Tampilkan postingan dengan label abdul halim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label abdul halim. Tampilkan semua postingan

Mengenang Kiprah dr. A. Halim di RSCM

Tulisan ini disalin dari blog; aswilblog.wordpress.com


[caption id="" align="alignright" width="480"] RSCM Dahulu [Pict: Disini][/caption]Artikel ini disusun untuk mengenang salah satu diantara tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang agak terlupakan selama ini dan telah meninggalkan kita 22 tahun yang lalu.






Nama dr. Abdul Halim mungkin tidak terlalu dikenal oleh generasi muda sekarang. Dokter spesialis THT ini disebut oleh Rosihan Anwar sebagai politikus kesasar. Betapa tidak? Tahu-tahu karena situasi dan panggilan perjuangan kemerdekaan, ia terlontar ke gelanggang politik dan berperan sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari Oktober 1945 hingga Juli 1950. Lalu Januari 1950 hingga September 1950 menjadi Perdana Menteri RI di Jogjakarta (era RIS) dan setelah itu diangkat menjadi Menteri Pertahanan NKRI yang pertama (di masa Perdana Menteri Natsir). Namun ternyata beliau lebih mencintai profesinya sebagai dokter sehingga sisa masa hidupnya dihabiskan di dunia kesehatan.Untuk mengenang jasa-jasa almarhum, dr. Abdul Halim dinobatkan oleh Ikatan Alumni FKUI sebagai salah satu dari 3 tokoh Salemba 6 (FKUI) yang memiliki nilai kejoangan yang patut diteladani. Dua tokoh lainnya adalah dr. Abdurrahman Saleh (pendiri RRI dan perintis AURI) dan dr. Darmasetiawan, yang pernah menjadi Menteri Kesehatan dalam kabinet Sjahrir dan direktur kedua CBZ (kini RSCM).

Dibawah ini adalah sepotong kisah dr. A. Halim di RSUP Jakarta yang disarikan dari buku sejarah lisan terbitan Arsip Nasional R.I. yang berjudul Diantara Hempasan dan Benturan, kenang-kenangan dr. Abdul Halim 1942-1950.

Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, Halim sudah berprofesi sebagai dokter dan bekerja di RSUP Jakarta. Direktur rumah sakit yang sebelumnya warga negara Belanda (dr. Bochart) digantikan dengan Prof. Dr. Asikin (almarhum) pada bulan Desember 1942. Bulan Juli 1943 dr. Halim diangkat sebagai Wakil pemimpin kedua, dibawah Prof. Asikin.


Mengenang Kabinet Halim (1950): Pergumulan diantara dua raksasa



[caption id="" align="alignright" width="500"] Picture: Here[/caption]

Hari ini 27 Desember 2009, RNW (Radio Nederland Wereld Omroep) Hilversum akan mengadakan acara 60 tahun Peringatan Penyerahan Kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Wartawan senior Rosihan Anwar telah bertolak ke Belanda atas undangan RNW untuk menghadiri beberapa acara yang sudah dipersiapkan seperti seminar dan siaran radio. Untuk Rosihan, ini merupakan napak tilas dalam kesaksiannya baik Konperensi Meja Bundar (Agustus – November 1949) maupun penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana kepada Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta (27 Desember 1949).Bagi Indonesia, karena Sukarno dan Hatta telah diangkat menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka kekosongan kursi Presiden RI diisi oleh Mr. Assaat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (KNIP) sebagai Pemangku Jabatan (Acting) Presiden RI. Sementara dr. Abdul Halim terpilih untuk mengisi kursi Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri RI di Yogyakarta yang merupakan negara bagian dari RIS.




Kenang-kenangan Abdul Halim X




  1. [caption id="" align="aligncenter" width="492"] Picture: Minangkabau Tempo Dulu[/caption]

    MENJADI MENTERI PERTAHANAN


T: Kami ingin menanyakan kepada Bapak, sekitar masalah-masalah ketika Bapak menjadi Perdana Menteri R.I. di Yogyakarta. Masa-masa itu mung­kin sangat menarik, tapi belum pernah diungkapkan di mass media, atau katakanlah tidak pernah ditulis. Masalah itu mungkin saja sangat lucu bagi Bapak, atau sebaliknya Bapak tidak begitu senang atau malah men­dongkol dengan adanya masalah itu. Untuk permulaan, bagaimana approach Bapak terhadap para menteri yang terdiri dari berbagai macam kekuatan politik itu, sehingga di dalam mengambil keputusan keputusan bisa dilaksanakan dengan lancar.


J: Apa yang saudara katakan bahwa menteri-menteri saya banyak warna-­warninya, artinya aliran politiknya, itu memang benar. Dan memang ke­tika kabinet terbentuk saya telah membuat program pemerintah untuk disampaikan kepada Badan Pekerja. Saya sebagai bekas anggota Badan Pekerja sudah tahu liku-likunya. Justru karena itulah tidak banyak meng­hadapi soal yang sulit-sulit. Sebagai Perdana Menteri R.I. Yogya, kesa­lahan kami hampir-hampir tidak kelihataan, dibanding dengan mereka yang duduk di RIS. Sebab untuk hubungan internasional dikerjakan oleh RIS. Lobbying-lobbying juga banyak. Saya tidak pernah memanggil seorang menteri kalau saya perlukan, Karena padaumumnya menteri­-menteri saya itu lebih tua dari saya. Terlebih dahulu saya telepon. Ke­mudian saya datang dengan menyetir mobil sendiri tanpa pengawal. Wah banyak juga yang protes, oleh karena justru saya yang mendatangi mereka. “Saya yang harus datang kepada Perdana Menteri”, kata mereka. Satu hal yang agak panting adalah ketika [kita] menghadapi guntingan [uang] yang dilaksanakan Menteri Keuangan RIS, Sjafruddin Prawira­negara. Dan memang [sebelumnya] Yogya samasekali tidak diajak konsul­tasi. Menteri Pendidikan saya, almarhum pak Mangunsarkoro [merasa] di by pass. Dia adalah figur yang sangat berpengaruh di PNI. “Ini tidak bisa, ini tidak bisa,” katanya. Dan saya mendengar itu dari Lukman Hakim. Paginya kita mendengarkan radio, [kemudian] malamnya kita adakan sidang mengenai itu. Saya telepon rumahnya pak Mangunsarkoro. Saya tanya mbakyu Mangunsarkoro, apa pak Mangun ada di rumah atau tidak, ada maksud saya datang siang hari itu. Saya kangen ingin makan disana, kata saya. Hebat kan. Saya datang kesana. Saya bawa Lukman Hakim. Kami diterima oleh mbakyu Mangunsarkoro. ”’Piye Lim” [katanya] da­lam bahasa Jawa, Wah mas Mangun marah-marah. Dia masih di kamar itu. Terus dia datang. Cerita keadaannya. Yang utama adalah rasa harga d­irinya yang di by pass…

Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: Bab IX




  1. [caption id="" align="alignleft" width="448"] Picture: Tropen Museum[/caption]

    MEMBENTUK KABINET HALIM


T: Kali ini kami mohonkan dr. A. Halim dapat menceritakan beberapa masalah sekitar terbentuknya Kabinet Halim di Yogya pada tahun 1950, dan persoalan-persoalan yang terjadi sebelum terbentuk Kabinet itu.


J: Ya. Sebenarnya pada waktu itu saya tidak pernah impikan akan jadi Per­dana Menteri. Juga [saya] tidak pernah menginginkannya. Saya malahan sudah siap-slap untuk kembali ke Jakarta setelah pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Dan kembali ke profesi saya sebagai dokter ahli THT, bekerja di rumah sakit umum pusat. Tapi apa mau dikata. Rupa-rupanya antara Masyumi dan PNI, dua partai terbesar pada waktu itu, tidak dapat kata sepakat, siapa dari mereka yang akan menjadi Perdana Menteri. Sedangkan soal Pejabat Presiden tidak menjadi masalah, sebab Mr.Assaat sebelum menjadi pejabat itu adalah Ketua Badan Pekerja dan Ketua KNIP. Presiden [Sukarno] ke Jakarta, dan Mr. Assaat menjabat Presiden [R.I. Yogyakarta]. Lain persoalannya dengan Perdana Menteri. Saya kaget. Pada suatu ketika saya didatangi oleh Bung Natsir dan al­marhum Mangunsarkoro. Mereka datang tidak bersama-sama. Bung Natsir menawarkan, “Masyumi bisa menerima Bung Halim menjadi Perdana Menteri. Kita tidak bisa mengajukan personalia yang bisa diterima PNI. Sebaliknya kita juga tidak bisa [menerima] orang PNI. Mereka mempu­nyai [ calon ] tapi kita tidak bisa terima.”


T: Apa yang menjadi pertengkaran mereka. Apa sebetulnya yang [terjadi] di belakang layar.


J: Itu sulit untuk menyebutkannya, tapi saya [kira] seakan-akanrivalry.


T: Antara tokoh atau antara partai.


J: Ya. Di kita sangat sulit untuk mengatakan, apa yang persis semata-­mata soal kepentingan partai tanpa dicampuradukkan [dengan] kepen­tingan pribadi. Sampai sekarang di Indonesia sulit untuk memisahkan itu. Jadi, saya menolak waktu itu. Pak Mangun dan Lukman Hakim mengata­kan kepada saya, “itu baru ide dari orang-orang PNI yang demokrat yang bisa menerima dr. Halim sebagai formatur dan Perdana Menteri. Jadi be­lum tentu diterima kalau dibawa ke [rapat] Dewan Partai.” Saya sendiri tidak mempunyai ambisi. Saya tidak terlalu interested, bodo amat, begitu toh. Saya bukan orang politik. Memang ternyata setelah diadakan rapat Dewan Partai PNI, “karena tidak ada persesuaian dengan Masyumi, PNI, dapat menerima figur dr. Halim”. [Usul] diajukan oleh Susanto Tirto­prodjo dan beberapa orang dari PNL Saya dengan Mr. Sartono su­dah [dekat] sejak saya di INPO, suatu organisasi [kepanduan].

Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: Bab VIII

[caption id="" align="alignleft" width="259"] Picture: Here[/caption]

VIII. MENJEMPUT TOKOH-TOKOH PDRI


T : (Pada) pertemuan-pertemuan kita yang telah lalu, mulai dari yang pertama sampai yang ke enam Bapak telah menceritakan kepada saya berbagai masalah yang Bapak alami sejak tahun 1942; sejak Jepang masuk, sampai ke Indonesia Merdeka dan kemudian tahun 1947. Sebelum Bapak menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia di Yogya, ada masalah-masalah yang sangat penting yang kiranya dapat Bapak ceritakan, umpamanya saja menjelang penyerahan kedaulatan.


J : Baik. Yang antara lain masih terasa pada tahun 1949, yaitu Peristiwa Serangan 1 Maret 1949 di Yogya, [yang] mempunyai efek politis sangat besar ke luar. Itu berarti bahwa perlawanan kita belum padam. Walaupun juga kita merasa [kemudian] ada side effect ataupun kick backdari Belanda, bagi kami yang tetap tanggal di dalam kotaYogyakarta. Tentara kita setelah menyerang mengundurkan diri ke luar kota.

Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: Bab VII

[caption id="" align="aligncenter" width="600"] Map of Luhak Agam but Tanjuang Mutiara is not part of Luhak Agam. This map originally take from Agam Regency Map[/caption]

VII. BERKENALAN DENGAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX.

T: Bapak menyebutkan banyak tokoh dalam wawancara-wawancara

terdahulu, Dua yang sangat menonjol adalah Sutan Sjahrir dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

J: Dimana itu.

T: Dalam cerita-cerita Bapak sebelumnya.

J: Ooooo Ya.

T: Bapak menyebutkan, bertemu buat pertama kali dengan Sutan Sjahrir pada jaman Jepang, tetapi Bapak barangkali terlupa menyebutkan, kapan sebetulnya Bapak pertama kali berkenalan dengan Sri Sultan Hemengku Buwono IX.

J: [dengan] Hamengku Buwono [sebelumnya] saya sudah sering dengar dengar tentang beliau. Pertemuan saya pertama kali yang membawa rasa yang mendalam bagi saya (bangkit dari duduk sambil mengambil foto Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan pengkisah di kamar kerja) adalah sebelum Aksi Militer [Belanda] I.

T: Jadi sebelum itu belum kenal secara pisik.

J: Ya. Sebelum Aksi Militer I itu, kita kan bolak-balik Yogya-ke sini (Jakarta). Pada suatu ketika di wagon, bukan KLB, bukan Kereta Api Luar Biasa, kita juga sering pakai KLB’ tetapi kereta api biasa yang ada wagon luar biasanya. Itu adalah tempat [duduk] para menteri, kita, dan sebagainya. Sebab perkeretaapian up till that time masih kita kuasai. Yang menjalankan [kereta] kita semua. Cuma ya, di Bekasi apa itu sudah stop, tidak langsung masuk kota Jakarta. Pada suatu ketika, kita (pengkisah dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX) duduk dalam satu wagon yang sama, tapi tidak berdekatan. Saya tahu itu Hamengku Buwono, dia bersama adik nya dan sebagainya (ada suara klakson di halaman). Adiknya yang satu yang kenal dekat dengan saya siapa namanya ya, adiknya se-bapak, Pangeran Bintoro, pernah Duta Besar di Bangkok. Nah, pendeknya kereta api berhenti di Cikampek menunggu green light untuk masuk Jakarta. Waktu itu kira-kira pukul 3 atau pukul 4 sore. Kan panas itu.

Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: Bab VI


  1. KOMISARIS PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DIJAKARTA


T: Pada pertermuan yang lalu Bapak bercerita bahwa Bapak akan mencerita­kan tentang tugas Bapak sebagai Komisaris Pemerintah Republik Indone­sia di kota Jakarta yang langsung bertanggung jawab kepada Dewan Mente­ri. Hal ini menurut Bapak terjadi tanggal 7 Juni 1947. Kemudian Bapak waktu itu akan menceritakan pengalaman Bapak ketika bertemu dengan Komisi Jenderal Belanda di Istana Merdeka sekarang.


J: Istana Merdeka Utara, Het Paleis dulu.


T: Bagaimana itu ceritanya, asal mulanya dan kenapa Bapak yang ditunjuk.


J: Saudara akan kecewa, apa yang akan saya kemukakan. Yang jelas saya dijadikan Komisaris Pemerintah RepublikIndonesia oleh sidang kabinet yang diadakan di Magelang, tanpa saya ditanya lebih dahulu [oleh] Kabinet Sjahrir III, di mana Roem [menjabat Menteri] Dalam Negeri, Moh. Natsir[Menteri] Penerangan. Kita belum bisa mengatakan bahwa secara juridis kota Jakarta diduduki. Tapi de facto [Sekutu] memang kuat.

Kenang-kenangan dr. Halim: Bab V.


  1. MENCARI DEVISA


T: Begini pak Halim, saya ingin tahu bagaimana pengalaman-pengalaman Bapak pada akhir tahun 1946 atau 1947. Ya, katakanlah sekitar saat Linggarjati dibicarakan dan kemudian diparaf, dan sampai kepada agresi I bulan Juli 1947.
J: Saya pergi ke Singapore bersama-sama dengan Sutan Sjahrir, tanpa banyak bicara bawa bubuk opium, untuk dijual guna mendapatkan fonds devisa.
T: Pada siapa . . .
J: Itu saya tidak tanyakan.


T: Yang menjual siapa


J: Yang menjual adalah Dr. Suroso, we are dengan Sjahrir.


T: Tapi Sjahrir waktu itu ke Singapura sebagai apa.


J: Sjahrir waktu itu (sambil mengetok meja dengan pinsil) dia telah menjadi Penasehat Presiden. [Dia] sudah jatuh, sudah aksi ]Belanda] I lah. [Wak­tu] Kabinet baru terbentuk dia diangkat menjadi Penasehat Presiden. Malam itu juga beliau terbang ke luar negeri, dan pada tanggal 14 Agustus berbicara atas nama Republik di [PBB] Lake Success mengenai agresi I itu. Yang ingin saya jelaskan bahwa di tahun 1947, di mana saya mem­punyai role penting, yaitu sekali [naik] kapal terbang dengan Critchley, ke Bukittinggi . . .

Kenang-kenangan dr. Halim: Bab IV.


  1. SATU ORANG DENGAN EMPAT PERISTIWA


[caption id="" align="aligncenter" width="438"] Picture: Tropen Museum[/caption]

T: Pada pertemuan-pertemuan yang telah lalu Bapak telah menceritakankegiatan tahun 1945. Sekarang kami mengharapkan dari Bapak cerita-cerita di tahun 1946, dan bagaimana aktivitas Bapak pada tahun ter­sebut, kemudian bagaimana peranan Bapak terhadap masalah-masalah be­sar yang telah terjadi pada tahun 1946 itu, antara lain mungkin peranan Bapak sebagai tokoh politik dalam Badan Pekerja, atau sebagai a loner seperti yang Bapak pernah bilang.


J: Baiklah. Kalau saudara mengharapkan banyak role saya, atau peranan saya di tahun 1946 sampai dengan sidang KNIP terakhir di Malang tahun 1947,maka saya kira tidak banyak. Soalnya begini. Kalau soal-soal pendirian partai-partai itu saya cuma melihat dan mengikuti. Oooo hebat. Sebetul­nya kegiatan yang dijalankan oleh tokoh-tokoh politik yang akhirnya di­koordinasikan dalam Persatuan Perjuangan. Kalau saya tidak lupa, dika­takan termasuk dalam itu 144 organisasi yang hidup termasuk included partai. Jadi mereka sangat kuat dan juga bisa membuat statement yang hebat-hebat. Itu saya sadari. Saya berbicara dengan Bung Hatta dan Su­peno mengenai soal ini, bagaimana kira-kira menghadapi arus yang keli­hatannya bertambah besar. Tapi saya sendiri seperti yang saya katakan. saya bekerja sebagai a loner. Saya ingat di tahun 1946 yang berkesan di hati saya ialah pengungsian Presiden dan Wakil Presiden tanggal 3 Januari itu ke Yogya. Sudah itu pencarian tempat buat Badan Pekena yang lambat laun harus mengungsi pula, karena sudah terasa betul keamanan di kantor P & K ini (sambil menunjuk ke Cilacap 4) sudah sangat minim.

Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: Bab III

[caption id="" align="aligncenter" width="535"] Picture: Tropen Museum[/caption]

III. I am a loner

T: Kali ini kami ingin tentang kegiatan Bapak setelah sidang pleno tanggal 16-17 Oktober 1945, terutama kegiatan Bapak dalam Badan Pekerja KNIP, sampai akhir tahun 1945, khususnya sampai kepindahan Bapak ke Yogyakarta.


J: Saya sudah katakan bahwa saya memprotes sama Sutan Sjahrir ketika saya dipilih menjadi anggota Badan Pekerja. Tapi itupun tidak digubris. Dan karena itu saya mulai ikut berapat. Kami mengambil tempat di Gedung P & K ini (sambil menunjuk ke Jalan Cilacap 4 atau yang sekarang ditempati oleh Ditjen Kebudayaan Dep. P & K), di ruangan sebelah bawah. Dan saya ingat, rapat-rapat Badan Pekerja itu mulai paling lambat pukul 8, paling cepat selesainya pukul 4 sore dengan makan [siang] di gedung itu. Activity yang kami lakukan sebagai [anggota] Badan legislatif, ialah membuat peraturan-peraturan. Maklumlah negara baru, banyak persoalan-persoalan di camping banyak juga pekerjaan-pekerjaan eksekutif sebetulnya. Saya ingat dari semua anggota hampir semua datang, kecuali Sukarni dan dr. Tadjuluddin, Bung Adam Malik jarang, sekali-kali datang, yang lainnya hampir selalu ada,. Saya sendiri belum sempat untuk melihat kembali di Arsip DPR, apa-apa saja yang dibuat di waktu kami menjadi [anggota] Badan Pekerja, periode 17 Oktober sampai 3 Januari 1946. Saya ambil tanggal 3 Januari, itu sebetulnya teoritis benar. Sebab yang pindah pada tanggal 3 Januari 1946 itu adalah Presiden dan wakil Presiden. Saya juga ikut naik kereta api di sana (sambil menunjuk ke belakang Pegangsaan Timur atau Jalan Proklamasi sekarang) dan terus sampai ke Yogya. Kemudian saya sering bolak balik Jakarta – Yogyakarta. Badan Pekerja sementara masih tetap di sini, karena pada waktu itu Perdana Menteri masih di Jakarta, walaupun gangguan-gangguan makin meningkat karena bertambah banyaknya Nica itu. Di muka gedung kami ini, di SMA yang gedung P & K itu, dulu kita bikin suatu kantor penghubung, untuk mengurus Allied Prisoners of War and Internees (Rapwi).


T:  Penghubung dengan apa.


J:  Penghubung dengan Sekutu.


T:  Antara pemerintah…


J : Ya, katakanlah Pemerintah kita, tapi dalam bentuk beberapa officer, per­wira dan kita. Saya dan Subadio sering ke sana untuk membantu. Ya. Se­perti saya katakan, betul-betul kami tidak berlebihan kalau dikatakan bekerja keras pada waktu itu. Tapi saya sendiri sudah lupa ya, apa-apa yang dibuat Badan Pekerja itu (sambil mengetok meja dengan pinsil) yang di atas kertas, yang resmi ditandatangani dan sebagainya.
Mengenai peraturan-peraturan barangkali saudara bisa lihat, bicarakan de­ngan Sitompul. Saya ingat pada ketua Badan Pekerja yang biasanya pakai celana pendek.


T: Siapa itu…


J: Sjahrir, pakai celana pendek (sambil ketawa), sebagai ketua Badan Peker­ja, ada arloji besar segini dikantongnya. (sambil mencontohkan). Saya akan bercerita, sebab saya terpesona oleh orang ini. Tidak ada rasa takut,  personal fear. Yang saya maksud mungkin dia merasa takut buat negara, buat diri sendiri tidak, persis seperti Bung Hatta. Saya alami sendiri, ke­tika pada suatu sore, selesai rapat kami berdua keluar dari sini, di P & K ini. Baru saja keluar, sudah ditodong enam orang Nica Ambon. Ya, saya angkat tangan. Tapi Sjahrir tangannya dimasukkan ke kantong celana pendeknya. Ambon mau menusuk dia, [Sjahrir] tanya (sambil ketawa). “What time is it”, “pukul berapa” (sambil ketawa). Nica itu tidak sangka yang mau diambil Sjahrir arloji begini gede.(sambil memberi contoh tangan dikepal). Saya pikir, apakah dibikin-bikin Sjahrir main gila begini, main-main dengan jiwanya, saya tidak tahu. Tetapi bagaimanapun akhir­nya kami dibiarkan pergi. Aaaaaa… ada cerita. Dia dengan pak Budiono di simpang lima Cut Mutiah, yang sekarang Teuku Umar, Jalan Cikini Raya, Jalan Penggarengan, Menteng (sambil menunjuk ke Jalan tersebut). Dari utara dengan pak Budiono, sekretarisnya dahulu. Sekretaris ini anak re­gent. Akhirnya meninggal, sebagai Gubernur Jateng. Budiono itu ditahan oleh sebelas orang Nica. Perdana Menteri yang pegang stir. Ditembak [tapi] macet, bertambah marah itu Ambon, dan terus memukulkan pistolnya ke muka Sjahrir. Kejadian itu dia tidak cerita sama kita. Pak Budiono yang cerita. Sudah itu Sjahrir datang, pipinya bengkak. Orang pada tanya, “kenapa ini”. “Tidak kenapa-kenapa”, katanya. Kami toh [tahu] dari pak Budiono. Supeno juga ngomong sama saya,”gila si kecil, hampir mati dia”. Yang saya ceritakan ini tidak ada hubungannya dengan Badan Pekerja. Hanya dia sebagai bekas anggota Badan Pekerja di Solo dan sebagainya. Dia menganggap buat apa untuk banyak bercerita. Buat kita kejadian-kejadian tersebut berarti bahwa keadaan keamanan di Jakarta sudah sangat memuncak. Karena itu pada suatu rapat di mana saya juga ikut hadir.


T:  Rapat Badan Pekerja…


J : Tidak. Rapat Kabinet inti, artinya Sjahrir dan beberapa kawan-kawan. Kit: putuskan, “Presiden dan Wakil Presiden”. [dipindahkan] . Sjahrir langsung berkata sama saya, “kalau Presiden terbunuh atau dibunuh, kita akan susah, kalau Perdana Menteri bisa kita cari gantinya berapa banyak”, kata Sjahrir. Karena itu Presiden dan wakil Presiden dipindahkan. Kelihatannya tidak ada hubungannya dengan saya. Tapi toh itu memberikan kita [kesimpulan] bahwa Ambon Nica itu bertambah lama beitambah bersimaharajalela. Nanti bisa berakibat Presiden tertembak. Karena itu, insiden itu, menurut saya mempunyai impact sendiri, dan impact di dalam pertimbangan saya sendiri. Itu tanggal 3 Januari 1946, melalui belakang Pegangsaan Timur 56, pada senja hari kami berangkat dengan kereta api ke Yogya.


T: Kalau Maklumat 1 November itu bagaimana pak, Kenapa timbul gagasan untuk membikin konsep itu.


J : Buat saya itu sangat sulit untuk mengatakannya. Sjahrir itu orangnya suka berpikir. Yang saya ingat dia datang pagi-pagi pada suatu hari sebelum orang lain pada datang. Dia bilang “Bung Halim, kita tidak bisa terus-terusan begini”. Saya tidak mengerti maksud Bung . “Saya kira, kita mesti membuat maklumat, supaya Sekutu itu bisa melihat bahwa kita ini bukan fascisme, bahwa kita ini betul-betul ke arah demokrasi”. [Dia] terus ngomong, terus bercerita. Oh tunggu dulu, saya stop, jangan terlalu cepat, ayo kita ke atas ketemu mas Suwandi, sekretaris waktu itu. Sudah itu saya panggil Sitompul…


T:  Sitompul itu Stenograf…


J: Stenograf. Saya panggil untuk mencatat. Entah berapa lama Sutan Sjahrir ngomong (sambil mengetok meja).


T : Jadi dengan kata lain bersih merupakan gagasan Sjahrir…


J: Saya saksi kedua yang masih hidup, Sitompul masih hidup. Sebetulnya yang hadir Suwandi, Sjahrir, Sitompul dan saya. Waktu itu Sitompul masih ada kerjaan. Saya panggil. Lekas! Penting!. Sudah itu diketik. Saya diminta oleh Sjahrir untuk memeriksa, diminta untuk memperbaiki tatakrama bahasanya. Setelah itu selesai, saya baru mengerti. [Kata Sjahrir] , “Bung Halim, ini bukan kita yang teken, ini mesti dibawa ke Presiden”. Saya dapat tugas untuk itu. Saya pergi ke Wakil Presiden.


T: Kenapa harus Wakil Presiden.


J: Pertanyaan saudara itu sangat susah buat saya. Apa Bung Karno berhalangan pada waktu itu atau bagaimana. Pokoknya saya bawa ke Bung Hatta. Saya bilang, Ini Bung, Badan Pekerja membuat ini, tapi sebetulnya Sutan Sjahrir menganggap perlu bahwa Pemerintah membuat statement seperti ini . Pokok-pokoknya saya kemukakan. Tapi baiklah Bung Hatta baca sendiri . Di situ kita sudah buat nama Wakil Presiden. Tinggal neken saja sebetulnya. Cuma satu patah kata yang dirobah. Dus seluruh itu [disetujui] , sudah itu ditandatangani. Saya tidak baca lagi, tapi saya masih mgat itu, dia mengatakan: “bahwa dipersoalkan minoritas Ambon”. Orang itu semua menurut saya adalah warganegara Indonesia. Di situ, bukan kita, pemerintah menganjurkan didirikannya partai-partai, supaya adanya landasan demokrasi untuk negara ini. Itu soal-soal pokok-pokok ya, [di samping] beleid ke luar negeri, sebanyak mungkin cari kawan dan sebagainya. Apakah rencana itu saya bacakan di sidang Badan Pekerja, apa tidak saya sendiri, tidak ingat. Yang jelas semua itu disetujui, apakah itu melalui rapat saya tidak tahu. Pendeknya sudah itu saya diutus ke Wakil Presiden membawanya.


T: Dengan siapa.


J : Sendiri saja, naik sepeda, kan dekat dari sini.


T: Rumah pak Hatta masih di Jalan Diponegoro sekarang…


J: Sudah di jalan Diponegoro, persis. Sekarang saya ingat, di sekitar Proklamasi saya pun ke sana, ke Diponegoro. Itulah Maklumat 1 November 1945. Almarhum Mr. Suwandi bilang, “Memang Bung Kecil ini bukan main otaknya”. Mr. Suwandi itu bukanlah orang sembarangan. Belau itu orang yang sangat tinggi di jaman Belanda, di P & K, berpangkat referendaris, beliau kagum juga. Kemudian hari, ketika kita mulai cekcok karena kebanyakan partai-partai, kami dipersalahkan, karena cepat betul melangkah. Cukup banyak orang yang bilang, kalau dulu tidak diizinkan partai-partai, tidak akan pecah-pecah begini. Itu laterya. Tapi maksud kami itu, to impress, untuk memberikan kesan pada Sekutu, pada dunia umumnya bahwa negara yang dibentuk ini adalah berlandasan demokrasi dan tidak menganut nasionalisme yang sempit. (diam sejenak).


T:             Latar belakang lain…


J : Setahu saya tidak ada. Itukan sebetulnya seakan-akan Manifesto Politik Pemerintah Republik Indonesia. (Ada bunyi mobil yang sangat deras baru datang di halaman). Setelah itu yang paling ramai adalah ketika Badan Pekerja harus mempertanggungjawabkan kepada sidang pleno KNIP soal pembentukan Kabinet Parlementer. Sidang pleno KNIP itu diadakan di muka RSUP.


T:                   November 1945.


J : November. Jadi memang sudah kami atur dalam arti kata, Ooo saya tahu, dan akan banyak oposisi dan akan banyak orang berkata, “bertentangan dengan UUD 45″…


T: [Tentang] sistem parlementer…


J: Sistem parlementer, memang benar begitu keadaannya.


T:           Benarnya bagaimana…


J : Ya, dalam arti debatnya sangat seru. Mr. Moh. Yamin, dan beberapa orang lagi yang berdebat, saya kira juga Natsir ikut berdebat. Oooo cuma kita punya argumentasi kena. Kita berkata, “tunjukkan di UUD satu pasal yang melarang adanya parlementer kabinet”.


T:   Jawab mereka bagaimana…


J: Mmmmmm. Di sini tidak ada. Tapi mereka bilang, “jiwa dari UUD 45 adalah kabinet Presidensial dan bukan parlementer kabinet”.


T: Terus argumentasi dari Bapak.


J: Kita tahu bahwa bukannya soal benar tidaknya, [tapi] momentum pada kita,timing tepat, situasi psikologis menguntungkan kita. Kita mempunyai inisiatif, mereka tidak. Dan karena mereka dulu banyak bekerja dengan Jepang dan sebagainya. Ya, itu secara, katakanlah barangkali moral, mereka tidak begitu kuat menghadapi Badan Pekerja yang homogen dan bebas dari pengaruh Jepang.


T: Karena kolaborator itu.


J: Ya, ya, sebab kami selalu [beranggapan] di negara ini untuk pos-pos penting, supaya orang yang dulunya [bekerjasama] dengan Jepang hendaknya pergi. Nanti kalau sudah beres, telah diakui oleh dunia internasional mereka boleh kembali. Kami tidak ngomong secara kasar seperti itu. Dan juga ini adalah sejalan dengan hasil daripada pleno KNIP di Balai Muslimin. Begitulah, juga [Prof. Dr.] Sutan Takdir Alisjahbana ikut berdebat. Cuma mereka kalah (sambil ketawa). Inisiatif jelas menguntungkan. Saudara lihatlah, tidak lama sesudah itu [lahir] Kabinet Sjahrir I ya toh, saya tahu 14 November ada kabinet…


T: Ya betul…


J: Saya masih ditanyai oleh Sjahrir (diam sejenak). Entah di tiap-tiap pembentukan kabinet itu, entah kenapa itu, sejak dulu saya selalu diikutsertakan, untuk menjawab pertanyaan, “hai Bung, bagaimana orang ini, apa yang jij dengar mengenai calon menteri ini”.


T: Kata Sjahrir…


J: Bukan hanya Sjahrir, later on juga (sambil mengetok pelan di meja), Kabinet Hatta dan Kabinet Natsir. Mungkin Sjahrir hanya proforma [sebetulnya ] , dia telah mengetahui (ketawa geli), kadang-kadang keyakinan saya begitu. Orang ini sampai sekarang saya masih kagumi. Karena itulah, secara berkelakar saya bilang, bukan Sutan Sjahrir, tapi “Setan Sjahrir” (ketawa bersama).


T: Dalam sidang-sidang Badan Pekerja itu, Bapak menyebutkan ada yang sering tidak datang, antara lain Adam Malik, Sukarni. Kira-kira kenapa mereka tidak datang.


J: Kalau Bung Adam, dia mempunyai activity sendiri di Antara. Kalau Tadjul, saya minta maaf, barangkali saya mistake, apakah Tadjuluddin betul-betul seperti yang saya katakan, yang jelas bagi saya seakan-akan Tadjul tidak ada. Itu positif in my heart, saya tahu.


T: Tidak aktif, tidak datang atau karena tidak ada suara.


J: Ya begitulah. Saya tidak begitu yakin. Saya tahu Sjafruddin, saya tahu Mangun, saya tahu Sudarsono, ya Badio, Supeno, apa lagi, Suwandi, di mana kita kerjasama itu. Tapi kolega saya ini, saya mau cek. Kalau Karni saya tahu. “Minta maaf”, tiap datang, sebentar pergi lagi. Kalau Bung Adam jarang betul. Malah sekali datang ke rumah saya di Jalan Muria 19, soal Antara. Saya juga tidak habis pikir, kenapa orang dua ini, Adam dan Sukarni ini dipakai oleh Bung Sjahrir. Saya tidak pernah tanya, seakan-akan saya anggap biasa saja.


T: Kalau hubungan Sukarni dengan Bung Kecil ini bagaimana…


J: Tidak begitu rapat, tapi menghargai Sjahrir, apakah mereka ada understanding saya tidak tahu.


T: Dari segi gagasan masing-masing bagaimana. Katakanlah sampai ideologi.
Apakah sama ataukah mereka itu saling berbeda pendapat.


J: Umumnya sama garis besarnya. Nanti ada garis Tan Malaka, garis Sjahrir. Itu jelas Sukarni [mengikuti] Tan Malaka. Wah, katakanlah dia punya dewa itu. Yang jelas dalam diri Sukarni itu is ingin menampakkan bahwa dia revolusioner. Ya, waktu tanggal 16 Agustus 1945 itu datang [dan] ketemu saya di rumah Bung Hatta, dia pakai pistol. Memang begitu wataknya. Dan juga saya kira Karni dalam sidang tidak bisa, sulit buat [dia] ikut sidang yang teratur begitulah. Kayaknya bukan tempat dia begitu (sambil ketawa). Dia cukup baik. Dalam Kabinet saya, Kabinet Halim, sebetulnya semula Adam Malik akan dijadikan Menteri Penerangan. Tetapi Bung Natsir bilang, “Masjumi tidak bisa terima”. Saya lihat ini linenya bagaimana ini. Kalau saya ambil memang line-nya Adam dahulu. Ideologinya sama dengan Sjahrir, kenapa Bung Natsir tidak terima.


T: Kalau dalam sidang-sidang Badan Pekerja, yang banyak mendominir sidang siapa. Artinya yang gagasannya banyak, dan pokoknya sering mendominir sidang dengan pengertian gagasan begitu, bukan yang banyak ngomong saja.


J: Kami hampir tidak banyak membuang tenaga [untuk] perdebatan, karena kwalitet daripada orang-orang dalam Badan Pekerja I itu sangat baik. Dus tidak ada deh untuk membuang tempo buka mulut kalau tidak perlu. Orang tidak bisa melupakan Mangunsarkoro, jelas…


T:                                Kenapa.


J : Memang dia selalu aktif. Kalau ada apa-apa umpamanya rencana, dia ‘mempunyai pendapat sendiri dan dia perjuangkan. Tapi dia juga cukup demokratis. Jadi selama Badan Pekerja di Jakarta kami belum pernah untuk mengadakan sesuatu peraturan, mengadakan voting. Baru later on di Purworejo. Wah sudah adu-adu kuda deh.


T:          Kenapa perbedaan itu.


J: Nah oleh sebab semula kami belum  uitgesproken. Baru mulai di Purworejo itu. Saya sendiri sudah lupa kapan kami pindah ke Purworejo…


T: Tahun 46, sudah ada perwakilan-perwakilan…


J: Ya, Masjumi, PNI, PSI, dan sebagainya, sudah terikut ideologi. Dan di situ memang banyak masalah yang terbengkalai, karena sudah kelihatan di situ unsur partai yang ditonjolkan.


T:      Kenapa pilih Purworejo…


J: Saya sendiri, pak Wijono (almarhum) anggota Badan Pekerja, [dan] Susilowati ditugaskan untuk mencari tempat. Mula-mula kami pergi ke Madiun. Sudah itu akhirnya ke Purworejo.
Kami menetapkan tempat di Purworejo, diterima oleh Badan Pekerja. Baru kami pergi ke Bupati Purworejo dan sebagainya. Akhirnya pindah. Kami harus mendapatkan gedung yang mempunyai sarana-sarana yang cukup untuk bekerja. Madiun tidak memenuhi syarat. Tentu ada orang akan bertanya, kenapa tidak Yogya…


T:                             Atau Solo.


J: Mereka waktu itu tidak sanggup lagi memberikan gedung yang layak.


T: Mereka itu artinya pejabat di daerah itu.


J : Ya. Sedangkan ketika kami pergi ke Purworejo, kami lihat di situ ada Hotel Van Laar di Jalan Jakarta. Itu hotel Belanda yang sudah kosong. Dan cukup banyak kamar-kamarnya, di mana karni bisa mengadakan sidang dan rapat-rapat.


T: Sebelum masalah di Purworejo saya ingin menanyakan antara Maklumat 1 November dan karangan Sjahrir Perjoeangan Kita. Saya kebetulan baca keduanya. Saya bandingkan kok sama. Saya ingin tanya sebelum Bung Sjahrir memformulasikan Maklumat 1 November atau Manifesto Hatta itu telah memberikan kepada masyarakat lebih dahulu dengan memuatnya di koran. Apakah itu bukan suatu move Sjahrir.


J : Saya kira mungkin saudara benar. Saya kira karangan Sjahrir itu,Perjoeangan Kita, [waktu] itu sedang diketik untuk dicetak oleh saudara M. Tabrani. Pernah dengar nama M. Tabrani atau mas Tabrani.


T:                                     Ya…


J: Di situ saya masih minta, sebelum diketik [dan] di zet, kata-kata “anjing-anjing” [dibuang].
Saya hantam Bung Sjahrir, ini Bung tidak pantas; “ya OK deh perbaiki deh,” katanya. Tapi kenapa mas Tabrani yang juga kawan baik saya tidak lagi melaksanakannya, saya tak tahu. Apakah perkataan-perkataan “anjing-anjing Jepang” sengaja tetap ditinggal sehingga melukai orang-orang berkolaborasi dengan Jepang, dimaksud menimbulkan resentment terhadap Sjahrir, I don’t know, politik kotor deh, jangan lupa.


T:                         Ya, ya, betul.


J: Saya telah bilang dan Sjahrir mengakui [kemudian] , saya pergi ke Tabrani, tapi keluar cetakan kok the same.


T                 : Tanpa diperbaiki.


J: Ya, tanpa dihilangkan kata-kata “anjing Jepang itu.” Sedangkan Sjahrir sudah mengaku. Tapi saya bertambah lama bertambah tahu waktu itu bahwa politik itu bisa kotor. Artinya kita bisa melakukan politik seperti Bung Natsir cs, “dengan moral”. Ada orang yang mengatakan lain, tujuan menghalalkan segalanya, ini yang payah. Jadi kalau saudara bilang apakah ada hubungan dengan apa…


T: Yang disiarkan oleh Sjahrir.


J : Saya kira you may be right. Saudara mengerti mengapa Sjahrir waktu itu bisa berpidato begitu saja, kalau dia tidak [persiapkan] , ya, beberapa ditambah isinya bukan, terlebih dahulu.


T: Mana yang duluan membuat brosur Perjoeangan Kita dengan Bung Sjahrir membuat pertemuan untuk Manifesto 1 November itu.


J : (Diam sejenak). Sulit buat saya menjawabnya. Saya mesti tanya Ulfah Santoso seharusnya tahu, dia juga baca. Badio saya kira juga tahu. Karena [ada] pertanyaan saudara itu, saya sendiri sudah agak flashback sedikit. Kayaknya hampir same moment, begitu ya.


T : Ya. Ini satu lagi pak. Kami pernah membaca suatu keputusan Badan Pekerja yang meminta kepada Presiden supaya diadakan pertanggungjawaban Menteri kepada parlemen. Keputusan Badan Pekerja itu kemudian dipraktekkan dalam kabinet Sjahrir ke I. Nah ini yang memberikan gagasan dalam Badan Pekerja ini siapa ini.


J : (diam sebentar). Itu sebetulnya bagi kami tidak ada perdebatan itu. Kita menganggap setuju diadakan. Karena KNIP yang kita anggap parlemen tidak bisa bersidang setiap hari, maka Badan Pekerja sebetulnya penggantinya. Jadi kita anggap parlementer kabinet itu bertanggung-jawab ke


pada Badan Pekerja. Itu tidak ada perdebatan samasekali. Jadi… kita anggap itu [biasa] , dan itu memang dilaksanakan. Apa lagi ketika kami sudah ke Purworejo itu, malah Perdana Menteri harus datang ke Purworejo. Dia datang naik kereta api dari Yogya ke Kutoarjo.


T : Ada deretan titik-titik keputusan. Mulai dan referendum agar KNIP dijadikan badan legislatif, kemudian Maklumat 1 November, pertanggungjawaban kabinet kepada Badan Pekerja, dan terakhir munculnya Kabinet Sjahrir. Kami ingin tanyakan kepada Bapak, apakah ini sudah merupakan suatu konsepsi yang jelas sebelumnya, sehingga [ aktivitas] selanjutnya hanyalah merupakan realisasi saja dari Sjahrir cs. begitu. Kami melihat adanya eskalasi dari suatu perjuangan, apa benar ini.


J : Saya tidak membantah itu, dalam arti kata I am not so sure. Saya waktu itu juga seorang pejuang dan juga seorang pergerakan seperti Sjahrir. Terang dong di mana saya mendapat momentum saya akan membuat ide. Saya waktu itu tidak termasuk inner circle, belum masuk saya…


T: Katakanlah kelompok Sjahrir.


J: Ya saya belum termasuk. Kita anggap apa yang keluar itu semua logis, proporsional.


T: Dengan kata lain Bapak tidak pernah mempersiapkan master plan.


J: Tidak, samasekali tidak. Apa yang saya katakan itu saya cuma mencari konklusi [kenapa] diadakan Badan Pekerja. Badan Pekerja sudah diberi nama, katakanlah parlemen sementara. Lain dengan akhlak yang ada padanya sebagai parlemen. Hal itu tergantung pada vitalitas dan aktivitas dan anggota-anggotanya untuk memperlihatkan. Jika mereka belum mempunyai orang-orang sehingga kalau memanggil menteri [clan] menteri itu cuma kirim sekjen begitu, tunggu dulu!. Ini terlalu penting, saudara tidak bisa diterima.”
Nah, di situ baru betul-betul nyata bahwa [anggota] mempunyai pandangan at least as equal dengan menteri. Kalau hanya datang proforma, dikirim orang begini, “tidak, begitu-begitu tidak selesai, tidak bisa dong,” Inilah kemenangan anggota Badan Pekerja yang biarpun tidak anggap kwalitasnya cukup kuat, walaupun sudah di Purworejo.


T: Kalau begitu kapan Bapak merasa bahwa Bapak sudah termasuk dalam kelompok Sjahrir.


J: Sebetulnya, I am a loner, artinya saya tetap sendiri, non party. Badio, Supeno [masuk] partai Sosialis (diam sejenak). Darsono. Sedangkan Sjafruddin, Natsir, Masyumi. Saya non partai. Cuma karena termasuk apa namanya, jika dikatakan termasuk Partai Sosialis, tidak ada orang yang akan protes. Sekali saya ikut rapat pengurus Masyumi dengan Natsir, Sjafruddin, Roem, Prawoto. Begitulah keadaan saya.
Sehingga almarhum dr. Sukirman bertanya, “dik Halim ini partainya mana sebenarnya.” Nah dengan orang-orang PNI saya juga dekat. Paling rapat dengan pak Mangunsarkoro. Lukman Hakim adalah my close friend, Subagio Reksodipuro kawan juga. Nah kalau you tanya bagaimana ini, memang saya ini mendapat cap sebagai orang PSI …


T: Sebagai orang PSI.


J: Ya. Ketika Partai Sosialis pecah…


T: Menjadi kelompok Amir dan Sjahrir itu.


J: Ya. Itu [peristiwanya] di Yogya toh, di rumahnya Subadio Sastrosatomo, yang mengambil rol yang terpenting adalah saya (berpikir sejenak) Saya sangat ingat setelah pecah itu, ketika Badan Pekerja berapat di Malioboro di Yogya itu. Krissubanu bilang, “mas Halim ini kenapa namanya tidak ada di sini “(sambil mengetok meja dengan pinsil). Kami kan sudah bikin partai baru, tetapi nama saya tidak ada…


T: Dalam susunan pengurus PSI…


J: Ya. [Saya] dekat dengan Krissubanu, saya dekat dengan Nyoto. Jadi kalau dikatakan saya itu dekat dengan Sutan Sjahrir, saya tidak bisa membantah, tapi saya tidak merasa anggotanya (ketawa bersama). Cuma saya tahu, ooooo, sebelum agresi I, dus masih di Pegangsaan Timur, Sjahrir mengatakan suatu statement buat Komisi Jenderal yang dianggap oleh sayap kiri itu terlemah. Itu rapat 27 Juni di Yogyakarta, saya juga ikut hadir di mana Sjahrir berpidato. Saya bilang, Bung ini akan kacau (rekaman tidak jelas). Mereka kirim Setiadjit dan Abdulmadjid, mengambil alih samasekali sayap kiri, padahal dia tidak mengerti isyarat kata-kata Sjahrir di dalam mengasi konsesi itu. Yang saya mau katakan, saya lebih mudah menangkap [pikiran] Sjahrir daripada orang lain, kecuali Subadio dan Supeno. Kami bertiga, tangan kanan bagi dia. Juga dalam partai [Masyumi] itu. Bung Natsir is masih hidup, tanya sama dia. Dia bilang “nah apa maksud Orakel van Delphi.” Saya menjiwai apa yang dikatakan [ Syahrir] itu, tidak tahu saya kenapa. Di dewan partai juga begitu. Djohan Sjahroezah yang barn meninggal, [juga] Sugondo, tanyalah. Nah kebetulan saya bisa mengerti betul. Adakalanya kalau saya tidak ngerti saya tanya pada beliau. “Bung! ini bagaimana ini, gua tidak ngerti.” Dirangkul saya itu, dia betul-betul rangkul. “Begini Bung ya, ini saya bilang terus terang,” Subadio langsung memotong, “sejak kapan kamu itu terus terang, biasanya noch terus, nochterang, bukan terus terang, selalu kacau” (sambil ketawa). Itu kalau sudah keki sama dia. Dia ketawa kalau kami bilang begitu. Orangnya sangat sulit didekati, karena itu juga menurut faham saya itu adalah sebuah tragedi.


T: Jadi kalau Bapak tidak menolak disebutkan sebagai salah seorang yang termasuk dalam lingkaran kelompok Sjahrir, tapi juga merasa bukan kelompok Sjahrir, kalau begitu apa…


J: Supaya saudara tahu, saya tambah ya kenapa saya mula-mula menolak, ketika saya diajukan sebagai formateur oleh PNI—Masyumi di Yogya…


T: Formateur apa…


J: Kabinet Halim. Mr. Sartono bilang, “kalau ambil dr. Halim kepalang tanggung, minta saja Sjahrir sebagai Perdana Menteri kembali,” Dus saya dianggap…


T: Orang Sjahrir lah…


J: Nah itu yang akan saya katakan. Mr. Sartono sendiri [bilang] “buat apa ambila second man toh, ambil saja Sjahrir sendiri, kepalang tanggung,” secara sinis.


T: Yang ingin saya tanyakan, kalau memang Bapak bukan anggota, katakanlah tidak termasuk lingkaran kelompok Sjahrir, tapi juga tidak menolak untuk disebutkan begitu; kalau begitu setiap Sjahrir mengajukan ide-ide atau gagasan-gagasannya, nah, apa yang menyebabkan Bapak setuju dengan gagasan ini; ya, maksud saya dalam kerangka Badan Pekerja ini.


J: Tidak itu saja. Semua yang dia perbuat buat saya itu logis. Umpamanya ketika Belanda mengadakan blokade terhadap Republik Indonesia. Jadi kita banyak kekurangan bahan antara lain tekstil, dan India kebetulan sedang menderita kelaparan, Sjahrir menawarkan beras kepada India untuk ditukarkan dengan tekstil. Walaupun terdapat pula reaksi yang negatif dan beberapa pimpinan, pengiriman beras diteruskan antara lain dan pelabuhan Cirebon. Hal ini berarti sekaligus kita berhasil menembus blokade Belanda. Jadi hubungannya dengan pertanyaan saudara tadi, sulit bagi saya untuk menjawab. Orang lain bisa berkata, “orang ini adalah orangnya Sjahrir begitu.” dan saya tidak bisa marah.


Red: (pewawancara mengingatkan pengkisah bahwa waktu yang disediakan pengkisah sudah terlampaui. Wawancara kemudian dihentikan. Bagian ini berisi basa-basi perpisahan).


 

https://aswilblog.wordpress.com/2008/12/07/kenang-kenangan-dr-abdul-halim-bab-iii/

Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: Bab II

II. MENJADI ANGGOTA BADAN PEKERJA KNIP

[caption id="" align="aligncenter" width="700"] Picture: Tropen Museum[/caption]

T: Pada pertemuan sebelumnya, Bapak telah menceritakan kepada kami bahwa Bapak mendatangi Bung Karno pada tanggal 14 Agustus 1945. [Mengapa] Bapak mendatangi Bung Karno.


J: Saya termasuk yang menginginkan Proklamasi hendaknya dilakukan se­belum Jepang formal menyerah. Karena itu saya datang kepada Bung Kar­no. [ Saya katakan] , keadaan sudah begini, sebaiknya lebih cepat berbuat sesuatu yang berhubungan dengan Proklamasi. Tapi saya harus akui, ba­rangkali dapat dihitung berapa orang yang sependapat dengan saya. (Diam sejenak).


T: [Apakah Bapak sendiri saja], pergi


J: Ya sendiri saja, mengendarai sepeda ke Pegangsaan Timur No. 56. Saya sudah dengar pada akhir kekuasaan Jepang itu, [bahwa] Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia [PPKI] dan sebagainya sudah ada, semua didele­gasikan oleh Jepang. Dan justru karena itu, saya ingin [Proklamasi] ini bukanlah bikinan Jepang.


T: Maksud Bapak dilakukan di luar PPKI.

Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: bab I

Tulisn ini disalin dari aswilblog.wordpress.com silahkan klik tautan pada akhir tulisan untuk menuju ke blog tersebut.




[caption id="" align="alignleft" width="211"] Picture: Here[/caption]

Artikel ini ditujukan bagi generasi muda Indonesia yang mungkin belum banyak tahu atau bahkan belum pernah mendengar satu diantara sejumlah tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang seolah tenggelam dengan berlalunya sang waktu.


Dr. Abdul Halim yang pernah menjabat Perdana Menteri RI di Yogyakarta dan Menteri Pertahanan NKRI Pertama di tahun 1950 merupakan satu diantara 3 tokoh alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang “dinobatkan” oleh ILUNI FK sebagai tokoh Salemba 6 yang memiliki "nilai kejoangan" yang patut diteladani. Dua tokoh lainnya adalah dr. Abdurrahman Saleh (pendiri RRI dan perintis AURI) dan dr. Darma Setiawan, yang pernah menjadi Menteri Kesehatan di kabinet Sjahrir dan direktur kedua CBZ (kini RSCM).


Cuplikan dibawah ini diambil dari buku sejarah lisan yang diterbitkan secara terbatas oleh Arsip Nasional R.I. pada tgl kelahiran alm. dr. Halim, 27 Desember 1981 yang diberi judul Diantara Hempasan dan Benturan,kenang-kenangan dr. Abdul Halim 1942-1950.


Semoga ada manfaatnya.
===================================================

dr. Abdul Halim, Perdana Menteri yang Terlupakan


Minang Saisuak #257 – Dr. Abdul Halim: Putra Bukittinggi yang jadi Perdana Menteri (1950)






Dr. Abdul Halim

Rubrik ‘Minang saisuak’ kali ini menurunkan kodak Dr. Abdul Halim, putra Bukittinggi yang pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia pada tahun 1950.


Dr. Abdul Halim dilahirkan di Bukittinggi tgl. 27 Desember 1911. Beliau adalah kemenakan Mr. Assaat,[1] acting (Pejabat) Presiden Republik Indonesia semasa RIS (Republik Indonesia Serikat; profil Mr. Assaat sudah kami turunkan dalam rubrik ini tgl. 17-1-2016).


Setelah tamat di Hollandsch-Inlandsche School (HIS),[2] Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),[3] dan Algemeene Middelbare School (AMS),[4] Abdul Halim muda mengikuti kuliah di GHS (Perguruan Tinggi Kedokteran)[5] di Jakarta sampai 1940 dan lulus dengan gelarArts.[6]


Kemudian ia menjadi dokter dan bekerja di Rumah Sakit Umum Negeri Jakarta (Sekarang RSCM[7]) sebagai asisten bagian THT.


Ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran, Abdul Halim menduduki tempat yang terpenting dalam dunia olah raga Indonesia. Demikianlah umpamanya, ia pernah memimpin perkumpulan olahraga “Setiaki”, ketua Persatuan Sepakbola Jakarta (Persija), pemimpin teknis Persija, wakil pemimpin besar “Gelora”, dan pemimpin PSSI di Jakarta.


Beliau adalah salah seorang anggota senior KNP dan BP KNIP.  Untuk beberapa waktu Dr. Abdul Halim dalam tahun 1947 menjadi Komisaris Pemerintah di Jakarta, dan kemudian menjadi kepala Seksi Luar Negeri dan Penerangan BP KNIP. Dalam tahun 1949 beliau duduk dalam delegasi pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang lebih dulu dalam bulan Maret bertolak ke Bangka untuk mengadakan perundingan dengan pemimpin Republik yang ditawan Belanda di Bangka, yaitu dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta cs. Dalam bulan Juni tahun itu juga berangkatlah Dr. Halim bersama-sama dengan Drs. Mohammad Hatta ke Kotaraja (Aceh). Di sana ia mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah Darurat di Sumatera terkait dengan perundingan Roem – Van Royen.


Walaupun Dr. Abdul Halim dalam tahun 1945 untuk beberapa waktu lamanya duduk sebagai anggota Partai Sosialis dan menjadi anggota BP KNIP, pada tanggal 16 Januari 1950 beliau ditunjuk sebagai politikus tidak berpartai untuk memangku jabatan Perdana Menteri (PM) Republik Indonesia. Beliau menjabat PM dari 16 Januari 1950 – 5 September 1950, dengan wakilnya Abdul Hakim.


Riwayat hidup Dr. Abdul Halim antara lain dapat dibaca dalam buku Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah (Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia, 2010: 108-111). Salah satu perjuangan PM. Abdul Halim yang perlu dicatat ialah bahwa beliaulah, bersama M. Natsir, yang mengembalikan Indonesian menjadi negara kesatuan, dengan jalan membubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS), demikian Chaniago (h. 111).


Setelah keluar dari dunia politik, Dr. Abdul Halim pernah mengirim surat terbuka kepada Presiden Soekarno, tertanggal: “Djakarta, 27 Mei 1955”, yang mengingatkan “Putra Sang Fajar” menyangkut keadaan ekonomi dan penghidupan rakyat  jelata yang makin sulit akibat percekcokan politik yang makin tidak berkeruncingan di kalangan elit (lihat: “Surat terbuka Dr. Halim kepada Bung Karno”, Pesat: Mingguan Politik Ekonomi & Budaya, No. 23, TAHUN XI, 8 DJUNI 1955 :7-8).


Dokter yang “tersesat” menjadi politikus ini tetap membujang sampai akhir hayatnya. “Beliau meninggal di RSCM Jakarta, rumah sakit yang pernah dipimpinnya, pada hari Sabtu tanggal 4 Juli 1987.” (Chaniago, 2010:111).


Apakah ada kenangan yang dibuat oleh masyarakat Bukittinggi terhadap putra daerahnya yang berjasa di pentas nasional ini? Kenang! Kenanglah beliau! Sebisa kita.


Suryadi – Leiden, Belanda | Singgalang, Minggu, 27 Maret 2016


(Sumber foto: MadjallahMERDEKA No. 15, Th. III,  15 April 1950: 5; Sumber teks sebagian besari diambil dari: Penuntun. Madjallah Kementerian Agama Rep.IndonesiaNo. 10, Th. Ke IV, Oktober 1950: 195-196).


_____________________


Catatan Kaki [oleh; Bukit  Tinggi Heritage]


[1] Mr. Assat dengan ayah dr. Halim saudara satu ibu lain ayah.


[2] Sekolah Belanda untuk penduduk pribumi. [Lihat wikipedia]


[3] Memiliki arti "Pendidikan Dasar Lebih Luas" yang merupakan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di masa Belanda. [Lihat wikipedia]


[4] Pendidikan Menengah pada masa Kolonial Belanda. [Lihat wikipedia]


[5] Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Kedokteran) biasa disingkat menjadi GH te Batavia atau GHS yang dibuka sejak 16 Agustus 1927 diBatavia (sekarang Jakarta), adalah perguruan tinggi kedokteran pertama dan lembaga pendidikan tinggi ketiga di Hindia Belanda setelah dibukanya THS Bandung tahun 1920 dan RHS Batavia tahun 1924. [Lihat wikipedia]


[6] Dokter dalam Bahasa Belanda


[7] Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo