Ciloteh Tanpa Suara # 99 -Saya datang melayat kerumah kawan saya yang mana istrinya meninggal dunia. Sehubungan ruangan rumah sempit banyak para pelayat duduk dihalaman yang dipasangi tenda. Setelah jam 11.00 WB belum ada juga tanda-tanda mayat akan dimandikan dan saya teringat sebuah hadis yang dikirimkan Abu Ayub teman Tunanetra saya
“Bersegeralah kalian menyelesaikan penyelenggaraan jenazah. Karena bila jenazah itu adalah jenazah orang shalih maka berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya, dan jika dia bukan orang shalih maka berarti kalian telah menyingkirkan kejelekan dari pundak kalian”. (HR. Al-Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944).[1]
Kemudian saya mendekat kepada salah seorang anak lelaki Almarhumah bernama Andan berusia sekitar 16 tahun, seraya bertanya, “Andan, siapa lagi yang akan kita tunggu?" tanya saya kepada Andan.
“Menunggu Om, adik ibu dari Padang,” ujar Andan.
Asing telingga saya mendengar panggilan Om kepada saudara laki-laki ibunya. Kemudian saya bertanya lagi“ Adik ibumu yang mana?.“ tanya saya kembali.
Andan pun menjawab ”Pak etek Awizar Dt.Pangulu Kayo, adik ibu yang paliang ketek, yang bekerja di Padang“.
Mangarumbuak perut saya entah merasa sakit entah merasa geli karena Andan menjawab Pak Etek kepada saudara ibunya yang menjadi pengulu dalam sukunya. Memang saya tahu bahwa Awizar yang berperawakan kecil bungsu 4 (empat) bersaudara adalah adik yang paling kecil dari Almarhumah yang sering memanggil dirinya dengan Etek (Ketek=kecil) dan orang sekantornya memanggil Pak Etek, tetapi Andan harus memanggilnya dengan Mak Etek (Mamak Ketek) bukan Om atau ikut-ikutan memanggil Pak Etek.
Andan adalah wakil dari generasi Z modern sekarang, yang tidak mengetahui bagaimana cara memanggil dari hubungan kekerabatan di Minangkabau. Ingatan saya menerawang terhadap kemenakan saya yang sejak kecil tinggal di Bengkulu apakah nanti berjumpa dengan saya dia panggil Pak Uo (Pak Tuo=tua) kepada saya karena saya adalah saudara laki-laki dari ibunya. Atau Kemenakan dan anak mamak saya yang merantau ke Pekan Baru memanggil saya dengan Om serta adik saya (saudara ayah) yang tinggal di Malaysia memanggil saya dengan Pakcik. Mungkin tertawa geli kalau ini terjadi pada saya nantinya.[2] Kemungkinan hal ini bisa terjadi, karena telah runtuhnya Rumah Gadang tempat berkumpulnya satu keluarga Sapasukuan, atau jarangnya kita bersilaturahim antar keluarga karena tempat yang saling berjauhan.[3] Ataukah seorang Mamak atau Penghulu yang tinggal di Rantau tidak pernah mengajarkan kepada kemenakannya, bahwa semua lelaki dalam pesukuan itu, dan dalam suku yang sama/serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut Mamak. Jadi Mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua lelaki yang segenerasi dengan ibu kita dalam suku yang serumpun. Dengan demikian kita punya Mamak Kanduang, Mamak Sejengkal, Mamak Sehasta, Mamak Sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaan. Mamak Kandung adalah Mamak dalam lingkungan se mandeh [se-ibu/sedarah]. Mamak tertua dan yang lebih tua dari ibu kita dipanggil dengan istilah Mak Adang dari singkatan Mamak nan Gadang sedangkan yang lebih muda dari ibu kita dipanggil dengan Mak Etek atau Mamak nan Ketek. Mamak yang berusia antara yang tertua dan yang termuda dipanggil dengan Mak Angah atau Mamak nan Tangah.[4]
Saya bertanya dalam hati, berapa persen lagikah Anak Minangkabau baik yang tinggal di kampung maupun yang hidup diperantauan memanggil kakaknya yang perempuan dengan “Uni” dan “Uda” untuk kakak lelaki. Antara mereka yang seusia, memanggil nama masing-masing. Si Iza memanggil si Ezi dengan menyebut Ezi. Si Anan memanggil si Ismail dengan sebutan Ismail.[5]
Masih adakah seorang Mandeh dan Mamak serta generasi yang lebih tua, memanggil anak-anak dengan panggilan kesayangan “Upiak” pada anak perempuan dan “Buyuang” untuk anak laki-laki. Dan masih banyak yang tahukah generasi sekarang terhadap panggilan kehormatan terhadap ibu dan saudara ibunya, serta generasi yang berada diatasnya. Anak memanggil ibunya dengan panggilan Mandeh – Amai – Ayai – Biyai – Bundo – Andeh dan di zaman modern ini dengan sebutan Mama – Mami – Amak – Ummi dan Ibu.[6]
Adakah lagi, Jika ibu kita mempunyai saudara perempuan yang lebih tua dari ibu kita (kakak ibu) maka sebagai anak kita memanggilnya dengan istilah Mak Uwo yang berasal dari kata Mandeh nan Tuo. Yang tengah dipanggil Angah. Bila ibu mempunyai adik perempuan, maka kita memanggilnya dengan Etek atau Uncu yang berasal dari kata Mandeh nan Ketek. Panggilan Etek ini juga kita lakukan terhadap seluruh saudara dari ayah kita. Sementara panggilan Pak Uwo bagi saudara ayah kita yang tua dan pangglian Pak Etek saudara ayah yang kecil dari ayah kita.
Dalam hubungan pesukuan, sebagai anak menjadi generasi kelima, memanggil “Uwo” atau “Nenek” kepada Mandeh dari ibu kita sendiri dan Mamak atau Tungganai (Mamak Kepala Waris) pada saudara lelaki dari Uwo (Nenek) kita. Berdasarkan pada pengelompokkan umur rata-rata, maka yang diangkat jadi Penghulu dalam pesukuan ini, biasanya dari kelompok Tungganai ini.
Selanjutnya pada generasi kedua kita memanggil Gaek untuk perempuan dan DATUAK dan ada yang memanggil ANDUANG, INYIAK dan OTE pada lelaki yang termasuk dalam generasi kedua ini.[7] Generasi pertama (kalau masih hidup) kita sebut dengan panggilan Niniak untuk perempuan dan Inyiak untul lelaki yang termasuk generasi pertama. Bagi mamak atau Tungganai yang diangkat jadi Penghulu, diberi gelar DATUAK. Keluarga yang seusia atau lebih tua dari Penghulu memanggilnya dengan “Ngulu”, sedangkan yang lebih muda dengan panggilan yang biasa seperti Uda dan Mamak. Dan ada di daerah Tanah Datar panggilan kepada Penghulu ANGKU DATUAK, sedangkan daerah AGAM panggilan kepada Penghulu INYIAK.
Tahukah adik dan kemenakan saya nantinya kalau mereka pulang kampung duduk di kedai untuk menyapa BAPAK bagi semua lelaki yang menjadi suami dari perempuan dalam pesukuannya atau yang disebut dengan SUMANDO.
Dan tahu jugakah kemenakan saya nantinya kalau dia pergi mengunjungi rumah saudara ayahnya yang di sebut dengan BAKO memanggil ETEK kepada saudara perempuan ayahnya, dan memanggil Pak Uwo, Pak Adang, Pak Angah atau Pak Etek/Pak Uncu kepada saudara laki-laki Ayahnya.
-----------
Catatan kaki oleh admin:
[1] Pada masa sekarang adat seperti ini sudah jarang dipakai, namun pada beberapa kampung masih ada yang memakai. Sekarang sudah lazim ditemui penyelenggaraan jenazah disegerakan sesuai dengan hukum Syari'at.
[2] Panggilan di masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat sekarang sudah mulai banyak yang dihilangkan. Panggilan 'om' dan 'tante' hampir mendominasi dan orang tua zaman sekarang juga enggan menggunakan panggilan khas Minang kepada saudara-saudaranya. Saudara-saudaranyapun enggan pula dipanggil dengan panggilan khas Minang yang dianggap 'kampungan' atau 'udik'.
[3] Silaturahim sesungguhnya tidak dipengaruhi jarak karena bagi yang tinggal berdekatanpun, silaturahim diantara mereka terkadang tidak baik.
[4] Panggilan di Minangkabau terhadap kerabat banyak macamnya (serta dialeknya, karena Bahasa Minang terdiri atas banyak dialek, tergantung kampung). Secara umum dapat dibagi kepada dua; Keluarga Ibu (sesuku) dan keluarga ayah (Dunsanak Ayah/Bako). Formula dasarnya bagi laki-laki; Seluruh laki-laki sesuku dengan kita merupakan saudara mamak (kandung ataupun sesuku) dan dipanggil Mamak. Dan seluruh laki-laki saudara ayah (kandung ataupun sesuku) ialah ayah/bapak kita dan dipanggil bapak atau ayah.
Keluarga Ibu:
Mak Adang (Mamak Nan Gadang)
Mak Ngah/ Mak Angah (Mamak nan di Tengah)
Mak Etek (Mamak nan Ketek)
Mak Ciak (Mamak nan Kaciak)
Mak Uncu (Mamak nan Bunsu)
terdapat panggilan lain khas kampung masing-masing yang tidak terdapat di kampung lain
Bagi suami dari saudara perempuan ibu, dipanggil Bapak, panggilannya sama dengan panggilan untuk bako (dibawah)
Keluarga Ayah:
Pak Tuo (Bapak nan Tuo) atau Ayah Adang/ Odang (Ayah nan Gadang)
Pak Ngah atau Pak Tangah (Bapak nan Tangah) atau Ayah Ngah/Ongah (Ayah nan Tangah)
Pak Etek (Bapak nan Ketek)
Pak Ciak (Bapak nan Kaciak)
Pak Uncu (Bapak nan Bunsu)
Adapun untuk panggilan kepada perempuan, hampir seragam antara keluarga ibu ataupun keluarga ayah. Terdapat perbedaan pada beberapa kampung, mengingat pluralitas dari budaya Minang itu sendiri.
[5] Uda - Uni merupakan panggilan dari Padang, masing-masing wilayah di Minangkabau memiliki panggilan berbeda-beda. Contoh untuk wilayah Agam (Kab. Agam & Bukit Tinggi) digunakan Tuan atau Wan untuk laki-laki dan Kakak atau Akak bagi perempuan. Adapun di Solok digunakan Kakak untuk laki-laki ataupun perempuan.
Adapun untuk panggilan sebaya, digunakan awalan Si- baru kemudian nama, pada beberapa kampung berbeda-beda pula. Seperti pada Nagari Magek di Luhak Agam, digunakan awaln I- sebagai ganti dari Si-
[6] Buyuang & Upiak sudah mulai jarang, ibu-ibu zaman sekarang menggunakan panggilan "Sayang' atau "Anak Mami/ Anak Mama/Anak Bunda" dan lain-lain. Panggilan kepada ibu: kami rasa Amak juga termasuk pada panggilan lama.
[7] Di Maninjau digunakan panggilan "Nambo"