ASPEK.ID, JAKARTA – Zentgraaff mencatat, pekerja paksa (Beer) dari Jawa di Aceh, kadang bersikap licik dan culas untuk sedikit mengurangi beban kerjanya.
Mereka diadu domba dengan mengangkat seorang mandor dari kalangan beer itu sendiri untuk mengawasi dan menghukum mereka-mereka yang licik.
Suatu ketika, Letnan Jenae pada 1905 memimpin dua pasukan infantri bersenjata 40 karaben dengan bayonet, mengawasi 400 pekerja paksa dari Kuala Simpang Aceh Timur ke Penampaan, Blang Kejeren Aceh Tenggara.
Pekerja paksa itu mengangkut minuman keras untuk para Marsose di medan perang, berkaleng-kaleng minyak tanah untuk pasukan di bivak-bivak. Dengan mendaki gunung dan menuruni lembah, beban berat itu diikat di punggung kuli-kuli dari Jawa.
Pekerja paksa berpikir agar beban muatan bisa berkurang sedikit demi sedikit. Kaleng-kaleng minyak dibuat bocor dengan melubangi sehingga sedikit demi sedikit minyak itu tumpah.
Begitu juga dengan minuman keras. Poci-poci dibuat berkurang isinya sedikit demi sedikit. Sementara tenda-tenda perkemahan yang mereka angkut, yang merupakan barang bawaan yang paling dibenci para beer karena besar dan berat dihanyutkan saat menyeberangi sungai.
Sehingga ketika sampai ke tujuan barang bawaan mereka tinggal setengahnya saja. Letnan Jenae kemudian membuat peraturan baru bagi para pekerja paksa pengangkut logistik.
Pekerja paksa yang ditakuti, diangkat sebagai mandor mengawasi para pekerja paksa lainnya. Kepada para mandor itu diberi tanggungjawab menjaga barang bawaan tidak berkurang satu pun.
Setelah berjalan beberapa hari, pasukan Jenae yang mengawasi 400 pekerja paksa itu tiba di Brawang Tingkeum, daerah yang dianggap angker di Gayo.
Di sana mereka harus menyeberangi sungai Wih Ni Oreng. Dari seberang sungai, mereka ditembaki oleh para pejuang Aceh.
Para pekerja paksa yang terjebak dalam sungai saling berpegangan tangan agar tidak hanyut. Sementara 40 tentara Belanda pimpinan Letnan Jenae yang mengawasi pekerja paksa tersebut membalas tembakan para pejuang Aceh yang berada di tebing sungai.
Sementara budak yang berada paling belakang tidak mendapat pengamanan. Dari rumput alang-alang 20 pejuang Gayo menyerang dan merampas barang bawaan para pekerja paksa itu.
Zentgraaff menulis kisah Kimun yang dibawa ke Aceh pada 1896 sebagai pekerja paksa dengan hukuman 20 tahun. Kimun di Aceh pada masa Teuku Umar melakukan taktik menipu Belanda dengan menyerah pura-pura.
Setelah Teuku Umar kembali ke rakyat Aceh, Kimun menawarkan dirinya untuk menembus daerah kepungan pasukan Aceh mengantar surat kepada pasukan Belanda di daerah lain.
Tindakan itu diambil Kimun agar Belanda mengurangi masa hukumannya di Aceh dan bisa segera dipulangkan ke Jawa. Kimun ditangkap oleh gerilyawan Teuku Umar. Dia luka parah, badannya penuh sabetan pedang dibuang ke sungai.
Dalam keadaan hampir meninggal, Kimun ditemukan Belanda terapung di Lambaro, Aceh Besar. Belanda merawat dan mengobatinya. Dia gagal mengantar surat, namun dibebaskan dari hukuman dan bisa kembali ke Jawa.
Tapi Kimun menolaknya, karena dendam terhadap orang Aceh yang menyiksanya dengan sabetan pedang dan membuangnya ke sungai. Ia tetap tinggal di Aceh sebagai babu pada Grasfland opsir Belanda.
Ketika Grasfland meninggal, Kimun pindah ke rumah opsir lain dan tetap sebagai babu di Lhokseumawe. Suatu hari, dia membeli sebotol limun di Keude Cina. Ketika hendak minum, seorang polisi menangkapnya karena menduga pekerja paksa yang kabur. Kimun memukul kepala polisi itu dengan botol limun.
Atas perbuatannya itu Kimun kemudian dihukum sepuluh tahun. Dia dikirim ke Jambi sebagai pekerja paksa. Dari Jambi dibawa ke Manado. Dari Manado sana dibawa ke Surabaya dan dibebaskan dari sisa hukumannya.
Di Surabaya, dia memohon kepada opsir Belanda yang pernah bertugas di Aceh Velman, agar bisa kembali ke Aceh. Veltman menerimanya sebagai tukang masak masak di Tapaktuan. Di Tapaktuan, Kimun membuat masalah lagi dan hendak dihukum. Kimun kabur ke Sigli melalui rimba dan hilang jejaknya.
Perlakuan orang Belanda kepada kuli dari Jawa sangat tidak manusiawi. Jadi musuh pejuang Aceh dan dihina oleh opsir-opsir Belanda dengan panggilan babi lanang.
Nasib manusia rantai yang membangun rel kereta api juga meninggal sangat tragis. Mereka dipaksa bekerja sampai kehabisan tenaga, sedangkan makanan kurang. Mereka yang tidak melaksanakan perintah, akan dicambuk dengan rotan.
“Saya tidak dapat menghilangkan kenangan saya akan wajah beberapa orang pekerja paksa, masing-masing berdiri pada batang pohon, terikat tali, untuk menerima hukuman sebanyak 25 pukulan cemeti rotan,” kata Zentgraaff.
Di antara beer-beer itu terdapat pula cukup banyak orang-orang pemberani, yang mendapat perintah-perintah berbahaya.
Saat Belanda menerapkan taktik perbentengan terpusat untuk melawan pejuang Aceh, saban pagi pekerja paksa itu menyusuri rel trem untuk memeriksa ganjalan-ganjalan rel dan memperbaiki sekrup yang longgar.
Hal itu harus mereka lakukan karena pejuang Aceh sering meletakkan bahan peledak di rel yang bila tersentuh roda kereta akan meledak.
Untuk membersihkan ranjau-ranjau dan bahan peledak di rel, setiap malam para beer harus menjaga lampu yang terdapat di luar benteng pertahanan.
Belanda tidak mendokumentasikan nama-nama manusia rantai dari Jawa yang diangkut ke Aceh dan tidak didata di mana saja kuburannya. Berbeda dengan Marsose yang memiliki kompleks makam di Kerkhof di Banda Aceh.
Kuburan tentara dari Belanda atau pribumi Nusantara di Banda Aceh adalah kompleks makam terbanyak kuburannya di luar Belanda. Belanda tidak mencatat nama-nama budak itu karena mereka orang-orang hukuman yang pantas dihilangkan dari pentas dunia.