Catatan oleh Agam van Minangkabau:
Tulisan yang satu ini tidak langsung berhubungan dengan sejarha Kota Padang ataupun Minangkabau. Perlu kearifan pembaca dalam menikmati setiap untaian kata.
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
__________________________
Mangaradja Soangkoepon protes keras. Mangaradja
Soangkoepon melakukan protes keras karena punya alasan yang kuat untuk
menyatakan secara terbuka bahwa Sumatra adalah ‘pintu gerbang Indonesia’ dan bukan
pintu belakang. Statement ini dikemukakan Mangaradja Soangkoepon di parlemen pusat
(Volksraad) tahun 1931 untuk menyindir pemerintah Hindia Belanda dan anggota
Volksraad yang berasal dari Jawa yang membangun Indonesia hanya terkonsentrasi
di Jawa dan mengabaikan pulau-pulau besar lainnya.
Volksraad, 1930 |
Mangaradja Soangkoepon
Mangaradja Soangkoepon dan Mohammad Hoesni
Thamrin adalah ‘duo vokalis’ terpenting di Pedjambon, tempat anggota dewan
Volksraad bersidang (kini di Senayan). Mangaradja Soangkoepon memiliki koneksi
yang baik dengan semua anggota dewan dari Sumatra dan M. Hoesni Thamrin dari
Betawi. MH Thamrin yang merupakan anggota dewan dari Kaoem Betawi tampaknya
mendukung statement Mangaradja Soangkoepon.
Mangaradja Soangkoepon, 1930 |
Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja
Soangkoepon adalah anggota dewan Volksraad mewakili Province Oost Sumatra
(Sumatera Timur). Mangaradja Soangkoepon saat ini adalah untuk periode yang
kedua di Pedjambon (berpengalaman). Adik kandungnya, Dr. Abdoel Rasjid adalah
anggota dewan Volksraad mewakili dapil Noord Sumatra (Residentie Tapenoli dan
Residentie Atjeh). Anggota-anggota dewan dari West Sumatra dan Zuid Sumatra
adalah rekan-rekan lamanya sesama alumni Belanda.
Mangaradja Soangkoepon bersuara mewakili Sumatra memang
tidak sendiri, tetapi Mangaradja Soangkoepon tengah berada di puncak piramida.
Karena itu, Mangaradja Soangkoepon seakan leader dari Sumatra di Volksraad.
Jika kembali ke belakang, pada tahun 1927, dua anggota dewan Volksraad yang
turut hadir dalam pembentukan PPPKI di rumah Husein Djajanegara (Banten) adalah
Mangaradja Soangkoepon dan MH Thamrin. Karena itu, ketua PPPKI ditunjuk MH
Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Namun setelah beberapa tahun, pemerintah
Belanda mengganggap PPPKI sebagai ancaman, apalagi baru-baru ini Parada Harahap
memimpin tujuh orang pribumi pertama ke Jepang (termasuk M. Hatta yang baru
pulang studi dari Belanda).[1] Untuk menggembosi PPPKI pemerintah mendukung habis
pembangunan di Jawa dan mengabaikan Sumatra. Dalam situasi dan kondisi inilah Mangaradja
Soangkoepon ‘berteriak’ di Volksraad. Teriakan Mangaradja Soangkoepon ini juga
direspon positif dari Minahasa (Mangindaan) dan Ambon (Apituley) yang keduanya
juga alumni Belanda yang menjadi sesama anggota Indisch Vereeniging.
Pantai Barat Sumatra Mulai Tertinggal
Sejak berkembangnya, Sumatra Timur dengan
ekonomi perkebunan, pertumbuhan ekonomi di Sumatra telah bergeser dari Pantai
Barat Sumatra ke Pantai Timur Sumatra.
Pantai Barat Sumatra mulai terasa stagnansi. Kontribusi pendapatan dari
ekonomi kopi di Pantai Barat Sumatra sudah tidak sebanding lagi dengan
pengeluaran anggaran pembangunan yang terus meningkat. Perkebunan di Pantai
Barat Sumatra juga tumbuh sangat lambat karena keadaan geografi yang memang
sulit untuk perluasan perkebunan. Perluasan perkebunan juga mendapat resistensi
dari tanah-tanah ulayat. Akibatnya daya tarik investasi di Pantai Barat Sumatra
(Padangsch dan Tapanoeli) tidak sekencang di Pantai Timur Sumatra. Tanda-tanda
pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dari barat ke timur sudah terkesan ketika
Province Sumatra’s Westkust statusnya diturunkan menjadi residentie pada tahun
1905 dan sebaliknya pada tahun 1915 status Residentie Sumatras’ Oostkust
ditingkatkan menjadi province.
Pertambangan batubara di Ombilin memang masih eksis,
namun dampaknya terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini karena tambang
batubara Ombilin yang telah menggunakan teknologi baru, pengerahan kuli dari
luar Sumatra dan transportasi angkutan batubara melalui kereta dari Ombilin
langsung ke pelabuhan (di Teluk Bayur). Hasil penjualan batubara langsung
mengalir ke pusat berupa cash untuk domestic dan dalam bentuk devisa untuk
ekspor luar negeri. Setali tiga uang, hasil-hasil perkebunan juga tidak terlalu
berimbas kepada penduduk sekitar apalagi perkebunan besar lebih efisien
menggunakan kuli yang didatangkan dari Jawa dan Asia Timur. Hal ini tidak
terjadi di Pantai Barat Sumatra tetapi juga di Pantai Timur Sumatra. Singkat
kata: pembangunan pribumi di Sumatra seakan terlantar.
Jawa dan luar Jawa makin kontras. Kecemburuan
mulai muncul. Alokasi anggaran pembangunan mulai menganga. Fasilitas-fasilitas
semakin berkembang di Jawa yang dengan sendirinya pembangunan manusianya di
Jawa makin maju. Sementara Sumatra yang menjadi sumber devisa kucuran dana
pembangunan dari pusat dianggap tidak seberapa dan kurang memadai dengan
luasnya ruang spasial pembangunan di Sumatra.
Situasi dan kondisi inilah yang disuarakan
oleh Mangaradja Soangkoepon di parlemen. Mangaradja Soangkoepon yang berasal
dari Pantai Barat Sumatra dan wakil dari Pantai Timur Sumatra di parlemen
melihat persoalan Jawa dan luar Jawa menjadi lebih sensitif baginya jika
dibandingkan dengan anggota parlemen dari Sumatra apalagi anggota parlemen yang
berasal dari Jawa. Lantas dengan sadar Mangaradja Soangkoepon berteriak, pintu
gerbang Indonesia itu di Sumatra dan bukan pintu belakang.
Siantar Men! Menggebrak Pejambon
Mengapa Mangaradja Soangkoepon begitu galak
di parlemen pada periode keduanya? Hal ini karena pembangunan ekonomi masyarakat
di Sumatra khususnya Pantai Barat Sumatra dan Pantai Timur Sumatra tidak
terjadi sesuai dengan potensi ekonominya. Keunggulan komparatif ekonomi Sumatra
yang menghasilkan devisa yang besar tidak sebanding dengan alokasi anggaran
pembangunan yang diterima. Anggaran pembangunan ekonomi di Hindia Belanda hanya
tertahan di (pulau) Jawa, hanya sedikit menetes ke Sumatra. Vokalis Mangaradja
Soangkoepon ternyata juga sudah muncul pada periode pertama di Pedjambon.
Dr. Alimoesa dan Mangaradja Soangkoepon pada
periode sebelumnya sudah berani bersuara. Boleh jadi karena Dr. Alimoesa dan
Mangaradja Soangkoepon adalah Siantar Men!. Ketika mereka kali pertama di Pejambon tahun
1927 (kini Senayan). Alimoesa masuk komisi pertanian di Volksraads, Mangaradja
Soangkoepon masuk komisi sosial kemasyarakatan.
Peta Kepadatan Penduduk 1930 |
Bataviaasch nieuwsblad, 15-06-1928 sempat
berkomentar terhadap suara dari Dr. Alimoesa di sidang perdana: ‘menyimak
pidato Alimoesa, dikhawatirkan akan dapat memberi resonansi di kalangan
penduduk pribumi'. Suara Mangaradja Soangkoepon tentang ‘kemerdekaan pribumi’
juga mendapat perhatian serius.
Suasana hati dua angggota dewan pusat (Volksraad) ini
seiring dengan suasana hati para pemimpin pergerakan kebangkitan bangsa lainnya
di PPPKI. Istilah Siantar Men! Tengah popular saat itu. Kebetulan Dr. Alimoesa,
adik kelas Dr. Sorip Tagor di sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg (pendiri
Sumtranen Bond di Belanda tahun 1917) memulai karir sebagai dokter hewan dan
kepala dinas kesehatan di Pematang Siantar. Mangaradja Soangkoepon setelah
pulang studi di Belanda memulai karir sebagai pejabat di Pematang Siantar. Oleh
karena itu, wartawan Sumatra Post di Medan menyebut dua anggota parlemen pusat
juga dengan Siantar Men!. Suatu salam yang muncul di Pematang Siantar bagi
sesama pemuda yang timbul akibat seringnya bentrok antara pengusaha perkebunan
dengan rakyat pemilik lahan. Yang membela rakyat ini yang berhadap dengan para
polisi Belanda disebut Free Man. Seseorang yang disebut centeng yang berkelahi
dengan polisi secara tulus untuk membela/membantu rakyat jelata tanpa meminta
bayaran. Kini, Free Man bergeser menjadi ‘preman’ yang perilakunya hanya
memalak siapapun.
Sejak 1910an persoalan lahan di Simaloengan
yang beribukota di Pematang Siantar kerap terjadi bentrok antara investor baru
dengan rakyat akibat dampak perluasan lahan perkebunan yang sudah sesak di
Deli, Serdang dan Batoebara. Namun kenyataannya rakyatlah yang kalah, karena
pemerintah didukung oleh para pangeran dari kesultanan/kerajaan dalam
pengerahan polisi yang didukung para tentara colonial. Para Free Man yang biasanya soliter (bagaikan lone ranger
di Texas) di berbagai tempat bukan tandingan yang sepadan dengan satu truk yang
berisi aparat.
Peta Transport Sumatra 1920 |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
__________________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Kami telah memberikan koreksi bagian ini di tulisan sebelumnya (Tulisan No.28) pada Catatan Kaki.