JEJAK DIASPORA MELAYU DI TANAH MAKASSAR
Penggunaan sebutan Ince'/Incek di depan nama diri menunjukan bahwa ia masih berdarah Melayu. Misalnya Ince' Noordin, Ince' Abdullah dsb.
Sepanjang kurang lebih 150 tahun telah terjadi perkawinan campuran di antara para bangsawan Bugis-Makassar dengan orang-orang Melayu. Keturunannya tidak lagi menyebut diri sebagai orang Melayu melainkan menyebut diri orang Bugis atau orang Makassar. Identitas yang menandakan bahwa seseorang masih berdarah Melayu hanya terlihat pada titulatur nama diri dan sebutan-sebutan dalam kekerabatan. Penggunaan sebutan Incek di depan nama diri menunjukan bahwa ia masih berdarah Melayu digunakan secara terbatas, sementara penggunaan nama panggilan Pa‘Daengang yang menunjukkan predikat kebangsawanan atau tubaji oleh seorang tubaji/tudeceng lebih popular digunakan.
Dalam Kota Makassar itu hingga sekarang ada terdapat daerah Kampung Melayu, yang dulu memiliki kepalanya sendiri yang diberi gelar Ammatowa Kampung Melayu. Orang Melayu di Bandar Makassar kebanyakan mengurusi pelabuhan, bahkan ada yang menjadi syahbandar dan masuk jajaran menteri di Istana Gowa-Tallo.
Sejak kedatangan orang-orang Melayu ke Kerajaan Gowa (Makassar), peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan Sosial-Budaya dan bahkan dalam birokrasi. Besarnya jumlah dan peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa menyebabkan Raja Gowa XII, I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1565-1590), membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk kepentingan orang-orang Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam.
Di zaman Raja Gowa X (1546-1565), seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajou yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang yang juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa Ke-2. Sejak saat itu, secara turun-temurun jabatan syahbandar berturut-turut dipegang oleh orang Melayu sampai dengan Syahbandar Ince Husa Syahbandar Kerajaan Gowa (1669) ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC. Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, jabatan ini diduduki oleh seorang bernama Melayu, Incik Amin. Juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI (1653-1669), ini sangat terkenal melalui syair yang sebuah karya tulis yang amat indah berjudul Shair Perang Mangkasar yang mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669, dikisahkan dalam bahasa Melayu berabjad serang (Jawi) Arab-Melayu.
Sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia timur, khususnya di Sulawesi Selatan, tidak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga dalam bidang pendidikan, penyebaran agama Islam dan kebudayaan Melayu.
Berbagai naskah keagamaan dan karya-karya sastra diterjemahkan dari bahasa Melayu kebahasa Bugis/Makassar. Seperti Hikayat Rabiatul Adawiah, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Shahi Mardan Ali Al Murtada, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Nabi ber Mi‘raj, Laila Ma‘jannung, Hikayat Marakarma, Hikayat Amir Hamzah, Budi Istiharat, Hikayat Cekal Weneng Pati, Hikayat Indra Putera, Hikayat Darma Ta‘siah, Hikayat Puteri Jauhar Manikam, dan banyak lagi.
Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antarpulau yang melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Melayu dari Johor, dan Patani. Karena, sekalipun orang-orang Melayu itu sudah menetap di Makassar hampir satu abad lamanya, mereka tetap mempunyai hubungan baik dengan negeri asalnya di Tanah Semenanjung dan pulau-pulau sekitarnya. Oleh karena itu, setiap tahun kapal-kapal orang Melayu membawa secara rutin barang dagangan dari Makassar dan pulau sekitarnya.
Dari beberapa sumber diperoleh keterangan bahwa sampai awal abad ke-17 rempah-rempah yang dibawa dari Banda ke Makassar diantarpulaukan oleh orang Jawa dan Melayu. Demikian pula komoditas beras yang merupakan hasil utama Sulawesi yang diekspor ke Malaka sejak tahun 1511, kemungkinan besar tidak dilakukan sendiri oleh orang-orang Bugis/Makassar, tetapi orang Bajau dan orang Melayu yang sudah di Makassar. Barulah pada tahun 1621 orang Makassar mulai turut mengambil bagian yang panting dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Ketika itu Kerajaan Gowa (Makassar) mulai memegang peranan penting sebagai kerajaan maritim di kawasan timur Nusantara. Di bawah kekuasaan Raja Gowa XIV, I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin 1598-1639.
Tidak dapat diketahui secara pasti orang-orang Melayu Patani dan Minangkabau mulai bermukim di Salajo, daerah pesisiran negeri Makassar di Sanrobone. Dari beberapa sumber lokal menyebutkan bahwa orang Melayu mulai bermukim di Salajo tak lama setelah keruntuhan Melaka tahun 1511 oleh Portugis.
Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani. Adapun Datuk Makotta bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung (di Salajo). Merekalah generasi pertama pendatang Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Sanrobone, daerah kawasan Kerajaan Gowa.
Di Salajo terjadi perkawinan antara orang-orang Melayu-Patani dengan orang-orang Melayu dari Minangkabau. lkatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir, dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta.
Dalam sistem kemasyarakatan orang-orang Melayu, orang-orang terpandang Melayu menggunakan titulatur Incek di depan nama diri, seperti Incek Ali, Incek Talli, Incek Hasan. Kemudian terjadi perkawinan campuran antara orang-orang Melayu dengan orang Bajou (Turijene, Bahasa Makassar) yang ditandai perkawinan Incek Tija, Putri Incek Ali, cucu Tuan Rajja/Tuan Aminah dengan seorang tokoh rnasyarakat Bajau di Sanrohone yang dikenal dengan nama Lolo Bajo. Perkawinan ini melahirkan generasi masyarakat Melayu campuran Bajou dan Sandrobone (Makassar). Generasi yang lahir dari campuran daerah Melayu-Bajou-Makassar di Salajo yang dikenal dengan penggunaan titulatur Kare di di depan nama diri, seperti Kare Bali, Kare Tongngi, Kare Ponto, Kare Muntu, dst. Seseorang yang memilki titulatur Kare menempati tempat yang sangat terhormat dalam sistem kemasyarakatan Makassar.
Pada generasi selanjutnya ketika terjadi perkawinan campuran antara keturunan Incek dan Kare dengan orang Makassar, lahirlah sebuah generasi baru Makassar keturunan Melayu atau Generasi baru Melayu keturunan Makassar-Melayu di Nusantara bagian karat, yang secara umum dikenal sebagai golongan masyarakat tubaji (bahasa Makassar) atau tudeceng (bahasa Bugis). Mereka menggunakan titulatur Pa‘Daengang seperti I Minallang Daeng Kenna, I Nali Daeng Tonji, I Yoho Daeng Siang dst.
Generasi baru yang lahir dari percampuran darah Melayu-Makassar-Bajau dan Bugis ini menduduki tempat dalam struktur masyarakat, dari strata bangsawan hingga ke golongan masyarakat orang terhormat atau orang baik-baik. Kelompok inilah yang banyak meninggalkan Sulawesi Selatan selepas keruntuhan Gowa pada 1667-1669.
Sumber =
Disalin dari kiriman FB: Humaidy Nur Saidy