FB Mahadama al Mahadaya - Orang Minangkabau mengakui bahwa mereka merupakan keturunan Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) Raja Macedonia yang hidup 354-323 SM. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.[1] Dalam Tambo di sebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, iaitu Maharaja Alif, Maharaja Dipang, dan Maharaja Diraja. Maharaja Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), Maharaja Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharaja Diraja menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat tambo sendiri maka di katakan sebagai berikut:
“…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan surang Maharajo Alif, nan pai ka banda Ruhum, nan surang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan surang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…”
(pada masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhum (Romawi), yang seorang Maharaja Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharaja Diraja yang menepat ke pulau Sumatera).
Dalam versi lain di ceritakan, seorang penguasa di negeri Ruhum (Rum) mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Iskandar Zulkarnain menikah dengan putri tersebut. Dengan putri itu Iskandar mendapat tiga orang putra, yaitu Maharaja Alif, Maharaja Dipang, dan Maharaja Diraja. Setelah ketiganya dewasa Iskandar berwasiat kepada ketiga putranya sambil menunjuk-nunjuk seakan-akan memberitahukan ke arah itulah mereka nanti harus berangkat melanjutkan kekuasaannya. Kepada Maharaja Alif di tunjuk kearah Ruhum, Maharaja Dipang negeri Cina, Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Nusantara).
Setelah Raja Iskandar wafat, ketiga putranya berangkat menuju daerah yang ditunjukkan oleh ayahnya. Maharaja Diraja membawa mahkota yang bernama “Mahkota Senggahana”, Maharaja Dipang membawa senjata bernama “Jurpa tujuh menggang”, Maharaja Alif membawa senjata bernama “Keris Sempana Ganjah Iris” dan lela yang tiga pucuk. Sepucuk jatuh ke bumi dan sepucuk kembali ke asalnya jadi mustika dan geliga dan sebuah pedang yang bernama Sabil Allah.
Berlayarlah bahtera yang membawa ketiga orang putra itu ke arah timur, menuju pulau Langkapuri. Setibanya di dekat pulau Sailan ketiga saudara itu berpisah, Maharaja Dipang terus ke Negeri Cina, Maharaja Alif kembali ke negeri Ruhum, dan Maharaja Diraja melanjutkan pelayaran ke tenggara menuju sebuah pulau yang bernama Jawa Alkibri atau di sebut juga dengan Pulau Emas (Andalas atau Sumatra sekarang). Setelah lama berlayar kelihatanlah puncak gunung merapi sebesar telur itik, maka ditujukan bahtera kesana dan berlabuh didekat puncak gunung itu. Seiring menyusutnya air laut mereka berkembang di sana.
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.[2]
=======================
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Sosok Sulthan Iskandar Zulkarnain sendiri masih dalam perdebatan bagi banyak kalangan di Minangkabau dan Alam Melayu. Ada yang berpedapat sosok tersebut sama dengan Alxander Agung (The Great) namun lebih banyak yang menyanggahnya. Sosok ini sendirin kepada pribadi seorang raja besar yang kisahnya diceritakan dalam Al Qur'an.
[2] Sistem penanggalan tidak ada dalam kebudayaan orang Melayu dan Minangkabau, sistem penanggalan tertua diketahui berada di Babilonia, Mesir, Yunani, Romawi, Arab, Cina, India, Indian, dan beberapa kebudayaan lain. Dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara sama sekali tidak memiliki sistem penanggalan, melainkan sistem penanggalan yang dikembangkan dari kebudayaan lain sebagai wujud dari persentuhan mereka. Sistem penanggalan Jawa Kunopun mengambil bentuk dari penanggalan India dan kemudian menggabungkannya dengan sistem penanggalan Hijriyah.