Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
___________________________________________________
Jacobus
Anthonie Meessen pada tahun 1867 dan 1870 telah memberi kontribusi besar untuk
pengetahuan tentang Kota Padang melalui kegiatan fotografi. Kegiatan serupa
juga telah dilakukan perusahaan Woodbury en Page (Walter B. Woodbury dan James
Page).
Edisi terakhir Sumatra Courant (1900) |
Kota
Padang terus tumbuh dan berkembang karena komoditi primadona, kopi yang
mengalir deras dari Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Pada tahun-tahun ini volume
perdagangan kopi di Kota Padang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan harga
yang terus meningkat di pasar dunia (Eropa dan Amerika Utara). Saat pertumbuhan
dan perkembangan Kota Padang inilah muncul surat kabar bernama Sumatra Courant
di Kota Padang.
Surat Kabar
Sebelum Sumatra Courant
Surat
kabar pertama muncul di era VOC bernama Bataviasch Nouvelles yang terbit pada
tahun 1744. Surat kabar ini sempat pasang surut. Setelah Pemerintah Hindia
Belanda menggantikan VOC. Pada tahun 1810 terbit surat kabar pemerintah bernama
Bataviasche Kolobiale Courant. Surat kabar ini tidak lama karena Belanda
digantikan oleh Inggris. Pemerintah di bawah Raffles menerbitkan surat kabar
berbahasa Inggris bernama The Java Gouvernment Gazette tahun 1811. Setelah
Belanda kembali pada tahun 1816, surat kabar berbahasa Inggris itu digantikan Bataviasche
Courant. Surat kabar berbahasa Belanda baru muncul kemudian pada tahun 1845
surat kabar De Javasche Courant.
Dalam surat
kabar De Javasche Courant edisi pertama. 1 Januari 1845 terdapat puisi Edward
Douwes Dekker, mantan Controleur di afdeeling Natal (1842-1843). Edward dipecat
karena mengadvokasi penduduk Mandailing dan Angkola yang berkeluh kesah dan
melakukan pemberontakan saat penerapan koffiestelsel. Edward ditelantarkan di
Kota Padang hampir setahun dan tidak diizinkan ketemu istrinya yang berada di
Batavia. Dalam masa sulit inilah diduga Edward menulis puisi dan
mengirimkannnya ke surat kabar De
Javasche Courant. Beberapa tahun kemudian, nama Eduard Doewes Dekker karena
dianggap tuduhan palsu kepadanya lalu direhabilitasi. Eduard Doewes Dekker
tidak melakukan pelanggaran administrasi (penyelewengan) dan kemanusian tetapi
justru menyuarakan perlindungan kemanusiaan. Setelah direhabilitasi Eduard
Doewes Dekker dipekerjakan kembali di tempat lain. Seusai menjadi pejabat di
Banten, Edward Dooewes Dekker menerbitkan buku berjudul Max Havelaar alias
Multatuli. Karya legendaris Edward ini seakan menggambarkan apa yang pernah
dialami oleh penduduk Mandailing en Ankola dan Banten.
Pada
tahun 1851 di Batavia untuk pertama kali surat kabar diterbitkan sebagai
harian. Surat kabar tersebut adalah Het Bataviaasch Advertentieblad. Lalu
kemudian tahun 1852 terbit harian De Java Bode. Pada tahun yang sama di
Semarang terbit surat kabar De Locomotief. Kemudian tahun 1853 di Surabaya
terbit harian Het Soerabaijasch Handelsblad.
Sumatra Courant
Terbit di Padang
Surat
kabar lalu dirintis di Kota Padang. Surat kabar tersebut diberi nama Sumatra
Courant yang diasuh oleh Louis Numa Hipolite Arthur Chatelin pada 1859. Surat
kabar Sumatra Courant pada awal tahun-tahun penerbitannya, lebih banyak meliput
peristiwa-peristiwa di Padang yang dikombinasikan dengan kutipan dari
berita-berita dari surat kabar yang terbit di Belanda dan di Jawa. Berita
perdagangan di Sumatra’s Westkust mendapat porsi yang besar yang di dalamnya
bertebaran iklan. Berita-berita perdagangan sebelumnya dilaporkan oleh surat
kabar di Belanda dan surat kabar di Jawa.
Nieuw
Amsterdamsch handels-en effectenblad, 01-12-1857: ‘Hasil pengepulan kopi di
Padang, yang ditutup pada 30 September,
terdapat sebanyak 5.172 picols dari Mandhaling
dengan harga van ƒ36 tot f 36 15/120; 1.143 picols dari Ankola dengan
harga van f 36 5/120 tot f 36 10/120’.
Pada
tahun 1862 surat kabar Sumatra Courant yang oplahnya sudah sampai ke Tapanoeli
(Mandailing en Ankola), tidak hanya memberitakan berita ekonomi tetapi juga melaporkan
berita besar tentang tokoh pendidik pribumi, Willem Iskander yang telah mendirikan
sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, afdeling Mandailing en Ankola.
Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 14-06-1862: ‘diadakan outsourcing untuk evakuasi
koffij ke Padang dari tempat-tempat sebagai berikut (antara lain): dari Ankola
en Si Pirok melalui Djaga-Djaga (dekat Loemoet) ke Padang dengan biaya sebesar
ƒ 4.40 per picols. (Pemberi kerja: Li Thong).
Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 26-12-1862: ‘Empat tahun lalu oleh asisten residen
Godon sekembalinya ke Belanda, salah satu dari Sumatera, Mandhelinger, Soetan
Iskander, juga dibawa. Hal ini di Belanda dilatih dan baru saja kembali sebagai
orang bijak dan beradab di negaranya. Guru sekolah, sebuah bukti baru dari
pengembangan orang asli bahkan dari daerah paling beradab. Iskander sekarang
berdiri sebagai kepala sekolah biasa di Mandheling dan dewan akan berada di sana agar mampu,
sebab pendidikan di atas cara dimaksud yang tentunya adalah mengharapkan hasil
yang terbaik’.
Nieuwe Rotterdamsche courant, 27-07-1861. |
Sekolah guru
(kweekschool) Tanoebato, afdeeling Mandailing en Angkola Province Sumatra’s
Westkust sesungguhnya tidak diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun
semangat Willem Iskander yang ingin sekolah guru ke Belanda telah mengubah
keadaan yang tidak diinginkan. Sebab sekolah guru di Sumatra’s Westkust sudah
didirikan pada tahun 1856 di Fort de Kock. Pendirian sekolah guru di Fort de
Kock dimaksudkan berada di tengah agar lulusannya disebar di Residentie
Padangsch Bovenlanden sendiri dan juga ke Residentie Padangsche Benelanden
termasuk Kota Padang serta ke Residentie Tapanoeli. Sekolah guru yang didirikan
Willem Iskander yang awalnya tidak diinginkan, kemudian pemerintah mengakuinya
(karena system yang dibangun Willem Iskander sangat baik dan pada tahun 1865
pemerintah mengakuisisi sekolah tersebut dan dijadikan sebagai kweekschool
negeri (seperti tuga sekolah guru negeri yang ada di di Fort de Kock,
Soerakarta dan Probolinggo), Pengakuan dan akuisisi ini dilakukan tidak lama
setelah Inspektur Jenderal Pendidikan Pribumi berkunjung ke Kweekschool
Tanobato sebagaimana dilaporkan Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-,
handels-, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang
yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak
berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting
tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali
kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah
dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk
di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya
tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskandern didirikan di
Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan
aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa
Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya saya sangat puas dengan kinerja
sekolah ini’.
Surat
kabar Sumatra Courant juga melansir berita kedatangan Inspektur Jenderal Pendidikan
Pribumi, JA van der Chijs ke Tapanoeli, Berita ini juga dilansir semua surat
kabar di Negeri Belanda dan di Jawa, seperti di Amsterdam dan Haarlem, Algemeen
Handelsblad dan Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie di Batavia dan De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad di Semarang,
Seketika berubah
semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak di afdeeling
Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat yang mana 180 derajat kesan primitif
menghilang dan 180 derajat tidak diduga telah memiliki sistem pendidikan yang
terbaik di Hindia Belanda. Inilah sumbangan fantastis Willem Iskander di
Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola. ‘Iskander Effect’
tidak hanya telah mengalami difusi jauh hingga ke pelosok-pelosok terpencil di
Tapanoeli, juga mengguncang wilayah-wilayah di Jawa. Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip
dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh:
‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan
kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas
pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar
untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato)
pantai barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan
pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik).
Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar
terjadi, tandas Chijs’. Rupanya tulisan (laporan) Chijs itu telah menggelinding
kemana-mana bahkan di pusat kekuasaan kolonial di Jawa. Afdeeling Mandailing en
Angkola telah menjadi ‘kiblat’ perubahan, perubahan yang sangat fundamental di
Hindia Belanda. Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock
gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama
sekolah guru. Sebaliknya sukses besar di Tanobato. Laporan Chijs
menggaris bawahi siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus.
Menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang
non Malayu, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang
terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola’.
Diantara
berita-berita pendidikan yang menghebohkan itu, surat kabar Sumatra Courant
terus melaporkan berita-berita ekonomi seperti intensifikasi dan perluasan kopi
di Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Berita-berita yang memenuhi lembar
surat kabar Sumatra Courant juga secara berkala (setiap tiga bulan) melaporkan
berita lelang kopi di Kota Padang. Yang juga kerap diberitakan adalah berita pengangkatan,
mutasi pejabat pemerintah dan pension atau pejabat yang cuti ke Eropa, termasuk
berita-berita militer. Tentu saja tiap hari ditemukan berita-berita kapal
(keberangkatan dan kedatangan di berbagai tempat di Hindia Belanda). Sebagai
penutup ongkos cetak dan sirkusi, ratusan iklan tiap hari dan slotnya dari
waktu ke waktu terus meningkat. Iklan tersebut umumnya menawarkan produk-produk
konsumen (consumer’s good). Dalam saat-saat tertentu juga muncul berita
bencana, berita curah hujan dan berita-berita penyakit yang banyak diderita
penduduk.
Di dalam surat
kabar Sumatra Courant juga muncul berita-berita di tempat lain, seperti
dinamikan yang terjadi di Pantai Timur Sumatra termasuk di Deli (yang mulai
heboh dengan ekonomi tembakau). Tidak ketinggalan juga meliputi perkembangan
yang terjadi di Zuid Sumatra. Tentu saja dalam waktu-waktu tertentu berita
tentang di Atjeh terutama terkait dengan pergerakan militer. Last but not
least, berita-berita misionaris di Bataklanden. Semua itu memperkaya news di
dalam surat kabar Sumatra Courant. Surat kabar ini lambat laun, sesuai namanya
telah menjadi sumber berita utama di rumah sendiri di Sumatra. Surat kabar
Sumatra Courant yang banyak melansir berita-berita yang bersumber dari surat
kabar di Jawa, kini, mereka juga banyak mengutip atau melansir berita yang ada
di Sumatra Courant.
Surat
kabar Sumatra Courant, satu-satunya surat kabar di Sumatra makin hari makin
gemuk. Tirasnya tidak hanya di Sumatra’s Westkust (Padangsche dan Tapanoeli)
tetapi juga sampai ke Bengcoelen, Lampong dan Zuid Sumatra. Iklannya juga makin
banyak, karena interaksi Kota Padang dan Batavia semakin tinggi. Ini semua
karena ‘booming kopi’ di Province Sumatra’s Westkust. Barang-barang consumer’s
good, mulai dari panci hingga tempat tidur diiklankan sehingga pembaca surat
kabar di berbagai tempat bahkan hingga pelosok terpencil di Padangsche
Bovenlanden dan Tapanoeli dapat mengetahuinya. Petani yang dulunya setengah
mati membenci koffiestelsel lambat laun mulai tersenyum. Petani dan pedagang
kopi kini daya belinya semakin menguat dan bersambut dengan berbagai ragam
iklan surat kabar Sumatra Courant.[1]
Penduduk yang
semakin banyak memegang hepeng atau piti juga makin mampu menyekolahkan
anak-anaknya ke sekolah rakyat negeri. Bagi orang tua yang lebih mampu,
terutama para pedagang dan para penghoeloe, kepala laras dan kepala koeria
(dengan haji tetap dan komisi ekonomi kopi) menyekolahkan anak-anaknya ke
sekolah guru, baik di Fort der Kock maupun di Tanobato. Untuk anak-anak yang
lebih pintar disekolahkan ke Batavia untuk mengikuti sekolah kedokteran
(docter djawa school). Willem Iskander hanya suatu keajaiban saat itu: pintar
(secara lingusitik), ekonomi orangtua kuat dan satu lagi factor penentu yakni
motivasi yang kuat.[2]
Peluang
ini dimanfaatkan oleh orang-orang Cina untuk berdagang jauh hingga
pedalaman. Kehidupan di pedalaman mulai dari Tanah Datar, Agam, Lima Poeloeh
Kota hingga Mandailing dan Angkola semakin moncer. Kopi terus mengalir ke Kota
Padang sebaliknya barang-barang industri juga terus mengalir ke pedalaman.
Penduduk yang tinggal di Padangsche Benelanden termasuk di Kota Padang semakin
jauh tertinggal dengan saudara-saudara sebangsa di pedalaman. Hanya orang-orang Cina di Kota Padang yang mendapat bagian dari booming kopi ini. Orang-orang Cina yang awalnya memilih tinggal di Kota Padang lambat laun sebagian telah
menggeser koloninya ke kota-kota pantai (sebagai simpul baru arus perdagangan
dari pedalaman) seperti di Pariaman, Tikoe, Air Bangies, Natal dan Sibolga.
Di kurun waktu
yang sama dinamika yang terjadi di Sumatra’s Westkust kurang lebih serupa di
West Java. Heboh pendidikan di Tapanoeli karena Willem Iskander, pejabat
pemerintah merespon cepat mengejar ketertinggalan pendidikan di Preanger. Pada
tahun 1866 Kweekschool Bandoeng didirikan dengan bangunan yang sangat mewah.
Ini sangat mudah dipahami, karena ekonomi kopi juga lagi booming di Preanger
(Sumadang, Bandoeng, Soekapoera dan Tjiandjoer). Para bupati yang telah
menerima gaji tinggi dan juga telah bekerja keras untuk menaikkan produktivitas
dan bahkan membuat rakyat cukup menderita. Beberapa titik mulai ada kegelisahan
penduduk, dan boleh jadi takut memberontak, sekolah guru dengan bangunan mewah
ini dianggap dapat mendinginkan. Sebagaimana ekonomi colonial, ‘tidak ada makan
siang gratis’ maka biaya pembangunan gedung megah kweekschool Bandoeng dapat ditutupi
dengan produksi dan arus perdagangan kopi di Preanger yang juga tinggi (bahkan
lebih besar daripada di Sumatra’s Westkust). Pedagang-pedagang Cina yang
sudah lama membuat koloni di Buitenzorg (kini Bogor) secara perlahan-lahan
sebagai melakukan migrasi ke Preanger terutama ke Bandoeng dan Tjiandjoer. Hal
yang sama seperti di Preanger juga dinamikanya terjadi di Semarang yang
kemudian mendirikan kweekschool di Oengaran.
Dinamika
yang terjadi menjadi bagian rutin dari surat kabar Sumatra Courant yang terbit
tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat). Wartawannya juga semakin rajin ke
pedalaman untuk menjemput berita. Demikian, juga para pejabat-pejabat
pemerintah yang berdinas di wilayah-wilayah terpencil semakin intens mengikuti
perkembangan berita, karena peristiwa di satu tempat dengan tempat lain di Province
Sumatra’s Westkust kurang lebih mirip sehingga mereka dapat memperbandingkan
kemajuan-kemajuan yang dialami oleh wilayah lain. Para pejabat telah menganggap
surat kabar Sumatra Courant sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan
kinerjanya di tempat ia bertugas. Diantara para pejabat-pejabat setingkat
controleur dan asisten residen (walau menggunakan nama samara atau singkatan
tetap dapat teridentifikasi) banyak yang menulis (sebagai surat pembaca) dan
mengirimkannya ke kantor Sumatra Courant di Kota Padang. Para pembaca menulis
di daerah seakan telah menggantikan fungsi koresponden di dalam dunia
persuratkabaran.
Pada
tahun 1869 surat kabar Sumatra Courant kembali menurunkan berita
pendidikan.
Berita pendidikan yang diusung tetap masih mengacu dengan kemajuan
pendidikan yang terjadi
di Tapanoeli (Mandailing en Angkola). Berita itu berupa surat pembaca
yang
berinisial GA. Penulis ini terkesan agak galau melihat problema
pendidikan di Padangsche
(Boevenlanden dan Benelanden). Boleh jadi penulis melihat dinamika yang
terjadi
akhir-akhir di Jawa yang semakin terpacu untuk meningkatkan pendidikan
pribumi (setelah berita-berita yang menghebohkan di Mandailing dan
Angkola oleh semangat Willem Iskander sebagai guru pribumi berlisensi
Eropa tetapi sangat peduli dengan pendidikan pribumi)..
Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 23-06-1869 (Pendidikan di antara pribumi
untuk
Sumatra’s Westkust): ‘Kami percaya pada laporan sekolah menunjukkan
pendidikan
pesisir tersebut digambarkan kondisi yang sangat menyedihkan antara
pribumi.
Hanya sekolah di Mandheling membuat pengecualian dalam hal pendidikan,
tapi apa
lokalitas yang bersangkutan, yang sama-sama cacat. Sekarang ini harus
didukung
oleh pemerintah, yang komentar akan mengajar jika tidak menimpa
pentingnya
jalan berdaya penonton? Mereka yang penduduk asli tetapi hanya diberi
setengah kasih
sayang akan harus mengakui bahwa pendidikan dasar untuk menjangkau
lebih banyak yang
harus diinginkan oleh kami di sini…Karena itu, kami berharap bahwa
Pemerintah mendorong pendidikan sebagai prestise dan pendidikan sebagai
pelabuahan untuk mencapai tujuan doktrin bagi pemuda ditanamkan dan
karena itu untuk lebih
banyak sekolah yang dibangun dalam kaitannya kepentingan pemerintah.
Padang, 7 Juni
1869, G. A.’.
Surat
kabar Sumatra Courant hanya satu-satunya media yang representatif dan menjadi medium untuk semua
hal bagi semua kalangan (Eropa, pribumi dan Cina). Surat kabar berbahasa Melayu belum ada, yang ada hanya surat kabar
berbahasa Belanda seperti Sumatra Courant. Orang-orang terpelajar di Mandailing
dan Angkola yang bisa menggunakan tiga bahasa: Melayu, Belanda dan Batak
menjadi tampak lebih adaptif. Sementara itu, sejak terbit surat kabar berbahasa
Belanda, Sumatra Courant di Padang orang-orang Mandailing en Angkola hanya
berlangganan surat kabar Sumatra Courant, karena surat kabar berbahasa Melayu sendiri belum ada. Surat kabar Sumatra
Courant oleh penduduk Mandailing dan Angkola tidak hanya dipandang sebagai
ruang berita tetapi juga ruang promosi untuk transaksi perdagangan dan ruang menyampaikan pendapat yang ditulis sebagai
surat pembaca. Anehnya, orang Mandailing dan Angkola menulis surat pembaca dan
memasang iklan tidak dalam bahasa Belanda tetapi dalam bahasa Melayu. Hal ini
karena pembaca yang disasar adalah penduduk pribumi yang berlangganan Sumatra
Courant. Ternyata redaksi mengabulkannnya. Sesungguhnya inilah awal perkenalan bahasa Melayu
di dalam pers Belanda.
Sumatra-courant, 08-04-1874 |
Para pedagang
Tapanuli di Padang Sidempoean memasang iklan (awal 1870an) di surat kabar
berbahasa Belanda Sumatra Courant yang terbit di Padang. Uniknya iklan-iklan
yang dipasang para pedagang asal Tapanoeli di Mandailing dan Angkola ini
dibuat dalam bahasa Melayu. Tentu saja iklan itu ditujukan untuk para pedagang
pribumi atau para pedagang Cina. Pemasang iklan yang dimaksud tersebut
berdomisili di Padang Sidempuan. Paket-paket yang diperdagangkan sangat
beragam, seperti hasil peternakan (sapi, kerbau, kuda, dan kambing), hasil
hutan (kulit manis, rotan), hasil budidaya pertanian seperti beras, kopi, gula
aren serta hasil industri kerajinan. Salah satu iklan tesebut seperti tampak dalam Sumatra-courant edfisi 08-04-1874.
Penulis iklan ini adalah Maharadja Soetan, kepala Koeria Batoenadoea di Padang
Sidempoean, seorang yang dikenal sebagai murid pertama Willem Iskander di
Kweekschool Tanobato yang berdiri pada tahun 1862.
Surat
kabar Sumatra Courant terus dalam performanya, sangat kondusif untuk
media untuk
mencerdaskan dan media untuk mendorong perekonomian lebih tumbuh dan
berkembang di Sumatra’s
Westkust. Surat kabar Sumatra Courant terus dalam posisi stabil, berita
yang semakin
beragam, iklan yang semakin banyak dan keuangan yang tetap mumpuni.
Surat kabar
Sumatra Courant menjadi kuat karena ditopang oleh perkonomian wilayah,
terutama di Padangsch Bovenlanden dan Tapanoeli. Ekonomi dengan leading
sector saat itu adalah koffiecultuur. Penduduk di pelosok-pelosok makin
meluas yang
dengan sendiri penduduk terpencilpun memiliki daya beli yang baik. Akan
tetapi tingkat daya beli penduduk di perkotaan sebaliknya, terus
merosot, seiring
dengan mekarnya kota akibat urbanisasi yang terus berlangsung.
Secara teknis tahun 1880 hanya ada tiga kota utama di
Province Sumatra’s Westkust yang memiliki karakteristik urban (penduduk yang
padat dan memiliki fasilitas yang memadai). Kota-kota tersebut kebetulan
mewakili masing-masing residentie, yakni: Kota Padang (Residentie Padangsche
Benelanden), Kota Fort de Kock (Residentie Padangsche Bovenlanden) dan Kota
Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Keutamaan Fort de Kock dan Padang
Sidempuan karena masing-masing memiliki sekolah guru (kweekschool). Kedua kota
ini juga sama-sama menjadi simpul perdagangan utama (ekonomi kopi).
Penduduk
perkotaan, seperti di Padang, Fort de Kock dan Padang Sidempuan semakin banyak
yang terjebak dalam kehidupan perkotaan. Penduduk yang miskin di kota makin
banyak dari hari ke hari. Hal ini boleh jadi semakin sulit mendapat lahan
pertanian karena lahan-lahan potensial sudah banyak yang diperjua lbelikan
dan beralih ke tangan swasta atau digunakan untuk peruntukkan kebutuhan bangunan-bangunan pemerintah.
Kweekschool Padang Sidempuan (pengganti Kweekschool Tanobato) yang
pembangunannya dimulai tahun 1874 dan telah memulai aktivitas perkuliahan 1879 dibangun
di atas lahan persawahan yang subur. Bangunan-bangunan pemerintah yang semakin
banyak juga mempersempit ruang penghidupan yang keahliannya hanya bertani.
Kemiskinan kota ini tercermin dari upaya yang dilakukan oleh dua mahasiswa di
Padang Sidempuan yang dilaporkan oleh Sumatra Courant.
Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884: ‘dua anak murid Kweekschool Padang
Sidempuoen yang bernama Si Saleh dan Si Doepang melakukan kebajikan
mengumpulkan untuk membantu orang yang membutuhkan’
Sumatra Courant
Akhirnya Tumbang
Pertumbuhan
ekonomi kopi di Sumatra’s Westkust mulai melambat. Harga kopi mulai mendapat tekanan
karena sentra produksi kopi semakin meluas di Hindia Belanda, seperti di
Semarang dan sekitarnya dan Malang dan sekitarnya. Tekanan ini juga diperparah
dengan negara-negara lain yang maju pesat dalam budidaya kopi, seperti Brazil dan
koloni-koloni Eropa di Afrika. Sementara itu ekonomi tembakau di Sumatra’s
Oostkust lagi naik daun. Para investor yang terbilang baru mulai investasi
di Padangsch dan Tapenoeli (yang sedikit menggeser ekonomi rakyat) dalam membuka plantation (onderneming)
di Sumatra’s Westkust terutama di Padangsch Benelanden (dan sebagian sudah
memasuki Padangsch Bovenlanden) mulai gamang. Hal ini karena daya tarik
investasi di Sumatra’s Oostkust lebih menjanjikan jika dibandingkan di Sumatra’s
Westkust.
Daya tarik di
Sumatra’s Ooskust karena berbagai fasilitas ditemukan. Lahan yang lebih luas,
sarana jalan dan angkutan yang lebih baik (topografi yang baik) dan kekuatan
Sultan dan Pemerintah yang mampu menekan penduduk dalam soal konsesi lahan (hak
ulayat masih menjadi kendala di Pantai Barat Sumatra terutama di Padangsch). Juga
insentif lainnya di Pantai Timur Sumatra adalah arus perdagangan yang ramai di selat Malaka, kompetisi
yang sehat antara investor Belanda di Pantai Timur Sumatra dan Inggris di Semenanjung
(terjadi sinergi). Disamping itu, moda pelayaran yang semakin fokus di selat Malaka, apalagi setelah
dibukanya terusan Suez (ongkos pelayaran makin murah) yang memungkinkan investor
Eropa semakin banyak menuju Pantai Timur Sumatra yang berbasis di Medan.
Investor
Eropa yang terus berdatangan di sekitar jalur selat Malaka (Pantai Timur
Sumatra dan Semenanjung) juga menggoda investor yang selama ini berada di Jawa.
Eksodus investor lama ini dari Jawa dan dari Pantai Barat Sumatra lambat laun
ekonomi Pantai Barat Sumatra semakin loyo. Hanya beberapa (sedikit) investor yang bertahan di
Padangsche dan Tapanoeli.
Konsekuensinya,
surat kabar Sumatra Courant yang hidup dari iklan, jumlah pemasang iklan
semakin kendor. Jumlah orang-orang Eropa/Belanda di Pantai Barat Sumatra tidak
mengalami peningkatan malah yang terjadi relatif mengalami penurunan. Pendapatan dari
harga jual koran juga tergerus apalagi semakin kuatnya surat kabar berbahasa
Melayu yang terbit di Kota Padang, Pertja Barat. Para pejabat-pejabat lokal sudah
mulai lebih memilih Pertja Barat daripada Sumatra Courant. Hukum alam berlaku, surat kabar, Sumatra
Courant yang terbit sejak 1859 dari semua persoalan menimpa dirinya seakan mulai mati langkah.
Persoalan
yang
dihadapi oleh Sumatra Courant semakin berat. Competitor baru, Sumatra
Post yang
terbit di Medan sejak 1898 semakin mekar. Raja koran Sumatra segera
pindah
tangan dari Sumatra Courant di Kota Padang ke tangan Sumatra Post di
Kota Medan.
Di Batavia, Sumatra Post lebih banyak dibaca daripada Sumatra Courant
(dilihat dari sisi promosi kedua koran ini). Surat kabar
Sumatra Courant tirasnya makin melemah di Medan, sebaliknya oplah
Sumatra Post
sudah melakukan penertrasi di Kota Padang. Orang-orang di Kota Padang
(Eropa, pribumi dan Cina) sudah memegang dua koran, diangan kanan
Sumatra Courant dan di tangan kiri Sumatra Post. Tinggal menunggu waktu
untuk hanya berlagganan satu kora yakni Sumatra Post.
Pertja Barat, milik Dja Endar Moeda |
Afdeeling Padang Sidempuan, Residentie Tapanoeli, 1905 |
Last
but not least: Investor pribumi di Kota Padang yang umumnya berasal dari
Padangsche Bovenlanden juga mulai secara perlahan-lahan mengalihkan
investasinya ke Medan sebagaimana sudah dilakukan lebih dahulu oleh para
investor pribumi dari Tapanoeli. Dengan dibukanya jalur transportasi dari
Sibolga ke Medan pada tahun 1912, penduduk Minangkabau di Padangsch Bovenlanden
telah terbagi dua untuk tujuan migrasi: ke Kota Medan dan juga tetap banyak
yang ke Kota Padang. Tentu saja ada juga yang ke Sibolga dan Padang Sidempoean.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto-fot dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan
artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya
yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja.
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] "Petani dan pedagang kopi kini daya belinya semakin menguat dan bersambut dengan berbagai ragam iklan surat kabar Sumatra Courant" Sebaiknya kita bijak dalam menyikapi paragraf terakhir ini. Apakah merupakan hipotesis penulis atau memang berasal dari bukti sejarah. Kalau berasal dari bukti sejarah, sebaiknya dicantumkan sumbernya. Tanam Paksa Kopi di Minangkabau telah mendatangkan kesengsaraan rakyat. Kopi dibeli dengan harga rendah serta dipaksa dijual ke gudang-gudang milik Belanda yang ada pada setiap Nagari di Minangkabau. Tidak hanya itu, seluruh tanah wajib ditanami kopi dan seluruh hasil panen wajib dijual dengan harga murah ke Kompeni. Beberapa orang Minangakabu memutuskan untuk menyelundupkan panen kopi mereka ke Pantai Timur guna dijual ke Pulau Pinang jajahan Inggris. Disana kopi orang Melayu dibeli dengan harga tinggi. Begitu ketatnya Belanda mengontrol penanaman, panen, dan penjualan kopi sehingga tidak ada yang tersisa untuk dinikmati oleh orang Melayu di Minangkabau ini. Hingga akhirnya mereka meramu daun kopi untuk diseduh dijadikan pengganti kopi. Dari sinilah Istilah Melayu Kopi Daun lahir.
[2] Perlu dilakukan studi khusus tentang keadaan perekonomian rakyat Melayu dimasa Tanam Paksa Kopi serta hubungannya dengan tingginya minat rakyat Melayu menyekolahkan anaknya hingga ke Batavia dan Negeri Belanda. Namun harap diperhatikan juga perkembangan sekolah berbasis Islam, serta jumlah pelajar yang menuntut ilmu di Timur Tengah. Sekolah sekuler yang dirancang Belanda menarik minat banyak para pejabat pribumi sehingga menyekolahkan anaknya disana. Dalam penerimaan murid, Belanda sangat ketat. Tidak sembarang anak dapat diterima, mesti dilihat status orang tua. Berlainan dengan Sekolah Rakyat atau Sekolah Melayu yang merupakan sekolah swasta kepunyaan rakyat Melayu yang dapat dimasuki siapa saja.
Bagi pembaca yang ingin menelusuri lebih lanjut, kontekstual serial Sejarah Kota Padang, disarankan untuk membaca artikel saya yang lain dalam serial Sejarah Padang Sidempuan, Sejarah Angkola, Sejarah Mandailing, Sejarah Natal, Sejarah Tapanoeli, Sejarah Kota Medan, Sejarah Jakarta, Sejarah Bogor dan Sejarah Bandoeng. Untuk serial Sejarah Semarang masih dalam proses eksplorasi data. Untuk serial Sejarah Soerabaya sudah dimulai dengan mengetengahkan serial Radjamin Nasoetion, walikota pribumi pertama Kota Surabaya. Beberapa sumber yang tidak disebut lagi dalam serial Sejarah Kota Padang ini sudah disebut di artikel dalam serial-serial tersebut..________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] "Petani dan pedagang kopi kini daya belinya semakin menguat dan bersambut dengan berbagai ragam iklan surat kabar Sumatra Courant" Sebaiknya kita bijak dalam menyikapi paragraf terakhir ini. Apakah merupakan hipotesis penulis atau memang berasal dari bukti sejarah. Kalau berasal dari bukti sejarah, sebaiknya dicantumkan sumbernya. Tanam Paksa Kopi di Minangkabau telah mendatangkan kesengsaraan rakyat. Kopi dibeli dengan harga rendah serta dipaksa dijual ke gudang-gudang milik Belanda yang ada pada setiap Nagari di Minangkabau. Tidak hanya itu, seluruh tanah wajib ditanami kopi dan seluruh hasil panen wajib dijual dengan harga murah ke Kompeni. Beberapa orang Minangakabu memutuskan untuk menyelundupkan panen kopi mereka ke Pantai Timur guna dijual ke Pulau Pinang jajahan Inggris. Disana kopi orang Melayu dibeli dengan harga tinggi. Begitu ketatnya Belanda mengontrol penanaman, panen, dan penjualan kopi sehingga tidak ada yang tersisa untuk dinikmati oleh orang Melayu di Minangkabau ini. Hingga akhirnya mereka meramu daun kopi untuk diseduh dijadikan pengganti kopi. Dari sinilah Istilah Melayu Kopi Daun lahir.
[2] Perlu dilakukan studi khusus tentang keadaan perekonomian rakyat Melayu dimasa Tanam Paksa Kopi serta hubungannya dengan tingginya minat rakyat Melayu menyekolahkan anaknya hingga ke Batavia dan Negeri Belanda. Namun harap diperhatikan juga perkembangan sekolah berbasis Islam, serta jumlah pelajar yang menuntut ilmu di Timur Tengah. Sekolah sekuler yang dirancang Belanda menarik minat banyak para pejabat pribumi sehingga menyekolahkan anaknya disana. Dalam penerimaan murid, Belanda sangat ketat. Tidak sembarang anak dapat diterima, mesti dilihat status orang tua. Berlainan dengan Sekolah Rakyat atau Sekolah Melayu yang merupakan sekolah swasta kepunyaan rakyat Melayu yang dapat dimasuki siapa saja.