Gambar: Pinterest |
Oleh: Haslizen Hoesin
Pengantar
Tulisan yang pembaca akan baca berikut ini adalah mengenai:
Kincir Air, Bercocoktanam dan Penggilingan Tebu, dikutip dari tulisan Sir
Thomas Stamford Raffles tentang perjalanan di pedalaman Ranah
Minangkabau, berjudul “Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas
Stamford Raffles by his Widow” Vol. I [edisi kedua] London: James Ducman 1835,
hlm 401 -409, 413, 415 – 427, 432 – 433. Tulisan tersebut diterjemahkan oleh
Tim Komunitas Bambu. Penyunting Dewi Anggraeni dengan judul “Thomas Stamford
Raffles Menuju Sumber Peradaban Melayu”, halaman 196 – 211. Dibukukan dengan
beberapa tulisan, judul “Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo Sampai Tan
Malaka”. November 2010. Kutipan mengenai Kincir Air, Bercocoktanam dan
Penggilingan Tebu adalah untuk saling melengkapi tulisan “Teknologi Tepat
Guna: Menaikan Air Dengan Kincia Aia” https://lizenhs.wordpress.com/2008/12/23/teknologi-tepat-guna-menaikan-air-dengan-kincia-aia/ dan
“Beragam Manfaat, Pengembangan Dan Kendala Kincia-Aia” https://lizenhs.wordpress.com/2009/01/19/beragam-manfaat-pengembangan-dan-kendala-kincia-aia-2/ Selamat
membaca semoga bermanfaat.
Pendahuluan
Sir Thomas Stamford Raffles [1781 -1826] pertama kali ditempatkan di Penang oleh East Indian Company (EIC). Ketika Inggris menduduki Jawa, Raffles ditunjuk sebagai Letnan-Gubernur di sana [1811 – 1816]. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengadakan berbagai reformasi dan bahan-bahan untuk bukunya yang gemilang, History of Java [1817]. Selanjutnya Raffles [1818 – 1824] sebagai Letnan-Jendral di Bengkulu.
Pada awal juli 1818, Raffles berlayar dari Bengkulu ke Padang
bersama istrinya, seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan stafnya dalam
jumlah banyak. Di Padang mereka langsung mendapatkan sejumlah kuli angkut
yang bersedia ikut dalam rombongan.
Langkah dramastis Raffles adalah mendirikan koloni di Singapura
tahun 1819, guna memastikan bahwa Inggris punya keterlibatan besar di
Selat Malaka.
Awal Perjalanan Menuju Pagaruyung
Awal juli 1818, Raffles berlayar dari Bengkulu menuju Padang
bersama istrinya, seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan stafnya dalam
jumlah banyak. Di Padang mereka langsung mendapatkan 200 kuli angkut yang
bersedia ikut dalam rombongan. Pada 14 Juli 1818 mereka berangkat dari
Padang ke pedalaman dengan berjalan kaki dalam rombongan besar, termasuk
50 serdadu Inggris menuju Pagaruyung.
Setelah menuruni perbukitan dan tibalah didataran Solok (Luak
Kubuang Tigo Baleh), rute dilewati sepenuhnya terbentang di sepanjang bubungan
sempit atau pematang tinggi terletak diantara sawah-sawah hingga akhirnya tiba
di suatu pasar. Pasar ditandai dengan beberapa pohon beringin besar. Di
sini mereka istirahat sejenak dan menikmati berbagai jenis buah yang
disuguhkan. Dalam perjalanan di bukit batu sampai ke pasar, rombongan bertambah
besar mencapai beberapa ribu orang. Orang-orang pribumi di dekat jalanan
yang dilewati bergabung dalam rombongan. Mereka menyambut rombongan
dengan teriakan (lolongan) dan saorak sorai.
Saat memasuki desa, Raffles terkejut melihat pakaian penduduk berbeda dengan pakaian khas Melayu. Mereka berpakaian sesuai dengan adat orang putih (paderi), yaitu pakaian berwarna putih atau biru mengenakan sorban dan membiarkan jenggot mereka tumbuh seuai dengan peraturan yang yang ditetapkan Tuanku Pasaman, seorang pembaharu agama (Islam). Para perempuan juga mengenakan pakaian putih dan biru, sebagian dari mereka menutup kepala semacam tudung (tikuluak).
Umumnya penampilan pisik orang-orang disini tidak cakap;
perawakan maupun rupa tidak seelok orang-orang Pasumah (Pasemah).
Perilaku mereka agak kasar, tetapi ilmu pertanian, kesejahteraan dan kondisi
mereka lebih unggul.
Senin [20 Juli 1818]. Rombongan menghabiskan waktu di Solok Salayo. Raffles melewati sisa hari dengan mengamati kota dan desa. Desa di Luak Kubuang Tigo Baleh terkenal dengan hasil emas. Tambang-tambang emas berada di Sungai Pagu dan Sungai Abu. Desa-desa memiliki kebiasaan bercocoktanam tingkat tinggi, lebih dari yang diduga Raffles semula.
Rabu [22 Juli 1818]. Subuh, rombongan berada ditepi danau
[Singkarak], menaikkan barang-barang ke perahu dan bersiap-siap menuju
Simawang. Rombongan berangkat delapan lewat lima belas dan sampai pukul setengah
dua di kaki bukit dimana Simawang berada yang terletak dihulu Sungai Kuantau
(Kuantan) atau sungai Indragiri. Kami melanjutkan perjalanan mendaki bukit di
panas terik dan melelahkan. Dipuncak bukit kami disambut dengan ramah
oleh kepala desa. Raffles menginap dirumah panjang yang kokoh, ditupang
oleh tiang-tiang tak ubahnya seperti perahu. Pintu masuk terletak
ditengah, tetapi terdapat pula pintu kedua yang terdapat disatu ujung rumah.
Kincir Air menaikan air, bercocoktanam dan Teknologi Giling Tebu
Kamis [23 Juli 1818] danau Singkarak tampak tenang dan damai.
Airnya dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk. Sekitar 50 yard [kurang
lebih 45 meter] dari hulu sungai (Batang) Kuantan, kincir air yang kokoh
digunakan untuk mengairi sawah didekatnya. Kincir-kincir air ini bahan
utamanya dari bambu dan memang dibuat untuk mengairi sawah.
Kincir air ini umum digunakan di Menangkabu [Minangkabau] dan dapat dianggap sebagai kemajuan dalam bercocoktanam yang bahkan belum dicapai oleh Jawa, meskipun Jawa memiliki hubungan dengan Cina sejak lama. Mengingat bangsa Eropa maupun Cina belum pernah menginjakkan kaki di tanah Minangkabu dan selama berabad-abad penduduk pribumi Minangkabau tidak pernah berintegrasi dengan orang-orang asing, kincir-kincir air ini dapat dianggap sebagai penemuan asli orang pribumi. Seingat saya (Raffles), tidak pernah melihat kincir air sejenis ini di Jawa.
Lereng-lereng bukit yang tak bisa dijadikan sawah terasering
atau tidak dapat diairi, ditanami tebu. Ladang tebu ini tergolong besar
dan di sana dibangun penggilingan-penggilingan untuk memeras sari tebu yang
kemudian akan diproses menjadi gula (disebut saka tabu). Mesin-mesin penggiling
ini terdiri dari dua silinder tegak lurus, bagian atas dibentuk menyerupai
sekrup (ulir) yang bertautan, kedua selinder itu diputar dengan menggunakan
tenaga sapi, kedua silinder berputar dalam arah yang berlawanan. Hasil
pemerasan sari tebu ditampung dengan penampungan (reservoir) yang terletak di
bawah penggilingan.
Kami meninggalkan Semawang pukul setengah tujuh dan tiba di
Suruaso pada pukul satu, kota terbesar kedua di Minangkabau sekaligus daerah
yang lokasinya dekat dengan Pageruyong [Pagaruyuang]. Setelah menuruni
Bukit Simawang, kami menyeberang sungai melalui jembatan gantung yang sangat
romantis, berayun-ayun kencang saat kami lewati satu persatu. Sekitar pukul
sebelas kami melihat Pagaruyung untuk pertama kali.
Ketika di Suruaso kami diantar ketempat hunian terbaik ditempat itu, yakni istana, berupa rumah papan sederhana panjang sekitar 30 kaki [kurang lebih sembilan meter] terletak ditepi sungai Emas. Disini kami dipertemukan dengan Tuan Gadis atau Ratu Perawan yang memerintah daerah tersebut. Kami disambut dengan keramahan dan sukacita yang membuat saya terharu.
Tepat di seberang rumah papan (istana) yang dijelaskan diatas,
terdapat sebuah bangunan kecil berbentuk bujursangkar [disebut surau (masjid)]
Jum’at [24 Juli 1818] kami meninggalkan Suruaso pada pukul tujuh dan tiba di Pagaruyung pukul sembilan kurang lima belas. Ketika kami mendekati Pagaruyung kami melihat pemandangan yang indah dari situasi kota yang pernah menjadi masyhur. Pagaruyung dibangun dikaki bukit dan separohnya dilereng bukit yang curam dan terjal, disebut gunung Bongso (Bungsu). Di bawah kota Pagaruyung, tepatnya di jurang mengalir batang (sungai) Selo yang indah dalam aliran berkelok-kelok melewati Suruaso, dari sana sungai Emas berasal akhirnya bermuara di batang (sungai) Indragiri. Di depan kota Pagaruyung tampak gunung Berapi (Marapi). Dilereng gunung inilah sebagian besar penduduk bermukim. Seluruh sisi gunung ditutupi oleh pedesaan dan sawah-sawah yang menyebar keberbagai arah.
Di Pagaruyung kami pergi kehilir sungai, di pinggir sungai
terdapat rumah kecil yang belum lama dibangun, yang dipersiapkan untuk kami
menginap. Kami beristirahat untuk sementara waktu karena berencana
kembali ke Suruaso sore nanti, saya meninggalkan rombongan dan jalan-jalan
selama satu dua jam. Saya kembali kerombongan dan disana tuan Gadis dan para
pangeran Ranah Minang telah berkumpul. Satu tembakan merian penghormatan
dilepaskan dan setelah bersorak tiga kali kami bersiap-siap untuk kembali ke Suruaso.
Dilihat dari ketinggian, pemandangan kota Pagaruyung membentang
kearah utara dan barat, sampai sejauh puncak Gunung Berapi [Marapi] dan
bukit-bukit di sekitarnya. Dari kota Pagaruyung sejauh mata menandang, seluruh
negeri ini adalah lahan pertanian tanpa akhir, diselingi kota dan desa,
dinaungi oleh pohon kelapa dan buah-buahan. Saya berani mengatakan bahwa
pemandangan ini mampun menyaingi segala keindahan yang pernah saya lihat di
Jawa, alamnya sama indah, populasi sama padat dan pertanian sama kaya.
Kami kembali ke Suruaso sekitar pukul tiga dan pada petang
harinya saya mengunjungi sebuah lokasi peninggalan yang sangat luas dimana
pernah ditemukan emas dalam jumlah besar.
Keesokan harinya Sabtu [25 Juli 1818] kami meninggalkan Saruaso
kembali ke Padang pada pukul setengah tujuh dan tiba di Simawang pada pukul
setengah duabelas. Kami menginap disini hingga hari Minggu petang. Agar
kami berangkat pagi-pagi sekali besok pagi, kami turun kedanau dan berkemah
ditepinya selama semalam. Ketika sedang mengumpulkan sampel mineral di
pinggir danau, saya menemukan sebua prasasti dalam huruf kawi. Sayangnya
tulisan prasasti itu tersebut hampir pudar karena terus-menerus terkikis air.
Penemuan atas sebuah negeri dengan populasi besar dan budaya pertanian dengan tingkat
yang tinggi adalah hal yang menarik. Sepanjang perjalanan
kami, saya tidak
menemukan satu pun ladang, model bercocoktanam yang berpidah-pindah,
sebagaimana yang digambarkan oleh Mr Marsden dan lazim ditemukan dekat pesisir
selatan. Sudah lama ladang-ladang tersebut digantikan oleh sistem
pengolahan lahan menjadi sawah-sawah biasa dan pendirian tempat tinggal
diatasnya.
Disini industri manufaktur juga lebih maju. Sejak dahulu Minangkabau terkenal dengan produksi kerisnya. Disini besi ditempa dan dijadikan barang produksi sejak zaman dahulu kala. Industri tembikar yang ada dekat pinggran danau tidak hanya memasok Padang, tetapi juga Bencoolen (Bengkulu) dengan hasil produksinya yang sangat berguna.
Penutup
Pada perjalanan Raffles ini rupanya dia tidak melihat/menemukan
kincir air yang dimanfaatkan untuk menumbuk padi (gabah), kalau dia melihat
tentu lebih menarik komentar Raffles tentang berbagai pemanfaatan energi air di
Ranah Minang. Kincir air di Ranah Minang merupakan suatu teknologi dalam sistem
pengairan di daerah pertanian dan juga untuk menumbuk padi dan beras (untuk
tepung) sebagai teknologi pasca panen dan tergolong teknologi tinggi saat itu.
Sekarang kincir perannya harus
meluas yaitu untuk memutar dinamo listrik menerangi rumah
di tepi batang aia (sungai), baik terjangkau maupun tidak oleh listrik PLN,
tapi itu sedikit (tidak) dilakukan. Kenapa demikian????
Kincir sudah ditingalkan masyarakat Minang karena terjebak dengan istilah kuno dan modern, sungguh ironis nasib kincia aia, yang seharusnya digali/dikembangkan dan ditingkatkan efisiensinya, sehingga memberi manfaat yang lebih banyak, tidak terhenti sebagai apa adanya seperti yang dulu untuk menaikkan air dan pengangkat alu lesung.
Energi air gratis
dibiarkan begitu saja lewat, sungguh disayangkan, temuan pribumi
berhenti dan tidak dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang
Energi air (Kincir) tetap populer sebagai sumber energi. Diharapkan perguruan tinggi di
Sumbar dan perguruan Tinggi lain di Indonesia bersama Pemprov, Pemkab, Pemkot
dan Masyarakat Peduli Energi Untuk Rakyat di Pedesaan, tergerak
hatinya secara bersama menempatkan pembangkit listrik micro hidro dengan
melibatkan penduduk setempat untuk memanfaatkan energi air yang tersedia gratis
dan tersebar di mana-mana (Indonesia) menggunakan konsep Teknologi Tepat Guna
(TTG). Mengenai TTG baca juga Teknologi Tepat Guna Apa Itu????https://lizenhs.wordpress.com/2008/12/23/teknologi-tepat-guna-apaaa-itu/ Semoga bermanfaat. Terimakasih
atas kunjungan anda. Bila anda suka, beritahu yang lain.
________________________________
Disalin dari kiriman Haslizen Hoesin di blog beliau lizenhs.wordpress.com