Sejarah Kota Padang (23): PRRI, ‘Pertarungan Pemimpin Republik Indonesia’; Soekarno vs Hatta, Nasution vs Lubis

 Catatan oleh Agam van Minangkabau:

Sebenarnya semenjak tulisan pertama sudah terasa subjektifitas kedaerahan pengarang. Namun kami yakin bagi para pembaca yang sudah memiliki referensi sejarah dapat mengenali beberapa kejanggalan dan ketimpangan informasi yang terdapat pada tulisan ini. Namun dari pada itu, juga ditemukannya fakta-fakta sejarah yang menarik dan bagi kami sendiri terbilang baru. Sekali lagi, diperlukan kearifan dan kebijaksanaan pengarang dalam membaca tulisan-tulisan ini

Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
_________________________


Soekarno dan Hatta (Java-bode, 16-09-1957)
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) vs [Pemerintah Pusat] Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)[1] adalah sepenggal kisah buruk dalam perjalanan RI. PRRI boleh jadi mungkin tidak sungguh-sungguh ingin berperang secara revolusioner, karena bukan itu tujuannya.[2] NKRI juga boleh jadi mungkin tidak sungguh-sungguh ingin menyerang kubu PRRI secara membabi buta, karena bukan itu misinya.[3] Pemerintah RI mengutus tiga delegasi: Delegasi pertama dipimpin oleh Abdoel Haris Nasution. Delegasi kedua dipimpin oleh Eny Karim. Delegasi ketiga oleh Djoeanda dan Sanusi. Pemimpin PRRI 'kurang sepakat' dengan hasil perundingan tiga delegasi. Ultimatum RI juga tidak digubris PRRI. Presiden Soekarno ingin melakukan penyerangan. Pertama, Soekarno meminta M. Hatta persetujuan, M. Hatta menolak. Kedua, Soekarno memerintah Abdoel Haris Nasoetion menyerang, Abdoel Haris Nasoetion mendelegasikan kepada Achmad Yani. Foto Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-09-1957
Jend. Abdoel Haris Nasoetion (1958)
PRRI tetap mengusung nama RI. Jadi tidak ada maksud separatis (memisahkan diri). Pemerintahan PRRI adalah orang-orang Republik Indonesia yang menamakan dirinya revolusioner kontra orang-orang Republik Indoensia yang non revolusioner. Ini soal pandangan politik yang melihat inti permasalahan Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Namun, nasi sudah jadi bubur. Yang terjadi adalah lebih bernuansa penyerangan daripada peperangan. PRRI dan [Pemerintah Pusat] NKRI jelas tidak sebanding. Foto Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 05-04-1958).[4]
PRRI vs [Pemerintah Pusat] NKRI adalah lebih pada soal pertarungan para pemimpin Republik Indonesia. Kedua belah pihak tetap republiken. Jadi tidak ada yang kalah dan menang dalam konteks nation, yang ada adalah soal menang dan kalah dalam pertarungan politik Meski demikian, pertarungan kelompok pemimpin yang satu dengan kelompok pemimpin yang lainnya sempat membuat dua negara adikuasi, Amerika Serikat dan Uni Soviet wait and see dan dag dig dug.

Kol. Zulkifli Lubis (1956)
Bagi rakyat Indonesia (PRRI dan NKRI) tidak ada yang diuntungkan dalam permasalahan PRRI vs NKRI. Sebaliknya, justru yang dirugikan adalah seluruh rakyat Indonesia. Di Sumatra Tengah (yang menjadi arena konflik) penduduk dirugikan dengan korban materi dan meninggal. Di luar arena konflik rakyat akan turut menanggung biaya social karena pemerintah akan kesedot anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan. Padahal negara sudah dalam keadaan sekarat apalagi negara terus digerogoti oleh korupsi yang menjadi pangkal perkara. Yang diuntungkan adalah dua negara adikuasa. PRRI telah meminta bantuan Amerika Serikat dan [Pemerintah Pusat] NKRI telah meminta bantuan Uni Soviet. Foto Kolonel Zulkifli Lubis (Nieuwsblad van het Noorden, 21-11-1956)
Pertarungan politik yang terjadi adalah soal cara pandang bernegara antara Soekarno (Presiden) dan M. Hatta (Wakil Presiden). Pertarungan antara dua tokoh penting Republik Indonesia yang disebut Dwi Tunggal. Akhirnya, Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden mengundurkan diri tanggal 20 Juli 1956. Surat kabar Harian Rakyat memberikan komentar di kolom pojok: ‘Dwi Tunggal, tanggal tunggal tinggal tunggal’. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita lacak! [harap dicatat: untuk mengingatkan kembali, semua sember dalam artikel ini dapat diverifikasi pada surat kabar sejaman, karena itu urutan waktu sesuai kejadian. Namun tidak semua sumber disebutkan karena sudah disebut di artikel saya yang lain dalam blog ini].
Ir. Soekarno vs Drs. Muhamad Hatta

Tiga founding father RI yang memiliki guru yang sama (Parada Harahap) yakni Soekarno, Hatta dan Amir. Kini, trio itu telah tiada satu orang dan tinggal dua saja: Soekarno dan Hatta. Dua proklamator ini mendapat julukan dari masyarakat luas sebagai satu ikatan baru yang disebut Dwi Tunggal.
Trio Panglima RI
Mochtar Lubis mulai gerah dengan gaya politik Soekarno. Mochtar Lubis menulis di surat kabar Indonesia Raya, Soekarno bertanggungjawab atas kematian banyak penduduk Indonesia karena kerja rodi (romusha). Indonesia langsung heboh. Mochtar Lubis diminta melapor, Mochtar Lubis tidak menggubris Kejaksaan Agung. Mochtar Lubis beralasan kebebasan pers. Mochtar Lubis berargumen, faktanya Soekarno adalah pimpinan yang terkait dengan pengerahan romusha di era pendudukan Jepang. Lantas Mochtar Lubis dikejar. Muncul demonstrasi kebebasan pers. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion ikut berdemo di depan istana dengan meriam diarahkan ke istana…Tunggu deskripsi lengkapnya
Zainul Arifin Pohan vs Burhanuddin Harahap
Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, mantan Panglima Hizbullah, Zainul Arifin Pohan terjun ke dunia politik (Masjumi). Dalam perkembangannya, Zainul Arifin Pohan (ayah dari Baros, ibu dari Kotanopan) dapat menengahi antara Soekarno dan M. Hatta.
Pada tahun 1951 Zainul Arifin Pohan menjadi Ketua Komisi Pertahanan di parlemen. Masih di tahun yang sama Kolonel Abdoel Haris Nasoetion yang menjadi KASAD dan Zainul Arifin Pohan berada di dalam kapal perang, berkeliling Indonesia. Kota-kota pelabuhan yang disinggahi antara lain: Tandjoeng Pinang, Medan, Banda Atjeh, Sibolga dan Padang. Kita bisa bayangkan apa yang mereka bicarakan berhari-hari di tengah lautan: salah satu topic yang menarik tentang kampong halaman dan pesantren Musthafawiyah Purba Baru di Kotanopan. Di kota kecil inilah Abdoel Haris Nasoetion bersekolah di pesantren inilah Zainul Arifin Pohan ‘nyantri’.
Namun dalam perkembangan lebih lanjut, Soekarno mulai mendekati NU, lalu Zainul Arifin Pohan memisahkan NU dari Masjumi dan mulai membidani lahirnya Partai NU yang sekaligus menjadi ketuanya. Tokoh-tokoh NU mendukung inisiatif Zainul Arifin Pohan (1954). Meski demikian, hubungan Masjumi dan NU tetap baik-baik saja karena faktor kedekatan kampong halaman Burhanuddin Harahap (Pargaroetan) dan Zainul Arifin Pohan (Kotanopan)…Tunggu deskripsi lengkapnya
PM Burhanuddin Harahap vs PM Ali Sastroamidjojo
Jelang Pemilu 1955 terjadi mosi tidak percaya. Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI) jatuh dan sebagai Perdana Menteri, Ali digantikan oleh Burhanuddin Harahap (Masjumi). Dalam Pemilu 1955 Masjumi mendapat suara terbanyak, disusul PNI dan kemudian Partai NU.
PM Burhanuddin Harahap meminta menterinya Abdoel Hakim Harahap (mantan Residen Tapanoeli di era perang dan mantan Gubernur Sumatra Utara di era pasca pengakuan kedaulutan RI oleh Belanda) untuk mendamaikan para tentara dan memilih pemimpinya. Dalam pertemuan semua kolonel di Jogjakarta muncul dua kandidat utama: Kolonel Abdoel Haris Nasoetion dan Kolonel Zulkifli Lubis. Akhirnya yang terpilih adalah Abdoel Haris Nasoetion. Zulkifli Lubis tampaknya tidak puas, karena selama ini sangat dekat dengan Soekarno. Di lain pihak, Soekarno mau tak mau harus menerima (kembali) Abdoel Haris Nasoetion yang pernah ‘dirumahkannya’. Selama dirumahkan Abdoel Haris Nasoetion tekun ‘belajar’ dan berhasil menulis buku Pokok-Pokok Gerilya.
Dalam perkembangannya di parlemen terjadi koalisasi PNI dan Partai NU ‘menghantam’ Masjumi yang mengusulkan UU Korupsi. Kabinet Burhanuddin Harahap tumbang, Ali Sastroamidjojo kembali menjadi Perdana Menteri dan Zainul Arifin Pohan menjadi Wakil Pernana Menteri II.
Burhanuddin Harahap tidak puas, UU Korupsi tidak berhasil digolkan. Mochtar Lubis, pimpinan surat kabar Indonesia Raya  mulai mengangkat isu korupsi di tubuh kabinet yang mana Ali Sastroamidjojo habis-habisan membela menterinya yang diduga memperkaya diri dengan jalan korupsi. Mochtar Lubis mendapat dukungan dari Kolonel Zulkifli Lubis. Mochtar Lubis membuka front opini kepada Ali Sastroamidjojo dan Rosihan Anwar kepada Abdoel Haris Nasoetion. Kedua wartawan revolusioner ini mulai mendapat masalah…Tunggu deskripsi lengkapnya
Soekarno-Hatta Retak (Tunggu deskripsi lengkapnya)
Mayjen Abdoel Haris Nasoetion vs Kolonel Zulkifli Lubis
Jenderal Sudirman telah lama tiada, Jenderal TB Simatupang belum lama pension dini, dua anak buah, yang kebetulan berasal dari kampong yang sama di Kotanopan sudah menjadi pemimpin. Abdoel Haris Nasoetion dan Zulkifli Lubis bagaikan dua matahari di tubuh TNI tetapi memiliki haluan politik yang berbeda.
Kolonel Zulkifli Lubis mendapat amunisi baru, isu korupsi (di kabinet) dan penjegalan UU Anti Korupsi (di parlemen). Kolonel Zulkifli Lubis dengan para pengikutnya mulai menyusun rencana makar. Aksi percobaan kudeta yang dilancarkan oleh Zulkifli dan kawan-kawan terbongkar. Mayjen Abdoel Haris Nasoetion, KASAD mencak-mencak karena Zulkifli Lubis menghilang sudah dua pekan. Abdoel Haris Nasoetion meminta melapor dan mengultimatum dipecat karena dianggap indisipliner dan desersi.
Kolonel Zulkifli Lubis mendukung dua anak buah: Kolonel Maludin Simbolon dan Letkol Achmad Husein. Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion didukung dua anak buah: Kolonel Achmad Yani dan Letkol Djamin Ginting.
Letkol Achmad Husein di Padang melakukan ‘perlawanan’ ke pusat dengan mengangkat isu ketimpangan pembangunan daerah. Kolonel Maludin Simbolon di Medan melakukan percobaan kudeta. Abdoel Haris Nasoetion meminta Letkol Djamin Ginting menangkap Maludin Simbolon, tetapi rencananya bocor dan Maludin Simbolon menghilang dan diduga melarikan diri ke Padang (menemui koleganya Letkol Ahmad Husein).
Abdoel Haris Nasoetion terbang ke Medan untuk meredam situasi yang mulai menghangat. Situasi dapat tenang dan mengangkat Djamin Ginting untuk menggantikan posisi Kolonel Maludin Simbolan. Dari Sumatra Tengah, Kalimantan dan Sulawesi muncul protes terhadap pengangkatan Djamin Ginting. Abdoel Haris Nasoetion mulai paham siapa kawan dan siapa lawan.
Atas petunjukk Presiden Soekarno, Mayjen Abdoel Haris Nasoetion dari Medan terbang ke Padang untuk menggali informasi dan melakukan upaya normalisasi dengan berbagai pihak termasuk Letkol Achmad Husein. Abdoel Haris Nasoetion kembali ke Jakarta dengan hasil sukses di Medan dan tanpa hasil di Padang.
Dari Jakarta Mayjen Abdoel Haris Nasoetion mendapat laporan kesetiaan dari Kolonel Barlian di Palembang dan situasi dan kodisi cukup kondisif di Sumatra Selatan setelah peristiwa yang terjadi di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Abdoel Haris Nasoetion mengumpulkan semua perwira tinggi di Palembang. Letkol Achmad Husein tidak bisa hadir karena alasan sakit. Sedangkan Kolonel Maludin Simbolon ternyata hadir tetapi tidak bersedia hadir di rapat perwira se-Sumatra itu.  Maludin Simbolon meminta pertemuan informal saja dengan Mayjen Abdoel Haris Nasoetion. Letkol Maraden Panggabean yang ikut hadir dalam rapat perwira itu mengabarkan Kolonel Maludin Simbolon menginap di rumahnya di Palembang.…Tunggu deskripsi lengkapnya
Mayjen Abdoel Haris Nasoetion vs M. Hatta
Abdoel Haris Nasoetion yang selama ini kalem dan lebih proporsional mulai gerah menghadapi situasi yang terus berkembang. Antara Soekarno dan Hatta terus meruncing. Abdoel Haris Nasoetion yang selama ini ikut menahan diri, karena menghormati teman-temanya yang juga ikut mendukung dan sebagian berada di dalam arena pertempuran PRRI. Abdoel Haris Nasoetion mulai paham maksud Soekarno: Nasionalis vs imperialis lebih penting daripada sekadar hanya persoalan antara pusat (Jawa) vs daerah (PRRI) dan antara politisi dengan politisi lainnya. Abdoel Haris Nasoetion di satu sisi yang sangat menghormati M. Hatta mencoba mengerem ‘perang’, dan di sisi lain . Abdoel Haris Nasoetion sebagai penerima perintah dari negara untuk menyerang mencoba menahan dengan taktik menghindari pertempuran. Abdoel Haris Nasoetion tetap berada diantara dua tokoh penting.
M. Hatta lambat laun ikut memprovokasi: ‘orang-orang kami bahkan lebih miskin dari sebelumnya’. Mungkin statement ini muncul karena ia seorang ekonom sejati. Di lain pihak, Nasution mulai bereaksi sebagai seorang militer sejati, dengan sedikit marah: ‘Irian masih di bawah tumit Belanda. Pemerintah revolusioner di Sumatera Tengah dan gerakan pemberontak di Sulawesi Utara menurut Soekarno adalah penyakit yang harus diberantas’ (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 20-05-1958).[5]
Jenderal Abdoel Haris Nasoetion yang mulai menyingsingkan lengan baju ingin segera menuntaskan persoalan territorial di Sumatra Tengah. Namun di lapangan hal itu harus ditunda sejenak. Nasution memerintahkan pasukan ikut solidaritas adanya demonstrasi di berbagai kota besar. Tindakan Nasution menjadi kejutan dan sedikit pujian.
Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 31-07-1958: ‘Serangan baru pada Bukittinggi. Untuk kedua kalinya dalam waktu seminggu pemberontak di Sumatera bagian tengah (PRRI) melakukan perlawanan di Bukittinggi, eks kursi (kedudukan) dari pemerintahan Sjafroeddin (Prawiranegara). Tapi mereka dipukuli kembali oleh pasukan pemerintah, menurut pernyataan dari markas militer di Jakarta. Kali ini para pemberontak melakukan serangan simultan pada Batoesangkar, empat puluh kilometer selatan dari Bukittinggi. Mereka berhasil menembus Passar utama kota ini. Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia, Jenderal Nasution, beralasan sedikit dikendorkan hal ini terjadi karena adanya aksi solidaritas, pertemuan massa Indonesia untuk tujuan ini, yang akan diadakan di semua kota besar di Indonesia yang mana pertempuran dibatalkan (ditunda?) di Sumatra Tengah.. Pelarangan yang datang dari Kepala Staf (KASAD Abdoel Haris Nsoetion) dianggap sebagai kejutan besar’.
Mayjen Abdoel Haris Nasoetion vs Kolonel Maludin Simbolon

Kolonel Maludin Simbolon meski secara ex-officio adalah Menteri Luar Negeri PRRI tetapi secara defacto adalah lebih banyak menjalankan fungsi pertahanan dibandingkan dengan Burhanuddin Harahap. Boleh jadi Mayjen Abdoel Haris Nasoetion melihat situasi dan kondisi baru (fase kedua) sebagai pertarungan politik antara Soekarno/Djoeanda vs Hatta/Safroeddin Prawiranegara dan juga sebagai pertarungan yang bersifat politis di lapangan militer antara Nasoetion dan Simbolon.
Dalam perkembangan berikutnya, Maludin Simbolon mulai was-was. Maludin Simbolon yang dikutip surat kabar mengatakan ‘Masih ada harapan’…’ Meski (kota) Padang jatuh masih ada (kota) Bukittingi’. Rasa pesimistis Simbolon yang muncul dalam hal ini boleh jadi karena sudah kehilangan kontak dengan Zulkifli Lubis yang tidak diketahui rimbanya. Percobaan kudeta Zulkifli Lubis di pusat adalah inspirasi bagi Maludin Simbolon untuk melakukan percobaan kudeta di Sumatra Utara. Setelah percobaan kudeta di pusat, Zulkifli Lubis benar-benar tidak diketahui berada dimana. Pada nantinya (pasca PRRI) diketahui posisi Zulkifli Lubis memang tidak tengah berada di Sumatra Tengah tetapi justru berdiam (pasrah) di kampungnya di Kotanopan setelah menghilang dari Jakarta (setelah ultimatum Abdoel Haris Nasoetion). Mungkin sinyal ini sudah diketahui oleh Abdoel Haris Nasoetion, sebab ketika Abdoel Haris Nasoetion mengetahui ada penempatan tentara pusat di Tapanoeli sebanyak 2.000 orang, Abdoel Haris Nasoetion memerintahkan untuk ditarik ke tempat lain. Abdoel Haris Nasoetion beralasan ada sebanyak 1.200 tentara PRRI di Tapanuli dan takut bentrok (di kampong halamannya sendiri). Zulkifli Lubis dalam hal ini pintar memilih untuk menghilang ke kampong halaman. Pertama, Zulkifli Lubis tidak merasa aman berada di Sumatra Tengah karena takut dengan keberadaan spionase pusat. Kedua, Zulkifli Lubis berpikir bahwa Abdoel Haris Nasoetion tidak akan menempatkan pasukan pusat di Tapanoeli yang memungkinkan keberadaannya diketahui. Ketiga, Abdoel Haris Nasoetion tidak menginginkan ada pertumpahan darah di kampungnya di Kotanopan. Keempat, Abdoel Haris Nasoetion secara taktik perang (gerilya) menduga Zulkifli Lubis bersembunyi di Kotanopan dan hanya kampong halanan yang mampu melindungi Zulkifli Lubis. Pertarungan antara Abdoel Haris Nasoetion dan Zulkifli Lubis dalam hal ini menjadi bagaikan ‘game theory’ yang satu sama lain mengetahui hati masing-masing lawan meski tengah berlangsung kompetisi yang ketat (perang). Jago Gerilya dan Jago Intelijen dalam hal ini saling mengeluarkan jurus pamungkas masing-masing. Seperti dakwaan terhadap Zulkifli Lubis di pengadilan (nanti): ‘mengapa berada di Tapanoeli’, Zulkifli Lubis menjawab enteng: ‘saya lagi pulang kampong (bertapa di tengah sanak keluarga)’.
Secara teknis perjuangan PRRI antara fase pertama dengan fase kedua telah bergeser. Itu semua terjadi karena eskalasi politik yang dilancarkan dari pusat maupun dari daerah yang pada akhirnya menjadi tidak terkendali (lagi). Imbasnya juga terjadi diantara petinggi militer.
Kabinet PRRI (1958)
Peran Burhanudin Harahap semakin kecil dalam situasi yang semakin genting. Peran pertahanan dan keamanan sudah lebih banyak diperankan Maludin Simbolon. Sebagaimana diketahui, Burhanuddin Harahap berperan penting ketika menjabat PM untuk menyatukan semua tentara dengan mengisi kekosongan pimpinan yang lalu kemudian Abdoel Haris Nasoetion terpilih sebagai KASAD. Sementara Mr. Egon Hakim yang awalnya duduk sebagai Ketua Koordinator Keuangan PRRI tidak lagi munculnya namanya dan tidak terdapat dalam susunan kabinet PRRI. Sedangkan Kolonel Zulkifli Lubis tidak terdengar lagi kabar beritanya.
Kini, Abdoel Haris Nasoetion berada di antara dua kekuatan (Amerika Serikat dan Uni Soviet), dua politisi (Soekarno dan Hatta) dan dua kubu tentara (Maludin Simbolon dan Ahmad Yani). Satu berita yang di konfirmasi di Belanda, bahwa Washington mulai khawatir (meski membantu PRRI) dan kemenangan tidak mungkin diraih, sementara Washington sangat khwatir Indonesia jatuh ke tangan komunis (Uni Soviet). Washington tinggal berharap kepada Jenderal Nasution agar mampu mencegah tidak sampai Indonesia menjadi komunis.
De Telegraaf, 06-06-1958
De Telegraaf, 06-06-1958: Washington neemt een ‘berekenend risico’ Indoenisie-Plitiek van de vs, is ‘Om’. Men stelt hoop nu op Nasoetion. Washington sekali lagi berpaling ke arah politik Indonesia. Untuk saat ini, Departemen Luar Negeri (Amerika Serikat) memutuskan untuk menempatkan semuanya kembali pada peta pemerintah di Jakarta. Itu salah satu dari mereka ‘perhitungan risiko’ dimana suatu keadaan diplomasi harus disimpan. Karena kegagalan para pemberontak Indonesia (PRRI) adalah kuda Washington yang ingin bertaruh dan kini lebih suka pergi keluar dari balapan. Ini terkait dengan ini terutama harapannya kepada Kepala Staf (KASAD) Jenderal Nasution, yang diyakini Washington, akan mampu mencegah secara keseluruhan Presiden Soekarno tergelincir ke kamp komunis’.
Dengan demikian, boleh jadi Amerika Serikat mulai kendor mendukung PRRI, sementara Uni Soviet terus mendukung RI. Keadaan ini membuat Amerika Serikat dalam keadaan dilematis. Namun Amerika ‘tetap berdoa’ agar Nasution yang pada dasarnya netral antara RI vs PRRI (menurut Washington)  dapat mencegah Soekarno membuat Indonesia menjadi komunis. Hal ini juga sangat dipahami oleh Abdoel Haris Nasoetion, karena Nasoetion tampak semakin ingin menyelesaikan (meredam) segera PRRI dan lebih fokus kepada dua isu besar (yang telah ditinggalkan oleh para politisi: bahaya komunis (Uni Soviet) dan ganjalan di Papua (Belanda).
Dalam posisi seperti ini, Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menanggung sendiri beban yang timbul antara pertikaian antara pusat (RI) dan daerah (PRRI). Di sinilah Abdoel Haris Nasoetion mempertaruhkan dirinya untuk tetap menjaga kedaulatan NKRI. Abdoel Haris Nasoetion dapat mencegah infiltrasi komunis dan juga dapat mengenyahkan imperialis Belanda dari tanah Papua. Figur Maludin Simbolan dengan sendirinya yang ingin mempertahankan misi PRRI menjadi terkesan sumbang.

Padang Jatuh, Bukittinggi Juga Jatuh (Tunggu deskripsi lengkapnya)
Dana Masyarakat dan Tuduhan Kepada Hatta  (Tunggu deskripsi lengkapnya)
Ir. Soekarno dan Mr. Arifin Harahap
Trio Orde Lama (1945)
PRRI pada akhirnya berhasil diredam. Sempat dikhwatirkan Republik Indonesia juga berganti menjadi Republik Rakyat Indonesia. Namun Republik Indonesia tetap kuat dan Republik Indonesia kembali berdiri di Sumatra Barat.[6]
Kini, Soekarno tinggal sendirian diantara tiga founding father RI. Memang Soekarno masih mengandalkan Abdoel Haris Nasoetion dan M. Yamin di lingkaran satu untuk tetap menjaga hubungan baik Jakarta dengan Sumatra Tengah dan Tapanoeli. Di parlemen masih ada Zainul Arifin Pohan. Mungkin, Soekarno teringat Amir Sjarifoeddin[7] saat mana Dwi Tunggal tanggal tunggal tinggal tunggal. Soekarno memanggil Arifin Harahap untuk duduk di kabinet.
Daftar Menteri Perdagangan RI
Arifin Harahap selama ini rezim Soekarno, menjabat sebagai menteri selama tujuh tahun (1959-1966) dalam tujuh kabinet yang berbeda. Suatu waktu yang terbilang cukup lama di era Orde Lama. Selama tujuh tahun dalam tujuh kabinet Era Sukarno, Mr. Arifin Harahap telah menjabat Menteri Muda Perdagangan, Menteri Urusan Anggaran Negara dan Wakil Menteri Bank Sentral (Bank Indonesia). Di era orde baru (Rezim Soeharto), pada tahun 1969 Mr. Arifin Harahap diangkat menjadi Duta Besar untuk Aldjazair. Nama Arifin Harahap muncul tahun 1946 ketika rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Jogjakarta. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi [Penerangan] dan Kementerian Perhubungan. Dalam rombongan ini termasuk Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946). Arifin Harahap adalah adik kandung Amir Sjarifoeddin. Arifin Harahap ternyata sangat sukses dengan ekonomi luar negeri Indonesia, karena itu di dalam kabinet Arifin Harahap cukup lama.
Trio Orde Baru
Tidak lama setelah Arifin Harahap, Soekarno juga kemudian memanggil Adam Malik untuk duduk di kabinet. Pada masa transisi dari rezim Soekarno (orde lama) ke rezim Soeharto (orde baru) Adam Malik adalah salah satu dari trio pendiri rezim Soeharto. Trio baru ini seakan mengulang kembali trio lama, tiga founding father (Soekarno. Hatta dan Amir).[8] Trio Lama (Sukarno, Hatta, Amir) telah digantikan oleh Trio Baru (Suharto, Sultan, Adam). Di dalam rezim Soeharto, Adam Malik sangat powerfull hingga menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Ini mengindikasikan bahwa wakil presiden RI pernah dijabat oleh dua putra terbaik Indonesia dari Sumatra, yakni Mohamad Hatta (Sumatra Barat) dan Adam Malik Batubara (Tapanuli Selatan).
Kabinet pertama dan kabinet terakhir Soekarno
Jika dibandingkan dengan awal karir Soekarno di pemerintahan (pasca proklamasi kemerdekaan) hingga berakhirnya kekuasaannya selama 20 tahun pada tahun 1966 kontribusi tokoh-tokoh dari Sumatra Barat dan dari Tapanuli Selatan sudah sangat banyak. Daftar ini akan semakin panjang jika dimasukkan tokoh-tokoh sebelum kemerdekaan.
Pada rezim Soekarno, pada kabinet pertama (1945) terdapat enam tokoh Sumatra, tiga dari Sumatra Barat dan tiga dari Tapanuli Selatan. Dari Sumatra Barat adalah M. Hatta, Soetan Sjahrir dan Mohammad Natsir. Dari Tapanoeli Selatan terdapat Amir Sjarifoeddin, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia dan Abdoel Moerad Nasoetion (abang dari SM Amin Nasoetion, Gubernur Sumatra Utara)., 
Jika pada awal pemerintahan Soekarno ada Amir Sjarifoeddin, maka pada akhir pemerintahan Soekarno ada Arifin Harahap. Amir Sjarifoeddin orang yang jelas-jelas tidak mau kompromi dengan Jepang menjadi korban yang dikorbankan. Soekarno mengoreksi kekeliruan tersebut dengan merangkul adiknya, Arifin Harahap menjadi menterinya. Arifin Harahap adalah tokoh penting Indonesia yang diterima oleh Soekarno (rezim orde lama) dan juga diterima oleh Soeharto (rezim orde baru). Arifin Harahap dengan sendirinya telah mengangkat kembali harkat keluarga, nama keluarga yang pernah dicermarkan. (Tunggu deskripsi lengkapnya)
KH Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion
Di era perang kemerdekaan, KH Zainul Arifin Pohan,  Panglima Hizbulloh di Jawa Barat dan Abdoel Haris Nasoetion, Panglima TNI di Jawa Barat. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda,  KH Zainul Arifin Pohan yang menjadi Ketua komisi pertahanan di parlemen dan Abdoel Haris Nasoetion yang menjadi KASAD berdiri tegak di kapal perang RI pada tahun 1951 saat mereka berdua mengelilingi nusantara untuk menunjukkan Indonesia sudah berdaulat baik di daratan maupun di lautan.
Setelah semua tugas negara ditunaikan dalam pemberontakan dan infiltrasi komunis, di masa damai KH Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion menjadi sasaran tembak. KH Zainul Arifin Pohan tertembak (1963) ketika pemberontak coba menembak Soekarno namun yang terkena adalah KH Zainul Arifin Pohan. Lalu 10 bulan kemudian meninggal. Abdoel Haris Nasoetion diserang di rumahnya, putri bungsunya terkena tembakan dan meninggal pada peristiwa G 30 S PKI tahun 1965.
KH Zainul Arifin Pohan sangat konsen NKRI. Abdoel Haris Nasoetion sangat anti komunis. Ancaman NKRI adalah separatis (munculnya pemberontakan) dan komunis. KH Zainul Arifin Pohan telah berhasil meredakan pemberontakan di Atjeh (Daud Bereureuh), di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara (Kahar Moezakkar) dan di Jawa Barat (Karto Suwiryo), Abdoel Haris Nasoetion berhasil mencegah percobaan kudeta di Jakarta (Zulkifli Lubis) dan di Medan (Maludin Simbolon). Abdoel Haris Nasoetion kecolongan di Sumatra Tengah, setelah Ahmad Husein melakukan kudeta yang kemudian munculnya PRRI.[9] Dengan 'kekuatan', gerakan PRRI ini akhirnya berhasil diredam pemerintah [Pusat]RI. Di pusat kekuatan di Jakarta, Abdoel Haris Nasoetion berhasil mengerem laju komunis namun Abdoel Haris Nasoetion tak terduga harus jadi korban, padahal saat itu tidak ada kekuatan golongan PKI untuk mampu melawan TNI.[10] Saat itu, Abdoel Haris Nasoetion dan Ahmad Yani  (pasaca PRRI/Permesta) dua tokoh militer paling popular. Lantas apakah ada yang iri dan terhambat oleh dua tokoh militer yang tengah melambung namanya? Peristiwa G 30 S PKI yang menyebabkan putri Abdoel Haris Nasoetion adalah suatu peristiwa yang masih gelap, segelap malam yang naas tersebut.
Dua musuh utama RI adalah pemberontakan dan komunis. Kedua ancaman itu telah berhasil diredam KH Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion. Penyokong utama NKRI adalah KH Zainul Arifin Pohan. KH Zainul Arifin Pohan adalah pertama Indonesia yang mencetuskan slogan ‘NKRI Harga Mati’. Pengerem komunis adalah Abdoel Haris Nasoetion. Mereka berdualah yang memulai tegaknya NKRI yang sekarang. KH Zainul Arifin Pohan pantas menjadi Bapak NKRI dan Abdoel Haris Nasoetion menjadi Bapak Anti Komunis.
PRRI di Sumatera Tengah, khususnya di Sumatera Barat spesifiknya di Kota Padang, bukanlah peristiwa tunggal di Indonesia. Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Utara (Permesta). Pada saat yang sama gerakan serupa juga muncul di Jawa Barat, Jawa Timur dan Madura yang ingin otonomi. Jika mundur ke belakang  peristiwa yang sama juga terjadi tahun 1953 di Atjeh, Sulawesi Selatan (termasuk Nusatenggara) dan Jawa Barat. KH Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion adalah faktor penting wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi NKRI (hingga sekarang). Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion tetap menjaga moral para pemimpin dan rakyat di wilayah-wilayah tersebut, karena musuh utama Zainul Arifin Pohan dan Abdoel Haris Nasoetion hanyalah imperialis (Belanda) dan ideologi komunis (Uni Soviet).(Tunggu deskripsi lengkapnya)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
 
___________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
 
[1]  Penggunaan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak tepat karena 'istilah'  yang dikenal masa itu ialah 'Pemerintah Pusat' dan 'Tentara Pusat' yang melakukan agresi ke daerah. Konflik yang terjadi masa itu ialah konflik antara daerah yang masih memegang teguh prinsip perjuangan kemerdekaan yang berbasis kerakyatan VS Pusat yang dikendalikan Komunis
 
[2] Banyak faktor dari munculnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), namun yang paling mengemuka ialah semakin dekatnya Pemerintah Pusat yang dikomandai Soekarno dengan Partai Komunis (PKI), semakin sentralistisnya pemerintahan sehingga memunculkan ketimpangan antara pusat dengan daerah, dan semakin condongnya arah pembentukan dan perkembangan negara ka satu Budaya yang dinilai dominan di republik baru itu. PRRI sendiri mengacu tidak hanya kepada Sumatera saja melainkan seluruh Indonesia. Tujuannya ialah mengganti pemerintahan Jakarta yang sudah tidak lagi mencerminkan pemerintahan rakyat atau pemerintahan kesatuan. Dimana hanya condong kepada satu kelompok, baik itu kelompok ideologi, ekonomi, maupun kelompok etnik.
 
[2]  Pemerintah Pusat ketika itu semakin otoriter dan hubungan antara Soekarno dengan Partai Komunis semakin mesra (dekat). Hal ini berpengaruh di daerah dimana para komunis di daerah semakin radikal karena merasa dilindungi sebab alat kekuasaan sedang berada di tangan mereka.
 
[4] Beberapa ahli sejarah berpandangan bahwa PRRI sama sekali tidak menyangka Soekarno akan memerintahkan Penyerangan terhadap mereka. Karena dalam pandangan PRRI gerakan mereka ialah 'Gerakan Koreksi' bukan 'Pemisahan Diri'. Namun Soekarno faham watak orang Melayu yang sedang menentangnya itu 'Mereka arif di meja perundingan, namun payah di medan perang'. Melayu tidak memiliki tradisi Militeristik seperti halnya Jawa.
 
[5] Fakta baru tentang reaksi yang diperlihatkan Bung Hatta dan tanggapan Jenderal Nasution.
 
[6] 'Republik Indonesia kembali berdiri di Sumatra Barat' suatu kalimat yang bias dan cenderung provokatif karena Sumatera Barat tidak pernah mengingkari dirinya yang merupakan bagian dari Republik Indonesia. Semenjak tulisan awal subjektifitas penulis yang cenderung kedaerahan sangat terasa dan tidak objektif dalam menganalisis dan menginterpretasikan [Yang merupakan bagian dari Metode Penulisan Sejarah] fakta-fakta yang ada. Opini yang ditanamkan dalam tulisan ini ialah Pemerintahan Pusat ialah NKRI sedangkan PRRI ialah daerah/pemberontak. Suatu pandangan yang selama ini ditanamkan oleh para sejartawan, politikus, ataupun ahli-ahli lain dalam melihat PRRI. PRRI ialah suatu bentuk usaha dari Anak-anak Revolusi menyelamatkan Republik Indonesia dari Tangan Komunis.
 
[7] Berasal dari Keluarga Muslim Angkola di Tapanali, murtad pada tahun 1931 ke Protestan dan terlibat dengan Partai Komunis. Lebih lanjut lihat: https://id.wikipedia.org
 
[8]  Tampaknya masing-masing etnis (dalam hal ini Tapanuli & Minang) punya versi sendiri-sendiri tentang Tiga Tokoh Utama Perjuangan. Versi Tapanuli: Soekarno - Hatta - Amir Sjarifeoddin sedangkan versi Minangkabau (dan umum) ialaha Soekarno-Hatta-St.Sjahrir atau terkadang disebutkan empat dengan Haji Agus Salim.
 
[9] Penulis tidak konsisten dalam menilai PRRI, penilaian penulis pada paragraf pertama bertolak belakang dengan paragraf yang satu ini. Hendaknya dibaca kembali sejarah PRRI dan isi dari Maklumat Padang tanggal 10 Februari 1958.
 
[10] Sebaiknya pernyataan ini disertakan dengan lampiran referensi. Infiltirasi Komunis sudah sangat jauh ke dalam tubuh Militer Indonesia. Salah satu buktinya ialah mengganas dan menggilanya kelakuan anggota Kodam Diponegoro dan Siliwangi di Sumatera Barat dimana anggota Kodam Diponegoro telah banyak terpengaruh komunis. 
 
[11] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar