Pict: Adin Joel |
Ulil Tanjung (Quora) - Orang Minang itu egaliter, mandiri dalam berpikir maupun bersikap. Puak Melayu lainnya mungkin tunduk pada Sultannya, tapi di orang Melayu di Minangkabau beda.[1] Demokratis. Datuk dan Penghulu dapat memberi masukan ataupun sanggahan jika Sultan berbuat sesuatu yang melanggar adat dan agama, tentunya dalam pertemuan resmi di Balai [Rung] adat dan dengan cara yang elegan (berpetatah-petitih) penuh bahasa yang santun.[2] Ada 3 raja penting di Minangkabau selain raja-raja di rantau. Disebut Rajo Tigo Selo (Rajo Alam (Yang Dipertuan Agung di Pagaruyung), Rajo Adat di Lintau Buo, dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus. Ketiga raja ini berkuasa atas segenap luhak dan rantau. Di Minangkabau ada petatah berbunyi; Didahulukan salakangkah, ditinggikan sarantiang (Pemimpin hanya seranting ditinggikan, selangkah didahulukan). Beda dengan adat orang beraja di Jawa atau beberap Negeri Melayu yang menganut Adat Temenggung, dimana menjadikan Sultan sebagai penguasa absolut. Ini dari segi cara berpikir ya. Jadi orang Minang menerima Islam selaku ajaran agama yang logis, sesuai dengan pola pikir dan kehidupannya setelah sebelumnya memeluk agama Buddha.[3]
Konversi dari Buddha ke Islam berlangsung dengan cukup baik. Pernah ada konflik di Istana Dharmasraya saat terjadi Revolusi Istana yang memakan korban salah seorang raja yang beragama Islam, maka pihak muslim yang belum menjadi mayoritas di istana mengalah dengan berhijrah ke Sungayang dan mendirikan benteng di sana. Benteng inipun kemudian terbakar akibat konflik masih berterusan dengan penguasa Dharmasraya saat itu, akhirnya mereka hijrah lagi ke lereng Gunung Marapi. Di sana sang raja menikah dengan penduduk lokal putri penghulu lantas mendirikan kerajaan yang besar di pedalaman.[4]
Agama Islam masuk ke Ranah Minang melalui 3 masa: abad ke 7 bersamaan dengan Barus yang merupakan salah satu port (pelabuhan rantau orang Minang) di utara. Melalui Siak (rantau pesisir timur/Minangkabau Timur yang saat ini jadi Provinsi Riau) sehingga di Minang ada ungkapan orang saleh/alim tahu agama sering dibilang "Orang Siak", atau kalau kamu belagak sok alim, maka akan dikatakan: "siak bana ang mah!" Kemudian abad ke 13 melalui pengaruh Aceh di Pariaman (Syeikh Burhanuddin Ulakan). Aliran yang masuk juga beragam. Tasawuf, Sunni dengan pengaruh Kultur Persia, Tarikat Sattari dan Naqsabandi serta Muhammadiyah/sering dibilang Wahabi padahal bukan.
Saat Belanda datang, mereka tidak bisa masuk ke dalam aturan hukum dan adat Minangkabau, sehingga tidak bisa diadu domba karena kekuasaan di Minang tidak berada pada satu raja, tapi dibawah kuasa bersama para penghulu dan dibawahnya ada ninik mamak, bundo kanduang di tiap-tiap suku dan daerah (demokratis). Ketika gelombang pemurnian ajaran Islam dimulai (konflik antara Kaum Paderi dengan Kaum Adat yang bisalah dibilang Kaum Abangan), akhirnya Belanda bisa mengadu domba kedua golongan tersebut.
Saat Sultan terakhir Pagaruyung ditangkap lalu digantikan oleh kemenakannya seorang Puti (Putri) yang ternyata juga sama kuat mentalnya dengan Sultan Alam Bagagar Syah dalam melawan Belanda, Kaum Adat dan Kaum Agama justru bersatu melawan Belanda. Sehingga diambillah konsesi di Bukit Marapalam bahwa identitas dan azaz adat Minangkabau adalah Adat bersendi Syara (aturan agama), Syara bersendi Kitabullah (Alquran).
Sehingga sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam bukan bagian dari Adat Minangkabau. Diskusi tentang aturan yang sesuai atau tidak ini terus berjalan seiring waktu dan zaman, baik di kedai/lapau/warung, surau/masjid hingga saat ini. Identitas ini melekat dari dulu hingga sekarang. Minang adalah Islam, bukan Minang (melanggar aturan Islam) bukan Islam. Pengaruh ABS-SBK ini tidak hanya di Sumatra Barat tapi juga di sebagian rantau Melayu, meski tidak seketat di Minangkabau.
==================
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Tiap-tiap puak yang mendiami negeri-negeri Melayu memiliki adat berbeda-berbeda. Perbedaan adat melahirkan perbedaan tabi'at, watak, dan karakter serta tingkah laku. Silahkan baca DISINI
[2] Adat di Minangkabau meliputi setiap aspek kehidupan (Hukum tata negara, perdata, pidana, sosial, budaya, etika). Dalam berinteraksi dikenal ungkapan 'Kato nan Ampek' empat jenis etika dalam berbicara dan bertingkah laku; mandaki, manurun, malereng, & mendata. Dalam Syari'atpun diajarkan cara-cara menegur pimpinan apabila silap, semilsal dalam shalat, bukan berkata "Hei salah tu Engku Imam" Demikian pula dalam adat beraja. Kata-kata penuh ungkapan dan kias disampaikan dalam berpetatah-petitih, tidak ada yang terus terang atau to the point. Dan orang yang menyampaikan ditentukan pula, tiada boleh langsung-langsung sahaja.
[3] Islam diterima dengan mudah karena dasar-dasar Islam telah ada dalam adat orang Melayu di Minangkabau. Salah satunya sifat sosialisme (egaliter) dimana hal tersebut juga menjadi salah satu ciri dari ajaran Islam. Adapun mengenai agama orang Minangkabau sebelum Islam, belum ada sumber yang dengan pasti menerangkan, hanya sahaja keluarga kerajaan diduga menganut Budha (Tantrayana/Mahayana) sedangkan kebanyakan orang Minangkabau menganut agama asli yakni agama Sinaro, atau ada juga yang menyebutkan anisme. Terkait orang Minangkabau Pra Islam, silahkan baca DISINI
[4] Sayang penulis tidak mencantumkan sumber referensinya. Namun jamak orang Minangkabau tidak mengenal salah satu versi sejarah yang ini. Baca juga INI
=================
Baca Juga:
- Adat Temenggung & Adat Parpatih di Alam Melayu
- ABS SBK Bukan Islam Nusantara
- PPAM: Sebelum Islam Masuk, merupakan salah satu Bab dari buku Pedoman Penguatan Pemangku Adat Minangkabau
- Islam Masuk ke Alam Melayu