Ilustrasi Gambar: wikipedia |
Oleh: Saiful Guci Dt. Rajo Sampono.
Ciloteh Bersuara - Saat saya menghadiri pesta perkawinan anak mamak di Minas, saya bertemu dengan anak muda asal Bangkinang yang bernama Andik dan kami mengobrol kesana kemari, kemudian Andik berkata “ jadi bapak yang bernama Saiful Guci, saya pernah membaca catatan bapak di facebook tentang hubungan Andiko 44 dengan Luhak 50 Koto, nama saya Andik berasal dari Bangkinang “ ujar Andik.
“ Apa suku Andik ?” tanya saya.
“ Suku saya ocu orang Kampar “ jawab Andik.
“ Berarti adinda Andik tidak mengetahui sejarah Bangkinang, memang banyak generasi muda sekarang yang ingin menghilangkan identitas keminangkabauan yang hidup bersuku-suku dibawah pimpinan seorang penghulu. Ketahuilah bahwa di Bangkinang tidak ada suku yang bernama Ocu, dan daerah Bangkinang dahulunya adalah bagian dari Afdeelingen Luhak Limopuluah yang ibukotanya Payakumbuh dan baru pada tanggal 6 Februari 1950 berpisah dengan Kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Sumatera Tengah No: 3/dc/stg/50 tantang Penetapan Kabupaten Kampar yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sejak tanggal 6 Februari 1950 tersebut Kabupaten Kampar telah mempunyai nama, batas-batas wilayah dan telah dikukuhkan sebagai hari jadi Kabupaten Kampar.
Ohya , Andik mengertikah apa arti dari kata-kata Bangkinang ? “ tanya saya.
“Saya belum mengerti “ jawab Andik singkat.
Kemudian saya bercerita “Apabila kita baca monografi Nagari Bangkinang ditulis tahun 1950 yang merupakan salah satu syarat administrasi pemisahan Kampar dengan Lima Puluh Kota, bahwa asal-usul nama nagari Bangkinang berasal dari kata-kata “bangkai inang”. Konon dahulu kala nagari ini dijarah oleh sebuah kaum yang dikenal bernama “siro”, yang datang dari utara. Oleh orang nagari ini diatur siasat dengan lari keatas bukit dipinggir sungai, dan mereka menebang batang-batang kayu besar yang ada diatas bukit itu, dan disiapkan untuk digulingkan kebawah bila mereka dikejar oleh perompak yang menjarah nagarinya itu, Ketika orang Siro tadi melihat mereka sudah lari keatas bukit itu, maka para penjarah mengejar keatas bukit itu. Setelah mereka dilihat oleh para penduduk yang lari keatas bukit tadi sudah sampai mendaki bukit itu, maka secara serentak mereka menggulingkan kayu-kayu yang sudah mereka tebang tadi kebawah dan habislah mati orang Siro tadi semuanya.
Mayat mereka dibuang masuk sungai dan busuklah sungai itu, selanjutnya dinamai Sungai Sibusuk. Bangkai-bangkai itu disebut “bangkai inang” oleh penduduk disini, dan pada akhirnya dijadikanlah nama nagari dengan menyebut secara singkat Bangkinang.
Dahulunya nagari ini tersusun atas 5 (lima) koto-koto yaitu:
1. Koto Sikatuang, yang menurut keterangan bahwa koto ini adalah sebuah bukit merupakan sebuah pulau yang terkatung-katung ditengah laut (zaman dahulunya). Penduduk disini bersuku Melayu yang penghulunya adalah Datuk Rajo Deko Setio.
2. Koto Palambayan, yang kemudian bernama Koto Gentayan. Yangp enduduknya bersuku Malayu yang penghulunya Datuk Duko Samad Dirajo.
3. Koto Sumiri yang terletak diatas bukit Sumiri, yang penduduknya bersuku Piliang dengan penghulunya Datuk Sido/ Dt. Pandak.
4. Koto Batang Bangkinang, yang penduduknya bersuku Mandailiang, dengan penghulunya Dt.Basa/Dt.Bdr.Satie
5. Koto Joniah terletak diatas bukit Jonieh, penduduknya bersuku Malayu dengan penghulunya Dt.Rajo Deko Setio, dan adiknya bergelar Dt.Putiah.
Sebahagian suku Malayu ini tinggal di Koto Sekatung dan oleh karena itu Dt.Rajo Deko Setia pindah ke Koto Sekatung, sedangkan Dt.Putiah di Koto Janiah.
Kemudian diadakan suatu permupakatan oleh penghulu-penghulu yang memimpin koto-koto tadi di Pasir Merbau, dibalai tanah yang beratap langit, berdinding bukit, berlantai bumi.
Hasil permupakatan itu adalah dengan disusunnya Nagari Bangkinang atas 3 munaf, yaitu:
1. Munaf Piliang dengan penghulunya Datuk Sido/Dt. Pandak dan dibantu oleh Datuk Majo Basa Piliang, Datuk Laksamano, Piliang.
2. Munaf Mandailiang dengan penghulunya Dt.Basa/Dt. Bandaro Sati, dibantu oleh Datuk Bandaro Mudo, Mandailiang, Dt.Simarajo, Patapang, dan Datuk Panduko Ulak.
3. Munaf Malayu dengan penghulunya Dt.Rajo Deko Setio, dibantu oleh Datuk Tuo Samad Dirajo, Malayu dan Datuk Majo Basa, suku Malayu,
Sidang ini dipimpin oleh Datuk Bandaro Sati yang selanjutnya menjadi pucuk adat Nagari Bangkinang.
Berhubung karena Datuk Rajo Deko Setio selalu berhalangan menghadiri sidang ninik mamak, maka atas nasehat beliau dijemputlah sebuah kaum ke Kuok, yaitu yang diminta kepada Datuk Penghulu Basa, yang secara adat disebut "kasih berjemput", Kaum ini dibawa ke Bangkinang dan diberi bergelar Dt. Mudo/Dt. Rajo Malayu, diberi bertempat dan diberi ber-anggun-anggun (sawah).
Selanjutnya untuk menghadiri sidang-sidang ninik mamak, ditetapkanlah Dt. Mudo/Dt.Rajo Malayu, sedangkan Datuk Rajo Deko Setio menjadi pucuk bulat urat tunggang dalam Datuk nan berempat di suku Malayu.
Merujuk dari Tambo dan Limbago Adat Minangkabau yang disusun oleh Sutan Mahmoed, Awal pembentukan Nagari Bangkinang terdiri dari 5 suku mempunyai sebutan penghulu yang 12 mempunyai urang 4 jinih (penghulu, dubalang, sambutan dan malin ) . Adat yang dipakai adalah adat Bodi Caniago.
Adapun "urang ampek jinih", yaitu:
Suku Piliang :
1. Penghulu Datuk Sido/Dt.Pandak, Dubalang bergelar Si Gadang , Tan Basa, sambutan (pagawai)
2. Penghulu Dt.Majo Basa, Tan Majo Lelo ( dubalang), Majo Sinaro, sambutan . Malin Mamak, (malin)
3. Penghulu Dt. Manjolak, Alang Panah (dubalang), Lelo Sati ( sambutan), Malin Sutan ( malin)
4. Penghulu Dt. Laksamano, Panji Alam (dubalang), Panduko Sindo ( sambutan), Malin Marajo (malin)
Suku Mandailing
5. Penghulu Dt. Basa/Dt. Bandaro Sati, Gindo Sipado (dubalang), Majo Lelo (Sambutan),Malin Muhamad (malin),
6. Penghulu Datuk Bandaro Mudo, Dubalang Kayo (dubalang), Gindo Simarajo (sambutan), Malin Pakiah (malin).
Suku Patapang
7. Penghulu Dt. Sinaro , Panji Alam (dubalang), Simarajo ( sambutan), Malin Marajo (malin)
Suku Domo
8. Penghulu Datuk Panduko Ulak, Kiyai (dubalang), Domo Angso ( Sambutan), Malin Karajan (malin)
Suku Malayu
9. Penghulu Datuk Mudo, Panggilan Jelo ( dubalang), Panduko Marajo (sambutan), Malin Putiah (malin) berasal dari Nagari Kuok.
10. Penghulu Datuk Rajo Deko Setio, penghulu dalam kampung melayu nan empat, tidak masuk anggota kerapatan nagari, karena sudah diwakili oleh Datuk Mudo, namun jika Datuk Mudo beruzur, maka Datuk Rajo Deko Setio menjadi anggota kerapatan nagari. Panglima Data (dubalang), Paduko Suanso ( sambutan), Malin Putiah (malin).
11. Penghulu Datuk Tuo Samad Dirajo, Sutan Tabano (dubalang), Pito Suman (dubalang)
12. Penghulu Datuk Putiah, Ampang Langkah (dubalang ), Intan Simarajo (sambutan), Malin Palimo (malin)
13. Penghulu Datuk Majo Basa, Panglimo Nan Tunggang (dubalang), Majo Indo (sambutan), Malin Kayo (malin)
Dalam pada itu tidak jauh dari Bangkinang, telah terbentuk pula sebuah nagari bernama Salo dipimpin oleh Datuk Permato Said dengan susunan 12 ninik mamak. Sejalan dengan itu telah terbentuk pula nagari-nagari Kuok, Air Tiris dan Rumbio.
Atas initiatif Datuk Bandaro Sati, pucuk adat nagari Bangkinang, diadakanlah suatu musyawarah besar kelima nagari tadi bertempat di Balai Tanah Pasir Merbau, dan disana dibentuklah kesatuan adat Limo Koto, dengan pucuk adatnya Datuk Bandaro Sati, Bangkinang dan kesatuan ninik mamaknya disebut “andiko Anam Puluah Anam”.
Namun struktur diatas “andiko Anam Puluah Anam” ini adalagi suatu sistim adat lainnya yang disebut “andiko Ampek Ppuluah Ampek” yang berpusat di Muaro Takus dibawah pimpinan Datuk Simarajo Dibalai. Adapun yang mewakili nagari Bangkinang dalam andiko nan ampek puluah ampek adalah Datuk Bandaro Mudo, suku Mandailiang, sedang Datuk Bandaro Sati, pucuk andiko anam puluah anam, juga dari Suku Mandailiang.
Balai-balai adat Bangkinang adalah balai-balai induk dalam kesatuan adat Limo Koto, lantainya datar saja, sebab dalam musyawarah ini berlaku “duduk samo randah, tagak Samo tinggi”, tetapi balai-balai adat di Kuok, Salo, Rumbio dan Air Tiris, lantainya bertingkat-tingkat, yang artinya bahwa ada penghulu yang lebih tinggi dari kedudukan ninik mamak nagari-nagari tersebut yang akan datang menghadiri sidang dibalal-balai tersebut.
Pada suatu waktu ninik mamak Bangkinang dengan ninik mamak Salo sepakat mengangkat/menobatkan seorang “rajo”, sedang nagari-nagari Kuok, Rumbio dan Air Tiris mengangkat pula seorang “rajo”.
Hubungan adat antara Limo Koto dengan Patapahan terlihat erat sekali, sehingga jika Datuk Bandaro suku Domo, pucuk adat Patapahan, meninggal, maka sebelum ada penggantinya, Datuk Bandaro Sati, pucuk adat Bangkinang berangkat kesana menggantikannya.
Konon kabarnya, Datuk Bandaro Sati Bangkinang mempunyai sebuah tombak yang bernama “tupang marpuyan” yang tangkainya terbuat dari “saga jantan”, Tombak ini adalah tombak keramat, yang menurut keterangan, jika akan ada bahaya akan datang kedalam kesatuan andiko Anam Puluah Anam, Limo Koto, maka tombak itu berpusing sendiri, sedang Datuk Sindo, Datuk Pandak mempunyai pula sebuah keris keramat yang bernama "tabuang tatunggang", sebuah keris anti kebal, artinya tidak ada yang kebal jika berhadapan dengan keris ini.
Pulutan 21 Juni 2022