun, sampai hari ini, sayangnya, dari waktu ke waktu orang-orang dari desa Mikladalur masih ada yang tenggelam di laut atau jatuh dari puncak tebing. Oleh karena itu, harus dikhawatirkan bahwa jumlah korban belum cukup besar untuk membuat semua orang mati bergandengan tangan di seluruh batas pulau Kalsoy.
===========
Original post by FB Authority | August, 25 2024
Someone posted this pic a few days ago. Many people wanted to know the story behind the statue, so here it is….
Kópakonan: A statue of the Seal Woman is in Mikladagur, on the island of Kalsoy. It is made of bronze and stainless steel. The statue is designed to withstand 13metre waves. In early 2015, a 11.5 meter wave swept over the statue. It stood firm and no damage was caused. (See comments for pics of this).
The legend of Kópakonan (the Seal Woman) is one of the best-known folktales in the Faroe Islands. Seals were believed to be former human beings who voluntarily sought death in the ocean. Once a year, on the Thirteenth night, they were allowed to come on land, strip off their skins and amuse themselves as human beings, dancing and enjoying themselves.
A young farmer from the village of Mikladalur on the northern island of Kalsoy, wondering if this story was true, went and lay in wait on the beach one Thirteenth evening. He watched and saw the seals arriving in large numbers, swimming towards the shore. They clambered on to the beach, shed their skins and laid them carefully on the rocks. Divested of their skins, they looked just like normal people. The young lad stared at a pretty seal girl placing her skin close to the spot where he was hiding, and when the dance began, he sneaked up and stole it.
The dancing and games went on all night, but as soon as the sun started to peep above the horizon, all the seals came to reclaim their skins to return to the sea. The seal girl was very upset when she couldn’t find her skin, though its smell still lingered in the air, and then the man from Mikladalur appeared holding it, but he wouldn’t give it back to her, despite her desperate entreaties, so she was obliged to accompany him to his farm.
He kept her with him for many years as his wife, and she bore him several children; but he always had to make sure that she didn’t have access to her skin. He kept it locked up in a chest to which he alone had the key, a key which he kept at all times on a chain attached to his belt.
One day, while he was out at sea fishing with his companions, he realised he had left the key at home. He announced to his companions, ‘Today I shall lose my wife!’ – and he explained what had happened. The men pulled in their nets and lines and rowed back to the shore as fast as they could, but when they arrived at the farm, they found the children all alone and their mother gone. Their father knew she wasn’t going to come back, as she had put out the fire and put away all the knives, so that the young ones couldn’t do themselves any harm after she’d left.
Indeed, once she had reached the shore, she had put on her sealskin and plunged into the water, where a bull seal, who had loved her all those years before and was still waiting for her, popped up beside her. When her children, the ones she had had with the Mikladalur man, later came down to the beach, a seal would emerge and look towards the land; people naturally believed that it was the children’s mother. And so the years passed.
Then one day it happened that the Mikladalur men planned to go deep into one of the caverns along the far coast to hunt the seals that lived there. The night before they were due to go, the man’s seal wife appeared to him in a dream and said that if he went on the seal hunt in the cavern, he should make sure he didn’t kill the great bull seal that would be lying at the entrance, for that was her husband.
Nor should he harm the two seal pups deep inside the cave, for they were her two young sons, and she described their skins so he would know them. But the farmer didn’t heed the dream message. He joined the others on the hunt, and they killed all the seals they could lay their hands on. When they got back home, the catch was divided up, and for his share the farmer received the large bull seal and both the front and the hind flippers of the two young pups.
In the evening, when the head of the large seal and the limbs of the small ones had been cooked for dinner, there was a great crash in the smoke-room, and the seal woman appeared in the form of a terrifying troll; she sniffed at the food in the troughs and cried the curse: ‘Here lie the head of my husband with his broad nostrils, the hand of Hárek and the foot of Fredrik! Now there shall be revenge, revenge on the men of Mikladalur, and some will die at sea and others fall from the mountain tops, until there be as many dead as can link hands all round the shores of the isle of Kalsoy!’
When she had pronounced these words, she vanished with a great crash of thunder and was never seen again. But still today, alas, it so happens from time to time that men from the village of Mikladalur get drowned at sea or fall from the tops of cliffs; it must therefore be feared that the number of victims is not yet great enough for all the dead to link hands around the whole perimeter of the isle of Kalsoy.