Hasan tiro dan Gerakan Aceh mardeka
Gerakan Aceh Merdeka dideklarasikan oleh Hasan Tiro (alm) pada 4 Desember 1976 di suatu lokasi pegunungan di pedalaman Aceh.
Sejak kecil, Hasan Tiro dikenal sebagai sosok yang brilian.Pada masa mudanya ia juga banyak menulis Drama and Legal Status of Acheh Sumatra.Sumatra .The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan di Tiro.
Buku setebal 226 halaman itu merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979. Di buku itulah ia menukilkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976, setelah 25 tahun tinggal di Amerika Serikat.
Namun, sosok Hasan Tiro tidak selamanya mengobarkan semangat perlawanan terhadap Pemerintah RI. Ia ternyata juga sosok yang sangat nasionalis. pada masa remajanya, Hasan Tiro pernah menjadi penggerek bendera Merah Putih, di sebuah tempat di Lamlo (dulu bernama Lameulo), tak jauh dari rumahnya. Setelah itu ia merantau ke Bireuen dan Yogyakarta.
Ia sempat menjadi orang kepercayaan Waperdam Sjafruddin Prawiranegara, lalu dikirim Pemerintah Indonesia menjadi staf Atase Penerangan di Kantor Peroetoesan Tetap Pemerintah Republik Indonesia (PTRI) di New York, AS. Di kota tempat PBB bermarkas itu pula ia menamatkan program doktor pada Columbia University.
Lalu, Hasan Tiro menerima penunjukan dirinya oleh Tgk Daud Beureueh (tokoh penggerak DI/TII) sebagai Duta Besar Darul Islam Aceh yang berkuasa penuh untuk PBB. Namun, Sekjen PBB menolak penyerahan mandat itu.
Hasan Tiro berkenan menerima mandat berisiko itu setelah ultimatumnya kepada petinggi Indonesia, Ali Sastroamidjojo, pada 1 September 1950, agar menindak serdadu yang menembaki 192 penduduk sipil di kawasan Pulot, Cot Jeumpa, Aceh Besar, dan mengakui tindakan itu sebagai genosida, tidak digubris. Paspor diplomatiknya pun kemudian dicabut oleh Ali Sastro.
Hasan Tiro sempat terkatung-katung sebagai sosok tanpa kewarganegaraan (stateless), sampai akhirnya ada dua senator AS yang menjamin dan membayar denda untuk menebusnya. Ia kemudian beroleh status permanent resident di New York.
Setelah "patah arang" dengan Pemerintah Indonesia, saat masih bermukim di Amerika Serikat, Hasan Tiro pun mengentalkan tekadnya untumendeklarasikan Aceh Merdeka. Ia kembali ke Aceh tahun 1975, dan setahun kemudian, setelah mendapatkan sejumlah pengikut HasanTiro mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Halimon,Pidie,pada 4 Desember 1976. Tak banyak yang tahu mengapa tanggal 4 Desember ia pilih sebagai tanggal proklamasi.
Ternyata, momentum itu dipilih untuk mengenang tanggal pemakaman Tgk Syaikh Ma'at Ditiro bin Tgk Mat Amin, cucu Tgk Chik Ditiro yang meninggal pada 3 Desember 1911 akibat ditembak serdadu Belanda. Ma'at Ditiro mengikuti jejak ayahnya, Tgk Mat Amin, yang juga lebih memilih mati syahid (tahun 1896) ketimbang menyerah kepada penjajah, Belanda. Artinya, hampir selalu ada alasan sejarah pada setiap tindakan Hasan Tiro.
Kisah perjuangan Hasan Tiro mengobarkan semangat ideologi GAM penuh intrik dan warna-warni kehidupan. Ia sempat mengecap gemerlap dan hingar-bingar Kota New York Amerika Serikat setelah akhirnya menetap di Swedia sampai usia senja.
Dalam bukunya, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro disebutkan meski pun berada dalam pengintaian Pemerintah Indonesia, selama di Amerika, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis.
Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara, seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, kecuali Indonesia. Ia menghindari berhubungan dengan Indonesia. Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS.
Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan. Hasan Tiro punya hubungan kerja sama dengan beberapa perusahaan itu.
Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal. Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu. Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi.
Dan satu lagi adalah album koleksi prangko bergambar Al-Malik Tengku Tjhik di Tiro. Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya. Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.
Tapi kemudian Hasan Tiro meninggalkan segala kemewahan di Amerika. Ia memilih pulang ke Aceh dan bergerilya bersama pengikut setianya. Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil. Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie.
Dalam kepulangannya ke Aceh, Hasan Tiro meninggalkan Karim kecil, anak semata wayangnya dan istrinya, Dora, yang ia tinggalkan di Amerika Serikat.
Sampai saat ini tidak banyak informasi yang terungkap tentang keberadaan Karim di Tiro, anak satu-satunya pewaris Hasan Tiro dari perkawinannya dengan Dora, warga Amerika Serikat keturunan Yahudi yang memeluk Islam.
Beberapa informasi menyebutkan Karim di Tiro kini menetap di New York, Amerika Serikat. Ia telah menjadi seorang akademisi, asisten professor dan mendalami sejarah Amerika.
Beberapa saat seusai mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka, Hasan Tiro kembali ke luar negeri, dan kali ini memilih berdiam di Swedia, sambil membangun kerjasama militer dengan Libya yang saat itu aktif memberikan pelatihan-pelatihan militer guna mendukung gerakan pembebasan kelompok tertindas di sejumlah negara.
Namun, seperti sudah mendapat panggilan hati, Hasan Tiro akhirnya kembali lagi ke Aceh, tanah kelahirannya setelah 30 tahun hidup terasing di Swedia.
Kepulangannya pada tahun 2008 itu ternyata menjadi akhir dari perjuangannya di organisasi GAM.
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro meninggal dunia setelah 13 hari dirawat di RSUZA, Banda Aceh.
Sehari sebelum ia menutup mata untuk terakhir kalinya, Pemerintah Indonesia resmi memulihkan status WNI Hasan Tiro.
Surat itu disampaikan Menkopolhukkam Djoko Suyanto kepada perwakilan mantan petinggi GAM, Malik Mahmud dan kerabat dekat Hasan Tiro, di Banda Aceh.
Dalam surat itu disebutkan salah satu pertimbangannya, yaitu alasan kemanusiaan, khusus, dan politik.
Pertimbangan lainnya adalah nota kesepahaman damai antara Indonesia dan GAM.
Di akhir hayat ayahnya, Karim Di Tiro, anak semata wayangnya, tak sempat mengiringi kepergian Hasan Tiro untuk selamanya.
Kala itu banyak orang di Aceh menunggu kepulangannya. Tapi itu tidak pernah terjadi.
Hasan tiro bersama pasukan nyan di sebuah kamp latihan militer di Tanjura Libya pada tahun 1988 di antara nya adalah
1. hamdani sp ulim aceh timur,
2. hasanuddin abubakar matang,
3.m diah amin beureueh
4. zaini buloh blang ara
5.m adam caleu
6. lukman thaher,
7. yusuf usman kreh kroh calon bupati pijay.
8. syamsul bahri beureueh,
9. T Jamaluddin imran aceh timur,
10. abu razak,
11. bukhari jeunieb,
(sumber.serambiNews..foto Murizal hamzah)
Disalin dari kiriman FB: Adi Fa
Baca juga:
- serambi.tribunnews
- Aceh merdeka, Hasan Tiro, & Sebuah tafsir Sejarah - Seputarberita123.blogspot