Foto: Mozaik Minang |
Apakah Anda pernah pulang kampung? Hampir sebagian besar dari kita tentunya pernah. Biasanya, bagi yang merantau ke luar daerah, pulang kampung menjadi hal yang biasa dilakukan. Terutama menjelang hari raya atau hari-hari besar lainnya. Bagaimana jika berkunjung ke komunitas muslim dan masyarakat Champa di Kamboja, terasa seperti pulang ke kampung halaman di Aceh. Di Kamboja anda akan menemui banyak kemiripan bahasa, budaya, dan makanan seperti yang biasa kita lihat di kampung-kampung di Aceh.
Menurut beberapa catatan sejarah, Aceh memiliki hubungan sangat dekat dengan bangsa Champa. Seperti dikutip dalam buku From Ancient Cham to Modern Dialects: Two Thousand Years of Language Contact and Change, setelah kejatuhan Indrapura, ibu kota negeri Champa, orang-orang Champa mulai meninggalkan negerinya dan eksodus ke berbagai daerah yang ada di Nusantara, termasuk Aceh. Eksodus yang kedua ditandai dengan jatuhnya ibu kota Vijaya, di mana kedua putra Raja Pau Kubah, Shah Indera Berman pergi ke Malaka, dan adiknya Shah Pau Ling hijrah ke Aceh.
Teguh Santoso, dalam tulisannya 'Asal-usul bahasa Aceh' juga menggaris bawahi bahwa bahasa Aceh kemungkinan juga berasal dari bahasa Champa. Bahasa Champa sebetulnya termasuk rumpun bahasa Melayik namun sangat dipengaruhi Bahasa Mon-Khmer yang merupaka rumpun bahasa Austro-asiatic. Hal ini terjadi karena diantara kedua bangsa ini terlah mendiami kawasan yang sama dalam waktu yang lama. Secara Historis penuturnya diperkirakan tersebar luas mulai dari Aceh, kawasan utara semenanjung Malaya, Siam, Kamboja hingga Vietnam. Walau demikian hal ini perlu dibuktikan lagi secara ilmiah.
Dengan melihat sejarah tersebut, maka tidak mengherankan terdapat banyak kesamaan antara Aceh dan Champa yang bisa kita jumpai. Pulut yang merupakan penganan khas Aceh, juga terdapat di Kamboja, anda akan menemukan hal ini, jika anda berkunjung Ke Desa PraiThnung, Teqcho, dan Kampong Keh, Provinsi Kampot, dan Provinsi Koh Kong, Kamboja. Jika anda bertanya langsung kepada warga muslim di sana tentang beberapa perkataan dalam bahasa lokal. Betapa terkejutnya anda mendapati bahwa perkataan tersebut sama bunyinya seperti dalam bahasa Aceh, misalnya ‘boh itek’ (telur itik) disebut ‘boh tek’, ‘boh manok’ (telur ayam) disebut ‘boh manok’, ‘aneuk lumo’ (anak sapi) disebut ‘neuk lumo’, ‘cicem” disebut ‘cem’, ‘ceng’ (timbangan) di sebut ‘cing’, ‘u’ (kelapa) disebut ‘u’. Masih banyak perbendaharan kata yang digunakan dalam bahasa Aceh mempunyai penyebutan yang sangat serupa dengan bahasa Champa dan bahasa yang digunakan oleh warga muslim Kamboja.
Di samping beberapa persamaan bahasa, warga muslim di selatan Kamboja ini mempunyai bentuk rumah yang juga agak mirip dengan rumah Aceh ‘rumoh manyang’. Kesamaannya dengan "rumoh Aceh" justru terletak pada guci yang diletakkan dekat tangga rumah dan seurayueng rumoh untuk menampung air. Hampir setiap rumah di daerah tersebut memiliki guci di luar rumah. Berbeda halnya dengan di Aceh, guci sudah sangat jarang bisa kita temui di rumah-rumah masyarakat Aceh saat ini. Selain itu, sebagian rumah warga di daerah tersebut masih menggunakan pompa air manual ‘pompa dragon’, pompa jenis ini biasa kita temui di masjid-masjid dan meunasah pada era tahun 80-90 an. Melihat secara langsung keberadaan guci dan pompa dragon, seperti kembali ke masa lalu. Eumping ketan yang berupa beras ketan yang dipipihkan. sama seperti seperti makanan tradisional Aceh.
Persamaan lainnya yang bisa di temui adalah jingki atau alat penumbuk padi atau tepung dan talam (nampan). Jingki mempunyai bentuk dan cara kerjanya yang sama seperti yang digunakan oleh masyarakat Aceh, begitu talam (nampan) mempunyai ukuran dan motif yang sama seperti di Aceh. Keberadaan jingki dan talam menambah daftar benda yang sama-sama digunakan oleh masyarakat Aceh dan masyarakat Champa atau muslim Kamboja. Selain itu cara berpakaian kaum perempuan muslim di Kamboja yang sangat mirip dengan cara berpakaian kaum perempuan di Aceh, salah satunya adalah cara menutup rambut dengan melilit kain di kepala dengan ija sawak dan di pinggang menggunakan kain sarung.
Dari sisi makanan, terdapat beberapa jenis kue-kue tradisional yang sama seperti di Aceh yang dapat anada jumpai di Kamboja, seperti bhoi (bolu), kue cuco (cucur), bu payeh (pulut), payeh ruboh (pulut rebus), dan umpieng. Kemungkinan ada jenis-jenis kue lainnya yang sama dengan kue tradisional yang ada di Aceh. Jika anda berkesempatan mengunjungi warung kopi di kawasan muslim di Provinsi Koh Kong, seperti umumnya kita lihat di Aceh, warung kopi di wilayah ini juga didomininasi oleh kaum laki-laki. Ukuran gelas kopi yang disajikan juga sama seperti kopi pancong (setengah gelas) seperti umumnya disajikan di warung-warung kopi di Aceh. Kue bhoi yang merupakan maidah hari lebaran di Aceh, juga ada di Kamboja.
Menarik untuk digali lebih lanjut berkait hubungan historis muslim Champa di Kamboja dengan Aceh. Selain dengan Champa, menurut Prasasti Minye Tujoh (1389) Pasai dan Kedah berada dalam naungan kerajaan yang sama. Masih banyak yang pertanyaan lebih lanjut lebih dalam hubungan historis antara Aceh , Kedah, Kelantan, Pattani dan Champa. Pendalaman yang perlu dilakukan diantaranya dalam bentuk misi pertukaran budaya maupun penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara Aceh, Kedah, Kelantan, Pattani dan Champa.
Sebagai penutup: 'Tajak u Kamboja, lagee ta woe u gampoeng di Aceh' (Pergi ke Kamboja, seperti pulang kampung di Aceh).
Disalin dari kiriman FB Riff ben Dahl
Baca juga: Ada Aceh di Kamboja