Pict: serambi news |
FB Buyuang Mudo | Tapak Tuan, Aceh Selatan, ialah salah satu wilayah asimilasi orang Minangkabau dengan Aceh yang kemudian membentuk etnis/suku Aneuk Jamee. Dalam Adat Aceh disebutkan mengenai kedatangan orang-orang Minangkabau ke pantai barat Aceh. Mereka pada umumnya datang dari Pariaman, Pasaman, dan Lubuk Sikaping.
Tatkala timbulnya perang Padri di Minangkabau (Sumatera Barat) pada 1805- 1836, orang-orang Minangkabau yang menghindarkan diri dari malapetaka perang saudara itu, datang ke pesisir barat Aceh (Pasir Karam), berdiam di situ dengan membuka perkebunan lada. Mereka umumnya berdiam di sepanjang pantai seperti ditemui di Tapak Tuan dan Meulaboh.
Suku Minangkabau ini dianggap sebagai "Tamu" yang akhirnya berasimilasi dengan anggota masyarakat Aceh setempat. Proses asimilasi itu tidak mengalami kesulitan, hal ini dimungkinkan karena adanya persamaan agama (Islam). Masyarakat hasil asimilasi ini tidak lagi merasa sebagai orang Minangkabau atau orang Aceh dan mereka menyatakan diri sebagai Aneuk Jamee yang dalam bahasa Aceh secara harfiah berarti "Anak Tamu”, dengan bahasa dan kebudayaannya sendiri.
Ada cerita menarik sewaktu saya sedang bertugas di suatu kantor pemerintahan di Lampung dan kebetulan salah seorang pejabat di sana berasal dari Suku Aneuk Jamee. Kampung halaman beliau di Tapak Tuan, Aceh Selatan. Mengetahui bahwa saya orang Minangkabau, beliau terlihat sangat senang dan mengatakan bahwa di kampungnya di Tapak Tuan, mereka pun memakai Bahasa Minangkabau yang sangat mirip dengan Bahasa Minangkabau dialek Pariaman. Beliau juga bercerita bahwa orang-orang Aneuk Jamee kerap pergi berbelanja ke Bukittinggi, Sumatera Barat, dan merasa nyaman berkomunikasi dengan pedagang-pedagang di sana karena orang-orang Aneuk Jamee pun berbahasa Minangkabau, walau secara identitas kesukuan, bukan lagi orang Minangkabau.
Yang lebih salutnya, beliau paham sejarah Aneuk Jamee, kedatangan orang-orang Minangkabau, dan menjelaskan kepada saya maksud “Aneuk Jamee” dalam Bahasa Aceh yang artinya, “Anak Tamu”.