Ilustrasi Gambar: onsearch |
Majalah : JUMANTARA, Edisi : Vol. 5 No. 2 - Oktober 2014
Pengarang : Hermansyah
Abstrak :
Menurut Ali Syahbana pada abad ke-16 Jan Huygen van Linschoten berkunjung ke [Alam] Melayu Nusantara dan menyebutkan bahwa Bahasa Melayu telah terkenal di Dunia Timur dan dianggap orang sebagai bahasa yang baik. Salah satu warisannya adalah tulisan Jawi atau tulisan Arab-Melayu yaitu bahasa Melayu dengan Aksara Arab termasuk Indonesia. Penulisan bahasa Melayu dengan abjad Arab sudah dimulai sejak Islam dianut dan tersebar di [Kepulauan Melayu] Nusantara sehingga pada akhirnya tulisan Arab-Melayu menjadi tulisan resmi masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam saat itu.
Kemunculan Kerajaan Islam Samudera Pasai membuat intensitas hubungan dunia Arab dengan Kepulauan Melayu-Nusantara menjadi lebih tinggi sehingga memudahkan dalam proses Islamisasi yang diterima dengan tulus tanpa kekerasan. Bahkan beberapa peneliti mengaitkan tulisan (aksara) yang pernah ada sebelum aksara Jawi digunakan di Aceh dan di Melayu-Nusantara. Salah satu penemuan dan perdebatan yang belum selesai diungkap adalah mengenai teks naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang merupakan hasil sastra sejarah yang tertua.
Ada pula beberapa teks yang menyebutkan bahwa sumber rujukan aksara Jawi berasal dari (Kesultanan) Pasai dan terungkap dalam beberapa teks manuskrip yang ditulis setelahnya khususnya pada periode Kesultanan Aceh. Tradisi tulis menulis dan intelektual juga dipengaruhi oleh Islamisasi dari Arab.
Sementara di Melayu, tulisan Jawi memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri yang berbeda daripada tulisan Arab, Parsi dan Urdu. Jumlah huruf Jawi sendiri sebanyak 36 aksara (huruf) dimana 30 huruf berasal dari Aksara Arab dan sisanya 6 huruf adalah tambahan tersendiri yang tercipta sesuai dengan bunyi dan ejaan dalam bahasa Melayu.
Tulisan Jawi merujuk kepada huruf Hijaiyyah kecuali beberapa huruf tambahan yang mengikuti fonetik Melayu ditambahkan huruf Parsi. Tulisan Jawi pada dasarnya merupakan tulisan Arab yang digunakan secara utuh dan ditambahkan beberapa huruf yang diubah dengan menambah titik-titiknya guna menyesuaikan dengan konsonan yang berlaku dalam bahasa [Melayu] Jawi. Perkembangan aksara Jawi pada saat ini memiliki permasalahan pada penulisan Arab-Melayu terutama terletak pada penyambungan konsonan yang tidak diiringi oleh vokal.
Pendahuluan
Sejak awal abad pertama Masehi, Selat Melaka dan kedua pulau yang mengiringnya (Sumatera dan Semenanjung Malaysia) telah menjadi tumpuan perdagangan dan bisnis antar-bangsa, di antaranya dari negeri-negeri Arab, negeri anak benua di India, Negeri Cina. Sebelum bandar-bandar niaga yang besar terbentuk di sekitar Selat Melaka, Sriwijaya sejak abad ke-7 menjadi pusat perdagangan, pelayaran dan pusat agama Budha di Nusantara. Melalui suatu proses jangka panjang lamanya terbentuklah bahasa perhubungan di Kepulauaan [Melayu] Nusantara yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antara sesama suku atau bangsa di Nusantara dan antar suku-suku bangsa itu dengan bangsa-bangsa asing melalui lingua franca yang kemudian dikenal dengan nama bahasa Melayu.[1]
Setelah bandar-bandar dan pusat-pusat perdagangan mulai terbentuk di sekitar Selat Melaka seperti Pasai (abad ke-14), Melaka (abad ke-15), Aceh (abad ke-16) bahasa Melayu juga dikenal dengan bahasa dan tulisan Jawi, berkembang dengan pesat dan diterima oleh mayoritas penduduk setelah proses islamisasi terjadi.
Ali Syahbana menyebutkan bahwa pada abad ke-16 Jan Huygen van Linschoten, seorang Belanda, berkunjung ke Melayu Nusantara dan ia menyebut bahwa bahasa Melayu itu telah terkenal di Dunia Timur dan dianggap orang bahasa yang baik. Ia menyebutkan
“..die in Indie deze niet kan, die mag niet mee, gelijk bij ons het Franchs..”
artinya: siapa di Hindia (Nusatara) tiada tahu bahasa ini, dia tiada boleh mengikut, seperti pada kita (bahasa Francis).
Salah satu warisan yang mengakar di seluruh Melayu Nusantara adalah tulisan Jawi. Tulisan Arab-Melayu atau Arab-Jawi (Aceh: Jawoe) adalah bahasa Melayu aksara Arab, termasuk Indonesia di dalamnya.[2] Teks ditulis dengan mempergunakan aksara Arab. Disebut Arab-Melayu atau Arab-Jawi, tidak Arab-Indonesia, karena istilah yang demikian lebih terkenal dan lebih luas di Kepulauan Melayu-Nusantara dibanding Indonesia saja.[3]
Penulisan bahasa Melayu dengan abjad Arab, sudah dimulai semenjak Islam dianut orang dan tersebar di Nusantara. Sehingga tulisan Arab-Melayu menjadi tulisan resmi masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam di kala itu. Dalam jangka waktu berabad-abad tulisan tersebut telah mewariskan banyak literatur dan kaligrafi yang indah-indah pada situs-situs sejarah untuk generasinya saat ini.
Islamisasi di Nusantara
Banyak teori dari berbagai sarjana dan intelektual mengenai proses dan asal-usul islamisasi di Kepulauan Melayu-Nusantara. Hal tersebut disebabkan oleh beragam sumber primer yang digunakan dan diiringi oleh berbagai dialektika dan perdebatan dari beragam pihak yang dilandasi oleh berbagai bukti dan sumber masing-masing sejak dahulu. Para intelektual Aceh sendiri memiliki kesamaan dan perbedaan pendapat dengan peneliti Barat. Hasjmy dan Zainuddin keduanya merujuk kepada beberapa catatan awal sejarah Aceh menyimpulkan bahwa Islam hadir di Aceh sejak tahun 800 M (173 H), sesuai dengan kajian Yunus Jamil dalam merunut daftar raja-raja Pereulak (Perlak) pada acara Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) di Kutaradja tahun 1958.
Sedangkan Aboebakar Atjeh menyimpulkan dari kedua sumber (Barat dan Timur) menemukan proses tahun islamisai yang berbeda. Pernyataan Islam hadir pada abad ke-7 sampai ke-8 Masehi yang telah merambah ke dunia Melayu juga dikuatkan oleh I Tsing (I Ching) seorang pengembara bahwa pada abad awal-awal H?riah orang-orang muslim sudah pernah mengunjungi Negeri Melayu. Dalam tulisan perjalanannya pada tahun 671 M mengunjungi Sriw?aya (San’fotsi) melaporkan bahwa ia pernah bertemu saudagar-saudagar muslim di Barus berasal dari negara Arab dan Farsi.
Zainuddin dalam bukunya mengungkapkan tentang seorang muslim bernama Zahid yang bersama-sama dengan sekumpulan orang-orang Farsi berlayar menuju China Selatan dan singgah di Aceh, Kedah, Jawa, Brunei dan selainnya. Pada abad ke-7 masehi, hubungan perniagaan antara Kerajaan Umayyah (661 – 750 M) dan Kerajaan Than China (618 – 907 M) terus berkembang. Di Guangzhou (atas Kanton, Cina Selatan) sudah ada kampung-kampung muslim yang pertama sejak tahun 618 sampai 628 M.
Menurut Thomas Arnold, di Sarendip (sekarang wilayah Sri Lanka) saudagar-saudagar muslim Arab menjadikan wilayah tersebut sebagai pangkalan perekonomian dan perdagangan sejak abad ke-8 Masehi. Seorang ilmuwan dan pengembara yang terkenal Abu al-Hasan ibn al-Husein al-Mas‘udi (abad ke-10 M) dalam karyanya Muru al-Zahab menyatakan bahwa saat beliau mengunjungi Malabar (sekarang wilayah India) pada tahun 916 M sudah terdapat sekitar 10 ribu orang Arab asli, tulen, berbahasa Arab yang mendiami daerah tersebut.
Perbedaan tersebut didasarkan pada sumber kajian yang berbeda, baik melalui artefak (arkeologis) maupun melalui catatan-catatan naskah kuno (filologis dan historis), namun keduanya berdasarkan tulisan beraksara Jawi. Kelompok pertama berdasarkan pada penemuan batu nisan yang dikenal dengan makam Kerajaan Pasai terletak di Minye Tujuh, Aceh Utara (Pasee), termaktub di batu nisan antara tahun 1290 sampai 1380 M.
Catatan penting yang tidak bisa diabaikan adalah perjalanan Ibnu Bathuthah yang merekam sejarah perjalanan lawatannya ke Cina dan menyempatkan dirinya singgah di Pasai pada tahun 1316 M atau pada masa pimpinan Sultan Malik al-Zahir. Dalam bukunya “Rihlah” ia mencatat sultan di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama dari negeri Arab dan cendekiawan Persia berdatangan serta tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.
Memang, berbeda dengan beberapa pendapat peneliti dari Barat seperti Winstedt, Wilkinson, Maxwell dan W. Marsden, atau beberapa peneliti masa penjajahan dan pascakolonial di Nusantara seperti Snouck Hurgronje, Moquette, Hushoff Poll, Rouffaer, Drewes dan A. Teeuw dan lain-lain, bahwa islamisasi di Aceh dan Nusantara secara keseluruhan dan dibawa dari India, dan Kerajaan Islam Samudra Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13.
Sedangkan kelompok kedua (pengkaji Nusantara) menyimpulkan bahwa Islam sudah hadir di Nusantara jauh sebelum penemuan batu nisan di wilayah Pasai. Kelompok ini menyimpulkan melalui kajian manuskrip yang tersedia, baik naskah sejarah ataupun keagamaan, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, Hikayat Raja-Raja Pasai, Dhur al-Manzum dan sebagainya yang ditulis dalam aksara Arab-Jawi, bahwa disimpulkan kesultanan Islam pertama di Nusantara berada di Pasai. Kesultanan Pasai yang kemudian menerapkan atau mengadopsi tulisan Arab dengan menambah beberapa huruf yang disesuaikan dengan bahasa dan fonem Melayu.
Data arkeologis tentang jejak awal islamisasi di Nusantara banyak tersebar secara berkelompok di kawasan Pasai, Banda Aceh dan Aceh Besar. Namun, terdapat juga nisan tunggal yang tidak terekam seutuhnya kelompok masyarakat, misalnya batu nisan Fathimah binti Maimun di Leran Jawa Timur yang bertanggal 7 Rajab 475 H atau 2 Desember 1082 M. Dan juga, nisan Sultan Johan Syah di Gampong Pande Banda Aceh 1205 M, nisan Sultan Sulaiman di Kuta Leubok-Lamreh (Lamuri) Aceh Besar bertahun 680 H atau 1234 M, dan nisan Sultan Malik As-Shalih (Malikussalih) di Pasai (Aceh Utara) 696 H atau 1297 M.
Ditemukannya makam Sultan Malikussalih tersebut di atas yang diperkuat dengan data arkeologis lainnya berupa mata uang (koin) emas atau dirham (Aceh disebut deureuham) yang beredar pada periodenya dan anaknya Sultan Muhammad Malik Az-Zahir berkuasa. Di sisi lain, inskripsi pada nisan Putri Nahrasiyyah di Kuta Krueng Aceh Utara yang menunjukkan silsilah sultan-sultan di Samudera Pasai, dengan dukungan teks naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang merupakan data literer, telah menjadi bukti yang sangat valid bahwa sejak abad ke-13 M kerajaan Islam pertama di Kepulauan Melayu Nusantara telah muncul, yang berarti islamisasi secara resmi sudah berjalan.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dimaksudkan Damais bahwa islamisasi dianggap resmi di mana telah adanya kekuatan politik dan pemerintahan Islam. Ketika para tokoh pimpinan di suatu tempat, terutama sultan (raja), keluarga, dan orang-orang terkemukanya memeluk Islam, maka akan berakibat sebagian besar rakyatnya juga ikut memeluk Islam, meskipun sebagian di antara mereka telah terlebih dahulu memeluk agama tersebut.
Berdasarkan pendapat tersebut di ataslah, maka para ahli, terutama para orientalis menganggap proses islamisasi di Kepulauan Melayu Nusantara terjadi pada tahun-tahun akhir abad ke-13 M di Samudera Pasai. Dalam abad berikutnya, islamisasi bergulir semakin luas ke tempat-tempat lain hingga mencakup seluruh Kepulauan Melayu Nusantara.[4]
Dengan resmi munculnya Kerajaan Islam Samudera Pasai yang diproklamirkan ke dunia luar, maka intensitas hubungan dunia Arab dengan Kepulauan Melayu-Nusantara untuk kepentingan perdagangan, keagamaan, keilmuan, diplomasi dan lain-lain menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, maka tumbuh pulalah jaringan timbal balik antara kedua kawasan tersebut, bukan antara wilayah sentral dengan peripheral, tetapi menjadi equal, baik jaringan dagang, jalur ibadah haji, kerjasama, dan jaringan ulama dalam bentuk hubungan murid dan guru.
Munculnya hubungan tersebut dan didominasi oleh para intelektual dan pedagang sehingga lebih memudahkan dalam proses islamisasi yang diterima dengan tulus tanpa kekerasan, sehingga seluruh khazanah adat budaya dan perilaku kehidupan bertransformasi ke dalam corak Islam, termasuk tulisan dan aksara.
Kesultanan Pasai dan Kontribusinya
Eksistensi Kesultanan Pasai akan lebih banyak dalam bentuk dokumen sejarah di luar negeri. Catatan-catatan sejarah tentang periode hubungan Pasai dengan negara luar bukan hanya dalam lintas perdagangan semata, akan tetapi juga merasuki bidang keagamaan, kebudayaan dan kesenian, salah satu bukti khazanah peninggalan Pasai adalah batu nisan di koin uang emas (dirham) Pasai yang digunakan sebagai transaksi jual-beli dan perdagangan secara umum.
Di dalam naskah Tazkirah Thabaqat dicatat bahwa Pasai adalah sentrum (pusat) tempat muballigh Islam menimba ilmu. Maksud pernyataan tersebut dikomentari oleh James T. Siegel dalam bukunya The Rope of God bahwa:
Pasai has been described as an important centre for the diffusion of Islam in the Indian Archipelago.
Di halaman lain ia berkata: “Pepper was one of the products of Pasai on the east coast in fourteen centure.
Catatan tentang Pasai diketahui juga melalui Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim at-Tanji yang bergelar Syamsuddin bin Batutah atau dikenal dengan Ibnu Batutah, Muslim asal Maroko, ia telah sampai di pelabuhan Pasai. Menurut rekamannya, Pasai adalah kota metropolitan nan indah. Dia disambut oleh Amir (panglima) Daulasah, Qadhi Syarif Amir Sayyid Asy-Syirazi, Tajuddin al-Ashbahani dan beberapa alim atas titah sultan Mahmud Malik Az-Zhahir (1326-1345) yang memerintah pada waktu itu.
Menurut Ibnu Batutah, sultan adalah seorang pengikut Ahlussunnah wal-Jamaah bermazhab Syafi’i. Walaupun catatan-catatan tertulis sangat terbatas yang dijumpai sekarang ini, namun sumber primer lainnya dalam bentuk arkeologis sangat banyak yang dapat diperoleh di Pasai, terutama batu nisan, koin emas (dirham) dan tembikar dari luar negeri.
Tokoh-tokoh penting ulama di Pasai juga masih sedikit mendapat sentuhan penelitian, ini diakibatkan oleh sumber primer yang minim, beberapa tokoh penting direkam dari jejak nisan yang tersebar, misalnya Said Ali bin Ali al-Makarany, Syaikhul Islam dan pakar sejarah Kerajaan Pasai, Amir Said Asy-Syirazi ulama besar kerajaan Pasai dan Tajuddin al-Asfahani, Syaikhul Akbar dan mufti kebesaran Islam Pasai, yang jejaknya dapat dilihat berupa makam dari batu marmer putih berkilat terletak di Samudra Blang Me (Geudong) yang dahulu didatangkan dari Cambai (India), dan Amir Muhammad bin Abdul Kadir (w. 23 Rajab 822 H /15 Agustus 1491 M), beliau itu keturunan Khalifah al-Muntasir dari Bani Abbas yang makamnya ada di Blang Me Geudong. Rekaman informasi mereka diperoleh melalui batu nisan mereka di antara puluhan nama-nama lain.
Jaringan ulama di tanah Melayu-Nusantara sudah terjalin begitu erat, peranan muballigh (pendakwah) dari dalam dan luar Aceh sangat berperan penting dalam perkembangan intelektual dan keagamaan, terutama kalangan istana. Hal tersebut dapat dilihat melalui sejarah Melayu yang menyebut bahwa Maulana Abu Bakar telah membawa sebuah kitab teologi sufistik (ushuluddin) yang ditulis oleh gurunya yaitu seorang sufi Abu Ishaq berjudul Durr al-Manzum kepada Sultan Mansur Shah (1459-1477) di Kesultanan Melaka. Namun, Sultan menitahkan supaya kitab tersebut dibawa ke Kesultanan Pasai untuk diterjemahkan (bahasa Jawi/Melayu) dan syarah-syarah yang diperlukan dibawa kembali ke Melaka.
Hal tersebut menunjukkan kualitas pengetahuan dan pendidikan di Pasai, terutama sistem tulisan Jawi dan bahasa Melayu yang baik dan benar. Kontribusi Pasai bidang ekonomi sangat penting pada periodenya, kerjasama antara Pasai dengan Eropa di bidang ekspor-impor rempah-rempah, sedangkan dengan China dan India di bidang tekstil dan tembikar menjadikan perekonomian Pasai lebih maju daripada daerah-daerah lainnya yang berada di jalur laut Selat Malaka.
Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia dengan komoditi lada sebagai andalannya di mana setiap tahunnya Pasai mampu mengekspor lada sekitar 8000-10.000 barel, juga komoditas lainnya seperti sutera, kapur barus dan emas.
Dalam bidang keilmuan, Kesultanan Pasai menciptakan tulisan Jawi sebagai tulisan resmi kesultanan wilayah Semenanjung Melayu, [Alam Melayu] dan Nusantara tanpa menanggalkan bahasa dan fonemnya. Penciptaan tersebut merupakan terobosan baru pada masanya yang belum dilakukan oleh daerah-daerah (kesultanan) lainnya. Proses transmisi tersebut seiring dengan islamisasi di Aceh dan Nusantara, sehingga dianggap sangat relevan dalam konteks periode tersebut.
Lahirnya tulisan Jawi dalam konteks tersebut tidak terlepas dari kekuasaan dan kedaulatan dalam mengimplementasikan ke seluruh wilayahnya. Hal semisalnya juga terjadi pada aplikasi huruf Parsi di Persia dan Urdu di India (Hindustan) dikarenakan peran dari penguasa yang menerapkan secara resmi agama Islam dalam pemerintahannya.
Perkembangan Tulisan di Aceh dan Melayu-Nusantara
Beberapa peneliti mengaitkan tulisan (aksara) yang pernah ada sebelum aksara Jawi digunakan di Aceh dan di Melayu-Nusantara, walaupun sulit menyebutkan sumber-sumber yang ada di Aceh. Apabila dikaitkan dengan penelitian di bidang bahasa dan tulisan Jawi masih sedikit bila dibandingkan dengan para sarjana sastra dan sejarah dalam ruang lingkup Melayu (termasuk Aceh), beberapa sarjana yang menggeluti ini seperti Hendrik Kern (Belanda) dan Robert von Heine Geldern (Austria) telah mendalami segi bahasa dan sosial masyarakat Melayu kuno, bahwa kesimpulan besar mereka menyebutkan silsilah keturunan Melayu yang berkembang sekarang ini berasal dari Melayu-Deutro, yaitu dari kelompok Austronesia.
Pendapat lainnya menyebutkan bahasa Melayu sebelum hadirnya Islam juga berasal dari rumpun bahasa Austronesia, kemudian turunan terbagi pada beberapa bahasa yang dibagi ke bahasa Polinesia, bahasa Melanesia, bahasa Nusantara dan bahasa Mikronesia. Bahasa Nusantara atau juga disebut dengan bahasa Kepulauan Melayu di antaranya bahasa Melayu, Aceh, Jawa, Sunda, Dayak, Solo, Roto Sika dan lain sebagainya.
Keberagaman keseluruhan bahasa Nusantara dipastikan lebih dari seratus bahasa dari berbagai daerah dan dialek yang berbeda. Menurut al-‘Attas bahwa istilah Melayu terdapat macam-macam pendapat, dalam kitab Adat Melayu bahwa dimulai dengan kepindahan sang Sapurba dari Palembang ke Bintan, bahwa terdapat sungai kecil berarus deras, kemudian alirannya diistilahkan dengan nama tanah Melayu. Pendapat umum lain dikenal orang mengartikan bahwa orang Melayu sebagai orang pelarian, pindah, imigran atau pengungsi ke negeri lain.
Sedangkan menurut Van Der Tuuk menganggap kata Melayu berarti ‘penyeberang’, yaitu ke agama Islam.
Sebelum tulisan Arab muncul di tanah Melayu, beberapa para peneliti mengungkapkan telah berkembang tulisan-tulisan yang beragam di berbagai wilayah di Nusantara dan Asia Tenggara –sebagiannya dipengaruhi oleh Hindu dan Budha-, tulisan yang digunakan oleh orang-orang Melayu sebelumnya yaitu tulisan rencong atau runcing di Sumatera, tulisan Kawi di tanah Jawa dan tulisan-tulisan lain yang digunakan di Filipina, Sulawesi dan beberapa tempat lain di Asia Tenggara.
Penyatuan kedua pendapat di atas tersebut terjadi pada abad ke-13 menyimpulkan bahwa eksistensi Islam di Nusantara sangat kuat dan mulai menggantikan posisi agama (kepercayaan) sebelumnya, terutama agama Hindu. Para peneliti dan ilmuwan menemukan berbagai sumber yang kuat dan mendasar, baik dari artefak, naskah maupun catatan-catatan sejarawan. Sumber-sumber naskah seperti syair-syair Hamzah Fansuri, Taj al-Salatin, Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu dan naskah-naskah sezamannya telah banyak disisipi kosakata Arab.
Sedangkan sumber arkeologis dari batu-batu nisan peninggalan sejarah yang diukir dengan tulisan Arab-Jawi, seperti batu nisan di Minye Tujuh, Aceh (1380 M) – juga ditulis dalam tulisan India dengan beberapa perkataan Arab, batu nisan Pagar Ruyong, Minangkabau (1356 M) – ditulis dalam tulisan India dan memperlihatkan pengaruh Bahasa Sanskrit, dan batu nisan di sungai Teresat, Kuala Berang Terengganu diperkirakan tahun 1303-1387 M yang diukir dalam tulisan Jawi.
Para sarjana Barat sangat menfokuskan kajiannya tentang bahasa Melayu dan kesusateraan, di antaranya Pigafetta (Italia) bersama Magellan telah menyusun kamus Melayu-Italia dalam pelayarannya saat di Tidore pada tahun 1521. Selain itu Jan Hugen van Linschotten asal Belanda sebagai staf pemerintah Portugis tahun 1586-1592, dalam catatannya menyebutkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di negeri Timur dan seluruh kepulauan di Asia Tenggara. Ungkapan yang sama juga diutarakan oleh Francios Valentijn, orientalis yang banyak mengkaji sejarah kepulauan Melayu awal abad ke-18.
Sebagai catatan penting bahwa ekspansi Portugis ke beberapa wilayah di Selat Melaka dan Nusantara pada abad ke-15 dan ke-16 tidak membungkam tradisi tulisan Jawi dan bahasa Melayu sendiri, bahkan sebaliknya pada era tersebut mencapai puncaknya, seperti hadirnya beberapa tulisan kitab karya fenomenal Ulama Aceh dan Nusantara, dari abad ke-16 sampai abad ke-18
Kronika Pasai
Salah satu perdebatan dan penemuan yang belum mencapai finalnya adalah teks naskah Hikayat Raja-Raja Pasai. Liaw Fang mengklasifikasikan hikayat ini dalam sastra sejarah, sebab jika ditinjau dari susunan atau struktur pensejarahan (historiography) Melayu, biasanya terdiri dari dua bagian.
Bagian pertama adalah bagian yang bersifat mitos atau dongeng. Isinya menceritakan keadaan dahulu kala, asal mulanya raja-raja dalam negeri serta permulaan berlakunya adat-istiadat dan sebagainya. Ia menambahkan dalam contohnya Sejarah Melayu (Sulalat as-Salatin), Raja-Raja Melayu dikatakan adalah keturunan dari anak Raja Iskandar yang turun di Bukit Si Guntang. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai, disebutkan Raja Pasai dikatakan adalah keturunan dari seorang anak yang dipelihara oleh gajah dengan Putri Betung. Tidak berbeda jauh dengan Hikayat Aceh, Raja-Raja Aceh keturunan dari seorang yang kawin dengan Putri Buluh, anak perempuan yang keluar dari buluh.
Hikayat Raja-raja Pasai adalah hasil sastra sejarah yang tertua. Ia menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara 1250-1350, tepatnya periode Malikus Shaleh hingga sampai ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1350 M.[5]
Tentang awal kepengarangannya, sebagian peneliti selisih pendapat, Winstedt menyimpulkan bahwa Hikayat Raja-raja Pasai tertulis pada abad ke-14, ditambahkan bahwa pengaruh Hikayat Raja-Raja Pasai terhadap Sejarah Melayu tidak terbatas pada penyaduran dalam bab 7 dan 9 saja. Gaya dan cara penulisan Hikayat Raja-Raja Pasai juga ditiru dalam Sejarah Melayu.
Sedangkan tentang penggunaan bahasa hikayat ini disebutkan bahwa hikayat ini ditulis dalam bahasa Melayu yang baik. Seirama dengan apa yang disebutkan oleh A.H. Hill yang pernah menyunting Hikayat Raja-Raja Pasai dan menyimpulkan bahwa hikayat tersebut adalah sastra Melayu yang tertua, yang tertulis dalam bahasa Melayu Melaka. Senada dengan Roolvink menyatakan bahwa penulis Sejarah Melayu mungkin pernah membaca suatu teks atau naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang kini sudah hilang. Lebih mengejutkan menurutnya bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang ada sekarang ini disalin oleh seorang juru tulis Raffles di Betawi pada tahun 1814. T
ernyata, A Teeuw tidak sependapat dengan teori di atas, terutama Winstedt. Menurut A Teeuw yang telah mengkaji teks Hikayat Raja-Raja Pasai dengan mendalam, adalah tidak mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai lebih dulu tertulis daripada Sejarah Melayu. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh A Teeuw, di antaranya cerita dalam Sejarah Melayu lebih masuk akal, tidak dibuat-buat dan diceritakan dengan lucu, sedangkan teks Hikayat Raja-Raja Pasai ternyata ditulis untuk menyanjung dan mengagung-agungkan Pasai. Rivalitas tersebut menunjukkan bahwa pentingnya dua naskah yang memiliki karakter dan identitas di tanah Melayu-Nusantara.
Referensi Naskah-Naskah Jawi
Ada beberapa teks yang menyebutkan sumber rujukan aksara Jawi berasal dari (Kesultanan) Pasai. Hal tersebut diungkapkan dalam beberapa teks manuskrip yang ditulis setelahnya, khususnya periode Kesultanan Aceh. Pengakuan tersebut menunjukkan originalitas asal-usul aksara Jawi yang dirumuskan dan dipublikasikan oleh Pasai ke seluruh wilayah Melayu Nusantara sebagai proses islamisasi di Nusantara.
Salah seorang ulama tasawuf di Aceh, Hamzah Fansuri, menyebutkan dalam kitab tasawufnya Zinal al-Muwahhidin di awal teks bahwa bahasa Jawi al-Fasai (sebagian membacanya al-Fasi) atau bahasa Jawi Pasai, yaitu bahasa Jawi berasal dari Pasai. Karyanya tersebut juga disertai matan teks bahasa Arab dan ditafsirkan dalam bahasa Jawi untuk memudahkan pemahaman teks tentang tasawuf.
Menurut beberapa riwayat, Hamzah Fansuri hidup hingga akhir abad ke-16 M di Kesultanan Aceh. Berbeda dengan asumsi Kraemer, Doorenboos dan Winstedt yang menyimpulkan bahwa Hamzah Fansuri hidup pada paruh pertama abad ke-17. Namun, di penghujung hayat tidak diketahui keberadaannya, termasuk makam dan akhir riwayat hidupnya. Oleh karena itu, tokoh yang dianggap masih kontroversi bagi peneliti dan sejarawan, termasuk menafsirkan kandungan syair-syair karyanya.
Pada periode berikutnya, ulama terkemuka dan memiliki pengaruh besar di Aceh serta memiliki jaringan tarekat Syattariyah terluas di Nusantara, Syekh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri [As-Singkel] atau dikenal juga dengan Syiah Kuala (w. 1693 M). Tokoh utama ini sangat produktif dalam menulis karya-karyanya di multidisipliner ilmu, sebagiannya masih menjadi rujukan utama bagi muslim di wilayah Melayu Nusantara.
Setelah meninggalkan Aceh pada tahun 1642 belajar ke negeri Arab, selama 19 tahun di sana, ia kembali (1661) dan menjadi Qadhi Malik al-‘Adil pada masa Sultanah Shafiyatuddin Tajul Alam (w. 1975). Salah satu kitab karangannya atas permintaan Sultanah Shafiyatuddin di bidang hukum dan fiqh muamalah berjudul Mir’at at-Thullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam as-Syar’iyyah lil-Maliki al-Wahhab yang dikarang pada sekitar tahun 1662 M. Di dalam teks ini ia menyebutkan bahwa karyanya ini ditulis dengan bahasa melayu dan tulisan Arab-Jawi yang ia gunakan merujuk kepada tulisan Pasai, disebutkan:
“maka bahwasanya adalah hadrat yang Maha Mulia bersabda kepadaku daripada sangat labanya akan agama Rasulullah, bahwa kukarang baginya satu kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj kepadanya orang yang menjabat jabatan qadhi pada pekerjaan hukumnya daripada hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada imam Syafi’i r.a…”
Selain dua ulama Aceh terkenal di atas, Nuruddin Ali bin Muhammad Jailani bin Muhammad Hamid Ar-Raniry juga menyebutkan tentang asal aksara Jawi yang berkembang pesat di seluruh wilayah Asia Tenggara dan masyarakat Melayu-Nusantara di Haramain (Mekkah-Madinah). Kitabnya Akbarul Akhirah menyebutkan bahasa Jawi dari Pasai.
Akan tetapi, tidak semua teks salinan tertulis Jawi Pasai, misalnya teks Akhbarul Akhirah koleksi Museum Aceh nomor 07.688 tidak menyebutkan kata Pasai. Tentunya, Nuruddin Ar-Raniry menyebutkan alasan utama dalam menterjemahkan kitab-kitab Arab tersebut ke dalam bahasa Melayu, utamanya untuk memudahkan pemahaman dan dimengerti oleh banyaknya para pembaca dengan bahasa Melayu.
Sebagaimana disebutkan dalam naskah Akhbarul Akhirah
“Maka ku-Jawi-kan kitab ini –Akhbarul Akhirah- daripada kitab Daqaid al-Haqaiq dan Durratul Fakhirah keduanya dari Kasyf ‘Ulum al-Akhirah karya Imam Ghazali, dan 'Ajaib al-Malakut karya Abu Ja'far Muhammad ibn Abdullah al-Kasa'i daripada kitab Bustan karangan Faqih Abu Laist."
Nuruddin Ar-Raniry merupakan ulama besar dan telah memberikan kontribusi dalam berbagai bidang kajiam, khususnya tradisi keilmuan dan kebahasaan. Ia telah menulis puluhan (sekitar 30 judul kitab) dalam bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Arab-Jawi. Jauh setelahnya, pada periode ke-19 masehi dianggap periode pan-islamisme di Nusantara, termasuk Aceh. Beberapa ulama yang eksis di Haramain kembali meningkatkan mutu pendidikan agama dan bahasa.
Kitab-kitab ulama Melayu dalam bahasa Jawi disusun, ditahqiq, dan dikritisi, periode ini perlakuan tersebut tidak sekedar penerjemahan dari kitab-kitab Arab, namun juga perumusan kembali bahasa dan aksara Jawi dalam menghadapi modernisasi periode tersebut, sebab memasuki era perdagangan bebas beberapa kolonial Eropa ke wilayah Nusantara.
Karakteristik Bahasa dan Tulisan Jawi
Sebagaimana disinggung di atas bahwa Islam mulai berperan sebelum abad ke-13 M, peranan tersebut meliputi semua sisi kehidupan masyarakat dan memperngaruhi sisi-sisi budaya, adat istiadat dan keilmuan.
Tradisi tulis menulis dan intelektual juga dipengaruhi oleh islamisasi dari Arab, namun tidak keseluruhan ‘karakter’ Arab sebagai sumber Islam dapat menyerap dalam masyarakat Melayu (Nusantara). Ada beberapa alasan utama yang dapat dikemukakan proses Islam di Nusantara, bahwa proses islamisasi di Nusantara bukan hanya dari Arab murni tapi juga jaringan Nusantara terjalin dengan negeri India, Parsi, Turki dan Kurdi (sekarang Kurdistan yang terletak antara Irak dan Iran).
Menurut Martin posisi geopolitik telah menjadikan orang-orang Kurdi sebagai mediator (perantara) di antara tiga tradisi kebudayaan besar yaitu Arab, Persia dan Turki Ustmani, sehingga penguasaan keilmuan dan para sastrawan hampir semua dapat menguasai ketiga bahasa tersebut di samping bahasa Kurdi sendiri yaitu Gurani atau Zaza, dari sana hadir tulisan Persia sebagai perkembangan dari tulisan Arab seperti perkembangan tulisan Urdu di negeri anak benua.
Di Melayu, tulisan Jawi memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri yang berbeda daripada tulisan Arab, Parsi dan Urdu, selain dari penggunaan huruf Hijaiyyah Arab dalam tulisan Melayu, juga ada penambahan huruf-huruf lainnya yang sesuai dalam ejaan dan huruf Melayu, seperti huruf fa titik tiga di atas, ain titik tiga di atas, jim titik tiga di bawah, nun titik tiga di atas, dan atau gabungan huruf kaf dan lam dibaca ga.
Penambahan lainnya juga terjadi pada huruf-huruf tambahan dalam satu kata atau kalimat, sehingga menimbulkan berbagai bunyi dan ejaan yang sama namun memiliki makna atau arti yang berbeda. Jumlah huruf Jawi sebanyak 36 aksara (huruf), dimana 30 hurufnya berasal dari aksara Arab (hijaiyyah) dan sisanya 6 huruf adalah tambahan tersendiri yang tercipta sesuai dengan bunyi dan ejaan dalam bahasa Melayu, diantaranya; fa, nga, ca, nya, va, dan ga, kesemuanya tidak terdapat dalam dialek bahasa Arab.
Sedangkan ciri-ciri dari tulisan Jawi tersebut dapat diketahui melalui bentuk tulisannya yang tegak, aksara berbaris dan mempunyai titik, serta aksara bersambung. Perbedaan ini menurut para ahli linguistik lahir dengan sendirinya sesuai dengan zaman dan peradaban, perbedaan tersebut jelas dapat dilihat pada perkembangan tulisan Jawi dari tahun ke tahun, dan dari abad ke abad, bahwa pertumbuhan peradaban Melayu untuk memiliki ejaan dan tulisan Jawi yang lebih mudah dan gampang dibaca, ditulis dan dikaji.
Perkembangan tersebut dapat dilihat dari abad sejak dikenalnya tulisan Jawi sampai pada akhir abad ke-18, atau pada saat perkenalan huruf latin oleh penjajah dari Eropa (Belanda). Walaupun tidak ada rumus dan kaidah-kaidah yang terikat dalam bentuk tulisan Jawi, namun secara struktur bentuk tersebut menjadi “awam” dalam membentuk karakter skrip Jawi itu tersendiri bagi penulis dan pembaca, bentuk-bentuk tersebut menyerupai tulisan Arab sebagai bahan bantu untuk membangun fondasi pemahaman dalam bentuk tulisan Jawi, sehingga proses islamisasi yang hadir di Nusantara tidak bisa dipisahkan dengan proses perkembangan tulisan Jawi sendirinya, karena peranan ulama-ulama Nusantara mayoritas belajar dan berasal dari Arab lebih mudah dan akrab menulis dalam bentuk tulisan Jawi yang tidak jauh berbeda bentuk dari huruf Arab.
Tulisan Jawi
Dasar tulisan Jawi merujuk kepada huruf Hijaiyyah, kecuali beberapa huruf tambahan yang mengikuti fonetik Melayu ditambah (dipinjamkan) huruf Parsi. Tulisan Jawi adalah tulisan Melayu yang memakai aksara Arab atau aplikasi huruf Arab dalam bahasa Melayu, yaitu tulisan yang banyak dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak periode kesultanan hingga saat ini yang telah tumbuh yang diperkirakan telah muncul pada abad ke-14 M. Kini dapat disebut juga digunakan di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Indonesia, Thailand Selatan (Patani, Yala, dan Narathiwat), dan Filipina Selatan (Mindanao dan sekitarnya)
Bukti tertua tentang munculnya tulisan Jawi di Asia Tenggara adalah ditemukannya Batu Bersurat Trengganu yang bertanggal 4 Rajab 702 H (22 Februari 1303 M) yang bertulis huruf Jawi yang berisi undang-undang dan hukum Islam yang berlaku di Trengganu abad ke-14 M. Setelah itu, juga ditemukan Batu Bersurat di Pahang dengan pertanggalan lebih muda hampir dua abad dari temuan pertama, yaitu 15 Syawal 900 H (7 Juli 1495) dengan jenis tulisan yang sama. Dengan demikian, berarti tulisan Jawi sudah dipakai dalam penulisan pada abad ke-14 M dan setelah itu tulisan tersebut telah dipakai sebagai media penulisan naskah-naskah dalam berbagai bentuk.
Pada dasarnya tulisan Jawi merupakan tulisan Arab yang dipakai secara utuh dan ditambahkan beberapa huruf yang diubah dengan menambah titik-titiknya guna menyesuaikan dengan konsonan yang berlaku dalam bahasa Jawi. Huruf-huruf atau aksara Arab tersebut adalah sebagaimana berikut. Aksara Arab terdiri dari dua puluh sembilan huruf. Menulisnya dari kanan ke kiri, dengan cara menyambung-nyambung konsonannya sesuai dengan huruf dan kata-katanya masing-masing.
Karena Aksara Arab semuanya berupa konsonan, tidak diiringi oleh vokal. Penulisan transliterasi huruf latin dari huruf Arab yang dimuat di bawah ini merujuk kepada pedoman Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K; Nomor 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987, sebagai berikut:
Gambar tidak terbaca, silahkan menuju ke laman asal tempat tulisan ini dimuat atau klik DISINI
Muncul dan berkembangnya bahasa dan kesusastraan Melayu Islam dan dipakainya tulisan Jawi yang mulai dari Samudera Pasai adalah merupakan aspek sangat penting dalam proses islamisasi Kepulauan Melayu Nusantara. Dengan datangnya Islam di kalangan masyarakat Melayu, dan bertukarnya agama Hindu-Budha-Animisme di kerajaan-kerajaan Melayu kepada Islam, maka abjad dan bahasa Arab dijadikan sebagai milik kerajaan dan masyarakatnya.
Abjad Latin-Melayu yang tidak ada padanannya dalam abjad Arab, mayoritas berkembang sesuai situasi dan kondisi pada periode masing-masing. Contoh diambil dari berbagai naskah lama seperti huruf jim, ghayn, fa, nun dan ya yang dijadikan tiga titik. Sedangkan huruf kaf diberi titik satu di atasnya. Berdasarkan huruf-huruf Arab jim, ‘ain, fa, kaf, dan nun; lima huruf baru kemudian tercipta masing-masing dengan bertambah titik-titiknya sehingga melambangkan konsonan yang lazim diucapkan lidah masyarakat Melayu, yaitu jim bertitik tiga diucapkan ca, ain bertitik tiga diucapkan nga, fa bertitik tiga diucapkan pa, kaf bertitik satu diucapkan ga, dan nun bertitik tiga diucapkan nya.
Al-Attas menjelaskan mengenai corak rupa huruf-huruf baru tersebut di atas berdasarkan uraian Ibnu Khaldun prihal penggunaan tulisan Arab dengan bunyi bahasa Berber di Maroko yang tidak terdapat dalam bahasa Arab, seperti bunyi ga dalam lidah orang Berber sebagai bunyi yang terdapat antara kaf dan jim dalam tulisan Arab. Karena itu, bunyi tersebut ditandai dengan huruf kaf bertitik satu dalam abjad Berber-Arab; titik tersebut memaksudkan titik huruf jim. Penciptaan dan penyesuaian corak rupa huruf Arab memang lazim terjadi di kalangan bangsa bukan Arab yang beragama Islam dan menggunakan abjad Arab, seperti terjadi dalam tulisan Arab-Berber, Arab-Parsi, dan lain-lain, terjadi pula dalam tulisan Melayu-Arab atau tulisan Jawi.
Huruf ga yang terbentuk dalam tulisan Jawi adalah sama dengan apa yang terjadi pada tulisan Berber-Arab-Berber, Arab-Parsi, dan lain-lain di nama huruf ca terbentuk dari huruf-huruf ta dan jim (tja) dengan rupa jim bertitik tiga; dua titik ditamabhkan pada jim dari titik ta; huruf nga terbentuk dari nun, ghain, dan ga (ngha), dua titik dari nun dan ga ditambahkan pada huruf ghain sehingga berbentuk ain bertitik tiga, yang dibaca nga; huruf pa bertitik tiga terbentuk dari tambahan titik ba pada fa, dan ditambah satu titik lagi agar berbeda dari huruf qaf; dan huruf nya terbentuk dari nun yang ditambah dua titik ya.
Dalam perkembangannya, transliterasi huruf juga disesuaikan dengan fonem yang muncul di luar jazirah Arab. Salah satunya seperti yang digunakan di Aceh dalam implementasi simbol-simbol Islam, para sarjana menambahkan huruf fa yang diberi satu titik lagi di bawahnya dan huruf kaf yang diberi titik tiga di atasnya.
Senada dengan di Indonesia, beberapa wilayah Melayu tulisan Jawi ini menyebut asalnya daripada tulisan Arab yang dipinjam oleh orang Melayu. Oleh sebab huruf-huruf Arab mempunyai kekurangan dari sudut lambang-lambang untuk fonem melayu, maka orang-orang melayu telah meminjam beberapa huruf Arab yang telah di-Parsikan. Dengan itu bertambahlah jumlah huruf Jawi. Huruf-huruf tambahan ini ialah ? , ?, ?, ?, dan ?untuk (g, p, ny, c) dan ng secara satu persatu yang tidak ada pada bahasa Arab.
Selain daripada ini terdapat juga beberapa huruf lain yang digunakan di Alam Melayu ini seperti tha, nya tanda~ (untuk dal), serta yang lain-lain. Ini boleh kita dapati daripada kitab-kitab agama berbaris Jawa yang ditulis dengan huruf Arab atau bahasa disebut tulisan Pegon.
Pengkaji ejaan Jawi yang paling ramai jumlahnya ialah dari Eropa (Barat). Mereka telah mempelajari dan mengkaji tulisan Jawi dengan komprehensif. Seperti peneliti tulisan Jawi antaranya Worandly, William Mursedan, Klinkar, Rafles, Shellabear, Winston dan lain-lain. Dari uraian tersebut di atas, menjadi jelas bahwa tulisan Jawi lahir karena islamisasi. Pada dasarnya tulisan tersebut adalah tulisan Arab yang beberapa hurufnya ditambah dan disesuaikan dengan lidah masyarakat Melayu Nusantara sehingga tulisan tersebut juga sering disebut tulisan Arab-Jawi atau Arab-Melayu.
Sesuai sifat aksara pada umumnya, maka tulisan Jawi juga menjadi media penulisan bahasa Melayu bersamaan dengan proses islamisasi di Kepulauan Melayu Nusantara. Al-Attas mengemukakan bahwa bahasa Melayu yang sebelumnya merupakan bahasa pergaulan dalam lingkup terbatas, mengalami revolusi, berubah lingkup pemakaiannya, diperkaya perbendaharaan-katanya dengan istilah-istilah dan perkataan-perkataan Arab, Parsi, dan lain-lain, dan bahasa tersebut menjadi bahasa pengantar utama islamisasi Kepualauan Melayu Nusantara, sehingga mencapai puncak kebesarannya sebagai bahasa agama, sastra, dan ilmu pengetahuan yang resmi bagi lebih 300 juta manusia di Asia Tenggara dan diasporanya di seluruh dunia.
Karena itu, adalah sudah sepatutnya apabila bahasa Melayu yang menjadi lingua franca, bahasa agama, sastra, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan yang awalnya berkembang di Samudera Pasai lambat laun bertransformasi menjadi bahasa Indonesia dan tercantum dalam pasal 36 UUD Indonesia.
Problematika Aksara Jawi Kekinian
Perkembangan aksara Jawi memiliki persoalan yang terjadi saat ini adalah permasalahan penulisan Arab-Melayu terutama sekali terletak pada penyambungan-penyambungan konsonan yang tidak diiringi oleh vokal. Tulisan yang hanya tersusun dari huruf-huruf mati (konsonan), sering dijumpai keraguan dan kesulitan membacanya. Sehingga orang Arab sendiri dalam menulis dan membaca bahasanya lambat-laun mengembangkan suatu pengetahuan tentang tata cara menulis dan menghidupkan huruf mati tersebut yaitu yang diistilahkan dengan ilmu nahwu dan ilmu sharaf.
Apabila ditinjau lebih jauh, selain orang Arab, masyarakat ajam[6] yang berbahasa Melayu memakai aksara Arab, maka perlu ditempuh langkah-langkah baru yang mampu memberi terobosan seperti dilakukan oleh masyarakat Arab. Membutuhkan pada penciptaan baru dan mengembangkan kaidah-kaidah atau tata cara menulis dan membacanya sesuai dengan bahasa kita sendiri.
Meskipun tidak terlepas dari apa yang ada dan dapat dikembangkan dari abjad Arab itu sendiri. Ulama-ulama tempo dahulu, telah menulis kitab-kitab besar dalam tulisan Arab-Melayu, tanpa mempergunakan kaidah, adalah sama halnya dengan sejarah Bahasa Arab. Al-Qur`an, Al-Hadits dan banyak kitab lainnya telah ditulis mendahului kaidah yang rapi, karena nahwu dan sharaf kemudian baru dikembangkan. Bukankah orang yang bukan berbahasa Arab dapat menulis, membaca dan mempelajari bahasa Arab, karena sudah dipilah-pilah, diberi kriteria atau klasifikasi dan ditentukan cara menulis dan membacanya oleh alim nahwu dan sharaf lewat kaidah-kaidah yang dapat disusun dengan terstruktur dalam tata bahasa dan gramatikal di kemudian hari.[7]
Pengembangan pengetahuan tentang tata cara menulis dan membaca tulisan seperti nahwu dan sharaf dalam mempelajari bahasa Arab, bukanlah usaha mutlak untuk menuntaskan kendala yang dihadapi di dalamnya. Tetapi masih membutuhkan pendengaran (sima’iy) bagaimana biasa diucapkan oleh pemilik bahasanya dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan hanya untuk bahasa Arab dan Arab-Melayu, tetapi juga bahasa-bahasa lainnya, termasuk bahasa Inggris. Meskipun sudah menjadi bahasa internasional, tidak ada yang tuntas semata-mata dengan kaidahnya.
Penutup
Ketika Kerajaan Pasai beralih Kesultanan Aceh Darussalam di Banda Aceh pada tahun 1524, kebudayaan Melayu Pasai berpindah ke Bandar Aceh Darussalam, Ibukota Kesultanan Aceh. Di pusat kebudayaan baru itu sangat banyak menghasilkan karya-karya tulis baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Arab, antara lain kitab Tajussalatin (mahkota segala raja) oleh Bukhari al-Jauhari pada tahun 1603. Kitab itu dianggap sangat penting sebagai kitab pegangan bagi raja-raja Islam di Nusantara, sehingga diterjemahkan ke dalam multibahasa, seperti ke bahasa Jawa dikenal Serat Tajussalatin.
Kitab Sirat al Mustaqim karya Nuruddin ar-Raniri, yang diselesaikan di Aceh pada tahun 1044 H, tersebar sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Atau juga kitab tafsir pertama dalam bahasa Jawi karya Abdurrauf Syiah Kuala berjudul Tarjuman al-Mustafid dianggap sangat perlu untuk memenuhi permintaan masyarakat global, sebab bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa internsional.
Kesultanan Pasai telah merumus dan menciptakan aksara baru pada periode yang dikenal Jawi, yaitu tulisan Arab berbahasa Melayu (Indonesia). Kemunculannya tersebut seiring dengan proses islamisasi dan legalisasi pemerintahan Islam di Melayu Nusantara untuk diaplikasikan di seluruh wilayah.
Penulisan bahasa Melayu dengan abjad Arab dalam bahasa Melayu sudah dimulai semenjak Islam dianut oleh masyarakat setempat dan tersebar di Nusantara. Sehingga tulisan Arab-Melayu menjadi tulisan resmi digunakan Kerajaan Pasai dan diikuti oleh kerajaan-kerajaan Islam lainnya pada periode berikutnya. Dalam jangka waktu berabad-abad tulisan tersebut telah mewariskan banyak literatur, seni kaligrafi dan ilmu bahasa yang indah pada sumber primer sejarah untuk generasinya saat ini.
Daftar Pustaka:
A. Hasjmy. 1983. Syi’ah Dan Ahlussunnah; Saling Rebut Pengaruh Dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: PT. Bina Ilmu. A. Teeuw. 1967.
“Malay Manuscripts in the Library of Congress”. BKI, 123, Abdul Chaer. 2007.
Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta. Aboebakar Atjeh. 1985.
Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Solo: Ramadhani. Abu Hasan al-Husein al-Mas‘udi. 1861.
Muru? az-?ahab. Ed. and transl.: Barbier de Meinard and Pavet de Courteille. Paris: Les Prairies d’Or, Societé Asiatique, bil. II. Andurrauf Al-Jawi. 2014.
Mir’at At-Thullab Fi Tashi Ahkam Asy-Syari’yah lil-Maliki al-Wahhab, No. 07.688. Banda Aceh: Museum Aceh D. Gerth Van Wijk. 1985.
Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan. E.M.Beekman, Francois Valentijn, dalam Beeckman (cd). 1988.
Fugative Dreams An Anthology of Dutch Colonial Literature. Singapore: Periplus Paperback Edition. G.W.J Drewes dan L.F Brakel. 1986.
The Poems of Hamzah Fansuri (Bibliotheca Indonesia 26).
Dordrecht. H.A.R. Gibb. 1929. Ibn Batuttah. Travels in Asia and Africa. London: Chapter X, No. 6 Hashim Haji Muda. 1999.
Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Herwandi. 2003.
Bungong Kalimah: Kaligrafi Islam Dalam Balutan Tasawuf Aceh ( Abad ke 16-18 M. Padang: Andalas University Press. Ibrahim Anis. 1965.
Fi al-Lahjat al-'Arabiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjaiu al-Misriyyah. J.G de Casparis. Indonesia Palaeography: A History Of Writing In Indonesia From the Beginning To C. A.D 1500, Leiden: Brill. James T Siegel. 1978.
The Rope of God. Berkeley: University of California. Russel Jones. 1983.
Hikayat Sultan Ibrahim dalam Bibliotheca Indonesica (Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde). Liaw Yock Fang. 1993.
Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik II. Jakarta: Penerbit Erlangga. Louis-Charles Damais. 1995.
Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. M. Yunus Jamil. 1968.
Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskandar Muda. M. Zainuddin. 1961.
Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda. Martin van Bruinessen. 1995.
Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. Nuruddin Ar-Raniry. 2014.
Ms. Akhbar Al-Akhirat, No. 07.688. Banda Aceh: Museum Aceh. R. Roolvink. 1975.
Bahasa Jawi, de taal van Sumatra. Leiden. R.O Winstedt. 1958.
“A History of Classical Malay Literature”, Siangapore/Kuala Lumpur: Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society (JIMBRAS), 31. Sangid. 2003.
Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani dengan Nuruddin ar-Raniri. Yogyakarta: Gama Media. Sutan Takdir Alisyahbana 1933.
“Bahasa Indonesia”, dalam Majalah Poedjangga Baroe bulan November. Syed Muhammad Naguib Al-attas. 1990.
Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Cet. IV, Bandung: Penerbit Mizan. Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1969.
Preliminary Statement on a General Theory of The Islamization of The Malay Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1988.
The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of The ‘Aqa’id of Al-Nasafi. Kuala Lumpur: University Of Malaya. T.W. Arnold. 1913.
Preaching of Islam. London: Constable & Company Ltd. Teuku Ibrahim Alfian. 1999.
Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Teuku Iskandar. 1969.
Kesusateraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Libra. Yatim dan Halim Nasir. 1991.
Epigrafi Islam Terawal di Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
======================
Disalin dari laman perpusnas
======================
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Bahasa Melayu merupakan bahasa ibu yang dituturkan oleh orang Melayu, sedangkan Melayu sendiri terdiri atas banyak puak dimana masing-masing puak memiliki dialek/logat Bahasa Melayu tersendiri. Dan pada beberapa kasus dalam satu puak berbeda pula dialek/logat Bahasa Melayunya. Bahasa Melayu yang berkembang di pesisir (terutama di pesisir timur Sumatera) merupakan hasil percampuran berbagai dialek puak Melayu serta penyerapan beberapa kata dari bahasa asing terutama Arab dan Persia. Bahasa ini yang kemudian menjadi Lingua Franca, dimengerti oleh seluruh puak Melayu walau berbeda dialek. Silahkan baca juga DISINI
[2] Bahasa Indonesia merupakan Bahasa Melayu, silahkan baca DISINI
[3] Nama Indonesia baru muncul pada tahun 1884, silahkan baca DISINI
[4] Terkait Awal Mula Islam di Alam Melayu, silahkan baca:
Siapakah Orang Melayu Pertama yang Memeluk Islam
[5] Hingga kini Majapahit masih dalam perdebatan, menjadi acuan bagi penganut Budaya Nusantara dengan mimpi kebesaran dan luasnya kuasa politik kerajaan tersebut. Bagi bangsa-bangsa di luar Pulau Jawa, Majapahit dianggap dongeng belaka dan dibenci. Karena kalaupun memang nyata, maka Majapahit merupakan kekuasaan penjajah atas negeri mereka hal mana masa kini dilanjutkan oleh para penganut Budaya Nusantara. Kekuasaan Majapahit di Acehpun banyak yang meragukan karena di Aceh sendiri telah berdiri kerajaan kuat baik secara politik namun juga ekonomi, intelektual, dan politik.
[6] Ajam merupakan sebutan untuk Non Arab, sama dengan Ghayyim untuk Non Yahudi atau dalam dunia fiksi Muggle untuk Non Penyihir.
[7] Terkait lahirnya Ilmu Nahwu dan Syaraf silahkan klik DISINI