“Padangs delegatie bij de HVK
Eind vorige week is een uit Padang afkomstige delegatie in audiëntie ontvangen bij de HVK, Z. Exc. Lovink. Zij bood namens het Komite Dewan Perwakilan Padang de op 25 Maart in een volksmeeting te Padang aangenomen resolutie aan de HVK aan. In deze resolutie wordt aangedrongen op de vorming van een Raad voor Padang en de Padangsche Benedenlanden. De delegatie bestond uit dr. Anas, dr. Hakim en de heer Gidi [Sidi?] Samsoeddin.”
***
niadilova.wordpress.com - Laporan koran De Locomotief (Semarang) edisi 26 Juni 1949 tentang audiensi antara “Komite Dewan Perwakilan Padang” dengan Wakil Tertinggi Mahkota Kerajaan Belanda (De Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon, disingkat HVK) H.M.J. Lovink di Jakarta.
HVK dibentuk untuk menampung aspirasi-aspirasi yang muncul dari kelompok-kelompok yang masih menginginkan kehadiran Belanda di Indonesia menyusul agresi Belanda ke Indonesia setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tgl. 17 Agustus 1945. Sebagaimana sudah sama diketahui, menanggapi kehadiran kembali Belanda itu, masyarakat Indonesia terbelah antara kelompok-kelompok yang berada di belakang Soekarno yang menginginkan Indonesia 100% merdeka dan menghendaki Belanda enyah dari Indonesia di satu pihak dan kelompok-kelompok yang tetap menghendaki Indonesia berada di bawah perlindungan Belanda di pihak lain. Yang disebutkan terakhir ini adalah para pendukung BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) yang dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak yang menghendaki bentuk negara federal bagi Indonesia dan tetap berada di bawah payung ‘negara induk’ (Belanda).
His Excellentie Lovink dan istri bertangkat ke Indonesia pada akhir Mei 1949 (lihat: Arnhemsche Courant, Arnhem, 31-05-1949) sebagai utusan Ratu Belanda guna mendekati dan berdialog dengan pihak-pihak yang masih tetap menginginkan kehadiran Belanda di Indonesia. Sesampainya di Jakarta pada awal Juni, HVK diresmikan dan Lovink dilantik sebagai wakilnya. Segera sesudah dilantik, ia mengadakan tur daerah untuk bertemu dengan para pendukung BFO, antara lain ke Pontianak dan beberapa daerah lainnya yang menjadi basis pendukung BFO (Nieuwe Courant, Surabaya, 02-06-1949).
Sebagai konsekuensi dari keputusan-keputusan yang disepakati dalam Perjanjian Roem-Roijen (ditandatangani tgl 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta), maka dilakukanlah penataan administrasi terhadap wilayah-wilayah Republik Indonesia dan yang masih dikuasai oleh Belanda di Jawa dan Sumatera. (Untuk wilayah Indonesia Timur praktis tidak mengalami banyak masalah karena mereka pada umumnya pro BFO). Untuk wilayah-wilayah yang masih dikuasai Belanda di Sumatera dan Jawa dibentuklah Territoriaal Bestuurs Adviseur (T.B.A.) yang dikepalai oleh orang Belanda, tapi pegawai-pegawainya kebanyakan orang Indonesia yang pro Belanda.
Berikut adalah nama-nama pejabat T.B.A. di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera: 1) Jawa Tengah (Dr. P. Angenent); 2) Jawa Timur (Ch. O. van der Plas); 3) Bantam, dengan kantor administrasi di Serang (N. Makkees); 4) Tapanuli, dengan kantor administrasi di Sibolga (F.P. Heekman); 5) Nieuw bezet gebied/Daerah pendudukan baru Sumatra Barat, dengan kantor administrasi di Padang (Dr. L.B. van Straten); 6) Nieuw bezet gebied Sumatra Timur yang meliputi daerah Asahan dan sebagian Bengkalis, dengan kantor administrasi di Rantau Prapat (W. Veenbas); 7) Nieuw bezet gebied Riau, yang meliputi wilayah Indragiri dan sebagian wilayah Bengkalis (Dr. J.C.C.H. van Waardenburg); 8) Nieuw bezet gebied Palembang, yang meliputi wilayah Pasemah dan Lubuk Linggau, dengan kantor administrasi di Palembang (Mr. H.J. Wijnmalen); 9) Jambi, dengan kantor administrasi di Jambi (Dr. J.J. van der Velde); 10) Distrik Lampung, dengan kantor administrasi di Teluk Betung (S.H. Pruvs; pejabat sementara); 11) Bengkulu/Bengkoeloen, dengan kantor administrasi di Bengkulu (J. Ch. Winterwerp) (Nieuwe Courant, 10-01-1949).
Rupanya orang Minangkabau juga ada yang pendukung BFO, meskipun dari segi jumlah kalah jauh dibandingkan dengan mereka yang pro kemerdekaan Indonesia sepenuhnya (mendukung Soekarno-Hatta).
Sebagaimana dapat dikesan dari laporan di atas, ada tiga figur utama kelompok pendukung BFO di Sumatera Barat, yaitu dr. Mohamad Anas, dr. Hakim, dan Gidi (Sidi?) Samsoeddin. Sebelum Perjanjian Roem-Roijen diadakan (dimulai pada 14 April 1949), dr. Anas dan kawan-kawan yang seide dengannya membentuk “Komite Dewan Perwakilan Padang” yang dalam rapat mereka yang diadakan di Padang pada 25 Maret 1949 sepakat untuk bergabung dengan BFO.
Pada awal September 1949, diberangkatkanlah ke Belanda orang-orang pribumi terkemuka penyokong BFO untuk memperkuat kelompok penyokong konsep negara federal ini dalam Nederlands-Indonesische Rondetafelconferentie (Konferensi Meja Bundar, KMB) yang dilaksanakan di Den Haag dari 23 Agustus hinggga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia (dipimpin Mohammad Hatta), Belanda (dipimpin Mr. Van Marseveen), BFO (dipimpin Sultan Hamid II), dan PBB/UNCI (United Nations Commission for Indonesia) sebagai mediator (diwakili oleh Chritchley). Ikut dalam rombongan itu para leading figures penyokong BFO dari wilayah-wilayah TBA di Sumatera. Mereka adalah: R.D.A. Challik Djojodiningrat dari Jambi, dr. Anas dari Minangkabau (Sumatra Barat), N. Toha Effendi dari Distrik Lampung, M. Jasin dari Bengkulu, E. Siaggian [Siagian] dari Tapanuli, dan Tengku Datuk Kasim dari Siak. Delegasi itu dikoordinatori oleh mr. Sjoekoer Soripada dan R.O. Simatupang sebagai sekretaris. Sedangkan ketuanya adalah Prof. mr. dr. Telong Gelar Sutan Gunung Mulia (lihat: Het Nieuwsblad voor Sumatra, Medan, 03-09-1949). Perdana Menteri Belanda, dr. W. Drees, mengucapkan terima kasih atas kedatangan dan dukungan mereka (Java–Bode, Batavia/Jakarta, 12-11-1949).
Sebagaimana sudah sama diketahui, KMB berakhir dengan kesepakatan untuk membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak berumur panjang. Pada bulan Agustus 1950 RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Itu artinya: orang-orang penyokong BFO kehilangan panggung politiknya, termasuk si Minangkabau asal Koto Gadang dr. Mohamad Anas dan teman-teman serta para pendukungnya di Sumatera Barat. Dari cerita-cerita yang kita dengar dan dokumen/berita tertulis yang diperoleh, diketahui bahwa kebanyakan pendukung/penyokong BFO (yang pada masa itu dengan gampang dituduh sebagai orang yang pro Belanda) melarikan diri ke luar negeri selepas pembubaran RIS atau hijrah dari daerah asalnya ke tempat lain untuk menyingkir dan menghindari kemarahan massa. Akan halnya dr. Anas sendiri, dia memilih hijrah ke Belanda, dan tingga di negeri dingin itu hingga akhir hayatnya (meninggal di Den Haag, 6 Januari 1961) (bacalah: https://niadilova.wordpress.com/2011/10/17/minang-saisuak-68-si-minang-eksil-dr-anas/; dikunjungi 06-01-2020).
Demikianlah sedikit tambahan informasi historis tentang gerakan pro BFO di Sumatera Barat dan para pendukung utamanya. Kajian lebih jauh tentang Komite Dewan Perwakilan Padang dan para pendukungnya dan aktivitas T.B.A. Sumatra Barat yang dipimpin Dr. L.B. van Straten kiranya perlu dilakukan dalam rangka menyingkap apa sesungguhnya yang terjadi dalam “Zaman Bersiap” yang chaos dan penuh konflik itu di Minangkabau.
Suryadi, MA, PhD – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 12 Januari 2020.
==============
Baca Juga:
- Si Minang Eksil: dr. Mohammad Anas
- Hari Ibu dan Ranah Bunda, Tentang Malin Kundang, Hanafi, Muhammad Rajab, & KAU
- Perantau Malin Kundang