NEGERI KAMPAR PADA UMUMNYA.
Awalnya, sebanyak 44 andiko (kepala keluarga) pindah dari Menangkabau[1] ke Kampar.
Empat dari mereka merupakan keluarga utama yang menetap di :
- satu di Koto Laweh (sekarang Limo Puluah Koto)
- satu di Mungka (sekarang Limo Puluah Koto)
- satu di Mahek (sekarang Limo Puluah Koto)[2]
- Satu masuk Muaro Takus.
Yang terakhir (Muaro Takus) dipimpin oleh "Datuak di Balai".[3]
Para Andiko lainnya menetap secara terpisah. Tempat tinggal mereka disebut Koto, mungkin karena mereka sedikit banyak membentengi diri mereka sendiri. Beberapa buah koto ditempati oleh dua andiko. Mereka disebut "Pucuak Andiko" yang artinya adalah "Andiko Pertama."
Ketika terjadi perselisihan di antara mereka, permasalahan tersebut dibawa ke Datuak di Balai yang ditetapkan sebagai andiko di Muaro Takus untuk menyelesaikannya. Oleh karena semua permasalahan Hukum Melayu (undang)[4] ditetapkan disana maka Muara Takoes dijuluki dengan Telaga Undang (Danau Hukum).[5] Jika keputusan dari Datuak di Balai belum dapat atau tidak memuaskan para pihak maka Datuak di Balai akan meminta informasi dan bantuan dari ketiga rekannya di Koto Laweh, Mungka dan Mahek.
Muaro Takus sebagai tempat kedudukan Datuak di Balai (perlu dicatat di sini bahwa gelar atau galar semacam itu berpindah secara berurutan dari satu kepala ke kepala berikutnya, dan dengan demikian tidak selalu merujuk pada orang yang sama)[6] adalah tempat utama Kampar, dan wilayah yang nenjadi tempat kedudukan (dikepalai) oleh Datuak di Balai, disebutkan dengan nama "Tungku Nan Tiga" yaitu tiga penopang1 yaitu :
|1Tungku secara harfiah berarti "batang pohon" atau batu yang lepas, tempat orang meletakkan panci untuk merebus nasi |
1. Muaro Takus yang secara adat (yaitu dalam menerapkan adat istiadat kuno) hidup berdampingan dengan Koto Laweh, Mungka dan Mahek. Kepala utama dari empat wilayah ini, dengan demikian, wilayah itu sendiri disebut sebagai "Ampek Niniak", yaitu empat nenek moyang.
2. Tanjung, yang dalam ungkapan adat disebut dengan "Tapung nan Tigo Niniak" yang berarti tiga 'nagari' yakni; Sungai Landia, Si Kijang dan, Koto Batak dari Tapung Kanan. Yang mana daerah ini terletak di sepanjang sisi kanan kedua Sungai Tapung, yang mana pada pertemuannya membentuk Sungai Siak.
3. Gunuang Malelo, yang menggabungkan cekungan dua sungai Rokan (Rokan kanan dan Rokan kiri).
Sebenarnya Kampar terdiri dari tiga bagian, yang disebut "Kabung."
Kata ini berarti "bagian dari keseluruhan," misalnya bagian dari sepotong kapal. Bagian-bagian ini disebut juga "Kabung air", yang berarti "bagian dari daerah aliran sungai".
Ketiga Kaboeng itu disebut:
1. Kampar Tungku Nan Tigo, terdiri dari Muaro Takus, Tandjung dan Gunung Malelo, disamping nagari yang dibuat atau ditambahkan kemudian: Gunung Bungsu, Tabing dan Si Baruwang.
2. Kampar Nan Tujuah Koto, yaitu:
Pulau Gadang,
Tanjung Alai,
Batu Basurek,
Koto Tangah,
Binamang,
Pungkei, dan
Koto Tuo.
3. Kampar nan Limo Koto adalah :
Kuro,
Salo,
Bangkinang,
Aia Tirih, dan
Rumbio.
Kampar Nan Tujuah Koto hanya terdiri dari enam Koto[7] untuk beberapa waktu. Tampaknya Binamang begitu terpuruk dalam kemerosotan sehingga ia menyelesaikan dirinya sendiri dengan para tetangganya, namun sekarang dinamai Nan Anam Koto sebagai nagari yang terpisah, dan ini, digabungkan dengan Kampar Tungku Nan Tigo, yang terdiri dari enam nagari, sekarang menjadi laras, bernama Kampar Nan Duo Baleh Koto, di bawah pemerintah Datuak DI Balai.
Jika terjadi perselisihan di antara penduduk nagari yang tergabung dalam tiga Kabung atau jika ada hal-hal yang menyangkut kepentingan umum yang perlu dimufakatkan, para kepala suku akan bertemu di Muara Mahek, dimana, selama masa pengangkatan mereka, pungutan dipungut untuk kepentingan mereka dari kapal-kapal yang melintas, sementara sabung ayam juga diadakan disana.
Batasan semua daerah yang disebut Kampar, dengan dataran yang lebih rendah, terletak di sana (Muara Mahek) yang tidak begitu terdampak bila terjadi banjir dari sungai -sungai yang bermuara ke laut, yaitu Kampar, Siak dan Rokan.2
| 2 Titik tersebut terletak tiga mil di atas titik tersebut, di mana pertemuan Tapung dan Tapung Kiri dan membentuk Sungai Siak. Lihat laporan W.H. de Greve mengenai ladang batu bara Ombilien, dll.bl.87 |
Nagari - nagari tersebut antara lain Kampar Kanan, Kampar Kiri, Tapoeng Kanan, Tapoung Kiri, Rokan Kanan dan Rokan Kiri. Mereka secara kolektif disebut Nagari Adat atau Andiko (tidak beraja). Berbeda dengan Siak, yang merupakan Tanah Beraja, yaitu kerajaan.
Para Andiko di Kampar telah lama bersahabat dengan Sulthan di Siak. Meskipun Siak tidak pernah memerdekakan negeri itu, pentingnya persekutuan yang aman dengan Pantai Timur Sumatra membuat para Andiko tetap menjalin hubungan baik dengan Siak, tanpa mengakui kedaulatan Sultan di wilayah mereka.[8]
Oleh karena itu, ketika Sultan Siak ingin berbicara dengan para Datuak atau Andiko, beliau pergi ke Pekan Baru, disanalah mereka melakukan pertemuan dan saling bertukar cenderamata / hadiah.
Hubungan antara Kampar dan Siak diungkapkan sebagai berikut:
"Raja ada di Siak, Yang Dipertuan di Gunung Idjoe (Pegunungan Hijau artinya Menangkabau, tempat mereka berasal), di dataran rendah (rantau) kita mengenal Raja, Para Andiko ada di Kampar"
Dalam bahasa Tapung, mereka berkata :
"Raja ada di Siak, kami bersahabat dengan Rokan, Tuan di Koto Intan."
Namun, Tapung tidak langsung berada di bawah Koto Intan, melainkan bersama Koto Intan dan Koto Lamo, yang tampaknya merupakan bagian dari lanskap Kunto: Memang, ketika Yang Dipertuan dari Koto Intan atau Yang Dipertuan dari Koto Lamo meninggal atau mengundurkan diri, pemerintahan di sana dipegang oleh Datuak Tarono yaitu Andiko dari Tanjuang Alam di Tapuang Kanan, sampai para pemilih menyetujui pilihan penggantinya, yang, begaimanapun juga, tidak bertindak, selama Andiko dari Tapung Kanan belum memberikan keterikatan mereka pada pilihan tersebut.
Bahkan sebelum 200 tahun lalu, hubungan persahabatan telah terjalin antara administrasi Perusahaan Hindia Timur (EIC-East India Company)[9] di Malaka dan nagari-nagari di Kampar. Pada tanggal 14 Januari 1676 sebuah kontrak ditanda tangani di Malaka dengan Kabon, Giti [terbaca juga Gili] dan Koto Rana, di bawah Tapung Kiri, dan pada tanggal 30 [?] 1686 dengan Air Tiris, Bangkinang, Salo dan Koewa (Limo Koto) untuk pasokan timah.
Setelah perang di Tambusai, dan ketika kami (Belanda) memiliki tempat tinggal di Dalu Dalu, Tapung Kanan dan Tapung Kiri digabungkan menjadi satu Laras,[10] di bawah seorang kepala, bernama Sulthan Ibrahim galar Datuak Bandaro Mudo, Andiko dari Tandun.
Tapoeng kemudian merujuk dengan Rokan, Pandalian, Koto Intan, Koto Lamo, Jipang Kanan, Jipang Kiri dan Lapik (Mapat Tunggul) di bawah Residen Rau.
Hal ini berubah tidak lama kemudian, ketika Rau menjadi asisten residen dibawah Residensi Padang Darat.[11]
Pengaturan ini masih ada pada tahun 1845; karena berita bahwa orang di nagari Si Layan, Rokan, Pandalian dan Tapung membangun benteng untuk melawan Muaro Takus dan Pungkai, Residensi Padang Darat menginstruksikan Letnan Gubernur di Rau untuk memperingatkan orang-orang negeri yang ditaklukkan agar tidak membiarkan musuh-musuh pemerintah tinggal" Hal ini merujuk pada kepala gerakan, Haji Kandil, dari Rau, salah seorang yang masih hidup dari kelompok Padri, yang dari waktu ke waktu menyebabkan kekacauan di negeri-negeri Timur. Pada saat yang sama, Residen haji ini (Haji Kandil) dan memberikan premi (hadiah) sebesar f 100[12] perak untuk penangkapannya.
______________
*Sumber :
Kepada laporan anggota Dewan Hindia Belanda, yang ditugaskan untuk melakukan misi ke kabupaten-kabupaten tersebut - O.VAN
REES, 30 Oktober 1867
-----------------
Aan het rapport van het lid van den Raad van Nederlandsch- Indië , belast met eene zending naar die Regentschappen - O.VAN
REES, 30 Oktober 1867
________________________
Gambar disalin dari kiriman FB Ireng Noviardi, diterjemahkan menggunakan laman deepl.com. Terdapat kata dalam Bahasa Melayu terutama terkait nama (nama tempat, nama/gelar orang) ataupun istilah asli yang merupakan pemelayuan dari Bahasa Minangkabau. Dalam terjemahan, kata tersebut kami kembalikan ke bahasa aslinya.
Versi Belanda silahkan baca DISINI.
________________________
Catatana Kaki oleh Admin:
[1] Dalam dokumen Belanda, digunakan kata Menangkabau bukan Minangkabau. Mereka juga menggunakan kata Melayu untuk menyebut Minangkabau secara keseluruhan.
[2] Telah menjadi kelaziman bahkan bagi orang Minangkabau sendiri dalam memelayukan beberapa nama atau istilah dalam Bahasa Minangkabau. Pada masa dahulu hal ini tidak menjadi masalah karena bahasa tulis memang berbeda dengan bahasa lisan (menulis menggunakan Bahasa Melayu, berbicara menggunakan Bahasa Minang) namun pada masa sekarang hal ini menjadi bumerang karena dapat menghilangkan identitas asli orang Melayu Minangkabau. Dalam kasus ini: Kota merupakan pemelayuan dari 'Koto' yang keduanya memiliki makna berbeda. 1) Koto Laweh, 2) Mungka, 3) Mahek
[3] Datu merupakan istilah yang lazim digunakan pada sebagian negeri Melayu, namun di Minangkabau menggunakan kata 'Datuk'
[4] Lihat catatan kaki no. [1]. Orang-orang Minangkabau pada masa dahulu mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu namun kemudian Melayu mengalami penyempitan makna seiring dengan kebijakan administrasi di pemerintahan moderen dimana Melayu dikecilkan hanya sebagai sebuah etnis bukan Bangsa. Dan Melayu diidentikkan dengan Riau dimana Riau memiliki dialek Bahasa Melayu yang serupa dengan dialek yang digunakan di Negara Malaysia moderen. Hal ini semangkin mempersempit dan mengaburkan batas dari Melayu itu sendiri dan terus berlangsung hingga kini.
[5] Datuak Di Balai merupakan pucuk atau pemimpin atau raja dari empat puluh empat (44) orang penghulu Andiko yang juga berarti pemimpin untuk seluruh rakyat yang berada di bawah 44 orang penghulu tersebut. Dalam menyelesaikan setiap persengketaan dilakukan secara bertahap yakni dari lingkungan keluarga, apabila tidak selesai maka datuak atau pemimpin keluarga akan membawa masalah ini kepada Majelis Penghulu (Kerapatan) di tingkat kampung, apabila tidak selesai maka akan diajukan ke tingkat Nagari, dan apabila masih belum selesai maka akan dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, dalam hal ini ialah Datuak Di Balai yang berkedudukan di Muara Takus. Disebutkan dalam ungkapan Minangkabau "Bajanjang Naiak, Batanggo Turun".
[6] Hal ini juga berlaku bagi Negeri Melayu yang menganut adat Parpatiah dimana dalam penetapan gelar tidak digunakan angka seperti Datuak Di Balai I, Datuak Di Balai II, dan seterusnya. Sehingga dalam mempelajari sejarah Minangkabau, beberapa orang yang tak faham adat yang berlaku di Minangkabau akan selalu mengalami kebingungan sehingga acap mereka menjatuhkan cap, bohong, dusta, khayal, dongeng, legenda, dan lain sebagainya.
[7] Nagari tidak sama dengan Koto, karena Koto merupakan tahap terakhir pembentukan sebelum menjadi nagari. Tahap-tahap tersebut ialah: Taratak, Dusun, Koto, & terakhir Nagari.
[8] Siak merupakan sebuah kerajaan yang didirikan oleh Rajo Kaciak (Raja Kecik), selengkapnya baca DISINI. Beliau dirajakan oleh orang-orang di negeri-negeri sepenjang aliran Sungai Siak pada tahun 1723 sedangkan nagari-nagari yang masuk dalam Federasi Kampar Nan Duo Baleh Koto telah berumur tua. Batas-batas wilayah telah ditetapkan lama semenjak pembangunan nagari-nagari tersebut dan nagari-nagari yang memutuskan untuk berserikat mendirikan Kesultanan Siak. Tidak pernah terjadi perang ataupun penaklukan diantara nagari ataupun kerajaan yang masih memegang teguh adat Parpatiah dan Katumangguangan, kecuali pada masa berikutnya setelah masuk pengaruh asing (Lanun Bugis dan Bangsa Eropa). Hubungan baik yang terbina antara Sultan Siak dengan para Andiko karena kesamaan asal usul dan menjunjung tinggi adat resam bangsa Melayu yang diturunkan dari Luhak Tanah Data.
[9] EIC milik Inggris untuk membedakan dengan VOC milik Belanda
[10] Laras merupakan sistem birokrasi ciptaan Belanda, dimana Belanda membuat dua sistem yakni birokrasi Belanda dan Birokrasi Pribumi. Laras termasuk ke dalam birokrasi pribumi dan merupakan jabatan tertinggi yang dapat dijabat oleh pribumi. Kepala Laras, demikian disebut, memiliki atasan seorang controleur (komendur menurut lidah Melayu) yang merupakan jabatan terendah di birokrasi kolonial.
[11] Untuk pemerintahan di Sumatera Westkust sendiri dibagi menjadi dua keresidenan yakni Padang Pesisir dengan ibu kotanya Padang dan Padang Darat yang semenjak 1840 berada di Bukit Tinggi.
[12] Gulden (bahasa Belanda: gulden, bahasa Inggris: guilder) adalah mata uang Belanda selama beberapa abad, sebelum digantikan oleh euro pada 1 Januari 2002. Kata gulden berasal dari bahasa Belanda Kuno yang berarti 'emas'. Nama ini mulanya digunakan untuk menyebut uang yang berbentuk kepingan emas, tetapi kemudian menjadi nama umum untuk kepingan perak atau logam dasar lainnya. Nama lain untuk gulden adalah florin (dilambangkan dengan fl. atau ƒ)
=================
Tambahan Gambar Dokumen