Ilustrasi Gambar: Lembah Alas |
Oleh:
Dr. Thalib Akbar, M.Sc.(USA)
SEKRETARIS MAJELIS ADAT ACEH (MAA)
Kabupaten Aceh Tenggara
PENDAHULUAN
Menyingkap tabir tentang sejarah dan asal muasal suku Batak Alas tidak dapat dipisahkan dari adat dan budaya Batak Alas itu sendiri mengingat hal ini mempunyai korelasi positif antara etiologi dengan antropologi budayanya yang telah menjadi manifestasi gerak jiwa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu kuranglah lengkap bila hanya membahas tentang Sejarah Asal Mula Suku Batak Alas dan Penyebarannya di Tanah Alas, Aceh Tenggara. Sehingga dalam tulisan ini juga dibahas marga-marga, sekilas adat Batak Alas, Penerapan dan Landasan hukum adatnya secara juridis formal.
Ukhang Alas atau Khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di Lembah Alas (Alas Valley) jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, dimana keadaan penduduk Lembah Alas waktu itu telah diabadikan dalam sebuah buku yang ditulis oleh bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8). Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas pada tahun 1325 (Effendy, 1960:36), maka jelas Tanah Alas telah dihuni penduduk (Bangkaru, 1998) walaupun masih bersifat nomaden (nomadic society), dengan menganut kepercayaan animisme dan lain sebagainya.
SEJARAH ASAL MULA SUKU BATAK ALAS DI ACEH TENGGARA
Nama Alas diperuntukkan bagi seorang atau kelompok etnis Alas, sedangkan daerah Alas sendiri disebut dengan Tanoh Alas (Alasland). Menurut Kreemer (1922:64) sebutan “Alas” berasal dari nama seorang kepala etnis, yaitu seorang cucu dari Raja Lambing, yang dahulunya bermukim di desa paling tua di Tanah Alas, yaitu Batoe Mboelan, kemudian nama desa ini berubah ejaannya menjadi Batumbulan.
Menurut Iwabuchi (1994:10) Sejarah raja yang pertama sekali bermukim di Tanah Alas terdapat di desa Batumbulan dikenal dengan nama RAJA LAMBING, yaitu keturunan dari RAJA LONTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATEA BULAN dari Samosir, Tanah Batak. Tatea Bulan adalah saudara kandung dari RAJA SUMBA atau Sumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah orang tuanya Raja Bor Bor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempunyai sembilan orang anak (Anak Lontung: Sia si Sada Inang), yaitu dua perempuan, kawin dengan Simamora dan yang satu lagi berkeluarga dengan Sihombing dimana kedua marga ini menjadi Boru (bahasa Batak Toba), atau Anak Beru (bahassa Karo) , atau Peranakberunen (bahasa Batak Alas). Kemudian anak Raja Lontung yang laki-laki adalah: Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar yang dikenal dengan siampuan atau payampulan, sesampunen (bahasa Alas-red).
Pandiangan merupakan monyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, SOLIN di Dairi, SEBAYANG di Tanah Karo dan SELIAN di Tanah Alas (Aceh Tenggara) dan Kluet (Aceh Selatan). Penulis dan sebagian anggota keluarga sudah pernah berkunjung ke Toga Pandiangan dan menginap di Desa Urat, Kecamatan Palipi, Kabupaten Toba Samosir Tahun 2004.
Raja Lambing adalah monyang dari marga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, yaitu abangnya tertua adalah Raja Batuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet (Aceh Selatan), keturunan dan pengikutnya adalah marga Pinem atau Pinim). Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah marga Sebayang dengan wilayah kemukimannya mulai dari Tiga Binanga hingga ke Perbesi dan Gugung, Kabupaten Karo dan Marga Selian di Tanah Alas Kabupaten Aceh Tenggara.
Setelah kedatangan Raja Lambing ke Tanah Alas, lalu menyusul Raja Dewa, yaitu pembawa ajaran Islam perdana dan termasyhur ke Tanah Alas, dimana beliau menjadi suami putri kandung Raja Lambing.
Kemudian Raja Lambing menyerahkan tahta kerajaannya kepada menantunya Raja Dewa yang dikenal juga dengan nama Malik Maulana Ibrahim (Ismail, Informan, 2003). Bukti situs sejarah kerajaan ini masih dikunjungi berbagai peziarah dalam dan luar negeri, yaitu Perkuburan Datuk Raja Dewa/Malik Maulana Ibrahim, berlokasi di muara Lawe Sikap, desa Batumbulan.
Raja Dewa mempunyai seorang putra yang bernama Alas yang terakhir menjadi seorang Raja di Tanah Alas. Kemudian setelah menerima tahta Kerajaan dari orang tuanya Raja Dewa, seluruh wilayah ini menjadi kekuasaan Raja Alas, siapapun yang hendak bermukim dan menggarap lahan di ”Tanahnya si Alas” tentunya harus seizin Alas sebagai seorang penguasa Negeri. Karena luasnya kekuasaan wilayahnya, maka pihak luar Aceh Tenggara memberi nama tujuan (destination) Tanah Alas, lalu nama inilah dikenal hingga hari ini menjadi nama Orang Alas (The People of The Alas Valley), Suku Alas, atau Tanah Alas atau Alas land, bahkan Lawe Alas (Kali Alas-red) dan Lembah Alas (Alas Valley).
Keturunan Raja Alas hingga tahun 2000 ada yang bermukim di berbagai wilayah, baik di tanah Alas, ibu kota Propinsi Aceh (Banda Aceh), Medan, Malaysia, maupun tempat lainnya (Encyclopaedisch Bureau, 1916:119; Iwabuchi, 1994:10-15; Kreemer, 1923:243-244; Rahman, Informan, 2003; Jibun, Informan 1998).
Berdasarkan temuan data tersebut di atas, maka jelas bahwa nama Alas bukan berasal dari sebutan berbagai bahasa etnis di Nusantara. Misalnya, karena Tanah Alas dikelilingi bukit/gunung-gunung artinya dalam bahasa Jawa adalah Alas, karena di hamparan ini banyak Talas, maka disebut wilayah ini menjadi Alas, atau daerah ini merupakan lembah yang rendah maka dalam kata Melayu disebut Alas, karena merupakan hamparan luas maka disebut Alos (tikar) menurut etnis Gayo. Jelasnya penamaan seperti ini sulit dipertanggung-jawabkan secara akademik.
Diperkirakan pada akhir abad 12, Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah Marga Selian. Ada hal yang menarik perhatian dari kesepakatan antara putra Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raja Lele) dengan Putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang di bawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Batak Alas, tetapi adat istiadat Batak Alas yang dipunyai Raja Lambing tetap dipakai bersama (Rahman, Informan, 2003; Ismail, Informan, 2003; Jibun, Informan, 1998).
Ringkasnya adalah “hidup dikandung adat, mati dikandung hukum (Islam)”. Oleh sebab itu jelas bahwa assimilasi adat istiadat dengan ajaran Islam dalam kebudayaan suku Batak Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Raja Adeh mempunyai keturunan Selian dan pengikutnya di Kertan (Kecamatan Badar dan Kecamatan Darul Hasanah), Raja Lele adalah monyangnya Selian dan pengikutnya di Engkeran (Kecamatan Lawe Alas dan sekitarnya), dan Raja Kaye adalah Monyangnya Orang Selian Batumbulan dan Pengikutnya, sekarang Kecamatan Babussalam dan sekitarnya (Jibun, Informan, 1998; Rahman, Informan, 2003, dan Ismail, Informan, 2003). Raja Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempunyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar di tanah Alas (Encyclopaedisch Bureau, 1916:118; Effendy, 1960:36; Sebayang 1986:17; Ismail, Informan, 2003).
Pada awal kedatangannya, Datuk Raja Dewa atau Malik Maulana Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian Timur Aceh (Pasai) sebelum ada kesepakatan di atas, ia masih memegang budaya maternalistik dari Minang Kabau, sehingga putranya Raja Alas, sebagai pewaris kerajaan, mengikuti garis keturunan dan marga pihak ibu yaitu Selian.
Setelah Raja Alas menerima asimilasi adat istiadat yang dibawa oleh Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetapkan keturunannya mengikuti garis keturunan ayah (paternalistik). Raja Alas dikenal pula sebagai pewaris kerajaan, disamping kekayaan harta tanah ayahnya dan yang diperoleh dari kakeknya Raja Lambing (Sebayang, 1975:73). Sejak itulah diperkirakan daerah ini dikenal dengan sebutan nama Tanah Alas (Tanah Alas), Tanah artinya permukaan bumi yang terbatas, ditempati suatu bangsa/suku/clan yang diperintah dalam suatu negeri/wilayah dan mendapat pengakuan dari publik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 1132-34).
Menurut Iwabuchi (1994:11), akhirnya, kakek Raja Alas (Raja Lambing) migrasi lagi ke Kluet (Aceh Selatan) untuk mencari “abangnya” yang nomor dua, yaitu Raja Enggang. Raja Lambing di Kluet juga mempunyai keturunan dan pengikutnya dikenal dengan marga Selian serta ia menghembuskan nafas terakhir dan makamnya berada di Deleng Puntung, desa Icing Manuk, yaitu diperkirakan antara Lawe Sawah dan Lawe Manggamat sekarang (Rahman, Informan, 2003; Ismail, Informan, 2003; Jibun, Informan, 1998). Oleh sebab itu banyak keturunan dan pengikutnya berkembang di Kluet. Sebagian mereka sudah kembali lagi ke Batumbulan (Aceh Tenggara) dan sekitarnya, bahkan sebaliknya dari Batumbulan juga ada yang hijrah ke Lae (Lawe) Sawah, Paya Dapur, Kota Pajar, Manggamat dan sekitarnya di Kluet. Mereka bermukim di wilayah ini diperkirakan sejak awal abad ke 13 yang lalu (Effendy, 1960:36 Encyclopaedisch Bureau, 1916:118-9; Akbar, 2010-b; Akbar,2005).
Beberapa data menyebutkan bahwa setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang dikenal dengan marga Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur dan sekitarnya. Raja Sekedang ini menurut beberapa informasi dan data yang ditemukan pada awal kehadirannya ke Tanah Alas adalah mencari Ayahnya, yaitu Raja Dewa yang migrasi ke Tanah Alas.
Raja Marga Sekedang datang ke Tanah Alas diperkirakan pada pertengahan abad ke 13, yaitu bernama Nazaruddin yang dikenal dengan panggilan Datuk Rambat yang datang dari Pasai. Pendatang berikutnya semasa Raja Alas adalah kelompok Megit Ali dari Aceh Pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli dan sekitarnya, yang dikenal dengan marga Bekhuh (Beruh).
Lalu terjadi migrasi berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari penduduk Batumbulan (Iwabuchi, 1994; Akbar, 2010-c:3). Penduduk Batumbulan mempunyai beberapa kelompok atau marga (clan dan sub-clan). Marga tersebut meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan, yaitu Terutung Pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang Kelompok Sinaga (Sinage), Keruas, dan Pagan. Disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim (Pinem), Karo-karo, dan Terigan (Tarigan).
Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas Iwabuchi, 1994; Akbar, 2010-a), namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah(Akbar, 2010-b:3). Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampung Ujung Barat (sekarang masuk dalam wilayah Batumbulan II).
PENYEBARAN BANGSO BATAK ALAS DI TANAH ALAS
Penyebaran Bangso Batak Alas yang berdomisili di desa (Kute) Batumbulan sebagai wilayah asal muasal penyebaran Batak Alas menurut hasil penelitian Iwabuchi yang dicatat oleh Daalen sejak 1904 -1907 adalah: Lawe Pangkat, tenembak Alas, Gusung Batu, Pulonas, bagian dari Mbarung (Ujung Barat), Perapat, Cane Keretan, Pulogang/Tambunan, Kute Tinggi, Deleng Megakhe (Tanah Merah), Mbornut, Batin, Gulo, Kute Pasir (Kampung Raja), Muara Lawe Bulan, Kuta Lenge, Telage Mekar, Penumbukan, Kute Batu, Lawe Rutung, Itam Mencawan ni Tualang, Kute Gerat, Lawe Sumur, Kandang Mbelang, Batumbulan Mbaru, Lawe Pio, Lawe Perlak, Ntualang Sembilar.
Pemekaran Batumbulan ke arah utara adalah Rambung Teldak, bagian dari Natam, Lawe Gerger, Jongar, Pengeparan, dan Cingkam. Kemudian pemekaran Batumbulan ke Kembang Kertan adalah Kute Rambe, Kute Buluh, Kute Ujung, Kute Mesung, Lawe Pungge, Lawe Bekung (Salang). Kemudian pemekaran ini berlanjut ke Kute Lengat Mbaru (bagian Terutung Pedi), Gulo, Paye Munje, dan Kute Lengat. Kemudian ke Terutung Pelariken, Ntualang, Terutung Buluh (Kute Buluh), Kute Rih, dan Tenembak Langlang. Kemudian berkembang lagi ke arah Barat daya, yaitu Ngkeran, Lawe Kongkir, Rumah Luar, Paye Munje, Terutung Payung, Kute Genting Muara Baru, Pulo Tebu, Pulo Latong, Kute Mbaru, Terutung Pilun, Penampaan, dan beberapa desa lagi berkembang akhir-akhir ini, misalnya Lak-lak (dusun Aunan) di Kecamatan Badar, Kute Lengat Marpunge di Kecamatan Blangkejeren, Kuta Tengah (Kecamatan Lawe Sigala-Gala), Lawe Sempilang, Liang Pangi (Kecamatan Lawe Alas), dan lain-lain yang belum diinventarisir.
Berdasarkan fakta sejarah dari berbagai literatur hasil penelitian di atas bahwa kerajaan di Tanah Alas yang tertua berada di Batumbulan dan merupakan basis pemekaran serta cikal bakal lahirnya nama Tanah Alas. Oleh sebab itu dapat dimaklumi bahwa secara asas hukum adat dan ethnologis maka berlaku teori receptio in complexu dan istilah Gods dientige Wetten yang kemudian berubah menjadi Adatrech (Djunet, 1992:7-8). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Batumbulan adalah merupakan wilayah kerajaan tertua dan asal muasalnya adat-istiadat Batak Alas dan pusat pengembangan syi’ar Islam di Tanah Alas tempo doeloe.
MARGA-MARGA SUKU BATAK ALAS
Menurut Zainuddin (1961:187; Akbar, 2010-a:5); bahwa adapun marga yang tertua di kalangan Bangso Batak Alas adalah 28 marga, dengan urutan (sesuai susunan abjad) adalah Marga Bangko, Cibro, Desky, Keling, Pale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian. Kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro (Karo-karo), Mahe (Maha), Menalu (Manalu), Mencawan, Munthe, Sinage (Sinaga), Pase, Pelis, Pinim (Pinem), Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung (Sipayung), Sebayang, dan marga Terigan (Tarigan).
Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di Tanah Alas, maka jelas tidak ada satu orangpun orang Batak Alas yang berdiri sendiri secara independen ibarat tumbuhnya cendawan dimusim hujan. Oleh karena itu etnis Batak Alas sejak monyang terdahulu hingga sekarang adalah pendatang. Namun kedatangan mereka ada yang lebih awal hadir, yang datang kemudian, dan ada yang baru hadir dan bermukim di Tanah Alas. Sehingga wajar penduduk di Tanah Alas merasa senasib-sepenanggungan serta sama-sama pendatang ke daerah ini, termasuk penulis sendiri walaupun asli penduduk Batumbulan, namun harus diakui moyangnya adalah imigran tempo doeloe.
ADAT ISTIADAT BATAK ALAS, PENERAPAN DAN LANDASAN HUKUMNYA
Seperangkat nilai-nilai kenyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat tertentu disebut dengan adat istiadat. Keragaman adat istiadat di Aceh merupakan kekayaan yang berharga bagi ummat, salah satu diantaranya adalah adat Batak Alas. Keberadaan adat Alas telah memberikan sumbangan dalam mengatur kehidupan masyarakat secara turun temurun di Lembah Alas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 tahun 1999, tentang penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Perda Nomor 7 tahun 2000, tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat maka sudah pasti Pemerintah telah mengakui keberadaan adat Aceh, termasuk adat Batak Alas yang tidak lapuk dihati khang Alas (orang Alas). Pengakuan Pemerintah tersebut di atas menunjukkan betapa besarnya peran adat istiadat untuk difungsikan kembali demi mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Batak Alas pada khususnya.
Adat istiadat Batak Alas berkaitan dengan “Adat Bak Po teu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Resam bak Laksamana, Hukum ngon Adat lagee Zat ngon Sifeut”. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas, maka penyelenggaraan kehidupan adat di Tanah Alas diatur dalam suatu Peraturan Daerah, yaitu Qanun Nomor: 24 Tahun 2000 (Akbar dan Kartini, 2006).
Pemulihan pemberlakuan hukum adat berdasarkan peraturan perundang-undangan resmi dari Negara kepada masyarakat adat di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD), khususnya masyarakat adat Batak Alas, yaitu merupakan upaya secara langsung membantu Pemerintah untuk menyelesaian tindak pidana adat secara tuntas dan memuaskan masyarakat adat di luar Pengadilan Negeri. Justru itu peraturan adat setempat jauh lebih dihormati oleh masyarakat adat ketimbang hukum warisan kolonial Belanda yang masih berlaku di Tanah Air ini.
Dengan demikian keadaan di Aceh mendatang, khususnya masyarakat adat Batak Alas di Kabupaten Aceh Tenggara, mirip dengan penegakan hukum di Manhattan, State of Kansas, Amerika Serikat (USA), di mana Kota Penulis menyelesaikan Sudi, yaitu pemberlakuan hukum lokal (State regulations enforcement), sesuai budaya masyarakat Midwest. Karena hukum lokal yang begitu mendarah daging dan tetap hidup dalam masyarakat, maka timbul hipotesis bahwa sifat-sifat kepatuhan terhadap regulasi di kalangan keluarga diwariskan secara genetika kepada anak-anak mereka. Terbukti bila ada pelanggaran terhadap regulasi di USA, individu atau masyarakat akan segera melaporkan kepada pihak berwajib lewat telepon khusus 911 (nine-one-one).
Kepatuhan terhadap regulasi tentu ada sebabnya, yaitu para saksi sangat dilindungi kerahasiaan pelaporannya oleh Pemerintah Federal dan diberikan insentif ratusan hingga ribuan Dollar setiap laporan pertama dari saksi terhadap kasus tindak pidana. Tentu seluruh masyarakat menjadi “polisi” yang membuka tabir tindak pidana sesuai regulasi setempat membatu penegak hukum di USA (Black, 1990).
Ada kemiripan penerpan hukum adat di USA di atas dengan halnya hukum masyarakat adat Batak Alas, hingga kini tetap hidup dan unik, dimana sipelapor selalu dirahasiakan serta mendapat perlindungan adat disamping memperoleh hak adat dari pengabdiannya. Hal inilah masih berlaku dalam masyarakat adat Batak Alas. Hukum adat dalam masyarakat Batak Alas mengatur tatanan kehidupan masyarakat sejak ratusan tahun lalu, sehingga dikenal istilah pelanggaran adat, sanksi, dan denda tindak pidana adat.
Pelanggaran adat dalam kehidupan masyarakat Batak Alas sangat tidak dibenarkan. Namun bila terjadi pelanggaran, maka dapat diselesaikan di luar pengadilan Pemerintah. Sehingga dalam penyelesaian tindak pidana adat Batak Alas mengacu pada Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Perda (Qanun) Nomor 7 Tahun 2000, Pasal 10 menegaskan bahwa
“Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Geuchik (Penghulu) dan Imum Mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di Gampong/Mukim masing-masing”.
Pada Pasal 11, ayat (1) berbunyi
“Keuchik berwenang untuk menyelesaikan perselisihan persengketaan/permasalahan yang terjadi di Gampong (Desa), baik masalah-masalah dalam keluarga, antar keluarga, dan masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat dalam suatu Rapat Adat Gampong (desa)”, dalam hal ini Rapat Adat Batak Alas.
Pada ayat (2) menegaskan
“Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan di Gampong atau para pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan adat tingkat Geuchik, maka perselisihan sengketa tersebut diselesaikan oleh Imum Mukim dalam rapat Adat Mukim”.
Pasal 14 ayat (2) menegaskan bahwa
“Para pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat pada tingkat Geuchik atau Imum Mukim, ia akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh karena merusak kata kesepakatan dan mengganggu keseimbangan yang hidup dalam masyarakat”.
Pasal 15 ayat (1) menegaskan bahwa
“Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Imum mukim tidak dapat menyelesaikan atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap keputusan adat tingkat Mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada aparat penegak hukum (Polisi).
Pasal yang sama pada ayat (2)
”Keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara.
Pasal 24 berbunyi
“Aparat Pemerintah yang berasal dari luar daerah dan bertugas di Aceh, khusunya di Tanah Alas, harus mempelajari dan menghormati dasar-dasar adat Alas dan nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat adat”.
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat di masing-masing daerah, dalam hal ini secara Adat Batak Alas. Sebagai pedoman penyelesaian pelanggaran adat sudah diterbitkan buku “Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas”, tahun 2001 dan edisi kedua dicetak ulang tahun 2004.
MIGRASI BATAK TOBA KE TANAH ALAS
PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA 1909-1914
Pemerintah Kolonial Belanda dikenal dengan politik De vide et imperanya dalam menguasai Nusantara. Kemudian pembukaan akses transportasi untuk mobilitas hasil bumi dan kekayaan alam yang mereka eksplorasi sangat diutamakannya. Akses transportasi yang dimaksud meliputi pembangunan jalan baru dari Sumatera Timur ke Tanah Alas (1909-1914). Sehingga memudahkan migrasi antar suku berikutnya, antara lain Melayu Deli dari Sumatera Timur, Batak Toba dari Samosir dan sekitarnya. Termasuk dari Angkola, Sipirok, Batak Timur Raya, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Singkil dan lain-lain (Gayo, 1983). Disamping sebagai serdadu Nica Belanda, banyak pekerja dan buruh membuka jalan dibawa dari Jawa, Menado, Batak Toba, dll, sampai saat ini telah berketurunan di Aceh Tenggara. Mereka ini di duga menjadi sumber informasi bagi orang Batak Toba dan suku lainnya untuk datang di kemudian hari ke Tanah Alas.
Migran Batak Toba sesampainya di Tanah Alas tentu harus melapor dan umumnya tinggal di Batumbulan. Raja Batumbulan saat itu, Haji Sidon, yaitu abang sepupu Raja Haji Durasa alias Wan Ampuk. Beliau memerintahkan kepada pendatang Batak Toba membuka persawahan dan diharapkan menjadi contoh bagi Batak Alas dalam bercocok tanam. Berita tentang Tanah Alas semakin tersebar di kalangan petani Batak Toba di Samosir dan Tapanuli, maka secara berangsur-angsur mereka memasuki Tanah Alas yang subur.
Petani Batak Toba sekitar tahun 1920-an semakin ramai datang untuk mendapatkan tanah, umumnya mereka terlebih dahulu membayar uang adat dan mendapatkan surat izin dari Keujeuruen sesuai adat Batak Alas yang dikenal ”Secawan Ngkahe, Secawan Ngkolu”. Penyelesaian uang adat ini adalah untuk mendapat hak garap saja (bukan hak milik/pinjaman) lahan subur, maka dalam tahun 1922 diperkirakan sudah tidak kurang dari 148 Kepala Keluarga yang menetap di Tanah Alas di bawah kepemimpinan Raja Haji Sidon.
Setelah berakhir kekuasaan Raja Haji Sidon (sakit dan meninggal dunia) pada zaman penjajahan Belanda, dimana sebenarnya penduduk Batak Alas merupakan ”pemilik lahan” yang sanga luas dan subur di seantero Lembah Alas. Mengetahui informasi tersebut, maka migran Batak Toba sangat tergiur, sebab tanah di Pulau Samosir dan Tapanuli sangat kurang menjanjikan untuk kehidupan bidang pertanian ladang atau sawah.
Tidak seperti pada masa kekuasaan Raja Sidon, lahan hanya sebatas hak garap, kemudian Keujeurun Bambel di bawah kekuasaan Haji Durasa Selian (Marga Selian adalah anaknya Pandiangan dari Pulau Samosir, red) atau dikenal dengan Raja Wan Ampuk. Semasa Raja Wan Ampuk (Penduduk Batumbulan Asli, red), tidak dikenakan uang adat garapan atas tanah seperti pada masa Raja Sidon kepada siapa saja pendatang di Tanah Alas, oleh sebab itu pendatang Batak Toba lebih senang. Mereka ada yang tinggal di Batumbulan, dimana sifatnya adalah pekerja keras, apalagi mereka sudah diberikan hak milik adat atas tanah yang selama ini hanya sebagai garapan saja. Lalu semasa Raja Wan Ampuk menjadi Keujeurun Bambel lahan-lahan garapan ditetapkan menjadi hak milik adat, sehingga kehidupan mereka relatif lebih baik dibandingkan penduduk setempat, Batak Alas.
Lahan-lahan yang diserahkan pertama sekali oleh Raja Wan Ampuk diantaranya Mura Keminjin, Deleng Megare dan Jambur Lele (Tanah Merah) kepada keluarga Pakpahan, dan Pasaribu Cs. Selanjutnya diberikan ratusan Hektar kepada keluarga Sianturi dan Situmeang Cs. di Buluh Biang (Paranginan), sekarang di Kecamatan Badar. Selanjutnya Raja Wan Ampuk memberikan ratusan hektar kepada keluarga Haji N. Siregar, Harahap, Situmorang, Simamora Cs. dari Tapanuli Selatan di Kampung Melayu, Maracar, Kuta Batu dan Simpang Semadam. Untuk Keluarga Aruan, Aritonang, Tampubolon, Siregar dan Sinaga Cs diberikan di Afdeling Lawe Petanduk, Lawe Sigala, Lawe Desky, Kandang Belang, Kampung Nangka, Lawe Ponggas, Bunga Melur, Kuta Pengkih. Titipanjang diberikan menjadi lahan Sibarani Cs, tanpa membayar uang adat. Untuk keluarga Silaban, Sitohang, Simanjuntak, Siagian, Hutauruk, Sihombing Cs diberikan lahan di afdeling Lawe Bekung, Rukahan, Simpang Tiga Rantodior (Tanah Milik adat/pribadi Wan Ampuk) hingga ke batas kebun Rutung Tenembak Bahu (sekarang Desa Kati Jeroh-red).
Pada tahun 1932, Pemerintah Belanda menilai bahwa kehidupan rakyat sudah membaik, saatnya mulai ditetapkan penarikan pajak. Sebenarnya kehidupan yang sudah jauh lebih baik itu adalah umumnya migran Batak Toba, bukan Batak Alas. Oleh sebab itu Keujeuruen Bambel, Haji Durasa (Wan Ampuk) diperintahkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mengutip blasteng (pajak), walaupun waktu itu dalam keadaan musim pacikelik (Ginting, 2003; Akbar, 2003; Jibun, Informan, 1998).
Namun terjadi kontroversi, Raja Wan Ampuk tidak bersedia mengutipnya, malah menampar muka seorang Petugas/ pimpinan dari Pemerintah Belanda (Sebayang, 1986; Ismail Informan,2003, Rahman, Informan, 2003). Kesalahan Wan Ampuk dimata Pemerintah Kolonial Belanda adalah karena tidak mau kooperatif menarik blasteng dari Batak Toba maupun Batak Alas atas tanah hak milik adat mereka. Nanum demikian akhirnya seluruh penggarap Batak Toba dan Batak Alas harus membayar blasteng kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Dengan ketentuan bila tidak membayar blasteng, tanah milik adat harus dipulangkan kepada Raja atau dikosongkan, tidak boleh diusahai lagi. Akibat melawan pihak Belanda dengan tuduhan ”penganiayaan” (menampar), maka Raja Wan Ampuk ditangkap dan dipenjarakan di Nagari, Kabanjahe (Ginting, 2003; Rahman, Informan, 2003). Kemudian diadili di Medan (Ismail, Informan, 2003).
Keputusan hukuman dari hakim Belanda pada tahun 1936 adalah Raja Wan Ampuk dan keluarganya di berikan pilihan harus pindah ke Batavia (Jakarta) atau semenanjung Malaya (Malaysia) dan diberikan ongkos naik Haji atas biaya Pemerintah Kolonial Belanda. Raja Wan Ampuk memutuskan untuk berdomisili dan pindah ke Alor Setar, Kedah, Semenanjung Malaya (Malaysia). Dan kini sebagain besar keturunannya yang berpendidikan berdomisili di Kota Kedah dan Petaling Jaya Kuala Lumpur (Iwabuchi, 1994; Annonimus, 1968;, Sebayang, 1986, Latief, 1995, Akbar, 2006; Gayo, 1982; Ya’cob Pagan, Informan,2003).
JUMLAH PENDUDUK TANAH ALAS
Sensus Tahun 1968 dalam lima Kewedanaan di Tanah Alas jumlah penduduk Tanah Alas sebanyak 110.521 jiwa dimana lebih kurang orang Batak Alas adalah 45%, Batak Toba 35%, suku lainnya: Gayo, Batak Karo, Batak Mandailing, Singkil, Aceh, Minangkabau dan Jawa kira-kira 20% (Annonimous, 1968-2).
Hasil Sensus pada Tahun 2004, jumlah penduduk Aceh Tenggara adalah 169.409 jiwa, dimana Batak Alas lebih kurang 55%, Batak Toba lebih kurang 17% dan Gayo sekitar 14%, selebihnya adalah suku bangsa Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Minangkabau, Aceh, Singkil, Jawa dan termasuk Nias di Kecamatan Leuser dan sekitarnya.
MENGAPA BATAK ALAS DAN BATAK TOBA BISA HIDUP BERDAMPINGAN
Sebelum kemerdekaan RI, secara umum suku Batak Alas tidak menuliskan marganya pada akhir namanya, hal ini diduga disebabkan salah satu oleh adanya politik Pemerintah Belanda yang memecah belah rakyat di Aceh memalui propaganda Agama dan pengucilan etnis/marga tertentu (Gayo, 1983; Annonimous, 2003-3).
Adanya tali persaudaraan dari keturunan Guru Tatea Bulan, Raja Sumba dan Raja Lontung seperti yang telah diutarakan sebelumnya, Batak Alas yang bermagra Selian adalah keturunan Marga Pandiangan, anak ketiga dari Raja Lontung, dimana juga mayoritas Batak Alas di Aceh Tenggara adalah Marga Selian. Sedangkan untuk Anak Raja Lontung tertua adalah Sinaga, mereka secara adat cukup dekat dengan Selian hingga kini. Bila tidak atas dasar satu tarombo, Batak Alas sudah banyak sekali berkerabat dengan Batak Toba melalui tali perkawinan. Salah satu contoh kekerabatan karena pertalian perkawinan antara Batak Alas dengan Batak Toba (keturunan Raja Lontung/Raja Wan Ampuk Selian Pandiangan, Desa Batumbulan, Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara) adalah seperti sampel pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Perkawinan Batak Alas Keturunan Raja Lontung ke III, Marga
Selian Pandiangan dengan Batak Toba di Desa Batumbulan,
Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara.
----------
Sumber: Dr. Thalib Akbar, MSc., Data Primer, Hasil Penelitian 2010.
Adat-istiadat merupakan alat pemersatu antar ummat beragama di Aceh Tenggara, misalnya kerukunan Ummat Islam sebagai penduduk Desa Batumbulan seperti data di atas dengan Ummat Nasrani di berbagai desa se Aceh Tenggara. Dalam Adat-istiadat Bangso Batak Alas, bahwa orang tua Istri, yaitu mertua, saudara, dan sanak familinya (extended family) harus di hormati sekali oleh Suami, orang tuan suami, dan sanak saudara semarga dari sang suami, termasuk saudara-saudara suami yang lain baik semarga atau tidak, maupun karena adanya hubungan perkawinan dengan marga lain. Karena dalam hal ini Suami adalah menjadi Anak Beru (Pedeberunen), sedangkan pihak orang tua si Istri sebagai perbesanan yang menjadi Hula-hula dalam tutur Bangso Batak Toba di Aceh Tenggara (Anonimous, 1988-1; Djunet 2002:39-40). Umumnya Bangso Batak Alas, baik laki-laki maupun perempuan, yang kawin dengan Bangso Batak Toba adalah harus satu akidah, yaitu Islam. Memang unik, dalam pesta adat, bagi Muslim makannya terpisah dengan makan Non-muslim (Kristiani), namun satu kebersamaan menggelar adat-istiadat dalam pesta itu. Demikian pula beribadah, bagi ummat Muslim melaksanakan Shalat/sembahyang, dan bagi ummat Kristiani beribadah di gereja.
Dari data tersebut pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa Suku Batak Alas sudah lama melakukan perkawinan secara Cross breeding dengan Batak Toba. Dari 21 orang sampel Keturunan Raja Wan Ampuk bermarga Selian Pandiangan selaku Bangso Batak Alas, baik laki-laki, maupun perempuan telah membaur dalam perkawinan dengan berbagai keturunan marga Batak Toba selaku pendatang penggarap dari Samosir dan Tapanuli Utara/Selatan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, jelas tidak menjadi kendala dalam kehidupan sehari-hari bagi ummat Kristiani dengan ummat muslim di Kabupaten Aceh Tenggara, sehingga diduga inilah penyebab tidak mudah diadu domba oleh pihak ketiga selama 35 tahun pergolakan konflik di Aceh. Terbukti sudah beberapa kali terjadi pembakaran Gereja dan Mesjid, namun provokasi ini tidak menyulut perperangan antar ummat beragama, kahususnya antara Batak Alas dengan Batak Toba di Kabupaten Aceh Tenggara.
Khusus di Aceh Tenggara, bila Agama dimunculkan setinggi-tingginya, maka akan timbul “peperangan” antar ummat beragama, namun bila adat-istiadat dikuatkan Agama akan langgeng. Hal ini sesuai dengan pepatah Batak Alas, “Adat bersendiken sakhak, sakhak bersendiken kitabullah”. Perlu pemahaman mendalam tentang indahnya adat istiadat Batak Alas demi masa depan Aceh Tenggara dan ketenteraman suku pendatang lainnya, karena Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu Kabupaten di Aceh yang paling heterogen sukunya.
Data pada Tabel 1 di atas membuktikan bahwa secara harfiah dalam adat Batak Alas, tidak mungkin Safrijal Selian (No.2) memusuhi mertuanya, iparnya dari Marga Pakpahan di Desa Alas Maracar, Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara karena dia adalah berstatus selaku peranakberunen (anak beru, dalam bahasa Batak Karo). Sebaliknya tidak akan terjadi secara nomal dalam adat Batak Toba bahwa Marga Pakpahan menganianya Safrijal Selian, mengingat putri mereka (Siti Hadijah Br. Pakapahan, No.2) telah dinikahi dan dipelihara keluarga Safrijal Selian di Pulo Kemiri, Desa Batumbulan, Kecamatan Babussalam, Kutacane. Demikianlah sebagian sebab musabab hubungan kekerabatan Bangso Batak Alas sangat harmonis dengan Bangso Batak Toba akibat perkawinan silang di Kabupaten Aceh Tenggara hingga akhir-akhir ini.
Diduga dengan kekerabatan adat dan perkawinan silang antara Batak Alas dengan Batak Toba telah mampu menghambat terjadinya konflik horizontal di Kabupaten Aceh Tenggara selama terjadi Daerah Operasi Militer (DOM) dan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI di Aceh, walaupun sudah pernah disulut oleh pihak orang tidak dikenal (OTK) membakar gereja di Desa Rantodior dan mesjid-mesjid di desa-desa lain.
==================
Disalin dari FB Garmat