Ilustrasi gambar: traverse |
Raja Mahmud Ri'ayat Shah lahir pada tanggal 24 Maret 1760. Ia adalah anak bungsu dari Tengku Abdul Jalil Muazzam Shah dengan istri keduanya, Tengku Puteh. Kedua orang tua dan saudaranya mangkat dalam sebuah kemelut di Istana. Pada Tahun 1761 Tengku Mahkota Siak, Tengku Ismail menyerang Riau. Ia Menduduki Bintanmengambil alih jabatan Yang Dipertuan Muda Riau.
Untuk mempertahankan kendali de facto atas kerajaan Johor. Daeng Kemboja melarikan cucu Raja Sulaiman yakni Raja Mahmud yang masih berusia 1 tahun kemudian mengangkatnya sebagai Sultan Johor dengan gelar Mahmud Abdul Jalil Ri'ayat Shah Semenjak itu Daeng Kamboja bebas leluasa memerintah di wilayah kerajaan Johor-Pahang sebagai wali (regent)
Selama masa pemerintahannya, sikap Sultan Mahmud Ri'ayat Shah terhadap Belanda sangat tegas yaitu menolak segala bentuk paksaan dan hubungan yang tidak sederajat seperti. Hali ini tercermin dalam penolakan berlakunya perjanjian Front Filipina, Kuala Linggi terhitung berlaku sejak tanggal 1 Januari 1778.
Perjanjian semula sebagai tanda persahabatan antara Kesultanan Johor-Pahang dengan Belanda untuk menggerogoti kedaulatan Kesultanan Johor-Pahang. Melalui perjanjian itu, Johor-Pahang mengakui kemerdekaan Selangor dan Negeri Sembilan. V.O.C berusaha mwnanamkan pengaruhnya dan memperolah hak monopoli perdagangan timah yang merupakan komoditi ekspor terpenting kerajaan.
Perjanjian di Linggi inilah yang dalam perkembangannya mengakibatkan perang antara Kesultanan Johor-Pahang dengan V.O.C yang lebih terkenal dengan sebutan Perang Riau (1782-1784). Akan tetapi kehidupan politik seperti tersebut di atas tidak berlangsung lama. Oleh karena Perang Riau yang berakhir dengan kekalahan Kesultanan Johor-Pahang dan wafatnya Raja Haji membawa akibat perubahan yang mendasar dalam kehidupan politik Kesultanan Johor-Pahang
Pada Perjanjian Kampar tanggal 5 November 1784, Kawasan Kepulauan Riau diserahkan oleh Sultan Siak kepada VOC. Isi perjanjian ini tidak diakui oleh Sultan Mahmud, penguasa Johor dan Pahang juga menuntut hak keatas kawasan itu, sebagaimana nenek moyang yang menjadi Sultan yang berkuasa atas wilayah tersebut. Sultan Mahmud Ri'ayat Shah berhasil menghalau Belanda di perairan Bintan pada 13 Mei 1787, Ia memutuskan berhijrah dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Daik, Lingga pada 24 Juli 1787 .
Hal ini ternyata memang telah dipersiapkan oleh Baginda secara matang. Pemindahan pemerintahannya ke Lingga adalah untuk menjaga keselamatan rakyatnya. Adanya bajak laut yang memenuhi keperluan Kerajaan yakni aksi penyelundupan dan sabotase ekonomi yang sangat merugikan Pemerintah Belanda. Kehadiran para bajak laut di Lingga benar-benar menakutkan dan menjadi duri dalam daging bagi Kompeni Belanda.
Serangan-serangan bajak laut, yang tiada lain pasukan Sultan Mahmud, ke daerah-daerah kekuasaan VOC-Belanda seperti Bangka dan Belitung sangat menyulitkan Belanda. Pasukan Sultan merampas timah yang diusakan oleh VOC di daerah-daerah itu untuk kemudian dijual kepada pedagang Inggris yang datang ke Lingga. Perompakan terhadap kapal-kapal dagang VOC dan sekutu-sekutunya di perairan Lingga dan Selat Melaka benar-benar mengacaukansumber-sumber ekonomi VOC dan merugikan Kompeni Belanda itu.
Dalam sebuah laporan arsip catatan rapat VOC di Malaka 1790 disebutkan bahwa keberadaan Sultan Mahmud dan pengikutnya ke Lingga sangat membahayakan kedudukan Belanda di kawasan Kepulauan Riau. Laporan VOC itu juga membuktikan bahwa Sultan Mahmud menggunakan kekuasaan dan kekuatannya mengendalikan para bajak laut untuk menyerang atau merompak musuh-musuh , tetapi sebaliknya melindungi sekutu-sekutunya. Kutipan laporan tersebut menunjukkan bahwa Sultan Mahmud dan sekutu bajak lautnya dianggap musuh yang sangat berbahaya oleh Belanda.
Persekutuan Sultan Mahmud dengan para bajak laut menyebabkan Baginda memiliki kekuatan yang sangat diperhitungkan dan ditakuti oleh Belanda. Menurut pengakuan Letnan Gubernur Jenderal VOC di Melaka, de Bruijn, kekuatan armada VOC tak mampu menandingi kekuatan armada laut Sultan Mahmud di 'belantara lautan' Kepulauan Riau.
Berdasarkan surat tertanggal 29 Mei 1795 Gubernur Jenderal VOC di Batavia mengakui kedaulatan Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Surat itu menyatakan penyerahan Bintan kepada Sultan Mahmud, penguasa Johor dan Pahang yang ditandatangani oleh Gubernur Couperus atas nama Gubernur Jenderal VOC serta Henry Newcome dan A. Brown sebagai perwakilan Kantor Pusat Angkatan Perang Kerajaan Inggris di Malaka atas nama Ratu Inggris.
Surat pengakuan kembali Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai Sultan Riau-Lingga dan Johor-Pahang oleh Belanda ditulis sendiri oleh Gubernur Abraham Couperus di Malaka, atas nama Gubernur Jenderal VOC. Surat keputusan pengakuan kekuasaan Sultan Mahmud Ri'ayat Shah dikirimkan oleh Gubernur VOC di Melaka, Abraham Couperus,kepada Sultan Mahmud. Surat ini atas nama pemerintahan tertinggi VOC di Batavia
Pada 9 September 1795, Komandan Newcome berlayar ke Bintan dan memindahkan residen dan pasukan Belanda untuk selanjutnya mengembalikan pulau itu kepada Sultan Mahmud. Menurut Netscher, pada 3 Mei 1796, Sultan Mahmud mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia atas pemulihan Baginda sebagai penguasa Johor, Pahang, dan daerah takluk lainnya
Kekuatan militer Kesultanan Johor- Riau-Lingga dapat diketahui, antara lain, dari pembelian kapal dan senjata oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Berdasarkan surat Tunku Husain Aidid di Pulau Pinang kepada T.S. Raffles, 26 Syawal 1225 atau 24 November 1810, Sultan membeli sejumlah senjata seperti kapal bertiang dua seharga 5.500 rial, 4 buah meriam besi ukuran peluru 6 poun (3 kg) seharga 400 rial, 4 pucuk meriam besi ukuran 4 poun seharga 260 rial, pemuras (senapan) 9 pucuk seharga 184 rial, dan 3 tong ubat bedil (mesiu) seharga 105 rial. Pembelian senjata itu membuktikan bahwa Baginda terus berusaha memperkuat kekuatan militernya.
Mahmud Ri'ayat Shah mangkat di Benteng Tanna, Bukit Chengah, Lingga pada 12 Januari 1811. Ia dimakamkan di Masjid Jamie Daik, Lingga tanpa mewasiatkan ada nama penerus. Ia meninggalkan, dua putra dan dua putri. Perselisihan suksesi muncul di antara kedua putranya. Tengku Abdul Rahman, putra keduanya atas dukungan Yang Dipertuan Muda Bugis naik tahta sebagai sultan berikutnya.
Disalin dari kiriman FB Riff ben Dahl