Lentera Timur - Ibrahim berdiri terpaku menatap istana yang hancur lebur. Ia menangis sesenggukan. Air matanya mengalir deras sedari tadi. Di depan mata bocah sepuluh tahun itu tersaji sebuah pemandangan bengis: segerombolan orang berpakaian loreng dan bersenjata lengkap membakar mahligai negara Kesultanan Bulungan. Api berkobar menjilati tiang-tiang istana.
Dari arah utara, suara teriakan perempuan terdengar keras.
”Ibrahim…! Lari… lari!”
Perempuan itu meminta Ibrahim segera meninggalkan istana yang sudah menjadi puing. Namun dia tetap tegak bak pohon yang tak goyang. Angin malam Sungai Kayan tak membuat langkahnya mundur. Tajam matanya yang masih dilintasi air yang turun dari kelopak, tetap tertuju pada reruntuhan istana. Otaknya merekam peristiwa malam itu lekat-lekat.
Lalu, perempuan itu keluar dari persembunyiannya dan berlari ke arah Ibrahim. Sekejap, tangannya menangkap tubuh Ibrahim yang masih berdiri tegap dan membawanya menjauh dari kobaran api. Perempuan itu tak lain adalah ibu kandung Ibrahim sendiri, yang selamat dari pembantaian.
Setelah puas membakar, membunuh petinggi Negara Kesultanan Bulungan, dan merampas harta benda istana, para tentara itu lalu menculik Datu Mukemat bergelar Raja Muda. Sampai sekarang, Raja Muda yang juga sepupu Ibrahim itu, tak diketahui nasibnya.
Sabtu, 18 Juli 1964, di malam penuh kebengisan itu, semua hancur lebur. Peradaban panjang terbujur. Ibrahim menjadi saksi betapa kejinya sekelompok tentara yang telah membunuh dan menculik kerabat istana hingga membakar dan menghancurkan istana dan rumah adat. Tak puas membakar, para tentara juga merampas harta benda milik kesultanan.
”Waktu itu saya masih kecil, baru berumur sepuluh tahun. Saya melihat dengan mata kepala sendiri pembakaran itu. Tentara menculik dan membunuh kerabat istana. Raja Muda hilang. Sampai sekarang tidak jelas keberadaannya,” kata Ibrahim yang bergelar Datu Ibrahim Bin Datu Bendahara, kepada LenteraTimur.com, Selasa (19/6), di Museum Kesultanan Bulungan, Tanjung Palas, Kalimantan Timur.
Mata Ibrahim berkaca-kaca menceritakan peristiwa itu. Suaranya berat. Tangannya menunjuk foto Raja Muda bersama istrinya yang terpajang di salah satu dinding di dalam museum Kesultanan Bulungan. Museum itu dibangun ulang untuk mengangkat kembali kejayaan Kesultanan Bulungan. Bersama istri dan anaknya, Ibrahim tinggal tak jauh dari museum, yang dulunya adalah istana.
Ibrahim yang kini berusia 58 tahun itu bercerita, sebelum 18 Juli 1964, sudah terjadi penangkapan dan pembunuhan petinggi-petinggi Bulungan oleh tentara Indonesia atas perintah Brigadir Jenderal Suhario, yang ketika itu menjabat sebagai Pangdam IX Mulawarman. Namun, yang melakukan eksekusi di lapangan adalah kaki tangannya, antara lain Letnan B. Simatupang.
Berdasarkan informasi dari Kesultanan Bulungan, pelaku pembantaian ini juga memiliki keterkaitan dengan kaum komunis. Dan di banyak sumber, Suhario disebut-sebut memang dekat dengan kelompok tersebut.
”Kerabat kami satu per satu diculik. Ada yang dibunuh. Setidaknya ada 58 orang korban keganasan tentara,” kata Ibrahim.
Petaka 18 Juli 1964 itu kemudian dikenal dengan nama tragedi Bultiken. Bultiken merupakan akronim dari Bulungan, Tidung, dan Kenyah. Ketiganya berasal dari keturunan proto-melayu yang dalam perjalanan masa dikenal dengan nama suku Dayak Kenyah atau Dayak Kayan. Sementara, mereka yang hijrah ke wilayah pantai melalui percampuran darah dan perkawinan dengan penduduk pendatang dari daerah atau negeri lain menjelma menjadi dua rumpun besar, yaitu Suku Tidung dan Suku Bulungan.
”Kami dituduh makar, melawan pemerintahan yang sah,” kata Ibrahim. ”Akibatnya banyak kerabat kami yang lari ke Malaysia dan memilih menjadi warga negara Malaysia ketimbang Indonesia.”
Menurut Ali Amin Bilfaqih, dalam bukunya “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”, kejadian itu bermula pada Kamis, 2 Juli 1964. Selepas salat Magrib hingga larut malam, Kapten Buntaran dan Letnan B. Simatupang bertamu ke kediaman Raja Muda di istana Kesultanan Bulungan. Mereka tampak asyik bercerita hingga diselingi tawa dan canda. Namun, di ruangan terpisah, dua anak Raja Muda yang masih balita, Masnun dan Khaharudin, sangat rewel. Mereka menangis terus sejak magrib hingga larut malam. Tangisan itu ditafsirkan sebagai pertanda akan datangnya sesuatu yang buruk.
Bisa jadi firasat itu benar. Selepas Kapten Buntaran dan Letnan B. Simatupang pamit tengah malam dan diantar Raja Muda hingga tangga istana, ternyata keduanya kembali lagi pada subuh dini hari, Jumat, 3 Juli 1964. Kali ini mereka membawa sepasukan tentara dari satuan tempur Brawijaya 517 untuk mengepung istana Kesultanan Bulungan.
Masyarakat yang kala itu sedang mengambil air wudhu di Sungai Kayan untuk salat subuh kaget melihat begitu banyaknya tentara. Dan sekitar pukul enam pagi, seluruh masyarakat di Tanjung Palas dikumpulkan di depan istana.
Lalu, Mayor Sumina Husain, Komandan Kodim 0903 Bulungan di Tanjung Selor, berpidato.
”Para bangsawan Bulungan ingin memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah, dengan gerakan subversif Bultiken.”
Pernyataan itu kemudian diulangi lagi oleh Letnan B. Simatupang. Namun, Datu Taruna, bangsawan Bulungan, menyanggahnya.
”Itu tidak mungkin, sebab Kapten Buntaran dan Letnan B. Simatupang ngobrol hingga larut malam dengan Raja Muda di istana.”
Letnan B. Simatupang marah, lalu memerintahkan kepada seorang polisi M. Ramli untuk menembak Datu Taruna. Datu Taruna pun akhirnya terjungkal dan rebah bersimbah darah.
Sejak peristiwa itu, tentara menutup istana dan harta benda dijarah. Satu per satu bangsawan Bulungan hilang tanpa status. Sisanya ditangkap dan ada yang dibunuh. Tercatat pada 3, 4, dan 6 Juli 1964 sering terjadi penculikan dan penangkapan. Kemudian Sabtu malam, 18 Juli 1964, istana Raja Muda pun dibakar.
Kekejaman itu lalu terus memburu. Pada hari Kamis-Jumat, 23-24 Juli 1964, penyerangan dan pembakaran masih terus dilakukan. Istana Bulungan bertingkat dua itu dibakar selama dua hari dua malam hingga rata dengan tanah. Masyarakat yang tidak ikut membakar istana, dianggap pengikut Raja Muda yang memberontak.
”Peristiwa itu tidak akan kami lupakan. Saya masih dendam hari ini,” kata Ibrahim. Suaranya berat. Ia terdiam sejenak. Matanya sedikit berkabut.
”Tuhan yang akan membalasnya,” suara Ibrahim lirih.
Bergabung dengan Indonesia
Istana Kesultanan Bulungan terletak di Tanjang Palas. Untuk mencapainya, orang harus menyeberangi Sungai Kayan dari Tanjung Selor. Tak butuh waktu lama, cukup sekitar lima menit berperahu kolotok saja, kita akan sampai di Istana Kesultanan Bulungan, Kalimantan Timur.
Untuk mengingat lagi masa kejayaan Bulungan, karena istana itu telah dibumi hanguskan oleh tentara, maka dibuatlah Museum Kesultanan Bulungan. Di halaman dan teras istana, terdapat meriam-meriam tua yang tepat berhadapan ke arah Sungai Kayan.
Di dalam museum, masih terdapat sebagian kecil saja sisa-sisa harta benda Kesultanan Bulungan yang selamat dari jarahan tentara. Semua ornamen-ornamennya didominasi oleh warna kuning. Antara lain keris – senjata khas Melayu, tempat tidur raja, guci, singgasana raja, dan juga foto-foto yang terbingkai rapi. Salah satu fotonya adalah sebuah kapal yang sedang berlabuh di Sungai Kayan. Di badan kapal itu tertulis Boelongan Nederland.
”Bulungan dan Belanda itu bersahabat. Kami tidak berperang melawan Belanda,” ujar Jimmy Nasroen, seorang pengajar di Universitas Kalimantan Utara yang juga tokoh pemuda Bulungan pada LenteraTimur.com, Selasa (19/6), di Bulungan.
Selain itu, ada juga foto pernikahan Sultan Bulungan, Datuk Ahmad Sulaiman, dengan putri Sultan Langkat (Sumatera Timur), Tengku Lailan Syafinah (pada foto Lailan Supimah) binti almarhum Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad pada 1926. Oleh rakyat Langkat, Sultan Bulungan dikenal dengan nama Sri Sultan Maulana Ahmad Sulaiman Ud-din. Jarak antara Bulungan dan Langkat tak terkira jauhnya, yang jika ditarik garis lurus mencapai sekitar 2.200 kilometer. Sebuah situs Belanda juga mencatat sejumlah foto pernikahan keduanya di Tanjungpura, Langkat, yang juga dirayakan dengan tarian Karo (lihat di sini).
Kesultanan Bulungan saat itu adalah sebuah wilayah yang berdaulat: memiliki pemerintahan, teritori, dan rakyat. Wilayah kekuasaannya mencapai Malinau, Nunukan, Tana Tidung, Tarakan, Sebatik, bahkan hingga ke Sipadan dan Ligitan. Untuk Pulau Sipadan, mereka mengenalnya dengan sebutan Pulau Sepot, yang artinya batas. Kemudian hari pulau tersebut dinamakan Sipadan, yang kini masuk dalam wilayah Malaysia.
”Tak ada nasionalisme di sini. Kami makan dan belanja barang-barang yang hampir semuanya dari Malaysia,” kata Jimmy.
Menurut Jimmy, Kesultanan Bulungan bergabung dengan Indonesia pada 1949, yakni pada negara Republik Indonesia Serikat. Sejak saat itulah wilayah Kesultanan Bulungan, di dalam Federasi Kalimantan Timur, menjadi Daerah Istimewa.
”Jadi ada tiga daerah istimewa di Indonesia sebenarnya. Selain Aceh dan Yogyakarta, Bulungan juga merupakan Daerah Istimewa. Namun, status keistimewaan itu dicabut pada tahun 1964, seiring terjadinya Tragedi Bultiken yang dituduhkan tentara,” ujar Jimmy.
Pemerintahan Kesultanan Bulungan berakhir pada tahun 1958, yang pada saat itu dijabat oleh Datu Tira atau yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Djalaludin.
”Ekonomi masyarakat di Bulungan sangat maju saat itu. Jika tidak bergabung dengan Indonesia, kami sama sejahteranya seperti Singapura,” kata Ibrahim.