PRRI, PROTES SI ANAK TIRI DAN CATATAN LUKA URANG AWAK
Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”—- (Kolonel Ahmad hussein, ketua dewan Banteng)
Kota padang, 20 februari 1958, seorang laki laki berpakaian militer berpidato dengan berapi api di depan rapat umum di kota tersebut. Dengan lantangnya laki laki betubuh tegap ini berkata: “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno…!!!” seraya mencopot dan membanting tanda pangkatnya ke tanah. Nampaklah sekali dia sangat gusar saat berpidato itu, wajahnya memerah karena menahan amarah di dalam dada. Rasa kesal, marah, kecewa bercampur aduk di dalam dirinya saat itu. Pemerintah pusat melalui Perdana menteri Ir. Djuanda menuduhnya sebagai seorang pemberontak dan memerintahkan KASAD untuk memecatnya dan teman teman kolonel seperjuangannya dari dinas kemiliteran. Sebagai seorang tentara yg telah malang melintang berjuang semasa revolusi fisik dahulu dia merasa sangat terhina ditantang tantang oleh seorang sipil seperti Djuanda, tak pedulilah kiranya ia seorang Perdana menteri sekalipun.
Seorang laki laki berkopiah dan bertongkat lalu menyabarkan dia, di tepuk tepuknya pundak kolonel muda ini. Disabarkannya seraya disuruhnya sang kolonel mengucapkan istighfar, lalu dipungutnya tanda pangkat yg dibuang tadi dan dipasangkannya kembali ke pundak sang kolonel. Rapat umum di kota Padang itu benar benar mengharu biru gegap gempita, belum pernahlah rasanya orang Minang merasa sedemikian terhina seperti saat itu. Mereka di cap sebagai pemberontak saat yg dilakukannya hanyalah meminta hak mereka sebagai anak dari ibu pertiwi ini dan mengkoreksi sang paduka nan mulia di Jakarta sana yg sedang asyik masyuk terlena dengan egoismenya. Laki laki berseragam militer ini lalu menyudahi pidatonya yg berapi api setelah menyatakan tidak takut kepada ancaman pemerintah pusat yg telah mengangkangi konstitusi dengan membubarkan dewan konstituante hasil pemilu yg sah. Dia juga membalas menuding Djuanda sebagai penjilat Soekarno dan komprador para komunis di sisinya. Siapakah laki laki yg dengan berani mengacungkan kepalannya kepada pemerintah pusat ini…? dia adalah Kolonel Ahmad hussein sang harimau Kuranji.
Harimau kuranji sang pengawal PDRI, punggawa proklamasi 17 agustus di masa pelarian
Ahmad Husein dilahirkan di Padang pada 1 April 1925, dalam lingkungan keluarga usahawan Muhammadiyah. Pada tahun 1943 di usia yang masih sangat muda (18 tahun), Husein bergabung dengan Gyugun. Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia menjadi perwira termuda Gyugun di Sumatera Barat. Pada saat revolusi, Hussein aktif merekrut anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan rumah orangtuanya sebagai markas sementara BKR. Selanjutnya, perannya dalam perjuangan makin menonjol ketika ia menjadi Komandan Kompi Harimau Kuranji dan kemudian Batalyon I Padang Area. Pasukan Harimau Kuranji begitu populer karena keberaniannya di medan pertempuran menghadapi Inggris dan Belanda/ NICA. Meroketnya Divisi IX/banteng sebagai kesatuan terbaik di Sumatera pada masa revolusi fisik membuat karier militernya segera meroket. Pada pertengahan tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, Husein dipromosikan menjadi Komandan Resimen III/Harimau Kuranji yang membawahi tiga ribu pasukan. Kekecewaan Ahmad Husein dan kawan-kawan bermula ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konsekuensinya, terjadi efisiensi berupaya penyusutan jumlah anggota besar-besaran. Husein sendiri merelakan dirinya turun pangkat dari Letkol ke Mayor.
Di masa inilah tentara kerajaan Belanda melancarkan agresi militernya yg ke II. Kekuatan Republik yg memang telah lemah akibat perjanjian Renvile dikejutkan oleh sebuah aksi militer mendadak tepat ke jantung ibu kota Yogyakarta. Pagi pagi buta, saat kekuatan militer lengah Jenderal Spoor menurunkan pasukan terjun payungnya di lapangan terbang Maguwo. Dalam waktu singkat ibu kota Yogyakarta berhasil dikuasai, bahkan presiden Soekarno, wakil presiden merangkap Perdana menteri Mohammad Hatta beserta beberapa orang menteri lainnya ditangkap dan ditawan Belanda. Sementara itu PB. Jenderal Soedirman melarikan diri keluar kota untuk memulai perang gerilya. Seluruh kekuatan Indonesia baik sipil maupun militer lumpuh total dan republik yg masih sangat muda saat itu nyaris tamat riwayatnya. Beruntunglah beberapa jam sebelum ditawan presiden Soekarno sempat mengirim kawat kepada menteri kemakmuran MR. Syafrudin prawiranegara yg saat itu sedang berada di Bukit tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, disingkat PDRI.
Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus, Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup. Pada masa agresi militer Belanda II ini Ahmad hussein bersama anak buahnya berhasil mengamankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda. Kontak bersenjata menghadapi Belanda beberapa kali terjadi. Dalam pertempuran di Lubuak Selasih 11 Januari 1949, pasukan Hussein memperoleh kemenangan. Namun upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional untuk mengakui kedaulatan RI. Ahmad hussein dan kompi Harimau kuranjinya yg ikut keluar masuk hutan mengawal PDRI kadang harus kucing kucingan dengan patroli Belanda. Tak jarang pula mereka musti babak belur bahkan lari lintang pukang bersama MR. Syafrudin untuk menyelamatkan diri karena jika tertangkap itu artinya selesai pulalah NKRI yg diproklamasikan 4 tahun yg lalu. Beruntunglah seluruh rakyat di ranah Minang kala itu membantu mereka seratus persen. Tak ketinggalan pula peranan ulama dan niniak mamak (*pemangku adat) juga tak kepalang besarnya dalam membantu mereka saat itu. Sebuah perjuangan yg mengharu biru, tak kalah mengharu birunya dengan kisah gerilya PB. Soedirman di pulau Jawa.
Akhir tahun 1949 Agresi militer Belanda berhenti, Soekarno dan Hatta dibebaskan, PBB mengakui kedaulatan Indonesia. Seiring keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy ending yang mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, MR. Syafruddin prawiranegara berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno. Di Lapangan Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi menyelamatkan PDRI. Alhamdulillah…, atas berkat pertolongan Allah nan maha pengasih jualah kiranya republik ini dapat diselamatkan. Pemerintahan kembali ke tangan dwi tunggal Soekarno – Hatta dan selesailah riwayat PDRI. Tak ada satu orangpun yg hadir pada saat penyerahan mandat itu menyangka kalau orang orang yg baru saja keluar masuk hutan dalam rangka menyelamatkan dan melarikan republik itu 10 tahun kemudian terpaksa keluar masuk hutan kembali. Namun kali ini bukan sebagai pejuang, namun sebagai orang orang yg di cap sebagai pemberontak dan harus segera ditumpas keberadaannya dari bumi pertiwi yg mereka bela mati matian ini. Benarlah adanya kata pepatah: Hujan sehari, dapat mengapus panas selama setahun…, gara gara nila setitik maka rusaklah susu sebelanga.
Awal mula kekecewaan si anak tiri
Tersebutlah kiranya masa itu 1956 angka tahunnya, Indonesia tercinta ini saat itu telah 11 tahun merdeka adanya. Ranah Minang nan elok, nagari nan diapit gunung Merapi dan gunung Singgalang mulai berbenah mengobati luka luka akibat revolusi fisik. Hijau ranaunya nagari “darek” (*daerah Minang pegunungan dan pedalaman), curam dan terjalnya tebing tebing serta landainya pantai di nagari “pasisia” (*daerah pesisir ranah Minang) mulailah membenahi diri untuk menyongsong hari depan yg lebih baik. Banyaklah kiranya ketinggalan yg harus dikejar, banyak pula kain sobek nan perlu dijahit agar si buyuang dan si upik merasakan manisnya kue kemerdekaan dan legitnya sebuah kata berbunyi “pembangunan”. Agar tiadalah sia sia darah anak nagari tumpah di bumi pertiwi ini, agar tiada sia sia pulalah air mata bundo kanduang meratapi mayat si buyuang nan tertembus peluru “urang Balando”. Agar tiada terbuang percuma jualah adanya doa dan restu para ulama dan para angku niniak mamak, Minang sakato harus maju basamo pulo.
Namun apa daya, untung tak dapat di raih malangpun tak dapat dicegah. Keadaan ranah Minang tiadalah banyak berubah dari masa penjajahan dulu. Masyarakatnya tetaplah miskin, bahkan tak sedikit yg kelaparan, tak bergerak kondisinya dari masa nan telah lewat. Kesehatanpun tiadalah pula membaik, bahkan di masa masa setelah PDRI menurut cerita ayah saya merebaklah penyakit tukak “nambi”, sebangsa penyakit eksim yg sulit dicari obatnya. Sementara penyakit cacar air dan cacing tambangpun merajalela menjangkiti anak nagari yg menjadi harapan kelanjutan negeri ini. Perumahanpun sulit di dapat, jangankan bagi orang sipil, bagi eks tentara yg ikut berjuang sajapun sulit adanya. Rakyat terpaksa hidup besempit sempit di rumah yg kecil sementara mereka terus beranak pinak. Rasanya kosong hampalah adanya janji janji manis kemerdekaan yg kerap kali di dengung dengungkan di masa revolusi fisik dahulu itu. Alam kemerdekaan ternyata tak seindah yg diharap harap dan dibayangkan, bahkan nyaris tak ada bedanya dengan masa penjajahan.
Sebuah hal yg sangatlah ironis adanya karena di kala itu nyatanya hasil bumi tanah Minangkabau berupa karet, beras, kopra dan minyak bumi melimpah adanya. Namun Semua pajak dan kekayaan diangkut oleh pemerintah pusat ke Jawa sementara anak nagari diam terpaku menahan lapar dan dahaga. sementara itu nun jauh di seberang selat sunda sana sedang dibangun proyek proyek mercusuar seperti Monas dan tugu pancoran atas perintah sang paduka presiden yg mulia, yg uangnya tentulah dikeruk dari bumi pulau sumatera dan lainnya. Maka orang Minang saat itu laksana anak tiri yg diabaikan beberadaannya, tak diberi kesempatan mencicipi manisnya kue pembangunan yg semuanya dilakukan di Jawa. Bahkan gubernur sumatera tengah (*meliputi sumatera barat dan Riau sekarang) pun dijabat oleh seorang Jawa bernama Roeslan Mulyoharjo, “urang jawo” kalau bahasa pasaran urang awaknya. Jadi wajarlah kiranya kalau di masa itu ada sebuah perasaan di dada mereka bahwa setelah kepergian Tuan Belanda maka datanglah Tuan jawa. Wajar pulalah jika mereka merasa harga diri mereka seakan dipentalkan ke belakang, hasil tanahnya dibawa ke tanah seberang sementara anak nagari menderita hidup berkekurangan. Anak nagari yg juga babak belur memperjuangkan republik ini tentulah merasa dianak tirikan karena tak dapat mencicipi manisnya kue kemerdekaan seperti saudaranya di pulau Jawa.
Sementara itu sang paduka yg mulia presiden Soekarno semakin asyik masyuk dalam mimpi mimpi revolusionernya. Gaya berpolitik dan kebijakannya semakin condong ke arah kiri, blok timur, Peking di Cina dan Moskow di Russia. DN Aidit, Lukman dan Njoto, triumvirat PKI semakin mendapat tempat di sisinya, menjadi orang orang kepercayaannya. Warnanya semakin memerah, Kruscev digandengnya, Chou en lai di gamitnya, menjauhi yg putih dan hijau yg dari dulu setia membela dan mendukungnya. Rupanya telah lupalah adanya sang putera fajar ini bahwa baru 8 tahun yg lewat sajalah dia berpidato berapi api di depan corong RRI Yogyakarta menyerukan rakyat untuk memilih Soekarno – Hatta atau PKI Musso?. Saat Madiun affair terjadi, saat para ulama yg merestuinya sebagai pemimpin negeri muslim ini digiring ke pejagalan, disiksa dan digorok lehernya sampai mati. Kebijaksanaannyapun semakin cenderung otoritarian bagaikan raja raja jawa yg mana sabdanya adalah laksana keputusan dari Tuhan yg maha kuasa, tak boleh dibantah apalagi ditentang adanya.
Hal ini membuat Hatta sekalipun manjadi semakin jengah dengannya, semakin merasa tak lagi sejalan dengannya dan menjauh darinya. Namun putera asli Bukit tinggi ini lebih memilih untuk mundur daripada harus berseteru dengan kawan seperjuangannya ini. 1 Desember 1956 dia resmi melepaskan jabatannya, namun Surat pengunduran diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta yg menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaannya itu, yg reputasinya melegenda bahkan nyaris menjadi mitos itu , mulai hari itu juga resmi tanggal, berselisih faham berpisah jalan selamanya. Dan walaupun banyak usaha yg dilancarkan berbagai fihak agar mereka berdamai, agar Hatta kembali ke pemerintahan, agar dwi tunggal kembali bersatu menjadi nahkoda bangsa ini, tapi apa daya… biduk telah terlanjur terlongsong ke tengah lautan, sulit rasanya kembali ke tepian. Lalu Ketika Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih rakyat pada pemilu 1955 dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Hatta melihat Demokrasi sampai pada tahap yang membahayakan. Konstituante di bubarkan Soekarno sebelum tugasnya menyusun Undang-Undang Dasar rampung. Hatta melihat hal itu dengan prihatin dan menganggap telah terjadi krisis Demokrasi. Bung Hatta kemudian menulis buku Demokrasi kita tahun 1960 dan dimuat di majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Hamka. Soekarno marah karena isi buku tersebut dianggap menentang kebijakannya. Selain dilarang terbit, majalah Panji Masyarakat juga dilarang untuk dibaca, dilarang untuk disimpan, dan dilarang keras untuk menyiarkan buku tersebut, dan barang siapa yang tidak mengindahkan larangan itu diancam hukuman berat. Padahal “Demokrasi Kita” merupakan hasil pikiran brilian salah seorang Proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu sendiri.
Rengekan dan protes si anak tiri nan tak diindahkan oleh ayahnya sendiri dan marahnya para banteng ranah Minang
Syahdan para eks divisi Bantengpun merasakan hal yg sama, prihatin dengan keadaan ranah Minang dan daerah daerah di luar Jawa yg semakin sengsara. Apalagi setelah restrukturisasi militer Divisi banteng nan gagah berani, yg ditakuti lawan dan disegani oleh kawan ini terpaksa rela di pangkas sedemikian rupa personilnya. Sebagian dari mereka dipensiunkan dini, seperti Kolonel Ismail lengah yg ditakuti oleh NICA di masa revolusi fisik dahulu. Sebagian lagi ditarik ke Jakarta dan sementara sisanya dilebur kedalam Divisi lain seperti Divisi Siliwangi sehingga tercerabut dari akarnya, terpisah dari induknya di Sumatera. Banteng yg dulu gagah dan sakti mandraguna itu kucar kacir personilnya, seakan dipaksa untuk rela dipotong kedua tanduknya dan bahkan bak digiring ke pejagalan saat statusnya diturunkan menjadi sebuah Brigade saja, yaitu Brigade Banteng dibawah pimpinan Letnan kolonel Ahmad Hussein. Sementara itu kekuatan militer nun jauh di seberang selat sunda sana dipupuk, dikembangkan dan dibangun sedemikian rupa. Maka tersebutlah Divisi Diponegoro, Brawijaya dan Siliwangi nan begitu besar dan lengkap persenjataanya. Bagaikan tungau dan seekor gajahlah kiranya jika jumlah personil dan persenjataannya dibandingkan dengan divisi Banteng yg tersisa, padahal Pulau Sumatera nyaris dua kali lipat pulau Jawa besarnya.
Keprihatinan ini memicu mereka para eks Divisi Banteng ini kemudian melakukan reuni untuk membicarakan nasib daerah asal mereka dan seluruh Indonesia pada umumnya. Rencana reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan, yg pertama dilaksanakan di Jakarta pada 21 September 1956 sedangkan yg Kedua di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956. Namun reuni resminya sendiri akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan ini kemudian penuh sesak dengan keluhan dan pembahasan mengenai keadaan sosial, politik dan ekonomi saat itu. Hasilnya reuni kemudian membuat sejumlah rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan tuntutan Dewan Banteng. Anggota Dewan Banteng ini berjumlah 17 orang, diambil dari angka tanggal proklamasi agar nyatalah adanya bahwa mereka sedang memperjuangkan cita cita proklamasi 17 Agustus. Anggotanyapun tiadalah hanyalah orang orang eks Divisi Banteng yg notabene dari kalangan militer saja, melainkan juga dari kalangan sipil pemerintah daerah, alim ulama, cadiak pandai (*para cendikiawan), dan niniak mamak (*pemangku adat). Ini menandakan bahwa perjuangan Dewan Banteng ini di dukung oleh seluruh elemen masyarakat Minang, seluruh partai kecuali PKI, dan seluruh urang awak tanpa terkecuali. Dan memang begitulah kenyataannya, seluruh anak nagari mendukung perjuangan Dewan Banteng yg sedang berusaha menuntut hak mereka kepada pemerintah pusat ini, sehingga waktu itu lahirlah semboyan,” timbul tenggelam bersama Dewan Banteng”.
Tapi alih alih memenuhi dan mengkoreksi diri sendiri setelah membaca rekomendasi yg diberi nama “Tuntutan Dewan banteng” ini, Perdana menteri Ir. Djuanda beserta segenap anggota kabinet dari PNI dan PKI malah menganggapnya sebagai pemberontakan. Kolonel Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato berapi api di depan corong RRI Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, namun justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi. Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Selain itu dia juga mengecam Soekarno karena kian memihak kepada komunis, membangun proyek proyek mercusuar dan menutup mata pada kesengsaraan rakyat terutama yg berada di luar Jawa. Surat rekomendasi itu sendiri baru diterima oleh presiden Soekarno saat dia sampai di Jakarta setelah kembali dari cutinya selama 2 minggu. Sungguh kenyataan yg ironis, disaat negara sedang bergolak maka paduka yg mulia pemimpin besar revolusi malah sedang asik menikmati gerak gemulainya tarian seorang gheisha yg kelak dikenal dengan nama Dewi Soekarno, isteri terakhir sang proklamator tersebut. Soekarno hanya tersenyum saja saat membaca surat rekomendasi tuntutan Dewan banteng yg kemudian hari memicu dibentuknya dewan dewan lainnya di daerah lain seperti Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Kol. Barlian), Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kol. Simbolon), dan Permesta di Sulawesi (Kol. Ventje Samual). Bagi Soekarno para kolonel tersebut hanyalah anak anak nakal yg sedang merengek rengek dan bertindak nakal sehingga perlu sedikit dijewer telinganya. Soekarno memang selalu memposisikan dirinya sebagai ayah di hadapan perwira perwira militer, angkatan darat khususnya.
Beberapa ikhtiar untuk mendamaikan konflik pusat dan daerah telah dilakukan, baik lewat lobi-lobi pribadi maupun lewat forum terbuka nasional seperti Munas bulan September 1957, Piagam Palembang dan lain-lain. Namun apalah daya, semua usaha itu mentah akibat sebuah kejadian yg menimpa Soekarno pada malam tanggal 30 November 1957. Saat menghadiri ulang tahun sekolah anaknya di Cikini seseorang melempar granat ke mobilnya. Paduka presiden seumur hidup itu selamat namun kejadian itu membuatnya merubah sikapnya yg semula agak lunak menjadi sangat keras terhadap lawan lawan politikya. Peristiwa yg dikenal dengan nama peristiwa Cikini itu menjadi salah satu alasannya untuk menangkapi lawan lawan politiknya dan otomatis itu artinya juga membalas protes para kolonel PRRI/Permesta dengan sebuah tindakan yg tegas. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang orang PKI untuk memukul telak lawan lawan politiknya yg selama ini menjadi duri dalam daging yg mengganjal hubungan antara mereka dan Soekarno.
Pasca peristiwa Cikini keadaan Jakarta bagaikan bara nan dapat meledak dan membakar siapa saja yg bertentangan dengan sang pemimpin besar revolusi. Fitnah yg berhembus entah dari mana menimpa setiap lawan politiknya terutama yg terkenal sangat memusuhi PKI. Rumah MR. Mohammad roem di Jakarta dikepung massa, untunglah dia beserta keluarganya dapat menyelamatkan diri lepas dari kepungan massa yg di sinyalir digerakkan oleh unsur unsur Pemuda rakyat dan SOBSI, organisasi underbouwnya PKI. Hal yg sama juga dialami oleh para tokoh Masyumi yg saat itu menjadi lawan politik Soekarno seperti Mohammad Natsir, mereka lalu mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan banteng. Hal ini sangatlah wajar jika mengingat sumatera tengah adalah basis massa Masyumi dan nyaris terbebas dari unsur unsur PKI sehingga mereka merasa aman dari ancaman orang orang PKI yg bersembunyi dibalik nama soekarnois. Bahkan seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (*PSI) yg juga menjabat menteri keuangan yg dituduh korupsi oleh pihak militer juga ikut mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan Banteng. Maka berkumpulah para lawan politik Soekarno dan orang orang PKI yg sedang menjadi benalu di sisinya di Sumatera tengah untuk melancarkan perlawanan terhadapnya.—— bersambung ke bagian 2—– (*Liga chaniago, akhir agustus 2013)
______________________________________Disalin dari Blog Hasril Chaniago: https://chaniagoxfiles.wordpress.com
Tanggal: 10 Januari 2014