Pict: driau |
Dalam dokumentasi Belanda, Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I (Jurnal Bahasa, Tanah dan Etnologi India, Bagian LXX Episode I ), 1930, tercatat ada "Orang Darat" menghuni pulau Rempang itu.
"Dikutip dari Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit2/Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I," demikian unggahan UAS.
UAS yang merupakan keturunan Melayu menuturkan, dalam Perang Riau I (1782 - 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah (salah seorang Pahlawan Nasional). Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.
"Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga pada tahun 1787, pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga, yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad, dan Panglima Raman, yang diangkat langsung oleh Sultan Mahmud," tulis UAS.
Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga. "Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite)," tulis UAS.
"Jadi adalah keliru jika penguasa Negara Indonesia menganggap Penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang. Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini. Pada umumnya mereka beragama Islam," tegas UAS. UAS juga menjelaskan bahwa hari ini, jumlah penduduk Pulau Rempang diperkirakan 5.000 Jiwa (tidak termasuk Galang dan Bulang), dan bermata-pencaharian pada umumnya sebagai nelayan dan berdagang.
Dokumentasi Belanda
Pulau Rempang bukan sekedar lahan kosong. Menurut laman resmi Kemendikbud Kebudayaan, sejarah mencatat bahwa pulau ini merupakan tinggal tinggal bagi Orang Darat yang diyakini sebagai penduduk asli Kota Batam.
Pada 1930, seorang pejabat Belanda bernama P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Ia mencatat bahwa mereka merupakan suku asli yang hidup tanpa dinding, hanya beratap. Artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930) bahkan memuat kunjungan tersebut.
Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I (Jurnal Bahasa, Tanah dan Etnologi India, Bagian Episode LXX), 1930. P Wink menyebut bahwa pejabat Belanda di Tanjungpinang sudah lama mengetahui keberadaan Orang Darat di Pulau Rempang. Namun, belum ada kontak langsung dengan mereka.
P Wink menjadi pejabat Belanda pertama yang turun langsung menemui Orang Adat. Menurut P Wink, orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids tahun 1882, di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat atau Orang Utan.
Legenda menyebut mereka berasal dari Lingga. Sayangnya, tidak ada informasi yang jelas tentang asal usul ini. Orang Darat di Pulau Rempang mirip suka asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun.
Orang Darat mendiami Pulau Rempang dengan hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap. Tak hanya di Pulau Rempang, Orang Darat juga tinggal di Pulau Batam, tapi kemudian seakan menghilang karena membaur dengan Orang Melayu.
Melihat proyek Rempang sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari impian besar Bapak Teknologi BJ Habibie. Tokoh penting dalam sejarah Indonesia itu melihat bahwa kawasan Barelang (Batam-Rempang-Galang) mulai dapat dibangun jadi satu kesatuan ekonomi secara terintegrasi, mirip Benelux (Belgia-Netherlands-Luxemburg). Sebagai persiapan, Habibie membangun enam Jembatan Barelang untuk menghubungkan pulau Batam, Rempang, Galang (Barelang) dan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Tonton, Pula Nipah, Pulau Setoko, dan Pulau Galang Baru.
Pulau Rempang dan Pulau Galang masuk dalam perluasan kawasan industri Pulau Batam dengan status kawasan Berikat. Kawasan kemudian dikenal dengan sebutan Barelang yang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, Galang. Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 dan direncakan menjadi kawasan industri, perdagangan hingga wisata bernama Rempang Eco-City. Pembangunan kawasan industri di pulau seluas 17 hektare itu digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan milik Tommy Winata. (ito)
====================
Baca Juga:
- Lancang Kuning Menggugat
- Sejarah Kepahlawanan Sulthan mahmud Riayat Syah; yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang
- Rempang; Pulau Penuh Sejarah Berabad Lamanya
- Pulau Galang dari Masa ke Masa
- Tomy Winata; Bos Mega Proyek Rempang Eco City
- Sejarah Pulau Rempang yang Sudah Ada Sejak Era Penjajahan, Kontroversi Pembangunan Eco CIty
- Mahfud Akui Status Tanah Rampang Banyak Keliru