Pict: fakta daerah |
Oleh: Syaukani Al Karim
(Sastrawan Riau)
Nusantarakini - Menggelikan, sekaligus terdengar menjijikkan, ketika mendengar Tuan ingin berkhutbah tentang kebangsaan, NKRI, atau tentang Pancasila, di kampung kami, Riau.
Tuan mungkin sedang mengidap amnesia sejarah. Baiklah, aku sampaikan lagi, bahwa ketika negeri yang bernama Indonesia ini merdeka tahun 1945, kami masih negara berdaulat, dan lalu kami dengan kesadaran memutuskan untuk bergabung, menjadi Indonesia.[1]
Kami masuk ke Indonesia, bukan dengan tangan kosong seperti Tuan. Kami menyumbang 10 provinsi, 2 daerah jajahan, 39 butir berlian, uang 13 juta gulden, menyumbang minyak, dan memberikan bahasa. Bahkan sampai hari ini, tanah kami, mulai dari blok Kangguru, Dumai, dan Pakning, masih menyusukan negeri ini dengan 900 ribu barrel setiap hari. Kami berikan juga hasil hutan, kelapa sawit, hasil laut, dan berbagai komoditas lain.
Sejak eksploitasi Stanvac sampai minyak bumi kami mengisi lambung kapal Gage Lund tahun 1955, kami sudah menyumbang ribuan trilyun kepada negeri ini. Kami juga telah memberikan bahasa, agar Tuan petah berkata kata.
Izinkan kami bertanya: Apa yang sudah negeri Tuan sumbangkan kepada
Indonesia, sehingga Tuan merasa berhak untuk menceramahi kami soal
kebangsaan?
Minyak kampung kami juga ikut dalam tol, dalam jalan yang tuan injak di kampung Tuan. Minyak kami sudah membangun gedung-gedung di kampung Tuan, bahkan Republik ini. Itu sumbangan kami, mana sumbanganmu?
Tuan hanya mencintai negeri ini dengan tagar #nkrihargamati, atau #sayapancasilasayaindonesia, lalu Tuan merasa sudah demikian Indonesia?
Di kampung kami, orang kampung Tuan bisa menjadi apa saja, jadi gubernur, bupati, walikota, pengusaha, pejabat, anggota legislatif, bahkan menjadi bajingan pun boleh. Bisakah hal yang sama terjadi di kampung Tuan?
Di mana adab Tuan? Tuan menikmati kekayaan kami, tapi Tuan tanpa malu, tanpa moral mempersekusi ulama kami dan mempertanyakan keindonesiaannya. Apakah Tuan waras?
Berhentilah melakukan omong kosong, belajarlah untuk memiliki rasa malu. Antara kami dan Tuan tidak layak untuk disandingkan dalam keindonesiaan. Berhentilah meludahi muka sendiri….. [mc]
*Syaukani Al Karim, Sastrawan Riau.
=============================
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Setelah Sultan Syarif Hasyim wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta.Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Selengkapnya klik DISINI
====================
Baca Juga:
- Lancang Kuning Menggugat
- Sejarah Kepahlawanan Sulthan mahmud Riayat Syah; yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang
- Rempang; Pulau Penuh Sejarah Berabad Lamanya
- Pulau Galang dari Masa ke Masa
- Tomy Winata; Bos Mega Proyek Rempang Eco City
- Sejarah Pulau Rempang yang Sudah Ada Sejak Era Penjajahan, Kontroversi Pembangunan Eco CIty
- Mahfud Akui Status Tanah Rampang Banyak Keliru