KATA Minangatamuan awalnya diketahui dari catatan sejarah sebagai nama kerajaan besar Induk Rumpun Bangsa Melayu yang masih muncul pada tahun 645 M. Salah satu berita keberadaannya tertuang dalam buku T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p’u pada tahun 961, di zaman Dinasti Tang.[24] Dalam buku ini diberitakan bahwa kerajaan ini pernah mengirim utusan ke Cina tahun 645 M.
Berita dari buku T'ang-Hui-Yao ini, diperkuat Wang-ch'in-jo dan Yang I antara tahun 1005 dan 1013 dalam buku mereka Tse-fu-yuan-kuei, yang diterbitkan pada masa Dinasti Song, ditulis berdasarkan catatan sejarah lama. Buku ini juga menceritakan adanya utusan dari Kerajaan Mulayu ini yang datang ke Cina antara tahun 644 dan 645.
Selanjutnya juga hal yang sama juga pernah dituliskan dalam catatan perjalanan Pendeta I-tsing atau I Ching (634-713) yang juga identik dengan kerajaan Minangatamuan ini.[25]
Selain dari catatan-catatan Cina, nama Minangatamuan juga ditemukan terpahat pada Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682 M. Prasasti Kedukan Bukit ini ditemukan di kawasan sekitar aliran Sungai Laweh (Musi) di wilayah Sumatera bagian selatan.
Menurut Prof. Poerbacaraka kata Minangatamuan inilah selanjutnya yang bermetamorfosis menjadi Minangkabau. Dalam bukunya Riwayat Indonesia I, Minangkabau disebut berasal dari kata dalam Bahasa Mulayu Kuno yaitu Minangatamuan.
Prasasti ini menceritakan tentang kisah perluasan Minanga Tamuan, yang bermula dari keberangkatan pasukan Yang Dipertuan(26) Minanga Tamuan di bawah pimpinan Panglima Perangnya Ƨribwijaya (27) (Datuak Sibijayo atau Datuk Sri Bijaya) yang bertolak dari pangkalannya yang berada tak jauh dari Muara Takus (Sampai saat ini kawasan ini masih satu wilayah adat di Luhak Limopuluah Alam MInangkabau ).
Pasukan ini kemudian bertolak, dan menang secara gemilang menundukkan para Bajak Laut Muka Upang yang saat itu sangat meresahkan masyarakat di sekitar Sungai Laweh Palembang (28).
PEMBERITAHUAN DI PRASASTI KEDUKAN BUKIT
Prasasti Kedukan Bukit ini memberitakan bahwa :
“Pada tahun Saka 605 bulan 11, Yang Dipertuan (Sri Jayanaga) naik di perahu yang membawa misi perjalanan suci, untuk melepas (Dt. Sibwijayo dan pasukannya-pen) dari Minanga Tamuan, yang membawa dua laksa tentara, dua ratus mata-mata di perahu. Dengan jalan darat seribu tiga ratus dua belas banyaknya.. dengan tujuan memperluas wilayah. (Pasukan Panglima Perang) Datuk Ƨsibwijaya memenangkan perjalan suci ini dan membawa kemakmuran.....”
Lebih lengkapnya prasasti yang terdiri dari 10 (sepuluh) baris ini berbunyi sebagai berikut :
1. swasti Ƨsri Ƨsakawarsatita 605 Ƨkadaesi Ƨsu
2. klapaksa wulan walan waisƧaka dapunta hya nayik di
3. samvan manalap siddhayatra di saptami Ƨsuklapaksa
4. wulan jyestha dapunta hyan marlapas dari Minanga
5. Tamuan mawawa yan wala dua laksa danan koƧsa
6. dua ratus Ƨara disamvan danan jalan sariwu
7. tolu ratus sapuluh dua wanyaknya datan di matayap
8. sukhaƧitta di panjƧami Ƨsuklapaksa wulan
9. langhummudita datan marwuatwanua
10. Ƨsivijaya jaya siddhayatra subhiksa
Maka Terjemahannya berdasarkan bahasa asli prasasti ini (Berdasarkan Bahasa Mulayu Kuno oleh Yulfian Azrial sewaktu melakukan kajian) adalah sebagai berikut :
1. selamat sejahtera tahun saka telah berjalan 605 tanggal 11
2. setengah terang bulan Waisaka, Yang Dipatuan (Sri Jayanaga-pen) naik di
3. sampan untuk suatu perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang.
4. bulan Jyestha Yang Dipatuan melepas pasukan dari minanga
5. tamwan yang membawa tentara dua laksa dengan peti
6. dua ratus mata-mata di perahu dengan jalan darat seribu
7. tiga ratus dua belas banyaknya. datang di tujuan
8. bersuka cita pada tanggal lima bulan
9. (dengan) mudah dan senang datang membuat pusat kehidupan baru.
10. (Datuk) Ƨsriwijaya (dan pasukannya) memenangkan perjalanan suci ini dan membawa kemakmuran..
Sementara dalam bukunya Riwayat Indonesia Jilid I, Prof. Poerbacaraka juga memuat terjemahan isi prasasti ini yang banyak terjebak karena menterjemahkan dengan melakukan pendekatan secara hinduistik, sehingga beberapa kata dan frase yang berpotensi menyesatkan, terutama karena terjemahannya berbeda bahkan berlawanan dengan makna bila diterjemahkan sesuai dengan bahasa asli di prarasti itu.
Misalnya seperti dalam memaknai kata marlapas pada baris ke empat prasasti itu, Prof. Poerbacaraka menterjemahkan sebagai berangkat. Padahal dalam Bahasa Mulayu Kuno atau dalam Khazanah Bahasa Mulayu kata marlapas ini maksudnya tentulah melepas ; malopeh atau malapeh. Sehingga menjadi sangat aneh bila kata marlapas diterjemahkan sebagai berangkat atau bertolak. Karena maknanya menjadi bergeser sangat jauh, bahkan bertolak belakang, sehingga penterjemahan seperti ini berpotensi menyesatkan.
Padahal baik Prof. Dr. Poerbacaraka sendiri atau para ahli lainnya semua bersepakat kalau bahasa yang digunakan dalam prasasti itu adalah Bahasa Malayu Kuno. Tentang kajian dan analisis terkait hal ini akan dipaparkan lebih lanjut secara khusus pada topik tentang prasasti di dalam buku ini.
Selanjutnya di manakah letak pusat atau inti dari kawasan Minangatamuan itu? Prof. Dr. Poerbacaraka dalam buku yang sama menggambarkan pusat dari Minangatamuan itu sebagai kawasan yang mempertemukan atau terletak di antara dua sungai besar.
Sementara Dr. Buchari (29) yang juga melakukan penelitian tentang Sri Bwijaya menyebutkan bahwa pusat Minangatamuan berada di sekitar hulu Batang Kuantan, yang artinya berada di kawasan aliran Batang Sinama. (30) Bagi yang paham dan kenal dengan fakta situasi dan kondisi di lapangan, maka sebenarnya pendapat Prof. Dr. Poerbacaraka dan Dr Buchari tersebut pada prinsipnya mengarah pada satu lokasi atau kawasan yang sama.
CATATAN KAKI :
25 Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”.
26 Karena bertolak dari pendekatan Hindu Sanskerta yang menjadi spesialisasinya, maka di dalam buku-bukunya Prof.Dr.Poerbacaraka menuliskan Dapunta Hyang. Namun seperti telah disepakati sejumlah besar ahli (termasuk Prof. Dr. Poerbacaraka sendiri) bahwa prasasti ini ditulis dalam Bahasa Mulayu Kuno. Maka sesuai dengan Bahasa Mulayu kuno, maksud dari kata ini tentulah Yang Dipertuan, istilah yang lazim digunakan masyarakat Mulayu umumnya untuk para pemimpin mereka.
27 Istilah Ƨsivijaya sangat bersesuaian dengan cerita turun temurun masyarakat di kawasan Muara Takus dan sekitarnya, yang lazim dipahami sebagai panggilan kehormatan untuk Datuk Sibijayo setelah berhasil dengan gemilang menaklukkan para bajak laut di kawasan Sungai Laweh (Sungai Musi). Dalam observasi penulis (2003-2004) diceritakan oleh masyarakat di sana, bahwa setelah sukses dalam misi perjalanan sucinya sekaligus untuk memperluas rantau hingga ke Palembang dan sekitarnya ia diberi gelar Siwijaya. Sedangkan perluasan wilayah rantau di Sumatera bagian Selatan itu lazim juga disebut sebagai Kedatuan Sriwijaya atau Rantau Datuak Sibijayo (Sibwijaya). Cerita serupa juga ditemukan dalam rangkaian kisah legenda Lubuak Nago di Pangkalan. Adapun Lubuak Nago konon merupakan sebutan bagi pangkalan (pelabuhan) kapal, tempat Sri Jayanago (Yang Dipertuan Minanga Tamwan) melepas Datuak Sibijayo (Sibwijaya) beserta pasukannya.
28 Sekarang lazim disebut Sungai Musi.
29 Dr. Boechari, An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung). In Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, 1979, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional
30 Batang Sinama (Sinamar) adalah nama ruas paling hulu dari Batang Kuantan dan Sungai Indragiri. Batang Sinama ini setelah bertemu dengan Batang Ombilin (Bangkaweh dari Danau Singkarak), disebut Batang Kuantan.
Sumber : Buku Yulfian Azrial, 2016. KHAZANAH ASAL-USUL MINANGKABAU ( Buku Satu ) Hal. 45 - 47.
Cetakan Pertama 2016, Oleh UPTD MUseum Adityawarman dan Penerbit Pena Indonesia.
Cetakan Kelima 2021, Oleh Penerbit Pena Indonesia.
#noteya10052021_kubutapakrajo.
Disalin dari kiriman FB Yulfian Azrial