Sebenarnya semenjak tulisan pertama sudah terasa subjektifitas kedaerahan pengarang. Namun kami yakin bagi para pembaca yang sudah memiliki referensi sejarah dapat mengenali beberapa kejanggalan dan ketimpangan informasi yang terdapat pada tulisan ini. Namun dari pada itu, juga ditemukannya fakta-fakta sejarah yang menarik dan bagi kami sendiri terbilang baru. Sekali lagi, diperlukan kearifan dan kebijaksanaan pengarang dalam membaca tulisan-tulisan ini
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
_________________________
Soekarno dan Hatta (Java-bode, 16-09-1957) |
Jend. Abdoel Haris Nasoetion (1958) |
PRRI tetap mengusung nama RI. Jadi tidak ada maksud
separatis (memisahkan diri). Pemerintahan PRRI adalah orang-orang Republik
Indonesia yang menamakan dirinya revolusioner kontra orang-orang Republik
Indoensia yang non revolusioner. Ini soal pandangan politik yang melihat inti
permasalahan Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Namun, nasi sudah jadi
bubur. Yang terjadi adalah lebih bernuansa penyerangan daripada peperangan.
PRRI dan [Pemerintah Pusat] NKRI jelas tidak sebanding. Foto Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (Leeuwarder courant: hoofdblad van
Friesland, 05-04-1958).[4]
PRRI vs [Pemerintah Pusat] NKRI adalah lebih pada soal
pertarungan para pemimpin Republik Indonesia. Kedua belah pihak tetap republiken. Jadi
tidak ada yang kalah dan menang dalam konteks nation, yang ada adalah soal
menang dan kalah dalam pertarungan politik Meski demikian, pertarungan kelompok
pemimpin yang satu dengan kelompok pemimpin yang lainnya sempat membuat dua
negara adikuasi, Amerika Serikat dan Uni Soviet wait and see dan dag dig dug.
Kol. Zulkifli Lubis (1956) |
Bagi rakyat Indonesia (PRRI dan NKRI) tidak ada yang
diuntungkan dalam permasalahan PRRI vs NKRI. Sebaliknya, justru yang dirugikan
adalah seluruh rakyat Indonesia. Di Sumatra Tengah (yang menjadi arena konflik)
penduduk dirugikan dengan korban materi dan meninggal. Di luar arena konflik
rakyat akan turut menanggung biaya social karena pemerintah akan kesedot
anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan. Padahal negara sudah dalam
keadaan sekarat apalagi negara terus digerogoti oleh korupsi yang menjadi
pangkal perkara. Yang diuntungkan adalah dua negara adikuasa. PRRI telah
meminta bantuan Amerika Serikat dan [Pemerintah Pusat] NKRI telah meminta bantuan Uni Soviet. Foto Kolonel Zulkifli Lubis (Nieuwsblad
van het Noorden, 21-11-1956)
Pertarungan politik yang terjadi adalah soal
cara pandang bernegara antara Soekarno (Presiden) dan M. Hatta (Wakil
Presiden). Pertarungan antara dua tokoh penting Republik Indonesia yang disebut
Dwi Tunggal. Akhirnya, Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden mengundurkan diri tanggal 20 Juli 1956. Surat kabar Harian Rakyat
memberikan komentar di kolom pojok: ‘Dwi
Tunggal, tanggal tunggal tinggal tunggal’. Bagaimana itu semua
terjadi? Mari
kita lacak! [harap dicatat: untuk mengingatkan kembali, semua sember
dalam artikel ini dapat diverifikasi pada surat kabar sejaman, karena
itu urutan waktu sesuai kejadian. Namun tidak semua sumber disebutkan
karena sudah disebut di artikel saya yang lain dalam blog ini].
Ir. Soekarno vs Drs.
Muhamad Hatta
Tiga
founding father RI yang memiliki guru yang sama (Parada Harahap) yakni
Soekarno, Hatta dan Amir. Kini, trio itu telah tiada satu orang dan
tinggal dua saja: Soekarno dan Hatta. Dua proklamator ini mendapat
julukan dari masyarakat luas sebagai satu ikatan baru
yang disebut Dwi Tunggal.
Trio Panglima RI |
Zainul Arifin
Pohan vs Burhanuddin Harahap
Pasca
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, mantan Panglima Hizbullah, Zainul Arifin
Pohan terjun ke dunia politik (Masjumi). Dalam perkembangannya, Zainul Arifin
Pohan (ayah dari Baros, ibu dari Kotanopan) dapat menengahi antara Soekarno dan
M. Hatta.
Pada tahun 1951
Zainul Arifin Pohan menjadi Ketua Komisi Pertahanan di parlemen. Masih di tahun
yang sama Kolonel Abdoel Haris Nasoetion yang menjadi KASAD dan Zainul Arifin
Pohan berada di dalam kapal perang, berkeliling Indonesia. Kota-kota pelabuhan
yang disinggahi antara lain: Tandjoeng Pinang, Medan, Banda Atjeh, Sibolga dan
Padang. Kita bisa bayangkan apa yang mereka bicarakan berhari-hari di tengah
lautan: salah satu topic yang menarik tentang kampong halaman dan pesantren Musthafawiyah
Purba Baru di Kotanopan. Di kota kecil inilah Abdoel Haris Nasoetion bersekolah
di pesantren inilah Zainul Arifin Pohan ‘nyantri’.
Namun
dalam perkembangan lebih lanjut, Soekarno mulai mendekati NU, lalu Zainul
Arifin Pohan memisahkan NU dari Masjumi dan mulai membidani lahirnya Partai NU
yang sekaligus menjadi ketuanya. Tokoh-tokoh NU mendukung inisiatif Zainul
Arifin Pohan (1954). Meski demikian, hubungan Masjumi dan NU tetap baik-baik
saja karena faktor kedekatan kampong halaman Burhanuddin Harahap (Pargaroetan)
dan Zainul Arifin Pohan (Kotanopan)…Tunggu deskripsi lengkapnya
PM Burhanuddin
Harahap vs PM Ali Sastroamidjojo
Jelang
Pemilu 1955 terjadi mosi tidak percaya. Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI) jatuh
dan sebagai Perdana Menteri, Ali digantikan oleh Burhanuddin Harahap (Masjumi).
Dalam Pemilu 1955 Masjumi mendapat suara terbanyak, disusul PNI dan kemudian
Partai NU.
PM Burhanuddin
Harahap meminta menterinya Abdoel Hakim Harahap (mantan Residen Tapanoeli di
era perang dan mantan Gubernur Sumatra Utara di era pasca pengakuan kedaulutan
RI oleh Belanda) untuk mendamaikan para tentara dan memilih pemimpinya. Dalam
pertemuan semua kolonel di Jogjakarta muncul dua kandidat utama: Kolonel Abdoel
Haris Nasoetion dan Kolonel Zulkifli Lubis. Akhirnya yang terpilih adalah
Abdoel Haris Nasoetion. Zulkifli Lubis tampaknya tidak puas, karena selama ini
sangat dekat dengan Soekarno. Di lain pihak, Soekarno mau tak mau harus
menerima (kembali) Abdoel Haris Nasoetion yang pernah ‘dirumahkannya’. Selama
dirumahkan Abdoel Haris Nasoetion tekun ‘belajar’ dan berhasil menulis buku
Pokok-Pokok Gerilya.
Dalam
perkembangannya di parlemen terjadi koalisasi PNI dan Partai NU ‘menghantam’
Masjumi yang mengusulkan UU Korupsi. Kabinet Burhanuddin Harahap tumbang, Ali
Sastroamidjojo kembali menjadi Perdana Menteri dan Zainul Arifin Pohan menjadi
Wakil Pernana Menteri II.
Burhanuddin
Harahap tidak puas, UU Korupsi tidak berhasil digolkan. Mochtar Lubis, pimpinan
surat kabar Indonesia Raya mulai
mengangkat isu korupsi di tubuh kabinet yang mana Ali Sastroamidjojo
habis-habisan membela menterinya yang diduga memperkaya diri dengan jalan
korupsi. Mochtar Lubis mendapat dukungan dari Kolonel Zulkifli Lubis. Mochtar
Lubis membuka front opini kepada Ali Sastroamidjojo dan Rosihan Anwar kepada Abdoel
Haris Nasoetion. Kedua wartawan revolusioner ini mulai mendapat masalah…Tunggu
deskripsi lengkapnya
Soekarno-Hatta
Retak (Tunggu deskripsi lengkapnya)
Mayjen Abdoel
Haris Nasoetion vs Kolonel Zulkifli Lubis
Jenderal
Sudirman telah lama tiada, Jenderal TB Simatupang belum lama pension dini, dua
anak buah, yang kebetulan berasal dari kampong yang sama di Kotanopan sudah
menjadi pemimpin. Abdoel Haris Nasoetion dan Zulkifli Lubis bagaikan dua
matahari di tubuh TNI tetapi memiliki haluan politik yang berbeda.
Kolonel
Zulkifli Lubis mendapat amunisi baru, isu korupsi (di kabinet) dan penjegalan
UU Anti Korupsi (di parlemen). Kolonel Zulkifli Lubis dengan para pengikutnya
mulai menyusun rencana makar. Aksi percobaan kudeta yang dilancarkan oleh Zulkifli
dan kawan-kawan terbongkar. Mayjen Abdoel Haris Nasoetion, KASAD mencak-mencak
karena Zulkifli Lubis menghilang sudah dua pekan. Abdoel Haris Nasoetion meminta
melapor dan mengultimatum dipecat karena dianggap indisipliner dan desersi.
Kolonel Zulkifli
Lubis mendukung dua anak buah: Kolonel Maludin Simbolon dan Letkol Achmad
Husein. Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion didukung dua anak buah: Kolonel
Achmad Yani dan Letkol Djamin Ginting.
Letkol
Achmad Husein di Padang melakukan ‘perlawanan’ ke pusat dengan mengangkat isu
ketimpangan pembangunan daerah. Kolonel Maludin Simbolon di Medan melakukan
percobaan kudeta. Abdoel Haris Nasoetion meminta Letkol Djamin Ginting
menangkap Maludin Simbolon, tetapi rencananya bocor dan Maludin Simbolon
menghilang dan diduga melarikan diri ke Padang (menemui koleganya Letkol Ahmad
Husein).
Abdoel Haris
Nasoetion terbang ke Medan untuk meredam situasi yang mulai menghangat. Situasi
dapat tenang dan mengangkat Djamin Ginting untuk menggantikan posisi Kolonel
Maludin Simbolan. Dari Sumatra Tengah, Kalimantan dan Sulawesi muncul protes
terhadap pengangkatan Djamin Ginting. Abdoel Haris Nasoetion mulai paham siapa
kawan dan siapa lawan.
Atas
petunjukk Presiden Soekarno, Mayjen Abdoel Haris Nasoetion dari Medan terbang
ke Padang untuk menggali informasi dan melakukan upaya normalisasi dengan berbagai
pihak termasuk Letkol Achmad Husein. Abdoel Haris Nasoetion kembali ke Jakarta
dengan hasil sukses di Medan dan tanpa hasil di Padang.
Dari Jakarta Mayjen
Abdoel Haris Nasoetion mendapat laporan kesetiaan dari Kolonel Barlian di Palembang
dan situasi dan kodisi cukup kondisif di Sumatra Selatan setelah peristiwa yang
terjadi di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Abdoel Haris Nasoetion
mengumpulkan semua perwira tinggi di Palembang. Letkol Achmad Husein tidak bisa
hadir karena alasan sakit. Sedangkan Kolonel Maludin Simbolon ternyata hadir
tetapi tidak bersedia hadir di rapat perwira se-Sumatra itu. Maludin Simbolon meminta pertemuan informal saja
dengan Mayjen Abdoel Haris Nasoetion. Letkol Maraden Panggabean yang ikut hadir
dalam rapat perwira itu mengabarkan Kolonel Maludin Simbolon menginap di
rumahnya di Palembang.…Tunggu deskripsi lengkapnya
Mayjen Abdoel Haris Nasoetion vs M. Hatta
Abdoel Haris Nasoetion yang selama ini kalem
dan lebih proporsional mulai gerah menghadapi situasi yang terus berkembang.
Antara Soekarno dan Hatta terus meruncing. Abdoel Haris Nasoetion yang selama
ini ikut menahan diri, karena menghormati teman-temanya yang juga ikut
mendukung dan sebagian berada di dalam arena pertempuran PRRI. Abdoel Haris
Nasoetion mulai paham maksud Soekarno: Nasionalis vs imperialis lebih penting
daripada sekadar hanya persoalan antara pusat (Jawa) vs daerah (PRRI) dan
antara politisi dengan politisi lainnya. Abdoel Haris Nasoetion di satu sisi
yang sangat menghormati M. Hatta mencoba mengerem ‘perang’, dan di sisi lain . Abdoel
Haris Nasoetion sebagai penerima perintah dari negara untuk menyerang mencoba
menahan dengan taktik menghindari pertempuran. Abdoel Haris Nasoetion tetap
berada diantara dua tokoh penting.
M. Hatta lambat laun ikut memprovokasi: ‘orang-orang kami
bahkan lebih miskin dari sebelumnya’. Mungkin statement ini muncul karena ia
seorang ekonom sejati. Di lain pihak, Nasution mulai bereaksi sebagai seorang
militer sejati, dengan sedikit marah: ‘Irian masih di bawah tumit Belanda. Pemerintah
revolusioner di Sumatera Tengah dan gerakan pemberontak di Sulawesi Utara menurut
Soekarno adalah penyakit yang harus diberantas’ (Het vrije volk:
democratisch-socialistisch dagblad, 20-05-1958).[5]
Jenderal Abdoel Haris Nasoetion yang mulai
menyingsingkan lengan baju ingin segera menuntaskan persoalan territorial di
Sumatra Tengah. Namun di lapangan hal itu harus ditunda sejenak. Nasution
memerintahkan pasukan ikut solidaritas adanya demonstrasi di berbagai kota
besar. Tindakan Nasution menjadi kejutan dan sedikit pujian.
Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 31-07-1958: ‘Serangan baru pada Bukittinggi. Untuk kedua kalinya dalam waktu seminggu pemberontak di Sumatera bagian tengah (PRRI) melakukan perlawanan di Bukittinggi, eks kursi (kedudukan) dari pemerintahan Sjafroeddin (Prawiranegara). Tapi mereka dipukuli kembali oleh pasukan pemerintah, menurut pernyataan dari markas militer di Jakarta. Kali ini para pemberontak melakukan serangan simultan pada Batoesangkar, empat puluh kilometer selatan dari Bukittinggi. Mereka berhasil menembus Passar utama kota ini. Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia, Jenderal Nasution, beralasan sedikit dikendorkan hal ini terjadi karena adanya aksi solidaritas, pertemuan massa Indonesia untuk tujuan ini, yang akan diadakan di semua kota besar di Indonesia yang mana pertempuran dibatalkan (ditunda?) di Sumatra Tengah.. Pelarangan yang datang dari Kepala Staf (KASAD Abdoel Haris Nsoetion) dianggap sebagai kejutan besar’.Mayjen Abdoel Haris Nasoetion vs Kolonel Maludin Simbolon
Kolonel Maludin Simbolon meski secara
ex-officio adalah Menteri Luar Negeri PRRI tetapi secara defacto adalah lebih
banyak menjalankan fungsi pertahanan dibandingkan dengan Burhanuddin Harahap.
Boleh jadi Mayjen Abdoel Haris Nasoetion melihat situasi dan kondisi baru (fase
kedua) sebagai pertarungan politik antara Soekarno/Djoeanda vs Hatta/Safroeddin
Prawiranegara dan juga sebagai pertarungan yang bersifat politis di lapangan
militer antara Nasoetion dan Simbolon.
Dalam perkembangan berikutnya, Maludin Simbolon mulai
was-was. Maludin Simbolon yang dikutip surat kabar mengatakan ‘Masih ada
harapan’…’ Meski (kota) Padang jatuh masih ada (kota) Bukittingi’. Rasa
pesimistis Simbolon yang muncul dalam hal ini boleh jadi karena sudah
kehilangan kontak dengan Zulkifli Lubis yang tidak diketahui rimbanya. Percobaan
kudeta Zulkifli Lubis di pusat adalah inspirasi bagi Maludin Simbolon untuk melakukan
percobaan kudeta di Sumatra Utara. Setelah percobaan kudeta di pusat, Zulkifli
Lubis benar-benar tidak diketahui berada dimana. Pada nantinya (pasca PRRI)
diketahui posisi Zulkifli Lubis memang tidak tengah berada di Sumatra Tengah
tetapi justru berdiam (pasrah) di kampungnya di Kotanopan setelah menghilang
dari Jakarta (setelah ultimatum Abdoel Haris Nasoetion). Mungkin sinyal ini
sudah diketahui oleh Abdoel Haris Nasoetion, sebab ketika Abdoel Haris
Nasoetion mengetahui ada penempatan tentara pusat di Tapanoeli sebanyak 2.000
orang, Abdoel Haris Nasoetion memerintahkan untuk ditarik ke tempat lain.
Abdoel Haris Nasoetion beralasan ada sebanyak 1.200 tentara PRRI di Tapanuli
dan takut bentrok (di kampong halamannya sendiri). Zulkifli Lubis dalam hal ini
pintar memilih untuk menghilang ke kampong halaman. Pertama, Zulkifli Lubis
tidak merasa aman berada di Sumatra Tengah karena takut dengan keberadaan spionase
pusat. Kedua, Zulkifli Lubis berpikir bahwa Abdoel Haris Nasoetion tidak akan
menempatkan pasukan pusat di Tapanoeli yang memungkinkan keberadaannya
diketahui. Ketiga, Abdoel Haris Nasoetion tidak menginginkan ada pertumpahan
darah di kampungnya di Kotanopan. Keempat, Abdoel Haris Nasoetion secara taktik
perang (gerilya) menduga Zulkifli Lubis bersembunyi di Kotanopan dan hanya kampong
halanan yang mampu melindungi Zulkifli Lubis. Pertarungan antara Abdoel Haris
Nasoetion dan Zulkifli Lubis dalam hal ini menjadi bagaikan ‘game theory’ yang
satu sama lain mengetahui hati masing-masing lawan meski tengah berlangsung kompetisi
yang ketat (perang). Jago Gerilya dan Jago Intelijen dalam hal ini saling
mengeluarkan jurus pamungkas masing-masing. Seperti dakwaan terhadap Zulkifli
Lubis di pengadilan (nanti): ‘mengapa berada di Tapanoeli’, Zulkifli Lubis
menjawab enteng: ‘saya lagi pulang kampong (bertapa di tengah sanak keluarga)’.
Secara teknis perjuangan PRRI antara fase
pertama dengan fase kedua telah bergeser. Itu semua terjadi karena eskalasi
politik yang dilancarkan dari pusat maupun dari daerah yang pada akhirnya
menjadi tidak terkendali (lagi). Imbasnya juga terjadi diantara petinggi
militer.
Kabinet PRRI (1958) |
Kini, Abdoel Haris Nasoetion berada di antara
dua kekuatan (Amerika Serikat dan Uni Soviet), dua politisi (Soekarno dan
Hatta) dan dua kubu tentara (Maludin Simbolon dan Ahmad Yani). Satu berita yang
di konfirmasi di Belanda, bahwa Washington mulai khawatir (meski membantu PRRI)
dan kemenangan tidak mungkin diraih, sementara Washington sangat khwatir Indonesia
jatuh ke tangan komunis (Uni Soviet). Washington tinggal berharap kepada
Jenderal Nasution agar mampu mencegah tidak sampai Indonesia menjadi komunis.
De Telegraaf, 06-06-1958 |
Dengan demikian, boleh jadi Amerika Serikat
mulai kendor mendukung PRRI, sementara Uni Soviet terus mendukung RI. Keadaan
ini membuat Amerika Serikat dalam keadaan dilematis. Namun Amerika ‘tetap
berdoa’ agar Nasution yang pada dasarnya netral antara RI vs PRRI (menurut
Washington) dapat mencegah Soekarno
membuat Indonesia menjadi komunis. Hal ini juga sangat dipahami oleh Abdoel
Haris Nasoetion, karena Nasoetion tampak semakin ingin menyelesaikan (meredam)
segera PRRI dan lebih fokus kepada dua isu besar (yang telah ditinggalkan oleh
para politisi: bahaya komunis (Uni Soviet) dan ganjalan di Papua (Belanda).
Padang Jatuh, Bukittinggi Juga Jatuh (Tunggu deskripsi lengkapnya)
Dana Masyarakat dan Tuduhan Kepada Hatta (Tunggu deskripsi lengkapnya)
Ir. Soekarno dan Mr. Arifin Harahap
Trio Orde Lama (1945) |
Kini, Soekarno tinggal sendirian diantara
tiga founding father RI. Memang Soekarno masih mengandalkan Abdoel Haris
Nasoetion dan M. Yamin di lingkaran satu untuk tetap menjaga hubungan baik
Jakarta dengan Sumatra Tengah dan Tapanoeli. Di parlemen masih ada Zainul
Arifin Pohan. Mungkin, Soekarno teringat Amir Sjarifoeddin[7] saat mana Dwi
Tunggal tanggal tunggal tinggal tunggal. Soekarno memanggil Arifin Harahap
untuk duduk di kabinet.
Daftar Menteri Perdagangan RI |
Trio Orde Baru |
Kabinet pertama dan kabinet terakhir Soekarno |
Pada rezim Soekarno, pada kabinet pertama (1945) terdapat
enam tokoh Sumatra, tiga dari Sumatra Barat dan tiga dari Tapanuli Selatan.
Dari Sumatra Barat adalah M. Hatta, Soetan Sjahrir dan Mohammad Natsir. Dari
Tapanoeli Selatan terdapat Amir Sjarifoeddin, Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia dan Abdoel Moerad Nasoetion (abang dari SM Amin Nasoetion,
Gubernur Sumatra Utara).,
Jika pada awal pemerintahan Soekarno ada Amir
Sjarifoeddin, maka pada akhir pemerintahan Soekarno ada Arifin Harahap. Amir
Sjarifoeddin orang yang jelas-jelas tidak mau kompromi dengan Jepang menjadi
korban yang dikorbankan. Soekarno mengoreksi kekeliruan tersebut dengan
merangkul adiknya, Arifin Harahap menjadi menterinya. Arifin Harahap adalah
tokoh penting Indonesia yang diterima oleh Soekarno (rezim orde lama) dan juga
diterima oleh Soeharto (rezim orde baru). Arifin Harahap dengan sendirinya
telah mengangkat kembali harkat keluarga, nama keluarga yang pernah
dicermarkan. (Tunggu deskripsi lengkapnya)
KH Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion
Di era perang kemerdekaan, KH Zainul Arifin
Pohan, Panglima Hizbulloh di Jawa Barat
dan Abdoel Haris Nasoetion, Panglima TNI di Jawa Barat. Setelah pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda, KH Zainul
Arifin Pohan yang menjadi Ketua komisi pertahanan di parlemen dan Abdoel Haris
Nasoetion yang menjadi KASAD berdiri tegak di kapal perang RI pada tahun 1951
saat mereka berdua mengelilingi nusantara untuk menunjukkan Indonesia sudah
berdaulat baik di daratan maupun di lautan.
Setelah semua tugas negara ditunaikan dalam
pemberontakan dan infiltrasi komunis, di masa damai KH Zainul Arifin Pohan dan
Abdoel Haris Nasoetion menjadi sasaran tembak. KH Zainul Arifin Pohan tertembak
(1963) ketika pemberontak coba menembak Soekarno namun yang terkena adalah KH
Zainul Arifin Pohan. Lalu 10 bulan kemudian meninggal. Abdoel Haris Nasoetion
diserang di rumahnya, putri bungsunya terkena tembakan dan meninggal pada
peristiwa G 30 S PKI tahun 1965.
KH Zainul Arifin Pohan sangat konsen NKRI. Abdoel Haris
Nasoetion sangat anti komunis. Ancaman NKRI adalah separatis (munculnya
pemberontakan) dan komunis. KH Zainul Arifin Pohan telah berhasil meredakan
pemberontakan di Atjeh (Daud Bereureuh), di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara
(Kahar Moezakkar) dan di Jawa Barat (Karto Suwiryo), Abdoel Haris Nasoetion
berhasil mencegah percobaan kudeta di Jakarta (Zulkifli Lubis) dan di Medan
(Maludin Simbolon). Abdoel Haris Nasoetion kecolongan di Sumatra Tengah,
setelah Ahmad Husein melakukan kudeta yang kemudian munculnya PRRI.[9] Dengan
'kekuatan', gerakan PRRI ini akhirnya berhasil diredam pemerintah [Pusat]RI. Di pusat
kekuatan di Jakarta, Abdoel Haris Nasoetion berhasil mengerem laju komunis
namun Abdoel Haris Nasoetion tak terduga harus jadi korban, padahal saat itu
tidak ada kekuatan golongan PKI untuk mampu melawan TNI.[10] Saat itu, Abdoel Haris
Nasoetion dan Ahmad Yani (pasaca
PRRI/Permesta) dua tokoh militer paling popular. Lantas apakah ada yang iri dan
terhambat oleh dua tokoh militer yang tengah melambung namanya? Peristiwa G 30
S PKI yang menyebabkan putri Abdoel Haris Nasoetion adalah suatu peristiwa yang
masih gelap, segelap malam yang naas tersebut.
Dua musuh utama RI adalah pemberontakan dan
komunis. Kedua ancaman itu telah berhasil diredam KH Zainul Arifin Pohan dan
Abdoel Haris Nasoetion. Penyokong utama NKRI adalah KH Zainul Arifin Pohan. KH
Zainul Arifin Pohan adalah pertama Indonesia yang mencetuskan slogan ‘NKRI
Harga Mati’. Pengerem komunis adalah Abdoel Haris Nasoetion. Mereka berdualah
yang memulai tegaknya NKRI yang sekarang. KH Zainul Arifin Pohan pantas menjadi
Bapak NKRI dan Abdoel Haris Nasoetion menjadi Bapak Anti Komunis.
PRRI di Sumatera Tengah, khususnya di Sumatera Barat spesifiknya di Kota Padang, bukanlah peristiwa tunggal di Indonesia. Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Utara (Permesta). Pada saat yang sama gerakan serupa juga muncul di Jawa Barat, Jawa Timur dan Madura yang ingin otonomi. Jika mundur ke belakang peristiwa yang sama juga terjadi tahun 1953 di Atjeh, Sulawesi Selatan (termasuk Nusatenggara) dan Jawa Barat. KH Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion adalah faktor penting wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi NKRI (hingga sekarang). Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion tetap menjaga moral para pemimpin dan rakyat di wilayah-wilayah tersebut, karena musuh utama Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion hanyalah imperialis (Belanda) dan ideologi komunis (Uni Soviet).(Tunggu deskripsi lengkapnya)
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
___________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Penggunaan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak tepat karena 'istilah' yang dikenal masa itu ialah 'Pemerintah Pusat' dan 'Tentara Pusat' yang melakukan agresi ke daerah. Konflik yang terjadi masa itu ialah konflik antara daerah yang masih memegang teguh prinsip perjuangan kemerdekaan yang berbasis kerakyatan VS Pusat yang dikendalikan Komunis
[2] Banyak faktor dari munculnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), namun yang paling mengemuka ialah semakin dekatnya Pemerintah Pusat yang dikomandai Soekarno dengan Partai Komunis (PKI), semakin sentralistisnya pemerintahan sehingga memunculkan ketimpangan antara pusat dengan daerah, dan semakin condongnya arah pembentukan dan perkembangan negara ka satu Budaya yang dinilai dominan di republik baru itu. PRRI sendiri mengacu tidak hanya kepada Sumatera saja melainkan seluruh Indonesia. Tujuannya ialah mengganti pemerintahan Jakarta yang sudah tidak lagi mencerminkan pemerintahan rakyat atau pemerintahan kesatuan. Dimana hanya condong kepada satu kelompok, baik itu kelompok ideologi, ekonomi, maupun kelompok etnik.
[2] Pemerintah Pusat ketika itu semakin otoriter dan hubungan antara Soekarno dengan Partai Komunis semakin mesra (dekat). Hal ini berpengaruh di daerah dimana para komunis di daerah semakin radikal karena merasa dilindungi sebab alat kekuasaan sedang berada di tangan mereka.
[4] Beberapa ahli sejarah berpandangan bahwa PRRI sama sekali tidak menyangka Soekarno akan memerintahkan Penyerangan terhadap mereka. Karena dalam pandangan PRRI gerakan mereka ialah 'Gerakan Koreksi' bukan 'Pemisahan Diri'. Namun Soekarno faham watak orang Melayu yang sedang menentangnya itu 'Mereka arif di meja perundingan, namun payah di medan perang'. Melayu tidak memiliki tradisi Militeristik seperti halnya Jawa.
[5] Fakta baru tentang reaksi yang diperlihatkan Bung Hatta dan tanggapan Jenderal Nasution.
[6] 'Republik Indonesia kembali berdiri di Sumatra
Barat' suatu kalimat yang bias dan cenderung provokatif karena Sumatera Barat tidak pernah mengingkari dirinya yang merupakan bagian dari Republik Indonesia. Semenjak tulisan awal subjektifitas penulis yang cenderung kedaerahan sangat terasa dan tidak objektif dalam menganalisis dan menginterpretasikan [Yang merupakan bagian dari Metode Penulisan Sejarah] fakta-fakta yang ada. Opini yang ditanamkan dalam tulisan ini ialah Pemerintahan Pusat ialah NKRI sedangkan PRRI ialah daerah/pemberontak. Suatu pandangan yang selama ini ditanamkan oleh para sejartawan, politikus, ataupun ahli-ahli lain dalam melihat PRRI. PRRI ialah suatu bentuk usaha dari Anak-anak Revolusi menyelamatkan Republik Indonesia dari Tangan Komunis.
[7] Berasal dari Keluarga Muslim Angkola di Tapanali, murtad pada tahun 1931 ke Protestan dan terlibat dengan Partai Komunis. Lebih lanjut lihat: https://id.wikipedia.org
[8] Tampaknya masing-masing etnis (dalam hal ini Tapanuli & Minang) punya versi sendiri-sendiri tentang Tiga Tokoh Utama Perjuangan. Versi Tapanuli: Soekarno - Hatta - Amir Sjarifeoddin sedangkan versi Minangkabau (dan umum) ialaha Soekarno-Hatta-St.Sjahrir atau terkadang disebutkan empat dengan Haji Agus Salim.
[9] Penulis tidak konsisten dalam menilai PRRI, penilaian penulis pada paragraf pertama bertolak belakang dengan paragraf yang satu ini. Hendaknya dibaca kembali sejarah PRRI dan isi dari Maklumat Padang tanggal 10 Februari 1958.
[10] Sebaiknya pernyataan ini disertakan dengan lampiran referensi. Infiltirasi Komunis sudah sangat jauh ke dalam tubuh Militer Indonesia. Salah satu buktinya ialah mengganas dan menggilanya kelakuan anggota Kodam Diponegoro dan Siliwangi di Sumatera Barat dimana anggota Kodam Diponegoro telah banyak terpengaruh komunis.
[11]