Ilustrasi Gambar: https://www.mcgilldaily.com
Disalin dari kiriman Grup WA Padusi Minang
Itsnin, 28 Ramadhan 1442 H/ 10 Mei 2021
▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎
Dulu, saya punya teman karib, beragama Katholik. Dia lahir dari pernikahan campur: papanya seorang Muslim, sementara mamanya seorang Katholik. Beberapa kali saya belajar dan mengerjakan tugas di rumahnya dan disuguhi makanan, tapi keluarga itu selalu menyuguhi saya hanya makanan yang halal dikonsumsi seorang Muslim (meski saat itu saya belum berhijab).
Ketika sahabat saya bertunangan, saya dan beberapa sahabat dekat diundang pada acara yang hanya dihadiri keluarga dekat. Saat tiba waktu makan, papanya sahabat saya mendekati kami "ayo makan, jangan takut, jangan kuatir, ada Om. Semua halal kok, gak ada babi, kan ada keluarga Om juga".
Begitulah, mereka yang non Muslim sudah paham, jika sebuah acara dihadiri tamu-tamu Muslim, maka tak akan disajikan menu masakan daging babi. Bahkan teman saya yang asli keluarga Katholik saja, tak pernah mencoba mengajak kami makan kuliner berbahan dasar babi.
Ketika saya menjalani pelatihan di Jepang, tanpa harus dijelaskan dan diminta, orang Jepang memahami bahwa sebagai Muslim saya tidak boleh memakan daging babi. Saat welcome party, disuguhkan aneka kue-kue ringan. Karena tak tahu, saya mengambil sebuah "gorengan" yang sangat mirip bentuk lumpia di Indonesia. Tentu mengambilnya dengan alat penjepit makanan. Tetiba, seorang wanita Jepang — panitia acara — mendekati saya dan berkata "maaf, anda seorang Muslim, tidak boleh ambil itu, itu isinya babi". Saya kaget. Lalu dia tersenyum "tak apa-apa, mana piringmu, biar saya saja yang memakannya. Kamu ambil piring yang lain".
Kejadian semacam itu sempat terjadi lagi dilain waktu, beda kesempatan, beda pula orang Jepang yang mengingatkan saya. Yang kedua kali kalau tak salah di corner makanan sebuah mini market. Sejak itu saya paham, bahwa makanan yang mirip banget lumpia itu, terlarang untuk saya ambil.
Dimasa awal, ketika kemampuan bahasa Jepang saya masih sangat terbatas, pernah saya membeli onigiri (nasi yang bentuknya seperti dikepal, didalamnya ada isian, lalu dibungkus lembaran rumput laut) asal ambil saja, lalu dibawa ke kasir. Sampai di kasir, melihat penampilan saya yang mengenakan jilbab plus baju lengan panjang, kasirnya langsung mengingatkan bahwa itu makanan tidak boleh untuk saya. Kasirnya tidak bisa berbahasa Inggris, sementara saya tidak bisa berbahasa Jepang. Bahasa tarzan pun jadilah, si kasir menyilangkan kedua tangannya, simbol "tidak boleh" dalam komunikasi verbal masyarakat Jepang. Cukup hanya 2 kata, sudah membuat saya paham : "damme" (tidak boleh) dan "butaniku" (daging babi).
Akhirnya si kasir beranjak dari posisinya, membawa saya ke rak tempat aneka onigiri. Dia jelaskan stiker yang menempel pada bagian luar kertas pembungkus. Rupanya ada kode warna, let say : jika stikernya merah, maka isiannya daging babi, jika hijau isiannya toriniku (daging ayam), dan jika kuning isiannya tuna. Sejak itu saya hafalkan, walaupun tak bisa baca huruf kanji-nya, yang penting warna stikernya.
Nah lho, itu warga Jepang yang nota bene mostly tidak memiliki agama, dan disana kaum Muslimin hanya nol koma nol sekian persen saja, punya kepedulian tinggi bahwa daging babi terlarang bagi seorang Muslim. Sebagai kasir, bisa saja dia bersikap cuek. Toh, kalau saya diberi tahu onigiri itu isinya daging babi, sudah pasti saya tak jadi beli, bukan?
Maka...,
Jika ada seorang pemimpin tertinggi dari sebuah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia kemudian meng-endorse sebuah kuliner yang jelas bahan dasarnya babi yang dipanggang kepada kaum Muslimin yang akan berhari raya, ini super aneh bin ajaib!!
Dimana letak TOLERANSI-nya pada ummat Islam?! Tidakkah dia tahu bahwa BABI DIHARAMKAN bagi Muslim?! Jangankan dimakan, menyentuhnya saja sudah terkena najis mughaladhah, yang harus dibasuh dengan air mengalir 7 kali, salah satunya bercampur tanah.
Tak perlulah Fadjroel Rachman mencari pembenaran dengan membelokkan pada bipang Pasuruan, kuliner djadoel. Sebab jelas ucapan pak Jokowi "bipang Ambawang dari Kalimantan". Tidak salah ucap, sebab gesturnya saat tampil di tv menunjukkan Jokowi sedang menatap pada satu arah, tampaknya sedang membaca teleprompter di depan sana. Karena yang disebut Bipang Ambawang, maka tak salah kalau pihak bipang Ambawang pun lewat akun instagramnya mengucapkan terima kasih pada Jokowi karena produknya disebut dalam pidato presiden.
***
Mungkin ada yang menganggap lebay jika kita membahas ini?!
Tidak!
Tidakkah sangat janggal presiden menyarankan kuliner berbahan dasar babi untuk kaum Muslimin yang akan merayakan Idul Fitri?!
Tentu tak jadi soal jika pak jokowi menyarankannya pada saat jelang hari raya Imlek atau Natal.
Tapi ini Idul Fitri, hari rayanya ummat Islam!!
Saya yakin ini BUKAN kebetulan, BUKAN ketidaksengajaan, sebab itu bukan pidato spontan atau doorstop interview. Itu adalah pidato yang disiapkan, teks-nya ditampilkan dalam teleprompter, justru agar presiden TIDAK SALAH sebut!
Sebuah fenomena politik kerap kali tidak bisa dilihat sebagai suatu kejadian tunggal. Namun haruslah dirangkai dengan kejadian lain yang terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan.
Mari kita tengok tes "Wawasan Kebangsaan" (WK) para karyawan KPK yang akan beralih status jadi ASN.
Lho apa hubungannya pidato Jokowi tentang kuliner khas daerah dengan tes WK bagi karyawan KPK?!
Nanti, akan kita temukan benang merahnya.
Salah satu pertanyaan tes WK yang diajukan kepada karyawan yang berhijab adalah "apakah bersedia melepaskan jilbabnya jika diminta". Dan..., kalau dijawab "tidak bersedia" maka karyawan tersebut dianggap EGOIS, lebih mengedepankan keinginan sendiri ketimbang kepentingan bangsa dan negara.
Wow!! Sejak kapan memakai jilbab menjadi bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara?!
Memakai jilbab justru BUKAN egoisme seorang Muslimah. Perempuan Muslim yang egois, justru akan lebih memilih memamerkan rambutnya yang indah, lebat, berkilau, memperlihatkan lehernya yang mulus dan jenjang, mempertontonkan dadanya yang montok, ketiaknya yang indah, dll.
Justru mereka yang berhasil menyingkirkan egonya demi KEPATUHAN pada perintah Tuhan-nya itulah yang rela tidak mengumbar keindahan ragawinya dan menutupinya dengan selembar kain hijab.
Apakah selembar kain hijab bisa menghalangi kepentingan bangsa dan negara?! Kepentingan macam apa gerangan?!
Bertahun-tahun sudah jilbab dibolehkan disekolah-sekolah, kampus-kampus, dan tempat kerja, sejak terbitnya SKB 3 Menteri — Menteri Agama, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Menteri Tenaga Kerja — pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (kalau tak salah terbitnya Maret 1991, sebab pada awal April 1991 saya mulai memakai jilbab).
Sejak pembolehan itu, banyak Muslimah berjilbab yang tak terhalang berprestasi di bidangnya masing-masing, termasuk para atlit yang turut mengharumkan nama bangsa di manca negara.
Lalu, setelah 30 tahun SKB 3 Menteri itu berlaku, tetiba sebuah institusi negara, ingin mereduksinya.
Berjilbab dianggap hanyalah sebuah egoisme pribadi semata, bukan manifestasi dari kepatuhan terhadap perintah Allah SWT, Tuhan-nya ummat Islam. Bukan dinilai sebagai bentuk ketaatan seorang ummat beragama yang dilindungi oleh Undang-Undang, di negara yang meletakkan "Ketuhanan" pada sila pertama dasar negaranya.
Inilah PENDANGKALAN atas esensi pemakaian jilbab!!
Masih ingat kalimat "Bapak, Ibu, jangan mau dibohongi pakai surat Al Maidah ayat 51"?
Ya, kalimat fenomenal yang terucap dari mulut Ahok hampir 5 tahun lalu itu, tentu tidak akan diulang secara letterlijk, sebab itu sebuah kebodohan.
Namun..., esensinya akan bermetamorfosis dalam bentuk lain. "Lepas dong jilbabmu, itu baru namanya mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, gak egois" ==> ini bahasa "to the point" nya "kamu jangan mau dibohongi pakai surat Al Ahzab ayat 59".
Mirip kan?!
Dulu, Ahok sudah "lompat pagar" hendak melakukan PENDANGKALAN terhadap aqidah ummat Islam, agar jangan mempercayai seruan Allah bagi kaum Muslimin agar jangan memilih pemimpin bukan dari kalangan sesama Muslim.
Kini, dengan dalih tes Wawasan Kebangsaan, karyawan KPK yang Muslimah berjilbab hendak didangkalkan dengan pertanyaan "maukah melepas jilbab".
Dan..., presiden MENGAJAK ummat Islam yang sedang berpuasa, sebentar lagi menyambut datangnya Idul Fitri, tak perlu mudik, kalau kangen kuliner khas, pesan saja, termasuk BABI PANGGANG Ambawang. Bukankah imbauan ini juga bentuk pendangkalan atas keimanan dan kepatuhan ummat Islam pada larangan Allah yang termaktub dalam surat Al Maidah ayat 3?!
Disinilah benang merahnya!
Diakui atau tidak, kenyataan itu ada. Ummat Islam seakan DIAJAK untuk perlahan-lahan MENINGGALKAN KEPATUHAN terhadap perintah dan larangan ALLAH yang sudah jelas disebutkan dalam kitab suci Al Qur'an.
Allahu 'a'lam.
Mungkin Allah sedang membunyikan "red alert", alarm, yang harus kita maknai, bagi orang-orang yang mau berpikir.
Isyarat bahwa Umnat Islam Indonesia wajib memperkuat benteng aqidahnya masing-masing. Bukan di lembaga-lembaga pendidikan formal, melainkan dalam rumah tangga, "al-madrasatul 'ula", madrasah yang paling awal.
Jangan sampai kita dan keluarga kita tanpa disadari aqidahnya mengalami pendangkalan.
Laa haula wa laa quwwata illaa bilLaah...
= IO =
Iramawati Oemar