Gambar Ilustrasi: kompasiana |
Oleh: Agus Kurniawan
Saat masih duduk di bangku SD hingga SMA, guru sejarah saya, ketika menerangkan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno atau lebih luas lagi penduduk Nusantara, selalu menyebut animisme-dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang serta kepada kekuatan gaib yang bersemayam pada benda-benda tertentu, seperti batu-batu besar, pohon-pohon besar, dan benda-benda bertuah. Agama Kapitayan tidak pernah dijelaskan.
Penjelasannya selalu singkat, tanpa dirinci dari mana kepercayaan itu berasal, bagaimana cara peribadatannya atau tambahan penjelasan yang lain. Tentu saja saya dan juga teman-teman yang lain, bahkan mungkin seluruh pelajar se-Indonesia kala itu hanya bisa mengira-ngira seperti apa ajaran animisme-dinamisme tanpa memiliki gambaran konkret.
Celakanya, penjelasan dalam buku pelajaran juga sesingkat penjelasan guru. Sulit bagi kami untuk menambah referensi pengetahuan terkait agama asli penduduk Jawa Kuna.
Baru setelah informasi dapat diperoleh dengan mudah melalui jaringan internet, pertanyaan yang bertahun-tahun tersimpan dalam kepala akhirnya dapat terjawab. Berikut informasi tentang agama asli penduduk Jawa Kuna yang saya kumpulkan dari berbagai sumber.
P. Mus dalam bukunya yang berjudul L’inde vue de L’Est. Cultes Indiens etindigenes au Champa, menyebutkan bahwa kepercayaan yang diyakini masyarakat Jawa termasuk juga penduduk yang tinggal di wilayah India, Indo Cina, kepulauan Nusantara hingga Pasifik ternyata tidak sesederhana yang disampaikan guru-guru sejarah saya, yaitu animisme-dinamisme, melainkan merupakan agama kuna yang disebut Kapitayan.
Mengenal agama Kapitayan
Agama yang disebut Kapitayan telah dianut dan dijalankan turun temurun semenjak Asia Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara dihuni ras Proto Melanesia hingga kedatangan ras Austronesia.
Pembawa dan penyebar agama Kapitayan ini menurut keyakinan para penganutnya adalah Danghyang Semar, keturunan Sanghyang Ismaya yang berasal dari Lemuria yakni sebuah benua yang tenggelam karena diterjang banjir besar yang membuat Semar bersama kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Kisah ini selanjutnya banyak dihubungkan dengan banjir besar yang terjadi pada masa Nabi Nuh.[1]
Selain Semar ada juga saudaranya yang bernama Togog (Sang Hantaga) yang tinggal di luar Jawa dan juga mengajarkan agama Kapitayan namun dengan tata cara yang sedikit berbeda. Satu lagi saudara Semar yaitu Sang Manikmaya yang tinggal di alam gaib atau ka-hyang-an.[2]
Agama yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra.
Sanghyang Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda (bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang pohon) serta yang lain.
Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.
Tata cara pemujaan agama Kapitayan
Cara pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini berbeda antara masyarakat awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat keramat. Sedang para ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama 'sanggar' yang berupa bangunan beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).
Tata cara bersembahyang yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg (berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat di hati yang disebut swa-dikep.
Usai melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul (membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti janin dalam perut).
Proses beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).
Demikian sedikit penjelasan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan beserta tata cara beribadah yang oleh banyak orang dikenal dengan sebutan animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya, pemeluk Kapitayan bukan menyembah nenek moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Taya.
______________
Disalin dari mojok.co
========================
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Kata 'Lemuria' diciptakan oleh Ahli Geologi Inggris Philip Sclater berasal dari kata 'Lemur' yang ia temukan di Madagaskar dan India. Selengkapnya klik DISINI. Terkait benua yang bernama Lemuria, hingga kini masih menjadi perdebatan, apakah ada atau tidak? Kalau ada, sebagian berpendapat bahwa benua ini terletak di Samudra Hindia di sebuah kawasan laut yang bernama Kumari Kandam. Kemudian disebut pula terkait banjir bah Nabi Nuh. Sepertinya ini cuma pengutip dan pencampuran potongan berbagai peristiwa sejarah atau legenda.
[2] Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama:
a) Sang Hyang Batara Puguh,
b) Sang Hyang Batara Punggung,
c) Sang Hyang Batara Manan, dan
d) Sang Hyang Batara Samba.
Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog Tejomantri sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada atau Resi Kanekaputra dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putri Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki.
a) Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga,
b) yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya,
c) sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya.
Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, tetapi tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi manusia biasa dan harus turun ke dunia ,Manikmaya yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan Tribhuwana, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog Tejomantri mempunyai teman Bilung Sarawita yang ditugaskan untuk mengemong mengasuh atau menuntun bangsa yang berwatak serakah bengis kejam angkara murka dan Semar ditugaskan untuk mengasuh mengemong menuntun para manusia Satria yang mempuyai watak santun berbudi pekerti luhur.
disalin dari wikipedia
=================
Baca juga:
- Kapitayan: Agama Pelopor Moneteiteisme dan ajaran Humanisme di Nusantara
- Menilik Benua Lemuria yang Hilang, benarkah benua itu ada
- Agama Kapitayan dalam Kultur Jawa Kuno