Oleh : Mestika Zed*
BULAN-bulan terakhir tahun 1948 adalah saat terberat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan Belanda-tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak-bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap. Sejak itu Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayatnya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta dengan sejumlah menteri dapat ditawannya, nyatanya Republik tidak pernah bubar seperti yang dibayangkan Belanda. Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat (dalam sumber “menguasakan”) kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di Sumatera. Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile-government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat “dikawatkan” karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskahnya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken.
Kedua, sewaktu mengetahui (via radio) bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara (waktu itu Menteri Kemakmuran) yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif “spontan”, Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai “pemerintah alternatif” bagi Republik yang tengah menghadapi “koma”.
Sebagaimana terbukti kemudian, selama delapan bulan keberadaannya (Desember 1948-Juli 1949), PDRI di bawah kepemimpinan Sjafruddin di Sumatera mampu memainkan peran penting sebagai pusat gravitasi baru dalam mempersatukan kembali kekuatan Republik yang bercerai-berai di Jawa dan Sumatera. Bahkan, tidak kurang dari Panglima Soedirman sendiri, yang kecewa dengan menyerahnya Soekarno-Hatta kepada Belanda, menyatakan kesetiaannya kepada PDRI dan siap memimpin perjuangan dengan bergerilya di hutan-hutan belantara dalam keadaan sakit parah sekalipun.
Sementara itu, kontak-kontak PDRI via India ke dunia internasional membuat kemenangan militer Belanda semakin tak berarti, suatu Pyrrhic victory, suatu kemenangan yang terlalu banyak makan korban, suatu kemenangan sia-sia karena sukses militer yang dicapainya harus ditarik kembali. Hanya dalam tempo tiga hari setelah kejatuhan Yogya, tepatnya tanggal 22-23 Desember, Dewan Keamanan PBB buru-buru mengadakan sidangnya. Semua negara, kecuali Belgia, mengecam keras tindakan Belanda di Indonesia. Pihak Belanda benar-benar dibuat sebagai “pesakitan” yang kehilangan muka di panggung pengadilan dunia.
Resolusi DK-PBB, kemudian juga diperkuat dengan Konferensi Asia di New Delhi kurang satu bulan kemudian, yang menuntut pembebasan segera para pemimpin Republik yang ditangkap, begitu juga pengembalian ibu kota Yogya dan pembentukan pemerintahan Indonesia yang demokratis tanpa campur tangan Belanda. Dalam perundingan-perundingan selanjutnya negara bekas penjajah itu tidak bisa lagi mengelak dari campur tangan internasional. Sejak itu, kebohongan-kebohongan yang direkayasa Belanda lewat manipulasi informasi untuk mempengaruhi opini dunia semakin kelihatan belangnya sehingga membuat posisinya semakin terpojok, baik di Indonesia maupun di mata dunia.
Tulisan ini ingin mendiskusikan sekadarnya tentang posisi Soekarno di masa PDRI, yang selama ini terkesan ingin dilupakan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh sejumlah penulis biografinya, dan bahkan juga dalam wacana sejarah bangsa umumnya. Apakah dilema sejarah yang dihadapinya dalam kerangka perjuangan diplomasi dan/atau militer pada masa itu? Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri Soekarno sehingga peranannya dalam masa-masa krisis waktu itu seakan-akan tenggelam sebagai kawasan terra incognita yang belum banyak disentuh selama ini?
Pemimpin yang hadir di saat-saat kritis
Telah berpuluh-puluh tahun “Bapak Bangsa” (the founding fathers)-jika yang dimaksud dengan itu ialah semua tokoh yang ikut merumuskan konstitusi-berjuang mendirikan sebuah nation-state, negara bangsa yang akhirnya diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu: Republik Indonesia atau sering disingkat dengan Republik saja. Dalam usianya yang masih bayi itu, Republik yang dimerdekakan dengan revolusi itu terpaksa harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak sesudahnya, kecuali hanya pada masa agresi kedua, ketika sebuah ibu kota negara jatuh ke tangan musuh, Presiden dan Wakil Presidennya beserta sejumlah menteri ditangkap Belanda. Juga belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali pada masa ini, simpati dan dukungan dunia internasional terhadap Indonesia demikian intensnya. Di atas segala-galanya nasib Republik pada akhirnya haruslah ditentukan oleh pemimpin dan bangsanya sendiri.
Salah seorang pemimpinnya yang paling terkemuka ialah Soekarno, proklamator dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak hanya cakap dalam menghadirkan gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang selalu hadir memberi “kata-putus” di saat-saat yang paling genting bagi negara dan bangsanya. Itulah yang terjadi, misalnya, pada saat-saat genting sebelum Proklamasi, di mana faktor Soekarno bersama Hatta, menjadi amat menentukan dalam Kasus Rengasdengklok. Bukankah, situasi kritis pada rapat raksasa yang penuh gejolak di Lapangan Ikada-satu bulan setelah ia menjadi presiden-hanya dapat didinginkan oleh Soekarno, hingga hadirin bisa pulang dengan tenang dan pertumpahan darah dengan Jepang pun akhirnya tak perlu terjadi? Bukankah Soekarno pula yang dipanggil Sekutu untuk meredakan pertempuran 10 November di Surabaya ketika posisinya yang semakin terjepit dan siap melepaskan senjata modern, memerlukan seorang Bung Karno, demi untuk menghindari semakin banyak korban ‘mati-konyol’ karena pasukan bambu runcing yang siap “berjibaku” untuk Tanah Air mereka, seperti juga dalam pertempuran Ambarawa?
Akan tetapi, di masa kritis pada penghujung tahun 1948, bisakah Soekarno sebagai pemimpin, membawa bangsanya keluar dari keadaan gawat itu? Memang tak mudah melihat Bung Karno dalam potret hitam putih. Seperti dikatakan sejarawan Onghokham (1978), dia adalah “pribadi yang kompleks dan tokoh penuh aneka warna”. Namun, untuk satu hal, “Bung Karno adalah sebuah gelora“, tulis kolumnis Gunawan Mohamad dalam sebuah esai pendeknya (1991). Sebuah gelora adalah sesuatu yang menggetarkan. Sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang bisa memesonakan dan bahkan menghanyutkan. Tetapi, sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang tak punya definisi yang persis. Ia bagaikan nebula yang jauh di langit. Mungkin gugus itu sehimpun bintang yang bersinar atau barangkali hanya selapis kabut bercahaya.
Nebula yang bersinar itu ialah harapan yang dipancarkan dari figur dan pidato-pidatonya yang menggetarkan. Tetapi, harapan juga bisa berbalik menjadi kekecewaan baru, ketika apa yang dijanjikannya tak sesuai kenyataan. Itulah yang terjadi pada saat-saat genting sewaktu agresi Belanda kedua itu.
Pada bulan-bulan terakhir 1948, Bung Karno sangat sibuk mengadakan perjalanan dan menyampaikan pidato-pidato politiknya yang gegap gempita, guna mengangkat moral perjuangan yang semakin merosot karena ditusuk dari muka dan belakang. Di depan ada Belanda, yang setelah Perjanjian Renville (Januari 1948) terus-menerus menggembosi dukungan Republik dengan mendirikan negara-negara federal versi Van Mook. Waktu itu hampir semua wilayah Indonesia sudah berada di bawah pengaruh Belanda dengan berdirinya negara-negara federal ciptaan Van Mook di sana, kecuali di tiga daerah: Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Aceh, di mana negara federal tidak mendapat tempat karena kesetiaan kepada Republik sudah merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar.
Sementara tekanan politik federal Van Mook semakin gencar, terjadi pula pemberontakan PKI di Solo dan Madiun bulan September 1948. Pemberontakan itu bukan hanya suatu pengkhianatan, melainkan juga “tusukan dari belakang”, yang memperlemah Republik di saat posisi Belanda semakin unjuk kekuatan dan diperkirakan akan melakukan serangan baru setiap saat. Dalam suasana kacau balau dan terombang-ambing “di antara dua karang” seperti dilukiskan Hatta waktu itu Soekarno-Hatta adalah “dwitunggal” yang membuat kepastian dalam ketidakpastian. Sebuah pesan radio dari Presiden Soekarno meminta ketegasan kepada rakyat untuk memilih pemerintahan yang sah atau Muso.
Pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap kali diselingi dengan slogan-slogan yang menggugah. Salah satu slogan berbahasa Belanda yang tidak saja sering diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan, melainkan juga dengan gigih diperjuangkannya sejak muda ialah samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan). “Saya menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di kota“, kenang George McT Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada di Yogya untuk keperluan riset disertasinya. Ia benar-benar mengenal detak jantung rakyatnya dan “tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga“, tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).
Namun, ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah, “Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya.” (Merdeka, 29 Mei 1948)
Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam. Bahkan, perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa di atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.
Akan tetapi, kekecewaan pada Bung Karno-patahnya kepercayaan kepada obor, sebuah simbol-tidak hanya merisaukan banyak orang. Kejadian dramatis di hari itu juga menimbulkan kekecewaan dan kecemasan Soekarno pribadi. Ia pun senantiasa berada dalam kecemasan terus-menerus terhadap nasib Republik dan terhadap nyawanya. “Pada akhirnya saya hanya manusia biasa. Siapa yang tahu apa rencana mereka terhadap saya? Saya punya perasaan mereka akan membunuh saya. Tiap kali saya mendengar bunyi yang asing, saya berpikir: sekarang tiba saatnya; mereka akan membawa saya ke depan pleton penembak“, begitu dituturkannya kepada Cindy Adam, penulis otobiografinya yang terkenal.
Walaupun pada akhirnya Presiden dan Wakil Presiden dengan sejumlah anggota kabinet ditawan Belanda, suasana kritis dan mencekam waktu itu tidak perlu membuat kedua tokoh puncak Republik itu kehilangan akal sehat. Pada detik-detik sebelum kejatuhan Yogya, mereka masih sempat melepas anak panah terakhir dari busurnya: mandat berdirinya PDRI, sebuah keputusan yang menentukan perjalanan sejarah Republik selanjutnya. Setelah itu mereka ditangkap dan tak lagi tahu apa yang terjadi di luar dinding tembok tahanan mereka.
Menurut keterangan Hatta di belakang hari, keputusan apakah pemerintah akan tetap berada dalam kota atau ikut bergerilya bukan atas kemauan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, melainkan keputusan yang ditetapkan kabinet berdasarkan pemungutan suara. Soekarno dan Menteri Laoh cenderung memilih sikap pertama, artinya tetap di tempat, sedangkan pihak militer, terutama Panglima Besar Soedirman, dengan tegas sejak pagi-pagi sudah memutuskan untuk meninggalkan kota, artinya siap bergerilya dengan prajurit TNI. Simatupang juga menyarankan agar Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya “ikut perang gerilya”. Namun, karena tidak tersedia cukup pasukan pengawal untuk kedua pemimpin itu, dia bisa menerima sikap resmi pemerintah. (Hatta, 1982: 541-2)
Hidup dalam pembuangan
Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda selepas pendudukan Yogya, diasingkan pada dua tempat yang berbeda. Tiga orang pemimpin besar Indonesia: Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir ditawan di Brastagi, Sumatera Utara, kemudian dipindahkan ke Prapat. Selebihnya, termasuk Hatta, dideportasi ke Bangka. Di antara tokoh yang ditawan di Brastagi, Haji Agoes Salim adalah yang paling tua, tetapi paling singkat masa penahanannya. Di zaman Belanda ia tak pernah masuk penjara, kecuali sebentar di zaman Jepang. Karena penahanan itu dianggap kekhilafan belaka, kemudian ia dibebaskan dengan “permintaan maaf” dari pembesar Jepang. Tetapi, kejadian serupa juga dapat ditemukan dalam setiap zaman sejarah Indonesia merdeka, bahkan juga dalam periode yang lebih belakangan.
Akan tetapi, Soekarno dan Sjahrir sama-sama pernah mengalami hidup dalam penjara Belanda dalam waktu yang lama. Sjahrir pernah menjadi Digulis, tahanan kelas berat bersama Hatta dan kawan-kawan di Digul, Papua, kemudian dipindahkan ke Bandaneira, dekat Ambon. Jika dihitung ada sekitar 10 tahun lamanya Sjahrir hidup dalam tahanan Belanda. Sedang Soekarno juga menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tahanan Belanda. Mula-mula masuk penjara berdasarkan keputusan “Landraad” Bandung tahun 1930, kemudian ia dibuang lagi ke Ende, lalu dipindahkan lagi ke Bengkulu. Sewaktu dibebaskan karena Jepang masuk dan Belanda jatuh, Soekarno sudah menghabiskan usianya dalam tahanan Belanda selama 10 tahun.
Antara Sjahrir dan Bung Karno yang sama-sama ditahan di Brastagi, kemudian dipindahkan ke Prapat, terdapat beberapa kesamaan nasib dalam berurusan dengan penjara Belanda. Kecuali ditahan untuk waktu yang lama-sampai 10 tahun-keduanya adalah korban exorbitante rechten Belanda, yaitu hak khusus pemerintah kolonial untuk menahan dengan mengasingkan siapa saja yang dianggap membahayakan rust en orde (keamanan dan ketertiban). Tentu saja “membahayakan” menurut tafsiran yang berkuasa. Kalau hal itu dinamakan “kezaliman”, orang tak begitu keliru. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan tahanan biasa, exorbitante rechten, menurut Mr Moh Roem (1983), amat berat. Sebab, korban exorbitante rechten tidak pernah diberitahu berapa lama ia akan ditahan dan juga tidak tahu tuduhan yang dikenakan kepadanya, atau jika pun tahu terasa sekali mengada-ada. Tetapi, kalau tahanan biasa, bisa mengetahui apa yang dituduhkan kepadanya. Begitu pula perkaranya akan diperiksa secara terbuka di depan pengadilan dan ia dapat membela diri atau dibela oleh pengacara. Jika ia dijatuhi hukuman, ia diberitahu berapa lama vonis hukumannya.
Apa pun namanya, hukuman yang diterima Bung Karno dan Sjahrir amat mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan demikian juga sejarah bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir hayatnya. Sjahrir ditahan oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati pembebasan karena dalam masa tahanan ia meninggal dunia di tempat pengobatannya di Zurich. Soekarno ditawan oleh Soeharto dan sampai meninggalnya ia juga tak pernah mengalami pembebasan. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya Sjahrir dan Soekarno hidup begitu dekat kecuali pada masa ini. Mereka tinggal bertiga dengan Haji Agus Salim dalam satu kamar.
Sjahrir pendiam dan suka marah kalau ketenangannya merasa terusik, sementara Soekarno adalah pribadi yang ceria suka “membunuh” waktunya dengan menyanyi atau apa saja yang disukainya. Ketika mereka dibolehkan pengawal memesan kebutuhan yang diperlukan, Sjahrir minta dibawakan buku-bukunya, tetapi Soekarno minta dibawakan kemeja “Arrow”. Sekali waktu Bung Karno pernah mengatakan, “saya tak keberatan menjadi tawanan Belanda karena ada tujuh cermin di kamar saya….” Sjahrir dibuat jengkel dengan sikap-sikap Bung Karno yang dianggapnya a bloody old fool atau dengan umpatan serapah yang tak mengenakkan. Tetapi, inilah klimaksnya.
Bung Karno kalau lagi mandi suka nyanyi. Sekali waktu Bung Karno menyanyi di kamar mandi dengan suara cukup keras dan bagi Sjahrir dirasakannya membuat ribut, hingga Sjahrir berteriak (dalam bahasa Belanda): houd je mond (tutup mulutmu). Soekarno terdiam dan jengkel juga sama Sjahrir. Ketika suatu kali Moh Roem menanyakan kepada Soekarno mengapa ia benci pada Sjahrir, ia mengatakan, “Bagaimanapun juga saya adalah Kepala Negara, mengapa dia menghardik saya seperti itu?”
Dalam kasus lain, sewaktu PM Belanda Willem Drees datang ke Indonesia, Sjahrir diminta datang ke Jakarta untuk bertemu dengan Drees. Sjahrir bersedia datang ke Jakarta, tetapi ia tidak kembali lagi ke Prapat karena sudah dibebaskan Belanda, dengan maksud untuk memanfaatkannya sebagai “perantara” dalam rencana perundingan baru, Roem-Roijen. Kejadian ini membuat Bung Karno tambah marah. “Mengapa ia tidak kembali ke sini” (Prapat). “Kalau begitu ia tidak setia,” sambungnya lagi seperti diceritakannya kepada Haji Agus Salim.
Sepeninggal Sjahrir, di Prapat hanya tinggal dua tawanan, Bung Karno dan HA Salim. Sejak Februari 1949, keduanya digabungkan dengan tawanan Republik di Manumbing, Bangka. Tetapi, karena Bung Karno tidak tahan hawa dingin, ia minta dipindahkan ke Mentok, yang berhawa panas. Karena beliau tidak mau tinggal di sana sendirian, maka ditunjuk beberapa orang untuk menemani Bung Karno di sana. Antara lain H Agus Salim, Mr Moh Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Sejak itu tawanan jadi dua kelompok: Kelompok Manumbing di bawah pimpinan Bung Hatta dan Kelompok Muntok di bawah pimpinan Bung Karno.
Ketika prakarsa persetujuan Roem-Roijen dimulai bulan April 1949, Sjahrir yang sudah dibebaskan, atas saran Hatta, diangkat sebagai penasihat delegasi perunding Indonesia ke Roem-Roijen. Mulanya Sjahrir menolak karena mempertanyakan tanda tangan Soekarno dalam surat keputusan itu. “Apa dia itu? Mengapa dia yang harus mengangkat saya? Orang yang seharusnya mengangkat saya ialah Mr Sjafruddin Prawiranegara”, (Ketua PDRI di Sumatera). Roem kesal, tetapi lebih kesal lagi dan marah ialah Bung Karno setelah mendengar itu.
Pengalaman yang kurang menyenangkan selama dalam masa tahanan, dan kekecewaan dirinya dan orang-orang yang setia kepadanya pada saat memilih ditawan Belanda dan bukan bergerilya, saat kejatuhan Yogya, agaknya merupakan bagian terburuk dalam memori sejarah pribadi Bung Karno, dan sekaligus penyebab utama mengapa ia terkesan melupakan sejarah episode PDRI. Baginya, episode ini seakan-akan eine vergangheit die nicht vergehen will, sebuah pengalaman masa lalu yang ingin-tapi tak bisa dilupakan-dalam ingatan kolektif, sebagaimana tercermin dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adam. Lagi pula, setelah kembali ke Yoyga dan dalam perundingan-perundingan selanjutnya, bukan Bung Karno, tetapi Hatta-lah sebagai Perdana Menteri yang menjadi nakhoda Republik hingga pengakuan kedaulatan di pengujung 1949.
PDRI, ujian pertama integrasi bangsa
Pada detik-detik terakhir yang menegangkan sebelum pemimpin puncak Republik ditawan Belanda, Hatta masih sempat mendiktekan pidato singkatnya untuk diedarkan ke seluruh wilayah Republik. “Musuh mau mengepung pemerintah, tetapi Republik tidak tergantung pada nasibnja orang2 jang mendjadi kepala-negara atau jang duduk dalam pemerintahan…. Rakjat harus berdjoang terus….” Memang, Republik tidak hanya punya Soekarno-Hatta, tetapi juga sederetan nama besar lainnya. Salah seorang yang paling diremehkan agaknya ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selama tahun-tahun krisis 1948-1950 sesungguhnya dialah tokoh yang memegang kendali dalam mengurusi intern di bidang militer, ekonomi dan politik di belakang layar. Sjafruddin Prawiranegara berada jauh dalam hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-Hatta dalam kerangkeng Belanda di Bangka. Apa jadinya Republik kalau tidak ada Sri Sultan? Otoritasnya sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh tangan kekuasaan Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya menyerahkan takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik. Tidak hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka, tetapi juga melindungi kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah arsitek utama dalam serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di Yogya, yang dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia jugalah yang membiayai semua keperluan Republik ketika “kembali ke Yogya”. Sekitar 6 juta gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi dapur Republik.
Maka Belanda keliru besar, ketika Yogya jatuh ke tangannya menyimpulkan bahwa Republik telah dirobohkan. Mereka lupa atau tak mau peduli bahwa Republik yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945 itu, telah tercerahkan (enlightened) oleh cita-cita kebangsaan sejak awal abad lalu. Ia bukanlah sebuah kerajaan, juga bukan hadiah Jepang, sebagaimana yang ada dalam benak kaum kolonialis Belanda, melainkan sebuah “negara-bangsa” yang modern yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Pembukaan UUD ’45 dan bangunan konstitusi itu sendiri, sesungguhnya adalah blue-print dari Republik yang baru itu, dan keduanya disusun oleh para “bapak bangsa” dengan penuh kesadaran dan kecerdasan sebuah generasi yang tak ada duanya. Ketika pimpinan puncak Republik ditawan Belanda, PDRI di Sumatera mampu memerankan dirinya sebagai faktor integratif, yang menjadi pusat jaringan perjuangan Republik via India ke dunia internasional dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di ibu kota Yogya dan Jenderal Soedirman di medan gerilya.
Maka, pada masa perjuangan kemerdekaan, khususnya era PDRI, teori politik klasik kolonial tak berlaku lagi, yang selalu percaya bahwa jika raja atau pemimpin ditawan atau dibujuk, semua akan beres, bisa ditundukkan. Nyatanya tidak demikian, dan Belanda sempat dibuat shock karena kemenangan militernya hanya sebuah kemenangan yang sia-sia.
Sesungguhnya inilah periode di mana proses integrasi nasional menunjukkan hasil, ketika panggung sejarah beralih dari kota ke desa-desa dan hutan-hutan, ketika rakyat tidak lagi sekadar pelengkap penderita, melainkan tokoh sentral di panggung sejarah bangsa. Baik PDRI maupun militer tidak bisa hidup kalau bukan disubsidi nasibnya oleh rakyat, tetapi mengapa sekarang semuanya seakan-akan dilupakan?
Memang wacana sejarah bangsa kita, seperti dikatakan sejarawan Taufik Abdullah, adalah soal pilihan: ada bagian yang ingin dilupakan dan yang ingin diingat dan bahkan dipalsukan. Pilihan yang semena-mena terhadap sejarah bangsa bisa menyesatkan selama kriterianya ialah like and dislike yang berkuasa. Terserahlah kalau itu sejarah pribadi. Sejarah PDRI seperti juga biografi Soekarno adalah bagian dari sejarah bangsa, dan keduanya merupakan wajah kita di masa lalu dengan segala warna-warninya.
* Mestika Zed Sejarawan, lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam, tinggal di Padang.
Sumber tulisan : Seratus Tahun Soekarno (Liputan Khusus Kompas) Edisi 1 Juni 2001
Disalin dari blog: serbasejarah.wordpress.com