"Membungkus Tulang Dengan Daun Talas"
Oleh Buya Gusriza Gazahar Dt. Palimo Basa
ILC tidak membahas tentang konsep kearifan Minangkabau dalam memahami kata-kata sehingga tidak terungkap alasan hakiki kenapa masyarakat Sumbar dan orang Minang di ranah dan di rantau menjadi tersinggung dan terluka.
Jejak historis Minangkabau dalam sejarah bangsa bukanlah bantahan yang hanya patut dijawab dengan "ya".Karena semua itu dikemukakan bukan untuk bernostalgia tapi dari sanalah aliran darah perjuangan bangsa dan agama.
Kalau orang berakal mendengarkannya, kesadarannya tentu akan kembali dan tak perlu terkalang lidah mengakui "saya lupa dan saya berdosa".
Menyebutkan PKI di Ranah Minang bukanlah kebanggaan karena goresan tinta emas sejarah "ranah bunda" dan bukan pula bagian dari kayu yang bersilang dalam tungku perapian yang membuat api menyala.
Faktanya, sampai sekarang mendenging telinga putra-putri Minang bila terkesan jejak PKI dalam keluarganya.Entahlah kalau di dengar oleh orang buta sejarah dan kehilangan rasa jo periksa. Menyuruk di balik garis keturunan, tak akan menyelamatkan.
Itu bukanlah jawaban dan tidak ada jaminan seorang Minang atau keturunan menjaga nilai-nilai yang telah digariskan.Menjadikan hilalang sehelai sebagai tempat penyurukan, tentu tak akan menutupi seluruh badan.
Jangan lupa ! Kalaupun iya, Minangkabau punya pepatah:
"Tibo di mato indak dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan"
(tiba di mata tak dipicingkan, tiba di perut tak dikempiskan).
Bahkan alasan "tak ada niat buruk" dari para "parewa" bukanlah bayan (penjelasan) yang bisa menjawab tanya tapi tetaplah tafsiran karena perasaan tak bisa dipindahkan dari shahibul kalam.
Istilah "tabayyun" juga tak pantas dijadikan alasan. Karena dua syarat dalam syara' tak terpenuhi dalam narasi puan.Entah kalau para "parewa" menuduh puan dan pemberita telah ditimpa kefasikan atau ucapan puan bagai alamat tak bertujuan.
Jangan lupa bahwa di Minang, ada ungkapan "kato sapatah dipikiri" (kata sepatah, dipikirkan dengan matang sebelum terucap) karena dia tak bisa ditarik surut. Kalau dia tersalah dalam pemakaian dan sempat melukai maka emas lah tebusannya.
Orang Minang tidak menuntut maaf karena mereka sangat mengerti bahwa maaf ibarat buah masak, tak jatuh karena dijuluk.Itu hanya nasehat kalau hendak ditempuh oleh puan.Orang Minang bukanlah enggan memberi maaf tapi baik dalam adat maupun dalam syara', maaf itu bagaikan "basiang ateh nan tumbuah" (bersiang di atas yang tumbuh).
Bila tak ada yang merasa bersalah bahkan mengaku pun tidak, maaf kemana akan dialamatkan dan kepada siapa akan diberikan ?
Di balik itu, tajamnya lidah puan bukan melukai tubuh seorang insan tapi mengoncang rasa putra putri Minangkabau di ranah dan perantauan.
Tentu bagi mereka yang masih menaruh titipan Adaik Basandi Syara' - Syara' Basandi Kitabullah - Adaik Bapaneh Syara' Balinduang - Syara' Mangato Adaik Mamakai (ABS-SBK-ABSB-SMAM) dalam genggaman.
Pribadi siapakah yang punya kewenangan memberikan maaf atas kelancangan yang menusuk rasa jutaan insan ??!! Diamnya saudari puan, hanya semakin menambah kesan bahwa ucapan itu memang bertujuan bagaikan menyandangkan bajak ke kuduk masyarakat Sumbar ?!
Hanya saja perlu Puan dan para "parewa" faham bahwa:
Sambah Minangkabau hanya dalam kata-kata, tidak dalam membungkuk dan bersujud melainkan kepada Allah swt.Karena itu, sikap Puan akan menambah catatan panjang masyarakat Minang bahwa kita berbeda dalam warisan dan berlain dalam prinsip kehidupan.Jadi, sangatlah tidak bijak kalau masalah ini diminta lupakan selama luka masih meruyak dan ancaman infeksi masih mendera.Tak ada masalah yang selesai dengan dilupakan apalagi ada yang akan bergerak dalam diam tanpa terkesan.
Solusinya jelas sekali:
"Baliak ka Pangka Jalan, Kalau Sasek di Ujuang Jalan".
(Balik ke pangkal jalan, bila tersesat di ujung jalan).
Setelah itu, biarkan orang Minang melihat sejauh mana bukti kebenaran dalam sikap dan prilaku dan itu tentu membutuhkan waktu !!!
Disalin dari FB Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa
Foto: https://news.idtoday.co
Like& Follow: Bukit Tinggi Salingka Agam Heritage