Gambar: Kompasiana |
FB Benzo Rain - Pada awal Perang Aceh yang terjadi pada tahun 1873, Belanda meminta bantuan kepada penguasa-penguasa Nusantara, termasuk Kadipaten Mangkunegaran untuk mengirimkan pasukan ke Aceh. Karena di kala itu, Kadipaten Mangkunegaran Surakarta (Solo) memiliki pasukan perang elit yang bernama Legiun Mangkunegaran. Bahkan pasukan Legiun Mangkunegaran Solo saat itu dianggap sebagai kesatuan militer terbaik dan termodern se-Nusantara. Penguasa Kadipaten Mangkunegaran kala itu Mangkunegara IV, menyanggupi permintaan Belanda tersebut.
Berita tersebut terdengar oleh para prajurit Legiun Mangkunegaran dan masyarakat luas. Para prajurit Legiun Mangkunegaran menjadi resah dan kacau, apalagi bagi prajurit yang bernyali kecil dan penakut. Sebelum penentuan pasukan ditetapkan, ada puluhan prajurit penakut melarikan diri dari pasukan dan keluarganya. Sementara sebagian besar, lebih dari 90 persen pasukan, dengan lapang dada menunggu keputusan penguasa Mangkunegaran. Akhirnya waktu itu, diputuskan ada 200 orang prajurit infanteri (tertulis: namung prajurit inpanteri cacah 200) yang jadi diberangkatkan ke Aceh. Peristiwa tersebut ditulis dalam Majalah Kajawen tertanggal 1 Februari 1933 halaman 138—139.
Masih menurut laporan berita majalah berbahasa dan beraksara Jawa tersebut, sebelum diberangkatkan ke medan tempur, pasukan Legiun Magkunegaran (tertulis: Lesiyun Mangkunegaran) dikumpulkan di alun-alun besar Mangkunegaran. Senapati perang dipimpin oleh Kangjeng Pangeran Harya Gandasiswara (putra KGPAA Mangkunegara IV). Ia saat itu berpangkat kapten (tertulis: kapitan). KGPAA Mangkunegara IV sendiri ikut memberi wejangan dalam upacara pemberangkatan pasukan tersebut. Tidak ketinggalan, agar pasukan selamat di medan perang, di kepala mereka dililit bendera pusaka Kyai Slamet (tertulis: pusaka bandera Kyai Slamet).
Usai upacara pemberangkatan, pasukan Legiun Mangkunegaran yang ditugaskan dalam Perang Aceh, diantarkan ke Stasiun Balapan, untuk naik kereta api ke Batavia (Jakarta). Para pengantar di antaranya adalah para pimpinan militer dan keluarga pasukan yang bertugas. Mengakhiri laporan, setiap keluarga prajurit Legiun Mangkunegaran yang bertugas perang di Aceh mendapat jatah uang (tertulis: cadhong) setiap bulan secukupnya sesuai dengan kepangkatannya.
Perang Aceh (1873—1904) termasuk salah satu perang daerah di Nusantara yang paling lama berlangsung, selama sekitar 31 tahun, yang berakhir setelah Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri di tahun 1903. Namun setelah tahun 1904, bukan berarti perang telah tuntas sama sekali. Perang secara sporadis dalam lingkup lebih kecil di desa-desa masih terus berlangsung hingga tahun 1942, saat Jepang datang.
Naskah dan foto: Suwandi
===============
Baca juga: Saat Tentara Legiun Mangkunegara Solo Menyerang Aceh