Ilustrasi: wikipedia |
Disalin dari kiriman FB Aldiyansyah Chaniago
𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗕𝗲𝘀𝗮𝗿 𝗞𝗵𝗮𝗿𝗶𝘀𝗺𝗮𝘁𝗶𝗸 𝗔𝘀𝗮𝗹 𝗠𝗜𝗡𝗔𝗡𝗚 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗥𝘂𝗷𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺, 𝗠𝗮𝗵𝗮 𝗚𝘂𝗿𝘂 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮.
𝑺𝒚𝒂𝒊𝒌𝒉 𝑨𝒉𝒎𝒂𝒅 𝑲𝒉𝒂𝒕𝒊𝒃 𝑨𝒍-𝑴𝒊𝒏𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒃𝒂𝒘𝒊, 𝑺𝒚𝒂𝒊𝒌𝒉 𝑰𝒔𝒎𝒂𝒊𝒍 𝑨𝒍-𝑴𝒊𝒏𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒃𝒂𝒘𝒊, 𝑺𝒚𝒂𝒊𝒌𝒉 𝒀𝒂𝒔𝒊𝒏 𝒃𝒊𝒏 𝑰𝒔𝒂 𝑨𝒍𝑭𝒂𝒅𝒂𝒏𝒊 𝒂𝒍-𝑴𝒂𝒌𝒌𝒊.
Ranah Minang sebagai bagian dari negeri Islam telah banyak melahirkan para ulama kharismatik yang dikagumi oleh dunia, karena memiliki banyak murid dari berbagai negeri. Selama ini, generasi muda Minangkabau hanya mengenal Buya Hamka sebagai ulama yang melenggendaris dari Ranah Minang.
Namun sebenarnya, jauh sebelum Buya Hamka, telah lahir ulama-ulama asal Minangkabau yang memiliki pengaruh besar dan menjadi rujukan di dunia Islam. Tiga orang diantaranya adalah :
1. Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi al-Makki.
Tokoh yang kerap dikenal sebagai Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi ini lahir di Kota Tuo- Balai Gurah, Ampek Angkek Candung, Agam, Sumatra Barat, pada hari senin, 6 dzulhijjah 1274 H (1860 M) dan wafat di Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang. Abdullah, Kakek Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khatib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat di belakang namanya dan berlanjut ke keturunan di kemudian hari.
Beliau adalah ulama besar Indonesia, Khatib dan guru besar di Masjidil Haram. Sekaligus Mufti Madzab Syafi’I pada akhir abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Beliau memiliki peranan penting di Mekkah al-Mukarramah dan menjadi Guru bagi para ulama Indonesia yang belajar disana.
Ada Ratusan Murid Beliau yang Tersebar Di Pelosok Nusantara & Timur Tengah Bahkan menjadi Ulama terpandang di Negerinya..
Ulama Minang ini merupakan keturunan dari seorang hakim dari Gerakan Paderi yang sangat anti terhadap penjajahan Belanda. Gerakan Paderi dalah gerakan yang dipelopori dan dilakukan kaum paderi (ulama) dalam mengawal penegakan syariat di Minangkabau. Perlawanan nyata kaum paderi terhadap Belanda dicatat oleh sejarah dan dikenal sebagai Perang Paderi.
Pendidikan yang pernah diampu beliau juga sangat bervariasi, tidak hanya mendalami ilmu agama saja, melainkan juga mendalami ilmu-ilmu pasti yang mendukung ilmu agama tersebut, seperti ilmu matematika yang mana akan berkesinambungan dengan ilmu mawaris. Tak pelak jika akhirnya beliau berhasil mupuni dalam bidang tersebut.
Kegemarannya dalam mempelajari ilmu faraid memberikan perubahan besar . Dengan keilmuan dan keberaniannya yang tak diragukan, akhirnya beliau berhasil mengubah adat minang dalam membagi harta warisan yang sebelumnya bertentangan dengan islam yakni harta pusaka peninggaan keluarga diwariskan pada kemenakan perempuan dari garis kerabat perempuan. Sedangkan kemenakan laki-laki hanya menjadi pembantu dalam merawat dan memelihara harta pusaka tersebut.
Dan berkat keberhasilan beliau, Ranah Minang sejalan dengan Hukum islam. Bahwasannya harta warisan diberikan kepada anak kandung, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua kali lipat begian anak perempuan. Yang kemudian ditulis dalam kitab beliau yang berjudul ad- da’ilmasmu’ fi raddi ala man yuriisul ikhwah wa auladil akhwat ma’a wujudil ushl wl furu’ dengan versi terjemahan al manhajul masyru’.
Karya tulis Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya yang berbahasa Arab dan berbahasa Melayu dengan tulisan arab. Kebanyakan tema- tema dari buku beliau mengangkat tema- tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, tahayyul dan kurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan islam.
Yang berbahasa arab antara lain: Khasyiyah al-Nafarat ala Syarhi al-Waraqat li al-Mahalli, al Jawahiru al-Naqiyyah fi al-A’mali al-Jaibiyyah, Raudlat al-Hussab, Ma’ainul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz, al-Qulu al-Mufid ala Mathlai al-Said, dsb. Sedangkan yang berbahasa Melayu ialah: Mu’alimu al-Hussab fi ilmi al-Hisab, al-Manhajul Masyru’ fi al-Mawarist, Dhau al-Siraj, al-Jawi fi nahw, Salamu al-Nahw, Izhar Zughlai al-Kadzibin, dsb.
2. Syaikh Ismail al-Khalidiyah al-Minangkabawi al-Makki
Seorang pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji pernah menulis bahwa tentang seorang ulama besar bernama Syekh Ismail Al Khalidi al-Minangkabawi. Dalam karangannya yang berjudul Tuhfatun Nafis disebutkan bahwa ulama ini sering datang ke kerajaan Melayu, Riau. Rajanya sendiri yang menjemput ulama dari Minagkabau ini di pelabuhan. Hampir seluruh kerabat keluarga istana berkumpul untuk mendengarkan nasehat dan wejangan dari ulama terkemuka itu.
Catatan ini membuktikan bahwa Syeikh Ismail al Khalidi adalah ulama besar yang cukup berpengaruh. Tidak hanya zaman itu saja, tetapi juga sampai sekarang. Namanya berderet diantara tokoh-tokoh sufi Nusantara yang tak lekang oleh zaman. Memang Syeikh Ismail kesohor sebagai pengembang Thareqat Naqsyahbandiyah di ranah Minangkabau hingga Melayu.
Thareqat Naqsyabandiyah di Nusantara sendiri memang mempunyai dua aliran, yakni thareqat Naksyabandiyah Muzhariyah dan Naksyabandiyah Khalidiah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, yang juga seorang mursyid thareqat Naksyabandiyah.
Disebutkan dalam Ensiklopedi Islam bahwa Syekh Ismail yang lebih dikenal mula-mula belajar mengaji Alquran di surau kampungnya di bawah bimbingan guru dan orang tuanya. Soal tanggal lahirnya memang ada perbedaan. Disamping ilmu Al Quran juga belajar membaca kitab-kitab Arab Melayu dan kitab berbahasa Arab.
Cakupan studinya juga cukup luas mulai ilmu fikih, tasawuf, kalam, tafsir, hadis dan ilmu kebahasaan. Seperti ulama besar lainnya, Ismail muda sangatlah haus akan ilmu pengetahuan. Mekah dan Madinah menjadi tujuannya dalam memburu ilmu. Bahkan menetap di keuda kota suci ini selama hampir 35 tahun.
Syeikh Muhammad Mirdad Abul Khair meriwayatkan bahwa Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minankabawi al-Khalidi asy-Syafi’ie lahir di Minangkabaw. Sejak kecil mengikuti ayahnya yang kemudian pindah ke Mekah.
Di sana belajar pelbagai ilmu kepada Syeikh Utsman ad-Dimyati. Setelah ulama besar itu wafat, Syeikh Ismail Minangkabau belajar pula kepada Syeikh Ahmad ad-Dimyati. Selain kedua-dua ulama itu, Syeikh Ismail Minangkabau juga belajar kepada ulama-ulama lain dalam Masjidil-Haram, Mekah.
Sempat pula belajar Mufti Mazhab Syafie ketika itu, Syeikh Muhammad Sa’id bin Ali asy-Syafi’ie al-Makki al-Qudsi (wafat 1260 Hijrah/1844-5 M). Syeikh Ismail juga nyantri di ulama-ulama besar lainnya. Diantaranya pernah berguru kepada Syekh Athaillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fikih Mazhab Syafi’i), Syekh Abdullah asy-Syarqawi (mantan syekh al-Azhar dan ahli fikih Mazhab Syafi’i), Syekh Abdullah Affandi (tokoh thareqat Naksyabandiyah), Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi (seorang Mursyid Thariqat), dan Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam.
Syeikh Ismail dikenal sebagai salah satu pengembara sejati. Hal itu tidak lepas dari kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Seperti dituturkan oleh Syeikh Husein bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri, salah seorang muridnya. Ia menyatakan bahwa pernah bertemu dengan gurunya di Bahrain. Sang murid belajar thareqat Naqsyabandiyah. Karena waktunya sempit pelajaran tersebut diteruskan di sebuah desa yang tidak diketahui namanya, di luar kota Basra Iraq. Sampai keduanya akhirnya berpisah di desa tersebut setelah sekian lama mengembara.
Mengenai Thariqat Naqasyabandiyah al-Khalidiyah, Syeikh Ismail al-Minangkabawi menerima baiat dari Sayid Abi Abdillah bin Abdullah Afandi al-Khalidi, murid Syeikh Khalid al-’Utsmani al- Kurdi. Namun Syeikh Ismail al-Minankabawi juga menerima baiat secara langsung dari Syeikh Khalid al-’Utsmani al-Kurdi. Nama inilah terdapat istilah al-Khalidiyah dalam Thariqat Naqasyabandi karena Syeikh Khalid al-’Utsmani al-Kurdi adalah seorang Mujaddid (pembaharu) dalam thareqat yang sangat terkenal itu. Tercatat dalam sejarah bahwa Syeikh Ismail al-Minankabawi adalah seorang ulama yang sangat kuat melakukan ibadah, selain aktif mengamalkan Thariqat Naqasyabandiyah Khalidiyah, Syeikh Ismail juga mengamalkan Thariqat Syadziliyah.
Setelah sekian lama menjalankan studinya di Mekah, Syeikh Ismail balik ke kampung halamannya. Di Simabur (Batusangkar) dimulailah kegiatan dakwahnya. Pertama tama membuka sebuah majelis pendidikan agama Islam. Di madarsah ini, Syeikh Ismail mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat dan ilmu thareqat.
Sejak itu thareqat Naksyabandiyah berkembang pesat di Minangkabau dan sekitarnya. Oleh karenanya, Syekh Ismail kerap dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan thareqat Naksyabandiyah Khalidiah di Minangkabau. Bila ditilik perkembangan thareqat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli Selatan, maka jauh sebelum adanya thareqat Naksyabandiyah yang diusung Syekh Ismail, telah berkembang thareqat Syatariyah yang berpusat di Ulakan, Pariaman. Motornya tidak lain adalah Syeikh Burhanudddin Ulakan.
Buah Pemikirannya Sebagai ulama yang mumpuni, Syeikh Ismail meninggalkan banyak jasa. Tidak hanya Islam menjadi semakin besar di Nusantara, thareqat berkembang dengan pesat, tetapi juga peninggalan keilmuan. Ada beberapa karya yang telah dihasilkan olehnya. Diantaranya ada berjudul Kifayah al-Gulam fi Bayan Arkan al-Islam wa Syurutih serta Risalah Muqaramah Urfiah wa Tauziah wa Kamaliah (risalah tentang niat shalat).
Kitab pertama berisi penjelasan tentang rukun Islam, rukun iman, sifat Tuhan dan penjelasan tentang kewajiban Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Adapun Kitab kedua merupakan buku kecil yang membicarakan keterpaduan antara niat dan lafal takbiratulihram pada permulaan pelaksanaan shalat. Sebagai penganut aliran Asyariyah, Ismail al-Minangkabawi mewajibkan setiap Muslim untuk mengenal Tuhan menurut metode kaum Asyariyah, yakni diawali dengan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Dia berpendapat Tuhan tidak dapat dikenal kecuali diawali dengan pengenalan terhadap sifat-sifat-Nya. Setelah itu, umat Muslim diwajibkan mengetahui rukum iman lainnya.
Ada karyanya yang lain diantaranya Ar-Rahmatul Habithah fi Zikri Ismiz Zati war Rabithah. Kitab ini selesai tahun 1269. Isinya tentang tasawuf yang merupakan terjemahan sebuah karya murid beliau sendiri, seorang Arab yang bernama Syeikh Husein bin Ahmad ad-Dausari. Kemudian kitab Al-Muqaddimatul Kubra allati Tafarra’at minhan Nuskhatus Shughra. Isi kandungannya membahas ilmu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara mendalam. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Amiriyah, Bulaq, Mesir, tertulis di halaman depan dinyatakan tahun 1309 Hijrah, dan di halaman akhir dinyatakan Rabiulakhir 1310 Hijrah.
3. Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki.
Diantara ulama Nusantara yang kehebatannya diakui secara luas di dunia Islam ialah Syaikh Yasin al-Faddani al-Makki. Beliau merupakan tokoh Minang yang terkemuka di Tanah Suci setelah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Namanya terukir indah dalam buku-buku biografi ulama modern. Beliau digelari sebagai muhaddits dan ahli fiqh abad ini. Selain menulis, beliau juga mengajar dan mentadbir beberapa sekolah di Makkah.
Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani dilahirkan di tengah keluarga ulama yang taat di Misfalah Makkah pada hari Selasa, 27 Sya’ban 1335H/17 Juni 1917M. Beliau adalah putra dari pasangan Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani dan Maimunah binti Abdullah al-Faddani.
Sejak kecil Syaikh Yasin sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Bahkan menginjak usia remaja Syaikh Yasin mampu mengungguli rekan-rekannya dalam hal penguasaan ilmu hadits, fiqih, bahkan para gurunya pun sangat mengaguminya.
Ketekunan dan kesungguhannya dalam belajar membuat beliau semakin bersinar dengan berbagai ilmu yang telah dikuasainya. Sejak muda beliau sangat gemar kepada ilmu hadits. Hal ini menjadikan para gurunya amat sayang dan simpati kepada Syaikh Yasin.
Ia belajar kepada ayah beliau, Syaikh Muhammad Isa dan dilanjutkan kepada paman beliau, Syaikh Mahmud. Kepada keduanya, beliau belajar dan menghafal beberapa matan kitab dalam bidang ilmu fiqh, tauhid, faraidh dan musthalah hadits.
Tahun 1346 H/1928 M beliau melanjutkan pendidikan ke Madrasah ash-Shaulatiyah al-Hindiyah. Beliau menimba ilmu di sani selama kurang lebih 7 tahun. Guru-guru beliau selama di Madrasah ash-Shaulatiyah adalah Syaikh Muhktar Utsman Makhdum, Syaikh Hasan al-Masysyath dan al-Habib Muhsin bin Ali al-Musawa (seorang ulama Makkah yang lahir di Palembang tahun 1323 H/1905 M).
Pada tahun 1353 H/1935, beliau pindah ke Madrasah Darul Ulum ad-Diniyah yang didirikan oleh al-Habib Muhsin bin Ali al-Musawa bersama beberapa pemuka masyarakat Nusantara yang berada di Makkah kala itu. Beliau adalah angkatan pertama Darul Ulum yang kemudian menjadi pengurus Darul Ulum.
Selain belajar di Darul Ulum, beliau juga aktif mengikuti pengajian-pengajian di Masjidil Haram. Rasa haus beliau akan ilmu membuat beliau mendatangi kediaman para syaikh terkemuka untuk belajar di tempat-tempat mereka seperti di Thaif, Makkah, Madinah, Riyadh, maupun kota-kota lainnya. Bahkan beliau sempat ke luar Arab Saudi seperti Yaman, Mesir, Syiria, Kuwait dan negeri-negeri lainnya.
Sejak awal masa belajarnya, beliau telah dikenal sebagai seorang pelajar yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, sehingga mampu mengungguli teman-temannya. Tidak mengherankan kemudian banyak teman-teman beliau yang akhirnya malah belajar kepada beliau. Kecerdasan dan juga akhlak beliau yang luhur yang membuat gurunya kagum terhadap beliau.
Setelah tiga tahun belajar di Darul Ulum, pada permulaan tahun 1356 H/1938 M beliau mulai mengajar di almamaternya itu. Pertengahan tahun 1359 H/1941 M karir beliau menanjak sebagai direktur madarasah tersebut. Selain di Madrasah Darul Ulum, beliau juga mengajar di Masjidil haram tepatnya di antara Bab Ibrahim dan Bab al-Wada’, begitu pula di rumahnya dan di kantor sekolahnya.
Rekomendasi untuk mengajar di Masjidil Haram beliau peroleh secara resmi tanggal 10 Jumadil Akhir 1369 H/29 Maret 1950 M dari Dewan Ulama Masjidil Haram. Halaqah beliau mendapat sambuan hangat terutama dari kalangan masyarakat Asia Tenggara dan Indonesia. Disamping itu setiap bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan dan mengijazahakan salah satu kitab dari Kutub as-Sittah. Hal ini berlangsung selama 15 tahun.
Setiap ada kesempatan beliau juga mengadakan perjalanan ilmiyah bersama para santri dan ulama untuk mempraktekkan ilmu yang telah beliau ajarkan anatara lain ilmu falak. Perjalanan beliau juga dipergunakan untuk memburu sanad, silsilah periwayatan hadits dan ijazah ilmu atau kitab. Sehingga beliau digelari al-Musnid ad-Dunya (pemilik sanad terbanyak di dunia). Gelar itu diberikan kepada beliau karena beliau dipandang sebagai orang yang paling banyak memiliki sanad bukan hanya di Makkah dan Timur Tengah tapi juga di dunia.
Gelar al-Musnid ad-Dunya didapat Syaikh Yasin lantaran bukan hanya karena banyaknya guru yang mencapai 700 orang, tetapi lebih dilihat pada kepakaran beliau dalam bidang yang beliau geluti.
Merujuk pada Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh, salah seorang murid beliau, Syaikh Yasin kerap kali menerima permintaan fatwa. Artinya beliau bukan hanya pakar dalam ilmu sanad tapi juga ahli ilmu syariat lainnya. Bahkan permintaan fatwa bukan hanya datang dari sekitar Makkah, tetapi juga dari luar Arab seperti Indonesia.