Gambar: Republika |
"KECIK" - ALGOJO MELAYU KALIMANTAN & PAHLAWAN BAGI REPUBLIK
_________________________
FB Avicenna Albiruni - Hampir 100 orang tewas dibunuh di dalam peristiwa 'Bultiken' - Bulungan, Tidung, Kenyah di Kalimantan ( 3 - 24 juli 1964 ). Sultan, bangsawan, perempuan & bahkan anak - anak dihabisi tanpa belas kasihan. Dan ini terjadi pada saat adzan subuh mengumandang yang jatuh pada Hari Jumat. Istana & rumah - rumah adat dibakar. Harta benda berharga istana dirampas.
Pada hari Jumat juga, pada tanggal 24 Juli 1964, Brigjen Soeharjo memerintahkan tentara menangkap seluruh bangsawan Bulungan. Mereka dibagi ke dalam beberapa grup. Seluruh bangsawan laki-laki disatukan dalam satu kelompok lalu dimasukkan ke dalam perahu, sedangkan anak-anak dan perempuan ditempatkan di perahu yang lain. Rencananya mereka akan dibawa ke Tarakan, dari sana berlanjut ke Balikpapan. Rencana itu tak dijalankan. Ada 30 orang yang akhirnya dieksekusi tim pengawal yang berasal dari Kodim Bulungan. Mayat mereka dilempar begitu saja ke lautan (Burhan Djabier Magenda, East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, hal. 91).
Dalam memoarnya, mantan Pangdam IX Mulawarman, Brigjen Soemitro, -pengganti Suharyo- menceritakan mengenai Suharyo yang ia kenal, Suharyo dipanggil dengan sebutan “Cik” atau “Kecik”, mereka berdua di zaman gerilya dulu memang saling kenal, seperti yang dipaparkan oleh Soemitro:
“Waktu zaman gerilya dulu, saya komandan batalion di Malang dan dia (Suharyo) komandan Korps Mahasisiwa. Saya tetap ingat, pada tahun 1958 saya ketemu dengan dia di Ford Benning (Infantry Cantre). Dia selesai sekolah Regular Officer Advance Course bersama Panggabean (Jendral), Brotosewoyo, Priatna, Kris Sudono dan Muskita. Saya baru masuk bersama Willy Sudjono, Iskandar Ranu. Suharyo tinggal karena ikut Airborne Course dan kakinya, kalau tidak salah, keseleo (verzwikt) dan di-gips”.
Hubungan keduanya nampaknya sempat agak tegang justru ketika Brigjen Soemitro ditugas kan Jendral Ahmad Yani untuk menggantikan Suharyo. Jendral Ahmad Yani nampaknya paham sepak terjang Suharyo di Kalimantan Timur (Kaltim), ia juga dianggap dekat dengan Presiden Sukarno yang saat itu menjabat sebagai Pangti (Panglima tertinggi) sekaligus Presiden. Tentu Sukarno mengatahui sepak terjang Suharyo di Kaltim? Apakah Sukarno mengetahui Istana Kesultanan Bulungan di bakar?. Apakah Suharyo benar sebagai dalang utama atau justru hanya sebagai pelaksana dilapangan? sejauh mana hubungan Suharyo dan Soekarno?.
Tampaknya pembunuhan massal oleh 'Kecik' diamini, dikarenakan saat itu adalah sedang gencar - gencarnya Soekarno & Partai Komunis Indonesia (PKI) meneriakkan 'Ganjang Malaysia'. Ambisi blok Peking - Jakarta untuk memukul seluruh lawan yang dipandang blok Sekutu. Tuduhan - tuduhan membelot bagi penduduk sipil dibalas dengan penjagalan tanpa hati nurani. Tak kenal pria, wanita bahkan anak - anak dihabisi. Harta benda berharga dianggap pampasan perang yang pantas dibawa lari. Bukan kombatan melawan militer bersenjata.
Brigjen Soemitro menceritakan mengenai sebab mengapa Suharyo oleh para petinggi di Angkatan Darat (AD), nampaknya tidak begitu disenangi, Soemitro mengatakan:
“Saya mengerti mengapa pimpinan AD mau menarik Brigjen Suharyo. Memang sudah lama kami di Jakarta mendengar, bahwa Bahwa Brigjen Suharyo yang jadi Panglima di Kalimantan Timur itu terlalu dekat dengan PKI. Saya mendengar, bahwa setiap kali Haryo ke Jakarta, dia keluar masuk Istana tanpa diketahui seizin Jendral Yani. Ini artinya, dia sangat dekat dengan Bung Karno, Sekali ia pernah kepergok oleh Jendral (Ahmad) Yani di Istana”.
Suatu ketika terjadi peristiwa marahnya A. Yani ( Menpangad ) kepada Haryo Kecik ( Pangdam Mulawarman ) yang diketahui menuduh adanya Staf Umum Angkatan Darat di jajaran A. Yani yang bekerja sebagai mata - mata Shell. Haryo Kecik digantikan & dikirimkan untuk Sekolah ke luar Negeri. Bulan Maret 1946, Seminggu sebelum berangkat, sebagai Perwira Soekarnois Haryo mengadukan adanya 'mata - mata' di SUAD kepada Soekarno dengan berpura - pura minta izin pamit. Walau di dalam bukunya ( Dari Moscow ke Peking ) ia berkata Soekarnolah yang memanggilnya setelah diberitahu Yani bahwa ia akan dikirim sekolah keluar. Setelah di paksa Soekarno untuk menceritakan alasan sebenarnya dia untuk bersekolah keluar, Haryo Kecik menceritakan secara implisit dibuang oleh Yani karena membongkar adanya mata - mata Shell di dalam SUAD ( Staff Umum Angkatan Darat ). Menurut berbagai sumber kisah tersebut adalah ; Haryo kecik menemukan bahwa Perusahaan Shell menyebarkan berita bohong bahwa cadangan minyak di Kalimatan sudah akan habis, karena ia menemukan sendiri adanya sumber minyak potensial yang sudah di eksplorasi Belanda sejak tahun 1906.
Haryo lalu memerintahkan anggota Intelnya untuk mencuri mesin ketik milik Shell yang hurufnya berbeda. Menuliskan berita yang dikirim Mabes AD. Mesin tik lalu dikembalikan secara rahasia. Dalam laporan itu dikatakan bahwa di daerah Sengata, dekat delta Sungai Mahakam melalui Bataafsche Petrolium Maatschappij, Belanda pernah mengebor enam sumur pada tahun 1906. Dari pengeboran itu mereka menemukan deposit minyak yang cukup besar dan bertekanan tinggi atau spuiters.
Dengan laporan ini, seolah pihak Shell sendirilah mengirimkan berita ke Agen mereka di Angkatan Darat. Setelah berita ini sampai kepada A. Yani, ia langsung mengirim telegram kepada Haryo untuk menghadap ke Jakarta. Bukannya A. Yani senang, Haryo malah di damprat hingga Yani menggebrak meja. Yani mengatakan bukan ia tak tau jika itu mesin ketik milik Shell, tapi berita itu bukan dari Shell. Haryo membantah bahwa itu ia lakukan karena ada agen Shell di jajaran A. Yani. Dan menantang Yani untuk menghubungi perwira intelnya di Kalimantan yang sudah stand by di telepon. A. Yani bertambah murka dan mengatakan Haryo ditunggangi oleh buruh.
Dalam pertemuan dengan Soekarno, Haryo melaporkan bahwa Yani tak menindak lanjuti laporannya. Tidak juga memanggil Deputi Intelejennya untuk menyelidiki. Hal ini semakin membuat hubungan Soekarno dengan Yani memburuk. 6 Bulan kemudian, terjadilah peristiwa G30S, di mana Yani mati terbunuh setelah menjadi sasaran utama kedua setelah Jenderal A. H. Nasution yang berhasil menyelamatkan diri.
Banyak hal yang menarik diceritakan Brigjen Soemitro dalam memoarnya tersebut, antara lain suasana Kota Balikpapan menjelang kepergian Suharyo, saat itu sambutan organisasi onderbownya PKI terhadap dirinya sangat dingin, belum apa-apa saat baru menginjakkan kaki dibandara sepinggan, ia sudah diteror dengan sepanduk bertuliskan “Selamat Jalan Bapak Brigadir Jendral Suharyo”, lalu dibelakangnya ada sepanduk “Selamat datang saudara Brigadir Jendral Soemitro”. Brigjen Soemitro jelas berang dibuatnya; Wah, kok ini ada “bapak” dan ada “saudara’! Waktu itu tersentak hati saya sejenak, tersinggung. Tapi saya diam saja sementara saya berfikir: “apa-apaan ini!” Massa sepertinya sudah dihasut untuk membedakan Suharyo dengan saya”.
Pada malam harinya, Kodam mengadakan acara perpisahan untuk Brigjen Suharyo dan memperkenalkan Brigjen Soemitro di gedung bioskop. Suharyo berpidato tidak kurang empat jam, telinga Brigjen Soemitro di buat berdiri ketika Suharyo mengatakan “Sebenarnya saya masih senang disini, masih mau lebih lama disini. Tapi orang Jakarta tidak mengerti Revolusi”.
Jelas saja Soemitro di buat tidak senang, apa lagi kemudian muncul istilah yang ditujukan kepada Brigjen Soemitro; “Jendral kanan yang nggak tahu Revolusi”. Hal ini sempat pula dipertanyakan Barigjen Soemitro pada Suharyo pada keesokan harinya, saat mereka bertemu di Sheel Guest House. Bagi Soemitro, Suharyolah yang berada dibalik kejadian-kejadian teror poster tersebut, Suharyo sendiri tidak mengakui hal itu. Disitulah kekesalan Soemitro tidak bisa dibendung, seperti yang tertulis dalam memoarnya:
“Jangan Bohong”, kata saya. “kamu di Belakangnya. Kamu ngaku senang diganti oleh kawan sendiri. Kamu pidato empat jam. Enggak kurang lama kamu pidato disana Berapa tahun kamu disini? Njeplak seenakmu sendiri! Urusan apa kamu sebut Jakarta tidak mengerti revolusi. Kamu masih tentara atau tidak? saya tahu, Cik, Kamu pandai menembak. Tapi kamu tidak pernah perang, Cik, Kamu tidak pernah perang.” begitulah kekesalan Brigjen Soemitro tumpah sambil menuding Suharyo dengan telunjuknya. Namun karena mereka berkawan, masalahnya hari itu juga selesai.
Beberapa lama setelah kepergian Suharyo, Brigjen Soemitro kemudian “menggulung” PKI dan onderbownya, macam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Gerwani, Pemuda Rakyat dan Perbum. Menariknya selain dari sipil diketahui beberapa oknum militer juga ditahan karena diketahui “dekat” dengan PKI.
Brigjen Soemitro sendiri menyayangkan sikap Suharyo yang dianggapnya berlebihan, seperti yang ia tulis: “Yang saya sayangkan adalah bekas-bekas Kesultanan Tenggarong dan Kutei sangat dirusak secara berlebih-lebihan oleh pendahulu saya. Sok Revolusioner!”.
Ya wajar saja Brigjen Soemitro menyayangkan hal itu, karena bagaimanapun hal itu akan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat. Jika Istana Kesultanan Kutai saja di rusak, walaupun begitu oleh Moes Hassan sempat diselamatkan dengan cara disegel, bukan hal yang musthil, Istana Kesultanan Bulungan jauh di utara, jauh dari pemberitaan media, dirusak atas komando orang yang sama kala itu. Hanya Allah yang tahu.
Apakah Brigjen Suharyo punya kedekatan yang “mesra” dengan PKI? itu bukan hal yang mudah untuk dijawab, walaupun demikian, memoar Brigjen Soemitro memberikan gambaran bagaimana sikap PKI yang berbeda dengan Suharyo dan Soemitro. Brigjen Soemitro sendiri nampaknya kurang yakin kalau Suharyo dekat dengan PKI, ia tidak begitu percaya hal itu, seperti yang ia tulis sendiri:
“ Sebenarnya, seingat saya, Haryo bukan terlalu dekat dengan PKI seperti yang diduga oleh banyak orang. Dia, saya kira, dulu-dulu dekat dengan PSI. Saya yakin dia bukan PKI. Bagaimana ia bisa dikatakan PKI! hidupnya di Ft. Benning mewah. Di samping punya used car saya dengar ia punya kendaraan baru”.
Apakah penyataan Brigjen Soemitro itu hanya sebagai bentuk ketidak percayaan karena Brigjen Suharyo dapat dikatakan berkehidupan mewah, karena memang saat itu PKI justru menjauhi hal-hal tersebut atau mungkin karena nalurinya sebagai kawan lama. Namun jangan pula kita lupakan informasi yang penting. Datuk Iskandar Zulkarnaen memberikan informasi dalam bukunya, saat terjadi insiden 1964 tersebut, Brigjen Suharyo memerintahkan seluruh harta benda di Istana Bulungan sebelum dibakar, dikeluarkan dan menjarahnya. Suharyo bahkan dikabarkan membutukan dua kapal, masing-masing KM Renteh dan KM Merah untuk membawa harta jarahannya ke Surabaya. (Datuk Iskandar Zulkarnaen:82:2008).
Apakah ada benang merah kejadian penjarahan tersebut dengan kepemilikan barang mewah seperti yang disampaikan Brigjen Soemitro? tentunya perlu studi lebih dalam mengenai masalah tersebut, karena sampai hari inipun “National Treasure” dari Kesultanan Bulungan itu tidak ada kabarnya, seperti hilang ditelan bumi.
Lain Brigjen Soemitro, lainpula Moeis Hassan. dalam memoarnya, ia tidak ingin terlalu berseberangan dengan Suharyo, Gubernur Moeis Hassan kala itu hanya menyinggung hal-hal yang “positif” saja.
Sebagian masyarakat menilai Brigjen Soharyo terlalu banyak mencampuri urusan pemerintahan daerah khususnya semasa berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg). Dimata Moeis Hassan, Suharyo digambarkan orang yang periang, suka goyon tapi bisa keras dalam tindakan. Ia kadang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa menyadari bahwa tindakannya akan merugikan orang lain. Dia tidak segan-segan menggunakan tangannya, bila perlu. (Moeis Hassan: 166: 1994).
Nasib Brigjen Suhayo sendiri, digambarkan tidak begitu beruntung, khususnya setelah Pak Harto menjadi Presiden. Saat ia melangsungkan College War di Moskow Rusia, Indonesia telah berganti kepemimpinan. Brigjen Suharyo memilih untuk tidak pulang ke Indonesia, barulah tahun 1977 ia pulang ke Indonesia dan sempat di tahan. Setelah reformasi nama Suharyo muncul lagi ke publik, sebagai penulis novel produktif, diantaranya, Si Pemburu, Badak Terakhir dan Lesti.
Setelah wafat, 19 Agustus 2014, sang Penjagal dimakamkan sebagai seorang Pahlawan.
=======================
Baca juga: