Picture: Kumparan |
Banyak cerita dan legenda yang hanya diketahui oleh orang-orang tetua di kampung. Pa’an dalam bahasa Manggarai (lingua franca) berbunyi „pa’ang”, yang berarti „tempat terdepan, pangkal, awal”. Selamat membaca!
Banyak cerita dan legenda yang hanya diketahui oleh orang-orang tetua di kampung. Pa’an dalam bahasa Manggarai (lingua franca) berbunyi „pa’ang”, yang berarti „tempat terdepan, pangkal, awal”. Selamat membaca!
Versi 1.
Di daerah Manus yang berhak untuk menjadi Tu’a Golo adalah empat keturunan yang disebut WA’U PAT: Deru, Mukun, Manus dan Ngusu. Nenek Ande Alang mengemukakan bahwa sumber cerita / legenda ini adalah ema lopo Mboes, meka Sapang dan ayah beliau mekas Pius Rondong:
Karena kalah dalam pertarungan kerbau dengan adiknya, Meka Nggaong bersama istrinya Lopo Mina meninggalkan Bonengkabo (Minangkabau?). Dengan perahu INE JEMBU (yang terbuat dari kayu Jambu) mereka dan para pembantunya tiba di Watu Ipun (dermaga Borong sekarang). Lalu mereka terus menuju Mandosawu dan mereka berkenalan dengan orang-orang Ruteng Runtu dan memperkenalkan api kepada mereka.
Dari situ Meka La’ bersama adik dan para pembantunya menuju ke timur mnegikuti anjingnya. Sesampai di Wae Wake, anjingnya menggonggong dan menangkap rusa. Adiknya yang disuruh menyusuli anjing di lembah Nul tidak kunjung kembali, sehingga Meka La’ bersama keluarganya meneruskan ke Golo Sita. Dari situ terus ke Wenggul. Di Wenggul itulah beliau menajamkan kayu tapak di atas pahanya, lambang kekebalan magisnya. Orang-orang Tabu melihatnya dan memintanya untuk menolong mereka dalam peperangan dengan Ghezong. Setelah menang perang, orang-orang Tabu memberikan tanah untuk dikuasai Meka La’ dengan batas-batasnya sbb: dari Wae Lur, Waruleok, Pong Taga, Golo Pari, ulung Wae Weer, Tana Ngeo, sebelah Pam, Wae Mokorogo, Wae Gheto sampai dengan Wae Lur.
Anak-anak dari Meka La’: Mawong dan Ndaeng. Kemudian turunan mereka adalah Saka dan Latar. Karena mengikuti babi piaraannya yang beranak Saka sampai di Watu Manus. Latar sang kakak kembali ke Mokel, Saka menetap di Manus. Saka menurunkan Padu dan Warang. Padu ke Ngusu, sedangkan Warang menetap di Manus.
Di Ngusu Padu menurunkan Ngau – leluhur suku Tolang, Dalu – leluhur suku Ngusu dan Jaun. Mereka memiliki seorang saudari: lopo Rida yang mengikuti suaminya orang suku Gunung.
Mekas Jaun Ame Pau’ sangat berani dan ditakuti, sehingga dijual orang Manus kepada penjajah untuk dijadikan budak. Meka Jaun mengutus pengikutnya Ngali Karung, untuk kembali dengan dibekali kekuatan magis sehingga tidak bisa ditangkap oleh para pengawal kapal budak. Putranya Sazu / Saju masih kanak-kanak dan dipelihara oleh tantanya Lopo Rida di Gunung.
Ketika tumbuh menjadi besar, Saju menyelenggarakan Pesta Paki, untuk menghormati ayahnya yang dibawa penjajah. Keempat turunan secara bergilir mengayunkan pedang untuk membunuh kerbau korban: Deru, Mukun, Manus dan yang terakhir Ngusu. Ketiga WA’U pertama tidak berhasil membunuh korban, kecuali wakil Ngusu: Saju. Dan ini pertanda legitimasi kekuasaan Saju (Ngusu) atas ketiga wa’u lainnya. Manus lari, sedangkan Deru dan Mukun tidak.
Saju mengambil istri di Ladok: lopo Pele, menurunkan suku Rangga. Istrinya yang lain: lopo Ozeng (Ojeng) dari Manus (disunting saat beliau menyerang Manus dalam aksi balas dendam). Adik dari Ojeng, Tati’ diberikan juga oleh Manus untuk menemani kakaknya. Ojeng menurunkan ema Mboes, sedangkan Tati’ menurunkan ema Linus, ema Ngalang dll. Di Nancur dipersunting juga lopo Ndai’.
Ojeng dan Tati tinggal di penghulu kampung, sehingga keturunannya disebut UKU PA’AN (pa’an = pangkal, penghulu). Lopo Pele’ dan Ndai’ tinggal di penghujung kampung, di rumah dengan simbol tanduk kerbau di atapnya, sehingga keturunan mereka di sebut UKU RANGGA (rangga = tanduk).
Wawancara tanggal 24 Juli 2010 di Langgo, di rumah nenek Andreas Alang.
Versi 2.
Meka La’ dari Minangkabau menyusuri jejak kerbaunya yang kalah bertanding hingga sampai di Mabaruju (dekat Wae Lengga), terus ke Nanga Pa’an (Golo Lusang di sekitar Iteng). Kemungkinan karena tidak ada api beliau terus ke Ruteng Rutu, kemudian ke Mano. Di sana sedang ada perang, pada saat mana beliau menajamkan kayu tapak (wu’er) dengan beralaskan paha; perang antara Ghezong dan Tabu di Wenggul. Pada saat perang tersebut diutuslah oleh pihak Tabu Lagor dan Lusa untuk menemui Meka La’. Beliau menyuruh mereka untuk memanjat pohon bambu (betong) untuk melihat kampung Ghezong yang tampak sangat jelas. Dibukalah benteng dan Ghezong diserbu sampai kalah. Sebagai ucapan terima kasih, Tabu memberikan Mokel kepada Meka La’. Di sana lahirlah putra-putra beliau: Padu, Warang, Saka dan Latar. Padu dan Warang bergerak ke arah Manus sedangkan yang lainnya ke Taga/Mukun. Warang menetap di Manus dan Padu terus ke Ngusu dan anaknya Sazu’ yang juga disebut Pa’an. Dari Meka Sazu’ lahirlah Sa’, Sau’, Saka’ dan Rangun. Sa’ menurunkan putranya Mboes, dari Mboes lahirlah Bapa Lukas Lading dan Bapa Does Daniel. Sau’ berputrakan Nggorong (kuburnya di Ngusu). Meka Nggorong adalah kakek dari penulis. Sedangkan Saka’ menurunkan Panggal, Mbada, Sara dan Pasang. Yang termuda Rangun berputrakan Tepong, Kelu, Ajang/Azang dan Malas. Kelu menurunkan Meka Mundus Tabur dan meka Nelis, Ajang menurunkan meka Domi dan Malas berputrakan meka Ngalang.
Sejarah ini dibuat di Mbaru gendang Pa’an di Ngusu pada tanggal 23 Juli 1999. Narasumber: alm. bp tu’a Lukas Lading
Vinadi GM SVD
Totem dalam suku Pa’an:
Sebenarnya totem (mawa dalam bahasa Manus) menurut nenek Raymundus Mujur adalah sama untuk seluruh empat keturunan (Wa’u Pat): Deru, Mukun, Manus dan Ngusu. Konon menurut legenda, suatu hari dalam perjalanannya menuju ke timur Manggarai Meka La’ bersama rombongannya berburu. Mereka mendapatkan seekor babi landak. Beliau sebagai kepala rombongan menghendaki supaya hati dari hasil buruan tersebut diperuntukkan baginya. Tetapi rupanya hal tersebut tidak diindahkan oleh bawahannya. Meka La’ naik pitam dan bersumpah bahwa dia dan keturunannya tidak akan menyentuh daging babi landak. Siapa yang melanggar sumpah tersebut secara sadar atau pun tidak, akan terkena hukuman naki (nangki dlm bah. Manggarai). Sudah banyak bukti nyata dari naki-naki tersebut: ada yang seluruh anaknya terlahir dengan penyakit kulit dua, ada yang sakit jiwa dan lain-lain. Pelanggaran harus ditebus dengan acara loak (loak = memuntahkan), sehingga ada babi ataupun ayam untuk acara tersebut.
Mawa lain adalah sejenis pisang yang sering disebut Muku Bela’.Konon pisang tersebut jarang tumbuh di daerah Manus. Tetapi seandainya dijumpai oleh keturunan Wa’u Pat, pohonnya harus ditanduk sampai tumbang.
Refleksi atas tabu / mawa:
Percaya atau tidak, bukti yang dilihat sampai saat ini tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Kala kita berbicara dengan sanak keluarga kita di kampung, nyata sekali, betapa besar rasa keterikatan mereka akan larangan-larangan mawa sukunya masing-masing. Manusia adalah anak budayanya sendiri (the son of his culture), maka adalah sangat berharga bila budayanya bersama tabu-tabunya tetap terpelihara dan diturunkan kepada anak cucu.
________________
Sumber cerita ini adalah lisan. Di dalam bukunya Dami N. Toda “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi” (lupa halaman berapa), ada tertulis, bahwa masing-masing suku, malahan kedaluan (kedaluan terbentuk dari beberapa suku / klan) memiliki kisah sejarah lisan sukunya. Kelihatannya semua cerita lisan tersebut mengarah ke “Minangkabau” sebagai asal-muasalnya
________________
Umumnya asal-usul suku-suku di Manggarai mirip, ujung-ujungnya berasal dari Minangkabau / Bonengkabo. Aku ngoeng keta kudut cake asal-usul suku-suku lain yang merupakan suku-suku asli / aborigen / indigenous / original Manggarai sejak berabad-abad. Tabe ga.
_________________
http://vinadigm.wordpress.com/artikel-artikel-lepas/asal-muasal-suku-paan-di-manggarai-timur/ — 5 Juni 2013.
Disalin dari minangel.wordpress.com