Pict: tengku puteh |
ASPEK.ID, JAKARTA – Perang tidak hanya melibatkan pertempuran para serdadu di medan laga. Ada kubu lain yang mempersiapkan logistik untuk bertempur. Mereka adalah orang-orang yang tidak hadir di laga pertempuran. Namun tanpa orang-orang yang pikul logistik, perang di mana pun akan kalah. Perang butuh logistik peluru atau makanan.
Begitulah dalam perang Aceh-Belanda (1873-1904), Belanda mengikutsertakan 2.100 tentara pribumi dari Jawa, 1.000 orang hukuman sebagai pekerja, dan 220 di antarnya wanita. Keberadaan mereka di Aceh adalah sebagai tukang masak, tukang bawa alat perang dan sebagainya. Di Aceh, orang tahanan itu bekerja dengan kaki dirantai. Maka disebut lah manusia rantai (orang rantai). Belanda menyebutnya beer atau beeren. Orang Aceh memanggilnya simeuranté. Orang-orang yang dirantai. Orang-orang Jawa yang dirantai ini disebut juga TPO (Tenaga Pembantu Operasi).
Kuli-kuli yang diberangkatkan ke Aceh berasal dari penjara-penjara di Jawa. Mereka dikirim tanah perang sebagai tambahan hukuman yang berada di luar daerah asalnya. Di Aceh, mereka menjadi tukang angkut, membangun rel kereta api, tukang cuci baju tentara, jalan, bendungan dan lain-lain. Kuli-kuli dari Jawa ini bekerja tanpa digaji. Hanya ada pengurangan hukuman penjara atau dihapuskan status budak.
Sejarawan H C Zentgraaff yang meliput perang di Aceh menulis kuli-kuli Jawa itu tewas di rimba-rimba. Mayat dibiarkan terbujur di jurang-jurang sebagai santapan binatang buas. Belanda mengirim 3 ribu tentaranya yang berasal dari Eropa, 5 ribu tentara pribumi dari Jawa, Sunda, Manado, Ambon dan lain, serta 180 orang Afrika plus ribuan orang tahanan yang 500 di antaranya adalah kuli.
Serdadu bayaran Marsose atau KNIL diberangkat dari markas militer Belanda di Bandung yang kelak lokasi itu diberi nama Jalan Aceh. Dalam perang Aceh, sekitar 70 ribu warga Aceh syahid. Di pihak musuh, sekitar 1.400 tentara tewas di ujung senjata gerilyawan Aceh. Sementara yang sakit sekitar 7.599 jiwa yang diobati di rumah sakit militer di Banda Aceh atau Padang bahkan ke Jawa.
Karena hidup melarat, manusia rantai mencuri makanan orang Belanda atau mencuri senjata Belanda untuk dijual kepada laskar Aceh. Serdadu bayaran dari Eropa juga menjual bahan-bahan peledak kepada pejuang Aceh. Peledak itu digunakan untuk meledak kereta api. Jadi aksi menjual senjata dan dinamit sudah terjadi di Aceh sejak kolonial Belanda.
Di Aceh, kuli-kuli melaksanakan tugas yang sangat berbahaya yakni mengantar surat-surat dari satu pos ke pos lain melewati wilayah yang dikuasai gerilyawan Aceh. Tragisnya, manusia rantai ini dijadikan tameng saat perang di pedalaman. Belanda menyebut budak-budak ini sebagai Batalyon ke-19 atau Batalyon Merah karena memakai seragam berwarna merah.
Masa itu, tentara Belanda (Indiche Leger) baru memiliki 18 batalion infantri di Aceh dan pekerja paksa itu dilakap sebagai batalyon ke-19 yang dipaksa merenggut nyawa agar komandanya mendapat hadiah. Aksi Belanda menerapkan budak paksa di Aceh menjadi masalah di Belanda setelah Koran Niew Rotterdasche Courant menurunkan laporan tentang keberadaan “para beruang rantai” pada Januari 1938. Isi laporan di koran itu antara lain,
“Bilakah seorang penulis akan menulis sejarah yang mengungkapkan saham yang pernah diberikan oleh beruang-beruang rantai dalam usaha fasifikasi dan pembukaan daerah-daerah yang sekian banyak itu” (dikutip Zenteengraaff dalam Abu Bakar Aceh, 1985:453)
Kisah-kisah perbudakan (beruang-beruang rantai masa kolonial ini) menjadi lembaran kelam bagi Belanda. Tanpa manusia rantai tak akan terwujud ekspedisi. Manusia rantai dipaksa ikut dalam penyerbuan ke Tangse Pidie yang dipimpin oleh Van Heutsz, Mayor van Loenen.
Akibatnya, mereka yang tidak mahir berperang menjadi santapan empuk pejuang Aceh. Tewas atau terluka dibiarkan saja tanpa pengobatan atau makanan. Manusia rantai dipaksa mengantar surat dari markas di Meureude ke Panteraja (Pidie Jaya) yang isinya meminta bantuan tambahan tentara.
Pasalnya, markas Belanda di Meureudu terkepung pada 1899. Komandan Belanda sangat khawatir karena tidak mampu melawan serbuan gerilyawan Aceh. Padahal di markas itu ada 150 tentara Belanda.
Komandan Belanda meminta seorang pekerja paksa (beer) asal Madura mengantarkan surat ke Panteraja. Beer harus berlari seorang diri menerobos semak belukar dan menyebrangi tiga sungai (krueng), dari Krueng Beuracan, Krueng Tringgadeng dan Krueng Panteraja.
Dengan wajah letih dan badan penuh goresan duri. Esok pagi beer berhasil menyampaikan surat itu ke markas Belanda Penteraja. Dalam keadaan gawat seperti itu Belanda mengirim delapan brigade Marsose dari Pidie ke Meureudu.
Marsose di Panteraja terkejut ketika muncul beer. Dia bertanya di mana kapten pasukan Panteraja. Dia mengelurkan lipatan surat dari dalam ikatan kepalanya.
“Dari Komandan Meureudu kepada Tuan Komandan Marsose,” kata beer sambil takzim menyerahkan surat itu.
Dalam surat itu komandan Marsose di Meureudu memberitahukan bahwa dia sudah tidak tidak mempunyai opsir-opsir lagi, dan serdadu-serdadu di pos semangat bertempur sudah luntur karena digempur pasukan Aceh.
Beer yang berhasil membawa surat itu kondisinya sangat memprihatinkan, karena keletihan setelah menyerahkan surat itu, dia pingsan. Ketika sadar diberikan semangkuk coklat, roti dan sepotong daging tebal sebagai imbalan.
Sebagai budak dari Madura, dia senang telah berhasil melaksanakan tugas dengan baik dan dipastikan bebas dari orang hukuman.
“Namun beberapa banyak dari mereka itu yang tidak pernah dapat kembali dari menjalankan perintah seperti itu? Siapa yang dapat mengetahui bagaimana cara kematian mereka?” tulis Zentgraaff.
====
Baca Juga: