Catatan oleh Agam van Minangkabau:
Sekali lagi kami menyarankan agar pembaca berhati-hati dan arif dalam memaknai apa yang disampaikan penulis. Kami kagum dengan kekayaan sumber kolonial namun rendah dalam hal sumber pribumi serta kurangnya pemahaman tentang Sejarah, Adat & Budaya Minangkabau. Hendaknya pembaca dapat menyikapi dengan kritis.
__________________________
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
_________________________
Sumatra’s
Westkust [Pantai Barat Sumatera] adalah satu-satunya yang berstatus provinsi di Sumatra. Ibukota
Province Sumatra’s Westkust adalah Kota Padang dimana Gubernur sejak 1834
berkedudukan. Dalam fase permulaan provinsi ini, Province Sumatra’s Westkust
memiliki tiga residentie: Padangsche Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan
Bengcoelen. Satu residentie yang sudah terbentuk lama adalah Residentie
Palembang en Banca (termasuk Lampong).
Rumah pemimpin lokal di Padang (1870) |
Gubernur Province Sumatra’s Westkust yang
pertama (1834) adalah Kolonel AV Michiels. Di jajaran pemerintahan di Province
Sumatra’s Westkust posisi pemimpin lokal tertinggi adalah Soetan Iskandar
sebagai Resident van Padang. Jabatan ini sebelumnya dipegang
oleh Soetan Mansoer Alam Shah (tokoh yang dikaitkan dengan aristokrasi
Pagarroejoeng). Untuk regent van Pagarroejoeng dipegang oleh Soetan Alam
Bagagar Shah (yang diangkat Belanda untuk menggantikan Moening Shah, radja
terakhir Pagarroejoeng). Pemerintah Hindia Belanda sendiri di Batavia akan copy
paste system pemerintahan lokal yang sudah berhasil diterapkan di Preanger
(Preanger Regentshappen yang dikoordinasikan oleh regent van Bandoeng sebagai
hoofd regent).
Pada tahun 1832 Regent van Padang ditiadakan, sementara Soetan Ahamd Shah diangkat sebagai
Regent van Indrapoera. Sebagai pengganti regent van Padang diangkat Toeankoe
Panglima dan Toeankoe Bandahara. Yang diangkat sebagai Toeankoe Panglima adalah
Marah Indra sedang Toeankoe Bandahara adalah Soetan Iskandar. Penghilangan
fungsi Regent van Padang ini diduga terkait dengan eskalasi politik yang terus
berkembang di Padangsch Bevenlanden (di bawah regent van Pagaroejoeng, Soetan
Alam Bagagar Shah). Pada tahun 1833, fungsi regent van Pagarroejoeng
dihilangkan karena Soetan Alam Bagagar Shah diduga tidak koperatif terhadap
pemerintah.[1]
Dengan
diangkatnya Soetan Iskandar sebagai Regent van Padang berarti Soetan Iskandar
mengalami promosi dari Toeankoe Bandahara menjadi Toeankoe Panglima sekaligus
Regent van Padang (yang difungsikan kembali). Sedangkan Toeankoe Panglima yang
sebelumnya Marah Indra diberhentikan, Untuk Toenkoe Bandahara diangkat orang
yang lain.
Soetan Iskandar,
Regent van Padang
Siapa
Soetan Iskandar tidak terlalu
jelas. Soetan Iskandar adalah tokoh pribumi yang terpenting, individu yang
ditokohkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana nantinya di tempat
lain, seperti di Deli, Sultan Amaluddin Mangendar dan di Preanger, Bupati Bandoeng
Raden Adipati Nata Koesoema.[2]
Jabatan Regent di Padang ini, yang telah menggantikan
kedudukan Radja dari Pagarroejoeng diperlukan Belanda untuk menjadi partner
dalam memulai menjalankan sistem pemerintahan yang baru. Perubahan struktur
pemerintahan lokal di Padang ini dianggap telah kondusif bagi Belanda untuk
memulai babak baru praktek kolonial.
Besluit, Augustus 1843, No.39 |
Soetan Iskandar cukup lama untuk memegang
jabatan Regent van Padang. Sementara regent yang lain sudah sejak lama dihapus
seperti di Pagarroejoeng, Pariaman dan Indrapoera. Posisi regent van Padang
masih dijabat Soetan Iskandar saat Gubernur AV Michiels diganti dengan gubernur
baru pada tahun 1849.
Soetan Iskandar sebagai Regent van Padang masih tetap
eksis ketika tahun 1865 di Sumatra’s Oostkust, Sultan Deli diangkat sebagai
bagian dari pemerintahan. Usia jabatan Soetan Iskandar hampir setua Regent van
Bandoeng yang bermula tahun 1829 dan masih eksis hingga sekarang. Bedanya, Regent
van Bandoeng Raden Adipati Nata Koesoema Hoofd Regent Preanger yang secara
teknis ‘membawahi’ tiga regent yang lain (Tjiandjoer, Sumadang dan Garoet/Soekapoera).
Sultan Deli dan Regent van Bandoeng masih terlihat perannya yang cukup besar
sebagai partner pemerintah.
Administrasi Province Sumatra’s Westkust
Pada tahun 1865, Sumatra’s Westkust sebagai
satu-satunya provinsi di luar Jawa, seiring dengan pembentukan pemerintah di
Sumatra’s Oostkust (yang beribukota Bengkalis) terjadi perubahan struktur administrasi
wilayah dan sistem pemerintahan.
Pada tahun 1840 Residentie Bengkoelen dipisahkan dari
Province Sumatra’s Westkust. Sebagai pengantinya dibentuk Residentie Air
Bangies (termasuk afdeeling Natal dan afdeeling Mandailing en Ankola) dan
kemudian disusul dibentuknya Residentie Tapanoeli. Namun pada tahun 1845
Residentie Air Bangies dihapus yang mana Afddeling Mandailing en Ankola yang
disusul kemudian afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Sementara
afdeeling Rao dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden (kemudian
dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden). Sedangkan afdeeling Air
Bangies dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden. Sejak itu, Province
Sumatra’s Westkust tidak berubah lagi hingga waktu yang lama (hingga nanti
1905) yang terdiri dari tiga residentie: Padangsche Benelanden, Padangsche
Bovenlanden dan Tapanoeli. Yang terjadi adalah pemekaran atau penggabungan pada
wilayah-wilayah yang lebih rendah.
Berdasarkan Staatsblad No. 104 Tahun 1864,
Province Sumatra’s Westkust yang terdiri dari tiga residentie: Padangsche
Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli, secara administratif adalah
sebagai berikut:
Residentie Padangsche Benedenlanden terdiri dari empat afdeeling;
Рadang, Ajer Bangis en Rau, Príaman dan Раinan (Air Hadji). Residentie Padangsche Bovenlanden
terdiri dari lima afdeeling: Again., Tanah Datar, Limapoeloeh Kota, XIII en IX Kоta,
dan Batipoe en Х Коta. Residentie Tapanoeli terdiri dari tiga afdeeling:
Sibolga en ommelanden, Mandailing en Angkola, dan Natal.
Afdeeling Padang en Ommelanden terdiri dari
dua onder-afdeeling, yakni: Hoofdplaats Padang yang meliputi Mentawai-eilanden (Si
Beroet, Si Parah, Noord Paggi, Zuid Paggi dan kleine of Kasau-eilanden); dan Ommelanden
van Padang yang meliputi district Pau V, Pau 1X, Nanggalo. Kota Tengah,
Boengoes, Loeboe Kilangan, Limou Manis dan Kasau.
Di Ajer Bangies en Rao dibagi ke dalam empat
onderafdeeling yang masing-masing dibagi ke dalam beberapa laras. Pariaman terdiri
tiga onderafdeling yang masing-masing terdiri dari sejumlah laras. Раinan
terdiri empat distrikten, Air Hadji dibagi ke dalam tujuh nagari dan Indrapoera
ke dalam empat lanschappen. Dengan perbedaan jenis administrasi, sistem pemerintahan
yang ada juga berbeda-beda. Catatan: Di Padangsche Bovenlanden dibagi ke dalam
beberapa onderafdeeling yang masing-masing terdiri dari sejumlah laras.
Sedangkan di Tapanoeli dibagi ke dalam beberapa onderafdeeling yang
masing-masing terdiri dari sejumlah Koeria (setingkat distrikt).
Residentie Padangsche Benedenlanden yang
terdiri dari empat afdeeling hanya dipimpin masing-masing oleh seorang Asisten
Residen, Secara teknis Province Sumatra’s Westkust hanya terdapat dua Resident
(di Sibolga dan di Fort de Kock).
Suksesi Soetan Iskandar
Di Afdeeling Padang en Ommelanden, Asisten
Residen langsung memimpin di onder afdeeling Hoofdplaats Padang, sedangkan di
onder afdeeling Ommelanden van Padang dipimpin oleh seorang Controleur. Asisten
Residen sendiri membawahi Controleur.
Oleh karena Kota Padang adalah kota melting
pot (dan daerah-daerah sekitarnya) yang terdiri dari beragam suku bangsa,
Asisten Residen yang dibantu Controleur juga didampingi pemimpin lokal yakni
Regent van Padang, yang dalam hal ini Soetan Iskandar. Sementara untuk warga
lainnya, Asisten Residen dibantu oleh Kapitein dan Letnan Chinezen, serta
Kapitein dan Letnan dari warga lainnya. Yang menjadi Kapitein warga lainnya
adalah Dr. Dorie.
Dr. Dorie adalah alumni Docter Djawa School. Dia terdaftar
sebagai mahasiswa Docter Djawa School tahun 1856. Dr. Dorie berasal dari
Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli). Sedangkan Kapitein
Chinezen adalah Lie Saai dan Letnan Chinezen adalah Lie Goe. Mereka diangkat
pada tahun 1860. Satu-satunya pejabat pribumi yang teridentifikasi adalah Mas
Wongso Prawiro sebagai Opziener di Paoeh (perbatasan antara Padang dan
Padangsch Bovenlanden).
Soetan Iskandar sebagai Regent van Padang
baru diganti pada tanggal 16 Agustus 1868. Ini berarti Soetan Iskandar di
posisinya telah berlangsung selama 34 tahun (suatu waktu yang sangat lama).
Sebagai pengganti Toeankoe Panglima yang merangkap Regent van Padang adalah
Mara Indra. Sebagaimana diketahui, nama yang mirip Mara Indra di tahun 1832
adalah bosnya Soetan Iskandar. Saat itu Soetan Iskandar adalah Toeankoe
Bandahara.
Marah Indra yang sudah sepuh tidak berumur
panjang lagi. Marah Indra meninggal tahun 1875 (setelah menjabat sebagai
Toeankoe Panglima Regent van Padang selama tujuh tahun). Lalu kemudian
penggantinya diangkat pada tahun 1876 yakni Marah Oejoep. Pengangkatan Marah
Oejoep sebagai Regent van Padang yang baru dilaporkan oleh surat kabar Sumatra
courant.
Sumatra-courant, 22-03-1876 |
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 22-03-1876: ‘Hari
ini pagi, baru diangkat menjadi Regent Padang, Toeankoe Mara Oejoep dipasang seperti itu. Dia
adalah, setelah pengusiran Atchineezen dari Padang pada abad ke-17, Panglima ke-23, yang
menempati kursi Regent. Untuk mempersiapkan dirinya untuk tujuan ini, pukul
setengah 9 bergabung hadir setiap pejabat sipil dan militer, dan warga lainnya
dan sangat banyak pribumi, yang memenui ruang sidang Raad van Justitie. Setelah
pembacaan Keputusan Pemerintah, Toeaukoe Mara Oejoep dinobatkan sebagai Padang’s
Regent, Gubernur memberi klaim kepadanya seorang Melayu[3] yang relevan untuk
tugas itu dan mengungkapkan sungguh-sungguh ucapan selamat, memberi simbol
martabat, pin emas dan tongkat komando. Kemudian regent yang baru diangkat pidato
dimana ia menyatakan terima kasih atas panggilan dan kepercayaan yang diberikan
oleh Pemerintah dan lalu memberi ucapan selamat kepada Toean Besar. Sementara dilakukan
senjata ke udara oleh militer yang
membuat meraung di seputar gedung dewan
dan kemudian milisi pribumi mengarak yang dikelilingi oleh penjagaan setelah
keluar ruangan yang selanjutnya menuju klub societeit’.
Regent van Padang Terakhir
Regent van Padang, Toeankoe Marah Oejoep
adalah panglima ke-23 dari panglima van Padang sejak terjadinya pengusiran
Atjeh dari Padang oleh Belanda pada pertengahan tahun 1600an. Sebagaimana, Soetan
Iskandar yang menjabat regent van Padang selama 34 tahun, Marah Oejoep juga
menjabat cukup lama yakni 34 tahun juga.
Sebagaimana diketahui pada tahun 1905 Residentie
Tapanoeli dipisahkan dan berdiri sendiri sebagai Residentie otonom. Sedangkan
Province Sumatra’s Westkust dilikuidasi menjadi setingkar Residentie.
Sebagaimana di Jawa, Kota Padang diubah statusnya pada tahun 1906 sebagai Kota
(Gemeente) yang akan dipimpin seorang Burgemeester (Walikota).
Dengan adanya Gemeenteraad (dewan kota)
fungsi pemimpin tradisional semakin berkurang. Akhirnya jabatan Regent van
Padang dihilangkan pada tahun 1910 dan Marah Oejoep dipensiunkan dengan hormat.
Jumlah pemangku jabatan Regent van Padang sesungguhnya
hanya empat orang. Regent Padang yang pertama adalah Soetan Mansoer Alam Shah.
Setelah sempat jabatan regent ditiadakan, kemudian regent van Padang
difungsikan kembali pada tahun 1834 (ketika Province Sumatra’s Westkust
dibentuk). Regent van Padang di era baru itu adalah Soetan Iskandar. Setelah
menjabat selama 34 tahun, Soetan Iskandar digantikan oleh Marah Indra pada
tahun 1868. Kemudian regent berikutnya adalah Marah Oejoep pada tahun 1876.
Jabatan regent van Padang dijabat Marah Oejoep hingga tahun 1910 (selama 34
tahun). Sehubungan dengan perubahan struktur pemerintahan, jabatan regent van
Padang dihapuskan dan Marah Oejoep diberhentikan dengan hormat sebagai regent
van Padang yang terakhir. Dengan demikian hanya terdapat empat orang Regent van
Padang: Soetan Mansoer Alam Shah, Soetan Iskandar, Marah Indra dan Marah
Oejoep. Sejak Soetan Iskandar. Tiga Regent yang terakhir adalah merangkap
sebagai Panglima.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
__________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Narasi yang dipakai 'tidak kooperatif terhadap pemerintah' memperlihatkan sudut pandang Belandasentris. Sebagai pembanding, baik dibaca buku Rusli Amran. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang yang memamparkan pengkhianatan Belanda terhadap Sulthan Bagagar Shah. Selain itu juga dapat dibaca tulisan Undri, Peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) di laman Kementerian Pendidikan & Kebudayaan dengan judul 'Mengenal Sulthan Alam Bagagarsyah'.
[2] Lebih tepatnya orang yang pro atau memihak Belanda, terjamin kesetiaannya, dan menjadi kaki-tangan Belanda dalam menindas rakyatnya sendiri. Sudah menjadi pengetahuan umum bagi rakyat di Minangkabau bahwa semua pejabat pribumi yang diangkat oleh Belanda kebanyakan pro kepada Penjajah.
[3] Potongan kata 'Melayu' pada kutipan berita Sumatera Courant ini merupakan salah satu potongan kecil dari kebudayaan Minangkabau yang telah hilang. Pada masa dahulu orang Minangkabau menyebut diri mereka 'Orang Melayu' dan dalam beberapa arsip Belandapun digunakan redaksi kata 'Melayu' dalam mengidentifikasi orang Minangkabau.