Gambar: okeZone |
Panji Masyarakat - Jenderal A.H. Nasution, yang baru saja pulih setelah dirawat di RSPAD, Jakarta, rupanya punya kaitan sejarah dengan majalah (Panji Masyarakat, red) ini. Dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas jilid 6, ia bercerita panjang sekitar pertarungan Angkatan Darat (baca ABRI) kontra PKI sekitar tahun 1960-an, yang berakhir dengan peristiwa G-30-S PKI. Di situ Pak Nas menguraikan usaha pihak Angkatan Darat mendekati ormas-ormas Islam, antara lain dengan menerbitkan koran dan majalah Islam. Tulisnya:
“Tim untuk ormas Islam berhasil. Muhammadiyah mendirikan surat-surat kabar Mercu Suar dan pemimpin-pemimpin Islam berkumpul di rumah menjadi tamu SAB, antara lain saudara Subchan (NU), Aruji Kartawinata (PSII) untuk mendirikan suatu surat kabar Suara Islam.
Jenderal Sucipto Yudodihardjo dan Kolonel Isa Edris, saya tugaskan untuk langsung ikut menanganinya. Dan kita dapat oper yang ada di Pemandangan dulu, dengan bantuan Pak Djunaedi bekas pemiliknya. Juga Ketua GKBI (batik) membantu sepenuhnya. Suara Islam dapat diterbitkan. Juga majalah yang dulu diasuh oleh Buya Hamka lalu dilancarkan kembali dengan bantuan saya, kalau tidak salah dengan nama Gema Islam, tetap berpangkalan di Mesjid Al-Azhar.”
Yang dimaksud Pak Nas dengan majalah yang dulu diasuh oleh Buya Hamka tiada lain ialah majalah Panji Masyarakat, yang dibredel pemerintah karena memuat tulisan Bung Hatta “Demokrasi Kita”.
Dengan berhentinya penerbitan koran dan majalah tersebut, maka yang diizinkan terbit ialah koran-koran yang mendukung Soekarno “tanpa reserve”, yang berafiliasi pada kaum komunis, seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bakti, Suluh Indonesia.
Setiap hari koran-koran itu melancarkan berita dengan huruf besar, yang isinya memuja Soekarno di samping mengecam orang atau golongan yang dituduh “kontra revolusi”. Yakni, tokoh dan ulama Masyumi dan tokoh PSI yang telah dibubarkan akibat pemberontakan PRRI di Sumatera Barat.
Dalam suasana tertekan dan menjadi bulan-bulanan fitnah koran-koran komunis, Buya Hamka yang waktu itu menjadi imam Masjid Agung Al-Azhar yang terletak di depan rumahnya, didatangi oleh tiga orang perwira ABRI, yaitu Jenderal Soedirman (ayahanda Basofi Soedirman yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Timur) waktu itu menjadi Komandan Seskoad di Bandung, Kolonel Muchlas Rowi, Kepala Pusat Rohani Angkatan Darat, dan Overste Isa Edris.
Pembicaraan berlangsung sejak sore hingga menjelang magrib di rumah Buya Hamka. Beberapa hari sesudah itu, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri ketiga perwira itu berulang kali datang dan berbicara dengan Buya.
Belakangan, Buya Hamka menceritakan bahwa perwira ABRI itu datang berulang kali membawa pesan Jenderal Nasution, mengajak para ulama dan pemimpin umat bekerja sama membendung pengaruh PKI. Salah satu bentuk kerja sama itu ialah menerbitkan sebuah majalah Islam sebagai pengganti Panji Masyarakat, yang kemudian diberi nama Gema Islam.
Dari beberapa kali pembicaraan antara para perwira utusan Jenderal Nasution dengan Buya dicapai persetujuan yang garis besarnya: majalah yang akan diterbitkan isinya sama dengan Panji Masyarakat yang dibredel, yaitu mengutamakan dan memuat soal-soal ilmu dan kebudayaan yang bernapaskan Islam.
Buya Hamka diharapkan sekali partisipasinya menulis artikel guna memberikan tuntunan kepada pembacanya. Namun agar tidak mencolok dan fitnah PKI, nama Buya Hamka cukup dicantumkan sebagai pembantu, bukan sebagai pemimpin redaksi seperti dalam Panji Masyarakat.
Terbitnya majalah Gema Islam yang dianggap sebagai jelmaan Panji Masyarakat mendapat sambutan pembaca, khususnya umat Islam, yang nyaris frustrasi melihat semakin merajalelanya koran-koran komunis menyebarkan agitasi dan berbagai fitnah terhadap umat Islam, antara lain menuntut pembubaran HMI. Edisi perdana Gema Islam terbit 15 Januari 1962.
Masjid Al-Azhar yang terletak di Jalan Sisingamangaraja Kebayoran Baru, Jakarta, sekitar tahun 1960-an itu menjelma sebagai pusat dakwah. Pada waktu subuh jamaah datang mendengarkan kuliah subuh yang dipimpin oleh Buya Hamka. Materi kuliah subuh Buya ialah tafsir Al-Qur’an, dan atas permintaan jamaah kuliah subuh tafsir ini dimuat dalam majalah Gema Islam setiap terbit. Dari kuliah subuh inilah kemudian lahir Tafsir Al-Azhar.
Sudah tentu segala kegiatan di Masjid Al-Azhar tak lepas dari pemantauan orang-orang PKI. Setiap kegiatan yang diadakan di Masjid Al-Azhar selalu diintip oleh petugas “intel” yang sudah dikenal oleh para jamaah.
Upaya pihak komunis menghancurkan Buya Hamka tak berhenti sampai di situ. Pada Senin (27 Januari 1964) bertepatan dengan bulan Ramadan, seusai memberikan pengajian di Masjid Al-Azhar, beberapa orang polisi mendatangi Buya dan menunjukkan surat perintah penangkapan. Kemudian diketahui bahwa Hamka dituduh atau difitnah menerima uang dari Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdurrahman untuk membunuh Presiden Soekarno.
Setelah peristiwa G-30-S PKI dan bangkitnya Angkatan ’66, Masjid Al-Azhar menjadi salah satu markas Angkatan ’66. Buya Hamka yang meringkuk di penjara, kurang lebih dua setengah tahun dibebaskan dan kembali memimpin jamaah.
Kemudian atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Muchlas Rowi, majalah Gema Islam dihentikan penerbitannya. Kemudian pada Oktober 1966, majalah Panji Masyarakat kembali diterbitkan menempati kantor lama yang beberapa waktu lalu menjadi kantor Gema Islam.
-----------------------------------
Penulis Rusjdi Hamka. Sumber: Panji Masyarakat, 28 April 1997. Rusjdi (1935-2014) adalah putra kedua Buya Hamka, dikenal sebagai wartawan, mubalig, dan politisi. Pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, anggota DPR RI dari PPP, dan anggota PP Muhammadiyah.