Antara Sumatera dan Semenanjung Malaya
Secara historis antara Sumatra dan Semenanjung memiliki kebersamaan politik yang cukup panjang. Antara abad ke-8 hingga 11, keduanya berada di bawah kekuasaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Ketika itu, kekuatan politik-ekonomi Sriwijaya menguasai hampir seluruh daratan Asia Tenggara, mulai dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kamboja, Thai, Vietnam, hingga Semenanjung Malaya.
Dominasi Sriwijaya juga turut berperan dalam menyebarkan kebudayaan dan Bahasa Melayu ke seluruh Nusantara. Di pertengahan abad ke-11, imperium ini mendapatkan serangan dari pasukan Rajendra Cola. Runtuhnya Imperium Sriwijaya, dilanjutkan oleh Kerajaan Dharmasraya yang berpusat di Hulu Sungan Batanghari. Pada abad ke 13, Dharmasraya merupakan salah satu kerajaan makmur di Nusantara. Kekayaannya disokong oleh hasil alam serta jaringan perdagangan yang cukup luas. Sejak abad ke-11, para saudagar Minang telah membangun koloni dagang mereka di sepanjang pantai barat Sumatra dan kedua belah sisi selat.
Antara 1377-1409 Majapahit menggelar Ekspedisi Pamalayu II terhadap Dharmasraya. Parameswara, Salah seorang pangeran kerajaan, berhasil melarikan diri dari Palembang ke Tumasik sebelum akhirnya berlabuh di kampung Malaka. Disini, atas bantuan Orang Laut, sang pangeran mendirikan Kerajaan Malaka. Berdirinya Malaka, mendorong terjadinya eksodus orang-orang Palembang ke Semenanjung. Disana mereka beranak-pinak, dan membawa kebudayaan serta kebiasaan hidup yang telah berlangsung lama.
Selain orang-orang Palembang dan Minangkabau, orang Aceh juga dianggap sebagai nenek moyang bangsa Malaysia. Pada abad ke-16 Aceh telah meluaskan pengaruhnya ke seluruh utara Sumatra dan Semenanjung. Politik ekspansif ini, juga diikuti dengan perpindahan penduduk Aceh ke pantai barat Sumatra serta Semenanjung Malaysia. Kedah dan Perak, dua negara bagian di utara Malaysia, merupakan tempat dimana banyak dijumpai masyarakat keturunan Aceh. Selama masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636), kontribusi Aceh atas negeri-negeri Melayu cukuplah besar. Berkat jasanya dan anak keturunannya, kebudayaan Melayu dipelihara dan dikembangkan. Kini warisan budaya yang dirawat bangsa Aceh sejak abad ke-17 itu, hendak diminta “paksa” oleh pemerintah Malaysia. Hal ini demi mewujudkan visi Malaysia 2020, sebagai pusat peradaban Melayu sedunia.
Terbentuknya Negeri Sembilan, merupakan kerja besar para perantau Minang yang meneruka dan berniaga di wilayah tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga berkontribusi dalam pembukaan Pulau Pinang serta beberapa areal hutan di wilayah Selangor. Kesultanan Johor-pun sempat dipimpin oleh seorang pengelana Minang, sebelum akhirnya diambil alih orang-orang Bugis-Makassar.
Pada masa pembentukan negara Malaysia modern, orang Minangkabau kembali memainkan peran. Yakni dengan diangkatnya Tuanku Abdul Rahman, salah seorang keturunan raja Pagaruyung, sebagai Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia. Konon kabarnya, beliau pernah meminjam emas kepada ahli waris Pagaruyung, untuk mengisi pundi-pundi negara yang baru itu. Menurut berita yang dilansir koran Kontan, pinjaman tersebut bernilai cukup besar. Jika dikonversi dengan kurs saat ini, mungkin setara dengan Rp 350 triliun. Entah benar entah tidak, sampai hari ini belum ada pernyataan resmi dari kedua belah pihak terkait dengan isu tersebut.
Fakta sejarah di atas jelas memperlihatkan betapa besarnya pengaruh Sumatra atas keberadaan Malaysia saat ini. Dan berkaca dari realita tersebut, perlu pula dipertimbangkan untuk membuat slogan Malaysia yang baru : “Malaysia is replica of Sumatra“. Hal ini mungkin sebagai langkah awal, untuk mewujudkan Sumatra-Malaysia bersatu.
Salam rindu selalu dari saudaramu di seberang Selat Malaka
Dirgahayu Malysia, Sehati Sejiwa
Disalin dari kiriman FB: Riff ben Dahl pada 2 September 23.05